KETURUNAN
TOADA DAN LRUMIMUUTU DARI MAKADUASIOU
Sub-Etnik Bantik saat ini tersebar dan
mendiami 11 negeri di Sulawesi Utara, yaitu : Mahasa (Meras), Molrasa
(Molas), Bailrang (Bailang), Talrabang (Talawaan Bantik), Bengkolro (Bengkol),
Buha, Sikilri (Singkil), Minanga (sekarang Malalayang), Kalrasei (Kalasei),
Tanamon dan Sumoiti.
Penduduk Sulawesi Utara terdiri dari 3 (tiga)
etnis utama berdasarkan pengelompokan bahasa yakni :
- Suku
Minahasa (Tolour, Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Bantik, Tonsawang dan
Ponosakan);
- Suku
Sangihe dan Talaud (Sangihe Besar, Siau dan Talaud);
- Suku
Bolaang Mongondow (Mongondow, Bolaang, Bintauna dan Kaidipang).
Anak Suku Bantik termasuk dalam kelompok Suku
Minahasa, namun “Nama Minahasa” sendiri baru muncul pertama kali dalam laporan
Residen J.D. Schiersentein, Residen Manado, tanggal 8 Oktober 1789. Di mana, pada
masa itu telah terjadi pertikaian antara sub-etnik Bantik dan sub-etnik
Tombulu. Peristiwa tersebut dikenang oleh sub-etnik yang bertikai sebagai “Perang
Tateli”. Sedangkan para paderi Spanyol dan Belanda menyebut Suku Minahasa sebagai
"Orang Alifuru", "Orang Pedalaman", atau "Orang Gunung"
(Bovenlander).
Toar dan Lumimuut
Sekali peristiwa, tersebutlah tanah
“Ponaedan” yang tenggelam diliputi air laut yang melimpah/air bah, sehingga semua
penduduknya mati lemas dan jiwa-jiwa (roh) dari orang-orang yang sudah mati itu
sebagian menjadi ilah-ilah yang baik dan sebagian lain menjadi setan-setan yang
jahat.
Konon seluruh bumi pada waktu itu tenggelam
dilanda air bah, hanya pada tanah Ponaedan itu masih tersisa sebuah tandusan
(beting). Di atas tandusan terdapat sebuah batu besar, lalu turunlah seorang
Empung yang bernama KADEMA dari “Kalrutuang” (kayangan/surga), berdiri di atas
batu besar itu, dengan memegang sebuah alat kesaktian yang berbentuk seperti
cambuk, yang dalam bahasa Bantik disebut “Tingkayuan”, lalu Ia memandang ke
sana ke mari dan sejauh mata memandang, hanyalah dikelilingi laut belaka.
Kemudian Kadema mengangkat cambuk saktinya dengan
tangan kanan dan berkata : “Adodou adodou tanah Ponaedan timagongte ada
bobodone dumulru kumilra kalrotou te nai age nu pung-pung bo kayu” (yang
artinya : Ya tanah Ponaedan telah tenggelam, sekiranya jadilah guntur dan kilat
dan mulai timbullah pula tanah yang baru yang ditumbuhi dengan rumput-rumputan
kemudian dengan pohon-pohon kayu dari kecil-kecil hingga yang besar-besar, ya
rupa-rupa jenis rumput dan kayu).
Maka sekejap itu juga gunturpun berbunyi
dengan dahsyatnya bertubi-tubi diiringi dengan kilat sambung-menyambung, maka
berangsur-angsur tanah kering di sekeliling batu itu bertambah-tambah luas, air
mulai surut dan rumput-rumputan mulailah bertumbuh, demikian juga dengan
kayu-kayuan berjenis-jenis, maka jadilah seperti yang dikatakan oleh Kadema.
Adapun tumbuh-tumbuhan yang bertumbuh
pertama-tama di tanah Ponaedan tersebut adalah rumput sukuhu (bataka) diikuti goringo
(karimenga) dan lria (goraka), baru kemudian tumbuh-tumbuhan yang lainnya. Oleh
sebab itu ketiga tanaman tersebut menjadi tumbuhan obat yang mujarab bagi
masyarakat Bantik dan umumnya orang Minahasa, karena ketiga tumbuhan itulah
yang mula-mula bertumbuh di tanah Minahasa, “tanah baru” dari tanah Ponaedan.
Sementara Kadema sedang berdiri di atas batu
itu, maka sekonyong-konyong ia mendengar suara seseorang yang menjerit di bawah
batu itu, lalu turunlah ia ke tanah, dan batu itu digoleknya sedikit, maka
keluarlah seorang laki-laki muda dari bawah batu itu, lalu ia pun menyembah
kepada Kadema.
Kemudian Kadema berkata kepada laki-laki muda
itu : “sekarang engkau dinamai Toada (Toar), sebab engkau kudapati di moada
(tandusan)”. Moada dalam bahasa anak suku Bantik berarti tandusan (beting). Lalu
tinggallah mereka di “tanah baru” itu dan itulah tanah Malesung atau Minahasa
hingga sekarang.
Sekali peristiwa Kadema dan Toada bersepakat
membuat sebuah patung dari lumut-lumut dicampur tanah liat dan diberi bertulang
kayu, lalu jadilah sebuah patung yang amat elok. Toada memperhatikan patung
tersebut dengan perasaan gembira, lalu katanya kepada Kadema : “alangkah
baiknya kalau patung ini menjadi manusia”. Sahut Kadema nantilah kubawa patung
itu naik ke langit ke keinderaan yang tertinggi menghadap yang Maha Kuasa yaitu
Mabu Duata supaya ia diberi nafas kehidupan dan menjadi manusia.
Maka dibawalah oleh Kadema patung itu
menghadap Mabu Duata, permohonan Kadema dikabulkan, lalu Kadema kembali ke bumi
untuk menemui Toada dengan membawa patung yang telah menjadi seorang perempuan
yang amat elok parasnya. Tetapi dalam perjalanan menuju ke tempat tinggal Toada,
patung yang telah menjadi seorang perempuan cantik itu sempat dipegang dan
ditegur oleh setan-setan yang jahat, namun perempuan itu tidak tahu dan tidak
dapat melihat makhluk-makhluk halus tersebut.
Alangkah sukacita Toada melihat perempuan
dari patung itu, tetapi tidak lama perempuan itu sakit lalu mati. Toada
memanggil Kadema dan oleh Kadema, perempuan itu dibawa lagi ke keinderaan untuk
dimintakan agar diberi nafas kembali. Mabu Duata mengabulkan permohonan Kadema
dengan nasehat supaya setibanya di bumi haruslah mengambil ujung batang
tawaang, dan diusap-usapkan pada tubuh perempuan itu. Setibanya Kadema di bumi,
datang lagi setan-setan jahat itu, tetapi mereka tidak berani mendekati
perempuan itu, karena Kadema telah mengambil tawaang seperti yang sudah dipesan
oleh Mabu Duata kepadanya. Oleh karena itu, sejak dahulu kala masyarakat Bantik
sering menggunakan ujung tawaang untuk mengobati orang sakit. Balriang (Wailan)
yang mengobati orang sakit, semalam-malaman memegang ujung tawaang,
menyebut-nyebut nama Kadema, sambil mengusap-usapkan ujung tawaang ke tubuh
orang sakit itu, untuk mengembalikan jiwanya yang telah pergi karena perbuatan
dari setan-setan yang jahat.
Perempuan yang asalnya dari patung itu
dinamai “Lumimuutu” oleh Kadema, sebab perempuan itu berasal dari lrumu
(lumut). Masyarakat Bantik menyebut lumut itu “lrumu” atau “lrumuutu” kemudian
lazimnya disebut Lrumimuutu (Lumimuut). Toada dan Lrumimuutu hidup sebagai
layaknya bersaudara dan Kadema menjadi orang tua mereka yang harus didengar
segala perintahnya.
Sekali peristiwa berkatalah Kadema kepada
Toada dan Lrumimuutu : “pergilah kedua kamu masing-masing mengambil jalan
sendiri-sendiri, mengelilingi ke mana saja, untuk mencari pasangan (jodoh) kamu
sendiri-sendiri. Inilah 2 (dua) batang tongkat dan lihat sama panjangnya,
ambilah seorang sebuah dan bila kamu masing-masing bertemu dengan seorang yang
kamu suka, jadikanlah dia pasangan (jodoh) kamu, haruslah tongkat yang ada pada
kamu itu diukurkan pada tongkatnya.
Apabila tidak sama panjangnya, ambillah dia
menadi pasangan kamu”. Maka diberilah oleh Kadema kepada Toada sebuah tongkat
yang dari “tuis” (golobah) dan sebuah tongkat yang dari “asa” diberikannya
kepada Lrumimuutu.
Mereka bertigapun berpisahlah dengan perasaan
sedih, dan berjalanlah Toada pada jalan yang lain dan Lrumimuutu pada jalan
yang lain juga. Dalam kurun waktu lama, bertemulah Toada dan Lrumimuutu, tetapi
mereka tidak lagi saling mengenal dan bilamana mereka mengukur tongkat mereka
masing-masing seorang pada seorang, ternyata tongkat mereka tidak sama
panjangnya. Maka mereka berdua sepakat untuk hidup bersama sebagai suami
isteri. Pada saat itu hadirlah Kadema dan menikahkan mereka berdua. Sesudah itu
pulanglah Kadema ke keinderaan. Toada dan Lrumimuutu pada waktu itu tidak
mengetahui sebabnya kenapa tongkat Toada telah menjadi lebih panjang dari
tongkat Lrumimuutu, karena sebenarnya batang tuis (gelobah) walaupun hari ini
dipotong tetapi biasanya keesokan hari batang tuis tersebut masih akan
bertambah panjang.
Toada dan Lrumimuutu hidup sebagai suami
isteri, dan tinggal di sebuah pondok yang terletak di bawah pohon kayu
Singkulrubu. Pada cabang bagian bawah pohon kayu itu, bertengger burung Bahkeke
(Wakeke) dan sebelah atasnya burung Manguni. Oleh karena itu burung Bahkeke dan
burung Manguni tinggal bersama-sama dengan Toada dan Lrumimuutu pada pohon kayu
Singkulrubu itu, maka semua keturunan Toada dan Lrumimuutu amat percaya kepada
burung-burung itu yang memberi alamat baik dan jahat. Burung Bahkeke memberi
alamat/tanda pada siang hari dan burung Manguni memberi tanda pada malam hari.
Toada dan Lrumimuutu memperoleh beberapa anak
diantaranya bernama Makaduasiou, Makatelrupitu, Makatelrusiou, dan lain-lain.
Makin lama Toada dan Lrumimuutu mendapat karunia dengan keturunan yang banyak sekali.
Kedua mereka hidup sampai lanjut usia, sehingga mereka dapat melihat akan
segala keturunan anak-anaknya, cucu-cucu, cicit-cicit, dan buyut-buyutnya,
banyak sekali tak terhitung jumlahnya.
Kemudian Toada dan Lrumiuutu mengumpulkan
segala keturunannya yang telah menjadi banyak sekali itu pada suatu tempat yang
bernama “Pinatiahen” (artinya: membahagi). Lalu Toada dan Lrumimuutu naik di atas
batu besar dan membahagi bahasa, memberi peraturan-peraturan, adat-adat dan
pantangan-pantangan, lalu bercerailah mereka itu semua bertumpuk-tumpuk
masing-masing pergi ke tempat yang disukainya.
Adapun setumpuk orang leluhur kaum Bantik
dari garis keturunan Makaduasiou yang terdiri dari beberapa kepala keluarga
antara lain : Sumalroto, Lrobogia, Huntuhambi, Sumolrung, Dangkulrang,
Lrumimpunu, dan Lrolring, pergi ke suatu tempat yang bernama Mandolrang. Disana
mereka bertambah-tambah banyak dan menjadi suatu kaum. Pekerjaan mereka umumnya
sebagai petani dan kadang-kadang sebagai nelayan.
Dari legenda Toada dan Lrumimuutu inilah
anak-suku Bantik mempunyai kepercayaan kepada burung manguni yang memberi
tanda, alamat baik atau buruk, mempercayai empung-empung dan merasa takut pada
setan-setan yang jahat, serta adat istiadat untuk memberi makan kepada
empung-empung di kebun dengan segala penyembahanya dan lain-lain.
Edited : Jeldy Tontey
Sumber
:
- Sejarah
Anak Suku Bantik, Pdt. M. Kiroh, 1968
- Tuturan
turun temurun masyarakat Bantik, Sulawesi Utara
(Adapun
asalnya Lrumimuutu, yang dikisahkan kembali oleh Joutje A. Koapaha, 2006 sbb :
Kadema bersama Toar ketika sedang menelusuri dan menikmati keindahan alam
pesisir pantai tanah Malesung, mereka menemukan sebuah batu berbentuk aneh yang
dinamai mereka sebagai “Batutuhe” atau batu nahi’sasuhe yang terdapat di atas gundukan
pasir. Bentuk batu dikatakan aneh karena layaknya sepasang pria dan wanita yang
sedang melakukan hubungan badan/seks. Dengan cambuk ditangan Kadema kemudian
menggaris batu tersebut dengan batang cambuk yang akhirnya batu
terbelah/terpisah. Setelah Batutuhe terbelah, ternyata di dalamnya terdapat
tubuh seorang wanita yang masih hidup terbungkus dengan lumut (Lrumu). Kadema
menamai temuan mereka tersebut sebagai Lrumimuutu, karena didapati dalam
keadaan terbungkus lumut. Legenda Toar dan Lumimuut banyak keragaman tuturan,
peristiwa, pertemuan dan perkawinannya, terutama menyangkut format “anak kawin
mama”. Namun berdasarkan tuturan masyarakat Bantik yang valid, tidak dikenal
istilah “anak kawin mama” dalam hubungan Toar dan Lumimuut sebagaimana yang
sering dijumpai dalam tulisan/tuturan yang lain).