“KAULA ATAU SETERU”
Oleh : Yuda B. Tangkilisan
PENUTUP
Petisi
31 Maret 1877 ternyata tidak hanya sekedar wahana penyampaian protes saja. Isi
petisi tersebut menyingkapkan proses perubahan yang dialami oleh rakyat
Minahasa. Petisi itu dapat digolongkan sebagai dokumen kunci dalam sejarah
Minahasa. Dan juga ia dapat disebut sebagai pancang historis. Pancang yang
menunjukkan akan kesadaran orang Minahasa terhadap keadaannya yang sebenarnya.
Proses
perubahan politik yang berlangsung lebih kurang sejak dekade kedua abad 19
didasarkan pada anggapan bahwa Minahasa adalah bagian dari wilayah Hindia
Belanda. Pada pihak lain, pemimpin Minahasa belum menyadari akan adanya perubahan
status. Mereka masih beranggapan bahwa status wilayah mereka adalah sekutu
daripada Belanada. Baru setelah setengah abad mereka menyadari akan adanya
“perubahan”.
Picu
yang bergema keras, yang menayadari para pemimpin Minahasa adalah Peraturan
Pemerintah Mengenai Tanah Milik Negara (Domein Verklaring) tahun 1877
dan terutama besluit tanggal 25 Januari 1877. Latar belakang
keluarnya peraturan agraria itu, adalah sebagai salah satu akibat desakan modal
swasta yang mulai terasa sejak tahun 1870. Untuk tertibnya lalu lintas modal
swasta itu, dikeluarkanlah serangkaian kebijaksanan terutama dibidang
pemerintahan dan agraria.
Perubahan
yang terjadi biasanya ditanggapi orang Minahasa secara akomodatif, namun kali
ini tanggapan yang diberikan agak berbeda, khususnya oleh para kepala walak (distrik).
Reaksi pertama mereka tentunya dapat dipahami karena kebijaksanaan itu langsung
menyangkut kepentingan mereka. Dalam menanggapi perubahan itu, mereka tidak
memilih cara kekerasan. Apakah pemilihan cara protes melalui petisi tersebut
merupakan petunjuk akan adanya kesadaran dan kedewasaan politik dari para
pemimpin Minahasa, sebagai akibat proses pembaratan yang intensif selama lebih
setengah abad.[22] Namun secara historis, kedudukan para pemimpin Minahasa
pada abad 19 memperlihatkan gejala ketergantungan, baik secara politik maupun
secara ekonomis kepada pemerintah Hindia Belanda. Hal itu ditandai dengan
berubahnya status mereka dari kepala walak menjadi kepala
distrik.
Para
pemimpin Minahasa tercabut dari kedudukan tradisionalnya dan menerima tawaran
menempati kedudukan dalam lapisan ciptaan Belanda. Dan protes mereka tercetus
sesuai dengan aturan-aturan baru itu.
Paling
tidak dengan adanya petisi itu, anggapan akan loyalitas yang berkepanjangan
Minahasa terhadap Belanda perlu ditinjau kembali dan ditempatkan pada konteks
yang jelas.[23]
Petisi
kepada Gubernur Jenderal van Landsbergen di Batavia merupakan reaksi atas
peraturan tanah negara ordonansi 1875 (Staatsblad1875 no. 199a), yang
diatur dengan besluit 25 Januari 1877. Sedangkan reaksi
terhadap domein verklaring 1877 (Staatsblad 1877
no. 55 dan 55a) tercetus dalam petisi kepada Parlemen Negeri Belanada (Tweede
Kamer/ Majelis Rendah).
Rupa-rupanya
kedua petisi itu tidak menghasilkan keputusan pengganti sebagai pemenuhan
permintaan petisi itu. Petisi kepada Gubernur Jenderal dijawab dengan tetap
berlakunya peraturan yang ada. Sedangkan petisi kepada Parlemen bukanlah suatu
alamat yang tepat.
Memang
secara langsung, petisi itu tidak menimbulkan perubahan peraturan. Namun petisi
itu yang pertama kali mempersoalkan kembali masalah kontrak-kontrak nenek
moyang Minahasa dengan Belanda. Jelasnya issue sekutu atau kaula pertama kali
dicetuskan oleh petisi tersebut. Untuk selanjutnya, issue sekutu atau kaula itu
menjadi senjata protes pada setiap keberatan yang timbul terhadap kebijaksanaan
kolonial. Khususnya, ia digunakan terhadap politik agraria Hindia Belanda di
Minahasa. (Selesai).
CATATAN
KAKI
[1] Lihat
Rogering
[2] Lihat,
“Toestanden in de Minahassa door Men Ooggetuigs” IG 2 (1880)
1, hal 594.
[3] Pada
kesempatan lain Swaving justru menilai usul itu diterima: “Dit is onjuist, het
is waar, dat een paar hoofden pp de vergadering van 2 September 1876
verklaarden geen tractement te willen ontvangen, doch op de vergadering van den
volgenden dag kregen die hoofden door hunne ambtgenooten deswege een openlijk,
een gevoelig dementie. Het proces-verbaal daarvan is in het Regeering-archief.”
(A.H. Swaving. “De varhouding van de bevolking der Minahasa (afdeeling der
residentie Menado) tot het gouvernement van Nederlandsch-Indie”.
[4] Ordonansi
tersebut mengatur pemilikan tanah untuk luar Jawa. Sedangkan untuk Jawa dan
Madura tercantum dalam Staatsblad 1970 no. 118. Peraturan itu pertama kali
memperkenalkan prinsip legal bahwa seluruh tanah yang tidak berada dalam
pemilikan pribadi merupakan milik negara (domein van den Staat). Definisi tanah
negara dalam hal ini meliputi tanah yang dikuasai penduduk, dan selanjutnya
penting untuk membedakan tanah bebas. Tanah bebas dimaksudkan adalah tanah
negara yang bebas dari hak-hak penduduk. Di bawah pengaturan itu, terbuka
kesempatan untuk menyewa tanah oleh pemerintah kepada pihak-pihak swasta yang
terutama non-bumiputra. Penyewaan itu dapat dilakukan oleh individu atau suatu
badan yang terdaftar. Peraturan itu juga memuat pembatasan luas tanah yang
dapat disewa dan jangka waktu penyewaan. Kemudian hak pengelolaan itu dikenal
dengan sebutan hak Erfpacht. Lihat L. Adam. Op. Cit, 1975 hal. 36-38. Mengenai
beslit 25 Januari 1877 disebut dalam Algemeen Verslag der Residentie Menado
1877, Menado bundel no. 53, ANRI. Lihat juga Swaving. Loc.Cit. hal.28.
[5] “Bij
mijn besluit dato 25 Januari 1877 no. 1 L a A verlaarde ik te
weigeren het inschrijven in de registers van die gronden, die aan niet-inlanders
waren verkocht”. Swaving ibid.
[6] Seperti
juga beslit 25 Januari 1877 tersebut, arsip tentang jalannya, tempat, waktu
pertemuan tersebut tidak dapat ditemukan. Index Menado 1877 ANRI menyebutkan
suatu Agenda Juni j 19, 12389 tentang telegram Residen Menado yang menyangkut
pertemuan tersebut, tetapi ketika dicari tidak ditemukan.
[7] Petisi
tersebut diterjemahkan dari yang dikutip oleh van Kesteren. Loc.cit. hal.
463-466, selain itu petisi itu terdapat pula dalam Java Bode, 7 Februari 1878.
Antara kedua sumber ini tidak terdapat perbedaan yang dasar, kecuali mengenai
ejaan. Kesteren menulis contracten sedangkan Java Bode dengan kontrakten.
“Kesteren menulis Excellentie JB dengan Eksellensie. Mengenaisurat aslinya
belum/tidak dapat ditemukan. Dalam kesempatan ini petisi itu disebut sebagai
Petisi 31 Maret 1877. Disebut demikian berdasarkan jawaban dari Gubernur
Jenderal, lihat JB ibid. L. Adam menyebutkan bahwa petisi itu
dikirim pada tanggal 31 Maret 1877, lihat L. Adam. Op.cit. 1975,
hal. 30. Dalam Algemeen Verslag der Residentie Menado 1877, adanya petisi
itu disebutkan sepintas lalu saja, yang dihubungkan dengan masalah peraturan
agraria. Sedangkan politik verslag 1877 belum/tidak dapat ditemukan.
[8] Lihat
catatan kaki no. 89.
[9] Lihat
bagian II C.
[10] L.
Adam. Op.cit. 1975, hal. 30. Sedangkan tulisan asli L.
Adam juga menyebutkan jumlah yang sama (Bukan Kesalahan tehnis-cetak).
[11] Seperti
misalnya A.B. Lapian menulis (dalam rangka membahas buku Bert Supit); “...Kita
mengetahui bahwa hingga sekarang masih ada kelompok yang berpegang pada
Perjanjian 1679 ini (seperti dalam hal seminar menentukan hari jadi Minahasa
pada tahun 1982 yl.), sedangkan tidak banyak menyadari bahwa naskah asli pun
tidak ada. Kami sendiri dibesarkan di kalangan kelompok yang menolak keabsahan
Perjanjian tersebut, halmana ternyata juga dianut oleh penulis buku”. Lihat
A.B. Lapian. Pembahasan Buku: Bert Supit, Minahasa – Dari Amanat Watu
Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1986.
Makalah pada seminar sehari Pembahasan Buku Bert Supit. Yayasan Kebudayaan
Minahasa, Jakarta, 1986.
[12] Supit.
Op.cit. hal. 105-106. Pemberian penghargaan berupa gelar-gelar tersebut dewasa
ini sedang dicoba dihidupkan kembali. Seperti misalnya penganugerahan
gelar Tonaaas Wangko kepada masing-masing, KSAD Letjen Pol
Moch Sanoesi, dan KSAU Marsdya Oetomo. Lihat. “Album”.Tempo, no. 40
Tahun XVI, 29 November 1986, hal. 15.
[13] L.
Adam Op. Cit., 197b. Selanjutnya dikatakan bahwa dari
“penyalahgunaan” tersebut banyak kepala yang menjadi kaya. Pada tahun 1890
“penyelewengan” itu dilarang keras oleh pemerintah Belanda. Hal. 70.
[14] Tentunya
ada kemungkinan lain dimana mereka sangat dipengaruhi oleh kelompok zendeling
dan swasta yang hadir juga dalam pertemuan itu, namun sebelum dokumen lengkap
ditemukan rasanya agak riskan untuk berkesimpulan demikian. Tetapi MEFE
berpendapat bahwa petisi itu dibuat akibat pengaruh salah satu artikel di surat
kabar Locomotief yang menuduh bahwa peraturan agraria itu suatu permainan
tingkat tinggi (hoogspel), selanjutnya dicurigai adanya pengaruh dari
para zendeling dalam petisi tersebut. MEFE. Loc.Cit.
[15] Seperti
kesan Wallace terhadap Minahasa dan juga dikap umumnya pejabat-pejabat Belanda.
[16] Surat
kepada Residen selalu memakai kata penghormatan Tuan Bangsawan, dan kata-kata
penghormatan lainnya untuk pejabat-pejabat Belanda. Sopan santun sangat
diperkenalkan oleh para pengajar dan pendeta.
[17] Di
kalangan orang Belanda sendiri terjadi perdebatan mengenai petisi tersebut. Dua
surat kabar, Java Bode dan SHB juga mengulas petisi tersebut.
JB berpendapat bahwa kebijaksanaan itu sesuai dengan status Minahasa, sedangkan
SHB setelah mengkaji sejarah panjnag Minahasa dan VOC berkesimpulan bahwa
peraturan itu kurang sesuai. Demikian juga pendapat C. Bosscher, bekas residen
Menado melihat bahwa seyogyanya hukum adat Minahasa mendapat tempat tersendiri
dalam mempertimbangkan suatu peraturan. Sedangkan Swaving tetap konsisten
dengan pendapatnya bahwa Minahasa adalah kaula. Ia mendasarkan pendapatnya pada
tiadanya reaksi dari para kepala Minahasa saat diterapkan peraturan-peraturan
sejak 1824 dst.
[18] Selain
itu terdapat beberapa latar belakang lain seperti untuk menertibkan pemilikan
sehingga dapat meredakan konflik-konflik yang terjadi mengenai pemilikan tanah
diantara rakyat Minahasa. CT Bertling. “Grondbezit in the Minahasa”. Koloniale
studien. 12 (1928) 2: 322 – 339 Namun secara umum bahwa peraturan itu
ditetapkan sejalan dengan masuknya modal swasta ke Hindia Belanda.
[19] Petisi
itu diterjemahkan dari kutipan (extract) yang dimuat pada, IG 1 (1879)
2: 112-114.
[20] Lihat
MEFE. Op.Cit. hal. 383 Lihat L. Adam. Op.Cit. hal.
30.
[21] MEFE, op.cit.
hal. 388-390
[22] Manoppo-Watupongoh. Op.cit.
[23] Patuleia-Schouten. Loc.Cit.
No comments:
Post a Comment