“KAULA ATAU SETERU”
Oleh : Yuda B. Tangkilisan
Beberapa
koreksi kecil terhadap teks harus diberikan, karena terdapat kesalahan. Dalam
petisi itu disebutkan bahwa besluit Residen Swaving bertahun
1876 padahal yang benar adalah tertanggal 25 Januari 1877 no. 1 LaA.[8] Kemudian besluit tanggal
12 Juni 1868 no. 30 sebagai dasar kewibawaan para kepala sebenarnya yang
dimaksudkan adalah besluit 12 Juni 1858 no. 30 (Staatsblad 1856
no. 69).[9]
Mengenai
jumlah kepala distrik yang ikut menandatangani terdapat beberapa dugaan (karena
sumber aslinya tidak ada). L. Adam dalam tulisannya Pemerintahan di
Minahasa[10] menyebutkan bahwa jumlah kepala distrik yang mengirimkan
petisi itu sebanyak 23 orang. Sedangkan kalau diteliti kembali dalam Regeerings
Almanac, terutama tahun 1878 sebab tahun sebelumnya tidak menyebutkan tentang
kepala distrik, bahwa jumlah kepala distrik sebanyak 25 sesuai dengan jumlah
distriknya (Lihat Lampiran).
Selain
dicoba dibandingkan dengan Politiek Verslag (yang tidak
ditemukan) juga dicoba dengan Algeemen Verslag tahun
tersebut. Algemeen Verslag tidak menyebut jumlah, hanya disebutkan
mutasi dan pengangkatan kepala distrik dan bawahannya. Pembandingan terakhir
dicoba dengan meneliti surat kabar yang terbit di Minahasa Tjahaja Sijang
selama tahun 1876-1877. Selain koran itu tidak memuat sama sekali, juga tidak
ada tanda-tanda bahwa jabatan kepala di suatu distrik kosong atau adanya kepala
distrik meninggal dunia, yang mana dapat menuju pada kemungkinan jumlah 23,
seperti disebutkan L. Adam.
SEKUTU
ATAU KAULA
Dua
hal pokok yang tidak dapat dimengerti oleh para kepala distrik tersebut. Kedua
hal itu saling berhubungan satu sama lain. Dengan pernyataan bahwa tanah
Minahasa menjaadi tanah milik pemerintah, maka menurut anggapan mereka bahwa
kontrak-kontrak yang pernah dikukuhkan telah tidak berlaku lagi.
Padahal
kontrak-kontrak tersebut justru yang mengatur hubungan antara Minahasa dan
Belanda. Kontrak itu dibuat oleh nenek moyang mereka masing-masing. Sebagai
komunitas yang menjunjung tinggi tradisi dan menghormati leluhur (walaupun di
tengah gencarnya Kristenisasi), kontrak tersebut dianggap tetap berlaku dan
mengikat. Dengan sendirinya jika terjadi perubahan atas hubungan-hubungan yang
telah ditetapkan dalam kontrak tersebut, harus sepengetahuan kedua belah pihak.
Bagi kepala Minahasa pembatalan sepihak berarti penodaan terhadap kesetian.
Kini
tentunya perlu dipertanyakan mengenai kontrak itu sendiri. Beberapa pertanyaan
dapat diajukan padanya. Seperti apakah kontrak itu (terutama dimaksudkan adalah
kontrak 1679) absah. Ini merupakan pertanyaan penting yang dijawab terlebih
dahulu.
Sikap
terhadap keabsahan kontrak tersebut dapat digolongkan ke dalam dua kelompok.
Ada kelompok yang menganggap kontrak itu sah dan menempatkan kedua belah pihak
penanda tangan kontrak itu sebagai tuan dan kaula. Kontrak yang
terdapat pada catatan harian perjalanan keliling dari Padtbrugge itu dianggap
salinan yang syah dari salinya. Memang dokumen asli dari kontrak itu tidak
ditemukan kembali. Kelompok itu antara Graafland, Swaving dan Molsbergen
sendiri.
Kelompok
lainnya menolak keabsahan kontrak catatan Padtbrugge itu. Menurut mereka, tidak
mungkin hubungan yang terjalin itu sebagai hubungan kaula. Mereka yakin bahwa
kontrak asli 1679 mengatur hubungan sekutu atau persahabatan. Salah satu
argumentasi mereka yang penting adalah jika kontrak itu telah mengatur hubungan
kaula, mengapa pada tahun 1699 kontrak itu diperbaharui dengan menyebutkan
hubungan kaula. Tentunya status kaula pada kontrak 1699 menggantikan status
sekutu pada Kontrak 1679 tidak diterjemahkan ke dalam bahasa setempat. Memang
peranan juru bahasa perlu diteliti kembali. Kelompok ini antara lain Kesteren,
Wijnmalen, dan tentunya orang Minahasa sendiri.[11]
Bert
Supit juga mencoba menelusuri mengenai alam pikiran kepala-kepala Minahasa
dalam menerima Belanda. Menurut pendapatnya, Kontrak 1879 hanya memuat dua hal
pokok, yaitu (1) permintaan bantuan kepada Kompeni, yang diakui sebagai orang
kuat dan berwibawa (wailan wangko) untuk menghadapi musuh dari luar, antara
lain Bolaang, (2) janji setia kawan dan persahabatan yang abadi para ukung, yang
karenanya akan membantu Kompeni memelihara benteng dan bangunan lain, bila
Kompeni berjanji memenuhi hal tersebut diatas sesuai prinsip mapalus.
Selanjutnya dikatakan bahwa pengertian wailan wangko tidak berimplikasi
memerintah, melainkan hanya merupakan suatu julukan saja.[12]
Gambaran
yang ada dalam benak kepala-kepala distrik mengenai hubungan mereka dengan
Belanda adalah sebagaimana layaknya sahabat. Paling tidak dalam ingatan mereka
bahawa peristiwa-peristiwa yang mereka alami sebelumnya memperkuat hubungan
tersebut. Seperti misalnya yang sangat jelas adalah pemberian tongkat, payung
serta 9 salvo tembakan sebagai tanda penghormatan untuk mereka.
Selanjutnya
mengenai hubungan Minahasa dan Belanda disebut sebagai hubungan antara orang
tua dan anak. Dimana Minahasa sebagai anak dan Belanda sebagai orang tua. Dalam
adat istiadat Minahasa memang dikenal masalah adopsi dengan berbagai macam
tujuan danlatar belakangnya. Namun jika ditelusuri dari sejarah datangnya
Belanda di Minahasa dan pola adopsi di Minahasa akan terasa kurang klop.
Belanda datang di Minahasa karena diminta oleh orang Minahasa sendiri.
L.
Adam dalam bukunya Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa menyebutnya suatu pola
adopsi yang agak aneh namun sesuai dengan proses tersebut di
atas.[13] Disebutkan bahwa terdapatnya gejala adopsi terbalik, dimana
seseorang atau keluarga mengangkat seorang kepala distrik atau lainnya
(bawahannya) sebagai bapak, dan menempatkan dirinya sendiri sebagai anak.
Adopsi semacam ini menguntungkan kedua belah pihak. Sang “anak” akan memperoleh
perlindungan dan jaminan keterpihakan sang “bapak” dalam
perselisihan-perselisihan, terutama yang menyangkut soal tanah. Sebaliknya para
kepala biasanya membiarkan dirinya diadopsi dengan maksud kelak akan mendapat
bagian dalam pewarisan sang “anak”.
Minahasa
sebagai masyarakat yang tidak mengenal bentuk kerajaan namun sebagai masyarakat
primitif tidak mengenal hubungan majikan dan hamba. Mereka yang hanya
mengakui primus inter pares beranggapan bahwa jika ada
kewajiban yang harus dipenuhi, kesemua itu berdasarkan pada hubungan timbal
balik. Hubungan yang ada adalah antara pelindung dan yang
dilindungi.
Sistem
kekeluargaan yang sangat erat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan politik
setiap kesatuan (wanua dan walak). Memang selain
keluarga dikenal juga adanya budak-budak melalui perang dan
penaklukkan-penaklukkan.
Alam
pemikiran kepala distrik kebanyakan masih kuat dipengaruhi tradisi
demikian.[14] Seyogyanya jika mereka mempertanyakan kembali hubungan
tersebut. Dan wajar juga jika dalam surat tersebut digunakan kata-kata yang
meninggikan kedudukan Belanda. Yang paling jelas adalah bahwa penetrasi
pendidikan Belanda sedemikian mendalam di Minahasa, tetapi dalam pemikiran
Belanda bahwa mereka tetaplah bawahan, bumiputra yang sebelumnya tidak
berperadaban[15] yang harus senantiasa dibimbing dan perlu
dibudayakan.[16]
Surat
itu juga menyingkapkan akan usaha Belanda untuk “mengikat” para kepala Minahasa
(paling tidak demikian menurut anggapan mereka) dengan pemberian gaji. Para
kepala tersebut memaklumi bahwa jika mereka menerima gaji dari pemerintah maka
resmilah Minahasa merupakan bagian dari Hindia Belanda. Selanjutnya surat itu
menyatakan bahwa mereka menolak tawaran Belanda tersebut. Mereka memilih tetap
berdiri di atas pundak rakyatnya (menurut istilah mereka diasuh rakyatnya).
Keindependenan merupakan alasan yang kuat bagi status sekutu.
Kemudian
surat itu bercerita mengenai apa yang sebenarnya sedang berlangsung di Minahasa
selama hampir 200 tahun sejak kontrak pertama ditandatangani. Motivasi Minahasa
untuk selalu berdiri di pihak Belanda (sehingga terkadang Minahasa disebut
berdiri di pihak Belanda, bahkan disebut sebagai propinsi ke-12 dari Belanda,
karena begitu setianya) adalah berdasarkan rasa terima kasih danbalas budi, kembali
sesuai dengan kontrak. Dan sekali lagi ditegaskan bahwa Belanda memperoleh
tanah Minahasa bukan melalui penaklukan melainkan semata persahabatan.
Pada
bagian akhir isi surat mereka mengajukan beberapa permohonan kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda. Dua permintaan pokok itu adalah pertama memohon
pembaharuan kontrak atau tetap dengan kontrak yang lama namun dengan beberapa
persyaratan tambahan. Rupa-rupanya para kepala distrik tetap menganggap bahwa
kontrak merupakan dasar keberadaan Belanda di Minahasa.
Mereka
tetap konsisten dengan permintaan bahwa Minahasa bukan tanah pemerintah.
Beberapa pengecualian yang diminta seperti larangan penjualan tanah kepada
orang non-bumiputra dan ijin untuk penyewaan tanah kepada orang lain.
Tanah
merupakan sumber penghasilan dan penghidupan bagi masyarakat agraris. Tanah
juga memiliki nilai tersendiri dalam tata kehidupan, menunjukkan
kekayaan/prestise, juga melambangkan keterikatan masyarakat terhadap leluhurnya
dimana tanah itu dibuka oleh leluhurnya (bandingkan dengan pola pembukaan tanah
yang bebas).[17]
Tak
mengherankan jika mereka berpendapat bahwa tanah tidak boleh dijual kepada
orang lain di luar distriknya apalagi kepada orang “seberang”, tetapi
kesempatan lain terbuka untuk mereka (orang asing) yaitu melalui bentuk
penyewaan, terutama tanah-tanah yang tidak sanggup digarap. (Padahal salah satu
alasan penerapan peraturan tanah itu adalah karena banyaknya tanah yang
ditelantarkan oleh pemiliknya).[18]
Para
kepala distrik dalam surat itu beberapa kali menyebut “rakyat kami”. Padahal
seperti telah disebutkan bahwa telah terjadi pergeseran terhadap kedudukan
mereka dimana mereka boleh dikatakan telah menjadi alat pemerintahan kolonial,
dipihak lain artinya mereka telah tercabut dari akarnya sebagai kepala tradisional.
Penjelasannya mungkin bisa didapat dalam alam pemikiran mereka bahwa selama
mereka masih dihidupi oleh rakyatnya, tidak menerima gaji dari pemerintah maka
mereka tetap sebagaivolkshoofd.
Permohonan ditutup dengan pertaruhan kesetiaan
mereka kepada Belanda dan himbauan kembali agar Belanda sendiri ingat pada
kewajibannya. (Bersambung ke bagian 3)
No comments:
Post a Comment