Tuesday 18 November 2014

PETISI 31 MARET 1877 DI MINAHASA [4]

“KAULA ATAU SETERU”
Oleh : Yuda B. Tangkilisan




PENUTUP

Petisi 31 Maret 1877 ternyata tidak hanya sekedar wahana penyampaian protes saja. Isi petisi tersebut menyingkapkan proses perubahan yang dialami oleh rakyat Minahasa. Petisi itu dapat digolongkan sebagai dokumen kunci dalam sejarah Minahasa. Dan juga ia dapat disebut sebagai pancang historis. Pancang yang menunjukkan akan kesadaran orang Minahasa terhadap keadaannya yang sebenarnya.
Proses perubahan politik yang berlangsung lebih kurang sejak dekade kedua abad 19 didasarkan pada anggapan bahwa Minahasa adalah bagian dari wilayah Hindia Belanda. Pada pihak lain, pemimpin Minahasa belum menyadari akan adanya perubahan status. Mereka masih beranggapan bahwa status wilayah mereka adalah sekutu daripada Belanada. Baru setelah setengah abad mereka menyadari akan adanya “perubahan”.
Picu yang bergema keras, yang menayadari para pemimpin Minahasa adalah Peraturan Pemerintah Mengenai Tanah Milik Negara (Domein Verklaring) tahun 1877 dan terutama besluit tanggal 25 Januari 1877. Latar belakang keluarnya peraturan agraria itu, adalah sebagai salah satu akibat desakan modal swasta yang mulai terasa sejak tahun 1870. Untuk tertibnya lalu lintas modal swasta itu, dikeluarkanlah serangkaian kebijaksanan terutama dibidang pemerintahan dan agraria.
Perubahan yang terjadi biasanya ditanggapi orang Minahasa secara akomodatif, namun kali ini tanggapan yang diberikan agak berbeda, khususnya oleh para kepala walak (distrik). Reaksi pertama mereka tentunya dapat dipahami karena kebijaksanaan itu langsung menyangkut kepentingan mereka. Dalam menanggapi perubahan itu, mereka tidak memilih cara kekerasan. Apakah pemilihan cara protes melalui petisi tersebut merupakan petunjuk akan adanya kesadaran dan kedewasaan politik dari para pemimpin Minahasa, sebagai akibat proses pembaratan yang intensif selama lebih setengah abad.[22] Namun secara historis, kedudukan para pemimpin Minahasa pada abad 19 memperlihatkan gejala ketergantungan, baik secara politik maupun secara ekonomis kepada pemerintah Hindia Belanda. Hal itu ditandai dengan berubahnya status mereka dari kepala walak menjadi kepala distrik.
Para pemimpin Minahasa tercabut dari kedudukan tradisionalnya dan menerima tawaran menempati kedudukan dalam lapisan ciptaan Belanda. Dan protes mereka tercetus sesuai dengan aturan-aturan baru itu.
Paling tidak dengan adanya petisi itu, anggapan akan loyalitas yang berkepanjangan Minahasa terhadap Belanda perlu ditinjau kembali dan ditempatkan pada konteks yang jelas.[23]
Petisi kepada Gubernur Jenderal van Landsbergen di Batavia merupakan reaksi atas peraturan tanah negara ordonansi 1875 (Staatsblad1875 no. 199a), yang diatur dengan besluit 25 Januari 1877. Sedangkan reaksi terhadap domein verklaring 1877 (Staatsblad 1877 no. 55 dan 55a) tercetus dalam petisi kepada Parlemen Negeri Belanada (Tweede Kamer/ Majelis Rendah).
Rupa-rupanya kedua petisi itu tidak menghasilkan keputusan pengganti sebagai pemenuhan permintaan petisi itu. Petisi kepada Gubernur Jenderal dijawab dengan tetap berlakunya peraturan yang ada. Sedangkan petisi kepada Parlemen bukanlah suatu alamat yang tepat.
Memang secara langsung, petisi itu tidak menimbulkan perubahan peraturan. Namun petisi itu yang pertama kali mempersoalkan kembali masalah kontrak-kontrak nenek moyang Minahasa dengan Belanda. Jelasnya issue sekutu atau kaula pertama kali dicetuskan oleh petisi tersebut. Untuk selanjutnya, issue sekutu atau kaula itu menjadi senjata protes pada setiap keberatan yang timbul terhadap kebijaksanaan kolonial. Khususnya, ia digunakan terhadap politik agraria Hindia Belanda di Minahasa. (Selesai).

CATATAN KAKI
[1] Lihat Rogering
[2] Lihat, “Toestanden in de Minahassa door Men Ooggetuigs” IG 2 (1880) 1, hal 594.
[3] Pada kesempatan lain Swaving justru menilai usul itu diterima: “Dit is onjuist, het is waar, dat een paar hoofden pp de vergadering van 2 September 1876 verklaarden geen tractement te willen ontvangen, doch op de vergadering van den volgenden dag kregen die hoofden door hunne ambtgenooten deswege een openlijk, een gevoelig dementie. Het proces-verbaal daarvan is in het Regeering-archief.” (A.H. Swaving. “De varhouding van de bevolking der Minahasa (afdeeling der residentie Menado) tot het gouvernement van Nederlandsch-Indie”.
[4] Ordonansi tersebut mengatur pemilikan tanah untuk luar Jawa. Sedangkan untuk Jawa dan Madura tercantum dalam Staatsblad 1970 no. 118. Peraturan itu pertama kali memperkenalkan prinsip legal bahwa seluruh tanah yang tidak berada dalam pemilikan pribadi merupakan milik negara (domein van den Staat). Definisi tanah negara dalam hal ini meliputi tanah yang dikuasai penduduk, dan selanjutnya penting untuk membedakan tanah bebas. Tanah bebas dimaksudkan adalah tanah negara yang bebas dari hak-hak penduduk. Di bawah pengaturan itu, terbuka kesempatan untuk menyewa tanah oleh pemerintah kepada pihak-pihak swasta yang terutama non-bumiputra. Penyewaan itu dapat dilakukan oleh individu atau suatu badan yang terdaftar. Peraturan itu juga memuat pembatasan luas tanah yang dapat disewa dan jangka waktu penyewaan. Kemudian hak pengelolaan itu dikenal dengan sebutan hak Erfpacht. Lihat L. Adam. Op. Cit, 1975 hal. 36-38. Mengenai beslit 25 Januari 1877 disebut dalam Algemeen Verslag der Residentie Menado 1877, Menado bundel no. 53, ANRI. Lihat juga Swaving. Loc.Cit. hal.28.
 [5] “Bij mijn besluit dato 25 Januari 1877 no. 1 L a A verlaarde ik te weigeren het inschrijven in de registers van die gronden, die aan niet-inlanders waren verkocht”. Swaving ibid.
[6] Seperti juga beslit 25 Januari 1877 tersebut, arsip tentang jalannya, tempat, waktu pertemuan tersebut tidak dapat ditemukan. Index Menado 1877 ANRI menyebutkan suatu Agenda Juni j 19, 12389 tentang telegram Residen Menado yang menyangkut pertemuan tersebut, tetapi ketika dicari tidak ditemukan.
[7] Petisi tersebut diterjemahkan dari yang dikutip oleh van Kesteren. Loc.cit. hal. 463-466, selain itu petisi itu terdapat pula dalam Java Bode, 7 Februari 1878. Antara kedua sumber ini tidak terdapat perbedaan yang dasar, kecuali mengenai ejaan. Kesteren menulis contracten sedangkan Java Bode dengan kontrakten. “Kesteren menulis Excellentie JB dengan Eksellensie. Mengenaisurat aslinya belum/tidak dapat ditemukan. Dalam kesempatan ini petisi itu disebut sebagai Petisi 31 Maret 1877. Disebut demikian berdasarkan jawaban dari Gubernur Jenderal, lihat JB ibid. L. Adam menyebutkan bahwa petisi itu dikirim pada  tanggal 31 Maret 1877, lihat L. Adam. Op.cit. 1975,  hal. 30.  Dalam Algemeen Verslag der Residentie Menado 1877, adanya petisi itu disebutkan sepintas lalu saja, yang dihubungkan dengan masalah peraturan agraria. Sedangkan politik verslag 1877 belum/tidak dapat ditemukan.
[8] Lihat catatan kaki no. 89.
[9] Lihat bagian II C.
[10] L. Adam. Op.cit. 1975,  hal. 30. Sedangkan tulisan asli L. Adam juga menyebutkan jumlah yang sama (Bukan Kesalahan tehnis-cetak).
[11] Seperti misalnya A.B. Lapian menulis (dalam rangka membahas buku Bert Supit); “...Kita mengetahui bahwa hingga sekarang masih ada kelompok yang berpegang pada Perjanjian 1679 ini (seperti dalam hal seminar menentukan hari jadi Minahasa pada tahun 1982 yl.), sedangkan tidak banyak menyadari bahwa naskah asli pun tidak ada. Kami sendiri dibesarkan di kalangan kelompok yang menolak keabsahan Perjanjian tersebut, halmana ternyata juga dianut oleh penulis buku”. Lihat A.B. Lapian. Pembahasan Buku: Bert Supit, Minahasa – Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1986. Makalah pada seminar sehari Pembahasan Buku Bert Supit. Yayasan Kebudayaan Minahasa, Jakarta, 1986.
[12] Supit. Op.cit. hal. 105-106. Pemberian penghargaan berupa gelar-gelar tersebut dewasa ini sedang dicoba dihidupkan kembali. Seperti misalnya penganugerahan gelar Tonaaas Wangko kepada masing-masing, KSAD Letjen Pol Moch Sanoesi, dan KSAU Marsdya Oetomo. Lihat. “Album”.Tempo, no. 40 Tahun XVI, 29 November 1986, hal. 15.
[13] L. Adam Op. Cit., 197b. Selanjutnya dikatakan bahwa dari “penyalahgunaan” tersebut banyak kepala yang menjadi kaya. Pada tahun 1890 “penyelewengan” itu dilarang keras oleh pemerintah Belanda. Hal. 70.
[14] Tentunya ada kemungkinan lain dimana mereka sangat dipengaruhi oleh kelompok zendeling dan swasta yang hadir juga dalam pertemuan itu, namun sebelum dokumen lengkap ditemukan rasanya agak riskan untuk berkesimpulan demikian. Tetapi MEFE berpendapat bahwa petisi itu dibuat akibat pengaruh salah satu artikel di surat kabar Locomotief yang menuduh bahwa peraturan agraria itu suatu permainan tingkat tinggi (hoogspel), selanjutnya dicurigai adanya pengaruh dari para zendeling dalam petisi tersebut. MEFE. Loc.Cit.
[15] Seperti kesan Wallace terhadap Minahasa dan juga dikap umumnya pejabat-pejabat Belanda.
[16] Surat kepada Residen selalu memakai kata penghormatan Tuan Bangsawan, dan kata-kata penghormatan lainnya untuk pejabat-pejabat Belanda. Sopan santun sangat diperkenalkan oleh para pengajar dan pendeta.
[17] Di kalangan orang Belanda sendiri terjadi perdebatan mengenai petisi tersebut. Dua surat kabar, Java Bode dan SHB juga mengulas petisi tersebut. JB berpendapat bahwa kebijaksanaan itu sesuai dengan status Minahasa, sedangkan SHB setelah mengkaji sejarah panjnag Minahasa dan VOC berkesimpulan bahwa peraturan itu kurang sesuai. Demikian juga pendapat C. Bosscher, bekas residen Menado melihat bahwa seyogyanya hukum adat Minahasa mendapat tempat tersendiri dalam mempertimbangkan suatu peraturan. Sedangkan Swaving tetap konsisten dengan pendapatnya bahwa Minahasa adalah kaula. Ia mendasarkan pendapatnya pada tiadanya reaksi dari para kepala Minahasa saat diterapkan peraturan-peraturan sejak 1824 dst.
[18] Selain itu terdapat beberapa latar belakang lain seperti untuk menertibkan pemilikan sehingga dapat meredakan konflik-konflik yang terjadi mengenai pemilikan tanah diantara rakyat Minahasa. CT Bertling. “Grondbezit in the Minahasa”. Koloniale studien. 12 (1928) 2: 322 – 339 Namun secara umum bahwa peraturan itu ditetapkan sejalan dengan masuknya modal swasta ke Hindia Belanda.
[19] Petisi itu diterjemahkan dari kutipan (extract) yang dimuat pada, IG 1 (1879) 2: 112-114.
[20] Lihat MEFE. Op.Cit. hal. 383 Lihat L. Adam. Op.Cit. hal. 30.
[21] MEFE, op.cit. hal. 388-390
[22] Manoppo-Watupongoh. Op.cit.
[23] Patuleia-Schouten. Loc.Cit.

No comments:

Post a Comment