VERSI
TOU BANTIK : TOADA DAN LRUMIUUTU
Legenda Toar dan Lumimuut seperti kita tahu
bersama, banyak keragaman tuturan peristiwa pertemuan dan perkawinan antara
Toar dan Lumimuut. Bahkan sampai sekarang masih sangat kontradiktif, rancu dan
simpang siur penerimaan diantara sesama etnis dan adat Minahasa terutama
menyangkut format “anak kawin mama”.
Namun berdasarkan versi tuturan Bantik yang
valid, ternyata tidak dijumpai atau dikenal istilah “anak kawin mama”, dalam
hubungan Toar dan Lumimuut sebagaimana yang sering dijumpai dalam
tulisan/tuturan yang lain. (J.A. Koapaha, 2006).
Sekali peristiwa, tersebutlah tanah Ponaedan
yang tenggelam diliputi air laut yang melimpah/air bah, sehingga semua
penduduknya mati lemas dan jiwa-jiwa (roh) dari orang-orang yang sudah mati itu
sebagian menjadi ilah-ilah yang baik dan sebagian lain menjadi setan-setan yang
jahat. (Ponaedan menurut penuturan J.A. Koapaha, 2006, adalah Pamaedan yang
dalam bahasa Bantik artinya tempat seka-kaki (keset) para dewa-dewa Kayangan.
Konon seluruh bumi pada waktu itu tenggelam
dilanda air bah, hanya pada tanah Ponaedan itu masih tersisa sebuah tandusan
(beting). Di atas tandusan terdapat sebuah batu besar, lalu turunlah seorang
Empung yang bernama KADEMA dari “Kalrutuang” (kayangan/surga), berdiri di atas
batu besar itu, dengan memegang sebuah alat kesaktian yang berbentuk seperti
cambuk, yang dalam bahasa Bantik disebut “Tingkayuan”, lalu Ia memandang ke
sana ke mari dan sejauh mata memandang, hanyalah dikelilingi laut belaka.
Kemudian Kadema mengangkat cambuk saktinya dengan
tangan kanan dan berkata : “Adodou adodou tanah Ponaedan timagongte ada
bobodone dumulru kumilra kalrotou te nai age nu pung-pung bo kayu” (yang
artinya : Ya tanah Ponaedan telah tenggelam, sekiranya jadilah guntur dan kilat
dan mulai timbullah pula tanah yang baru yang ditumbuhi dengan rumput-rumputan
kemudian dengan pohon-pohon kayu dari kecil-kecil hingga yang besar-besar, ya
rupa-rupa jenis rumput dan kayu).
Maka sekejap itu juga gunturpun berbunyi
dengan dahsyatnya bertubi-tubi diiringi dengan kilat sambung-menyambung, maka
berangsur-angsur tanah kering di sekeliling batu itu bertambah-tambah luas, air
mulai surut dan rumput-rumputan mulailah bertumbuh, demikian juga dengan kayu-kayuan
berjenis-jenis, maka jadilah seperti yang dikatakan oleh Kadema.
Adapun tumbuh-tumbuhan yang bertumbuh
pertama-tama di tanah Ponaedan tersebut adalah rumput sukuhu (bataka) diikuti
goringo (karimenga) dan Lria (goraka), baru kemudian tumbuh-tumbuhan yang
lainnya. Oleh sebab itu ketiga tanaman tersebut menjadi tumbuhan obat yang
mujarab bagi masyarakat Bantik dan umumnya orang Minahasa, karena ketiga
tumbuhan itulah yang mula-mula bertumbuh di tanah Minahasa, “tanah baru” dari
tanah Ponaedan.
Sementara Kadema sedang berdiri di atas batu
itu, maka sekonyong-konyong ia mendengar suara seseorang yang menjerit di bawah
batu itu, lalu turunlah ia ke tanah, dan batu itu digoleknya sedikit, maka
keluarlah seorang laki-laki muda dari bawah batu itu, lalu ia pun menyembah
kepada Kadema. Kemudian Kadema berkata kepada laki-laki muda itu : “sekarang
engkau dinamai Toada (Toar), sebab engkau kudapati di moada (tandusan)”. Moada
dalam bahasa anak suku Bantik berarti tandusan (beting). Lalu tinggallah mereka
di “tanah baru” itu dan itulah tanah Malesung atau Minahasa hingga sekarang.
Sekali peristiwa Kadema dan Toada bersepakat
membuat sebuah patung dari lumut-lumut dicampur tanah liat dan diberi bertulang
kayu, lalu jadilah sebuah patung yang amat elok. Toada memperhatikan patung
tersebut dengan perasaan gembira, lalu katanya kepada Kadema : “alangkah
baiknya kalau patung ini menjadi manusia”. Sahut Kadema nantilah kubawa patung
itu naik ke langit ke keinderaan yang tertinggi menghadap yang Maha Kuasa yaitu
: Mabu Duata supaya ia diberi nafas kehidupan dan menjadi manusia.
Maka dibawalah oleh Kadema patung itu
menghadap Mabu Duata, permohonan Kadema dikabulkan, lalu Kadema kembali ke bumi
untuk menemui Toada dengan membawa patung yang telah menjadi seorang perempuan
yang amat elok parasnya. Tetapi dalam perjalanan menuju ke tempat tinggal
Toada, patung yang telah menjadi seorang perempuan cantik itu sempat dipegang
dan ditegur oleh setan-setan yang jahat, namun perempuan itu tidak tahu dan
tidak dapat melihat makhluk-makhluk halus tersebut.
Alangkah sukacita Toada melihat perempuan
dari patung itu, tetapi tidak lama perempuan itu sakit lalu mati. Toada
memanggil Kadema dan oleh Kadema, perempuan itu dibawa lagi ke keinderaan untuk
dimintakan agar diberi nafas kembali. Mabu Duata mengabulkan permohonan Kadema
dengan nasehat supaya setibanya di bumi haruslah mengambil ujung batang tawaang
dan diusap-usapkan pada tubuh perempuan itu.
Setibanya Kadema di bumi, datang lagi
setan-setan jahat itu, tetapi mereka tidak berani mendekati perempuan itu,
karena Kadema telah mengambil tawaang seperti yang sudah dipesan oleh Mabu
Duata kepadanya. Oleh karena itu, sejak dahulu kala masyarakat Bantik sering
menggunakan ujung tawaang untuk mengobati orang sakit. Balriang (Wailan) yang
mengobati orang sakit, semalam-malaman memegang ujung tawaang, menyebut-nyebut
nama Kadema, sambil mengusap-usapkan ujung tawaang ke tubuh orang sakit itu,
untuk mengembalikan jiwanya yang telah pergi karena perbuatan dari setan-setan
yang jahat.
Perempuan yang asalnya dari patung itu
dinamai “Lumimuutu” oleh Kadema, sebab perempuan itu berasal dari lrumu
(lumut). Masyarakat Bantik menyebut lumut itu “lrumu” atau “lrumuutu” kemudian
lazimnya disebut Lrumimuutu (Lumimuut).
(Adapun asalnya Lrumimuutu, yang dikisahkan
kembali oleh Joutje A. Koapaha, 2006 sbb : Kadema bersama Toar ketika sedang
menelusuri dan menikmati keindahan alam pesisir pantai tanah Malesung, mereka
menemukan sebuah batu berbentuk aneh yang dinamai mereka sebagai “Batutuhe”
atau batu nahi’sasuhe yang terdapat di atas gundukan pasir. Bentuk batu
dikatakan aneh karena layaknya sepasang pria dan wanita yang sedang melakukan
hubungan badan/seks.
Dengan cambuk ditangan Kadema kemudian
menggaris batu tersebut dengan batang cambuk yang akhirnya batu terbelah/terpisah.
Setelah Batutuhe terbelah, ternyata didalamnya terdapat tubuh seorang wanita
yang masih hidup terbungkus dengan lumut (Lrumu). Kadema menamai temuan mereka
tersebut sebagai Lrumimuutu, karena didapati dalam keadaan terbungkus lumut).
Toada dan Lrumimuutu hidup sebagai layaknya
bersaudara dan Kadema menjadi orang tua mereka yang harus didengar segala
perintahnya. Sekali peristiwa berkatalah Kadema kepada Toada dan Lrumimuutu :
“pergilah kedua kamu masing-masing mengambil jalan sendiri-sendiri,
mengelilingi kemana saja, untuk mencari pasangan (jodoh) kamu sendiri-sendiri. Inilah
2 (dua) batang tongkat dan lihat sama panjangnya, ambilah seorang sebuah dan
bila kamu masing-masing bertemu dengan seorang yang kamu suka, jadikanlah dia
pasangan (jodoh) kamu, haruslah tongkat yang ada pada kamu itu diukurkan pada
tongkatnya. Apabila tidak sama panjangnya, ambillah dia menadi pasangan kamu”. Maka
diberilah oleh Kadema kepada Toada sebuah tongkat yang dari “tuis” (golobah)
dan sebuah tongkat yang dari “asa” diberikannya kepada Lrumimuutu.
Mereka bertigapun berpisahlah dengan perasaan
sedih, dan berjalanlah Toada pada jalan yang lain dan Lrumimuutu pada jalan
yang lain juga. Dalam kurun waktu lama, bertemulah Toada dan Lrumimuutu, tetapi
mereka tidak lagi saling mengenal dan bilamana mereka mengukur tongkat mereka
masing-masing seorang pada seorang, ternyata tongkat mereka tidak sama
panjangnya.
Maka mereka berdua sepakat untuk hidup
bersama sebagai suami isteri. Pada saat itu hadirlah Kadema dan menikahkan
mereka berdua. Sesudah itu pulanglah Kadema ke keinderaan. Toada dan Lrumimuutu
pada waktu itu tidak mengetahui sebabnya kenapa tongkat Toada telah menjadi
lebih panjang dari tongkat Lrumimuutu, karena sebenarnya batang tuis (gelobah)
walaupun hari ini dipotong tetapi biasanya keesokan hari batang tuis tersebut
masih akan bertambah panjang.
Toada dan Lrumimuutu hidup sebagai suami
isteri dan tinggal di sebuah pondok yang terletak di bawah pohon kayu
Singkulrubu. Pada cabang bagian bawah pohon kayu itu, bertengger burung Bahkeke
(Wakeke) dan sebelah atasnya burung Manguni. Oleh karena itu burung Bahkeke dan
burung Manguni tinggal bersama-sama dengan Toada dan Lrumimuutu pada pohon kayu
Singkulrubu itu, maka semua keturunan Toada dan Lrumimuutu amat percaya kepada
burung-burung itu yang memberi alamat baik dan jahat. Burung Bahkeke memberi
alamat/tanda pada siang hari dan burung Manguni memberi tanda pada malam hari.
Toada dan Lrumimuutu memperoleh beberapa anak
diantaranya bernama Makaduasiou, Makatelrupitu, Makatelrusiou, dan lain-lain.
Makin lama Toada dan Lrumimuutu mendapat karunia dengan keturunan yang banyak
sekali. Kedua mereka hidup sampai lanjut usia, sehingga mereka dapat melihat
akan segala keturunan anak-anaknya, cucu-cucu, cicit-cicit, dan buyut-buyutnya,
banyak sekali tak terhitung jumlahnya.
Kemudian Toada dan Lrumiuutu mengumpulkan
segala keturunannya yang telah menjadi banyak sekali itu pada suatu tempat yang
bernama “Pinatiahen” (artinya : membahagi). Lalu Toada dan Lrumimuutu naik di atas
batu besar dan membahagi bahasa, memberi peraturan-peraturan, adat-adat dan
pantangan-pantangan, lalu bercerailah mereka itu semua bertumpuk-tumpuk
masing-masing pergi ketempat yang disukainya.
Edited
by : Jeldy Tontey
Sumber
cerita :
- Sejarah Anak Suku Bantik Minahasa, oleh Pdt. Matheos Kiroh
- Cerita turun-temurun masyarakat Bantik
No comments:
Post a Comment