(TRAGEDI
PERANG DUNIA KEDUA DI TANAH MINAHASA)
Pasukan
pertahanan Kompi “A” sektor Airmadidi di bawah pimpinan komandannya letnan
I O.A. Rademaker, berada dalam keadaan siaga penuh. Letnan O.A.
Rademaker terlihat dengan gagah berani ikut menyandang senapan karaben,
dan berhasil membakar semangat tempur para serdadu yang dikomandoinya.
Kopral Mandagi, salah seorang anggota pasukannya, berkomentar, “Ini baru
perang! Letnan juga pegang senapan. Dus, torang juga harus iko
baku pasang.”
Namun,
di kejauhan di atas langit Kema terlihat tiga buah pesawat udara berwarna
kehitam-hitaman sedang beraksi menari-nari di udara. Salah satu di antaranya
tampak menukik dengan tajam bagaikan seekor burung elang yang hendak menyambar
mangsanya di permukaan laut, tetapi kemudian tidak muncul kembali di udara.
Belakangan baru terdengar kabar bahwa salah satu kapal pengangkut Jepang yang
besar telah diserang oleh pesawat udara Sekutu dan tenggelam di perairan laut
Girian, Tonsea. Pesawat udara yang ke dua dari ketiga pesawat udara Sekutu
tadi, terlihat menjulang lebih tinggi ke angkasa, lalu akhirnya merubah
haluannya ke arah timur dan menghilang dari pandangan mata. Diduga pesawat
udara itu akhirnya kembali ke pangkalannya dengan selamat.
Sedangkan
pesawat udara yang ke tiga juga menukik ke bawah dalam lingkaran Armada Tempur
kapal-kapal perang Jepang. Tetapi, sekonyong-konyong pesawat itu menanjak
kembali dengan tajam ke udara, langsung memutar haluan dan menuju arah selatan
pegunungan Lembean sambil mengeluarkan asap hitam. Beberapa saat kemudian
terlihat dua pesawat pemburu Jepang “Zero” menderu-deru sambil melaju dengan
kencang menuju arah pesawat udara Sekutu tadi. Pesawat udara Sekutu itu tetap
terbang lurus tanpa merobah haluan, namun kian lama kian menyemburkan asap
hitam tebal serta nyala api kuning kemerah-merahan di salah satu sayapnya.
Sementara
itu di suatu lokasi pengungsian, sepasang suami-istri, yaitu Johannes
Lambertus Kumontoy yang menjabat wakil hukum tua dan istri
tercintanya Fien Geertruida Lengkong, bersama kedua orang putra remaja
mereka, masing-masing dengan nama panggilan Ade’ dan Alo’, sedang menata meja
untuk persiapan makan pagi mereka di daerah perkebunan Tuloun. Lokasi
perkebunan ini hanya berada sekitar lima ratus meter dari kampung Ranowangko
II, di daerah pegunungan Lembean. Salah satu putra mereka yang bernama Albert
dengan panggilan sehari-hari Alo’ itu, bertanya kepada sang ibunda, “Mak, apa
sebabnya di hari Minggu [11 Januari 1942] yang indah ini, begitu ramainya pesawat-pesawat
terbang di udara? Ini lain dari hari-hari biasa.” Sang ibu yang mereka cintai
itu mencoba menjelaskan, “Sesuai pengumuman plakat dari Hukum tua, kita
sekarang sedang dalam keadaan perang dengan Jepang.” Alo’ belum begitu paham
dengan apa yang dimasudkan sang ibu. Maklumlah ia masih seorang remaja, belum
akil baliq.
Memang
di pagi hari yang indah itu, di angkasa raya bumi Toar-Lumimuut berkeliaran
puluhan pesawat-pesawat udara Jepang dari berbagai jenis, seakan-akan sedang
berpesta pora menyambut kemenangan-kemenangan yang mereka raih di front Manado
dan pantai Kema, serta keunggulan di udara yang mereka miliki. Selain itu,
pesawat-pesawat udara tempur Jepang itu turut pula memberikan dukungan terhadap
kampanye aksi pendaratan (dengan penerjunan) bagi pasukan payung mereka di
kawasan pangkalan udara Kalawiran, yang saat itu sedang dalam pertarungan
sengit dengan pihak pasukan pertahanan KNIL. Di zona laut bagian utara, barat
dan timur sama sekali tidak terjadi pertarungan laut antara pihak yang bertahan
dan pihak penyerbu. Angkatan Laut Jepang secara telak telah menguasai lautan.
Tiba-tiba
terjadi suatu peristiwa yang mengejutkan mereka! Para anggota
keluarga Kumontoy itu dengan serentak meninggalkan meja makan dan
keluar dari pondok tempat kediaman mereka dalam pengungsian itu. Nasi dan ikan
yang sedang dikunyah dalam mulut terhenti seketika, karena mereka mendadak
dikagetkan oleh gemuruh keras bunyi mesin pesawat udara, yang mereka sangka
akan menabrak pondok mereka itu. Dalam sekejap itu juga melintaslah dengan
sangat rendah di atas pondok mereka itu, sebuah pesawat udara yang sedang
terbakar dan diselimuti asap hitam tebal, lalu sesaat kemudian disusul bunyi
ledakan yang dahsyat, yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Ternyata
pesawat udara itu mungkin berusaha melakukan pendaratan darurat, namun meledak
berkeping-keping di sebuah lahan dekat kali Tuloun.
Suasana
perang untuk seketika dilupakan. Penduduk yang berada di bukit-bukit tempat
pengungsian secara berbondong-bondong turun menuju lokasi terjadinya malapetaka
itu. Mereka tidak mempedulikan apakah itu pesawat udara kawan atau lawan. Hukum
tua yang cukup bijaksana didampingi oleh Johannes L. Kumontoy beserta
kedua putranya, beberapa orang pensiunan tentara, para pemuka kampung, dan
kepala jaga kampung, bertemu di lokasi kejadian.
Hukum
tua Z.Z. Singal, yang kebetulan pula pensiunan kopral KNIL, segera
mengenali identitas pesawat udara naas itu sebagai milik skuadron pembom
Angkatan Udara Australia, karena membujur pada badan pesawat udara itu jelas
terpampang empat huruf besar “RAAF”, singkatan dari “Royal Australian Air
Force”. Jenis pesawat ini dikenal sebagai pembom tipe B-17 “Flying Fortress”.
Keempat awak pesawatnya yang terdiri dari tiga orang pria dan seorang wanita,
yang bertugas sebagai pilot, co-pilot, navigator, dan air
gunner (juru tembak udara), tewas di dalam reruntuhan bangkai pesawat
udara itu.
Hukum
tua Singal memerintahkan kepada warganya, agar keempat jenazah awak
pesawat udara Angkatan Udara Australia itu dievakuasi dari bangkai pesawat
udara B-17 itu. Jenazah-jenazah yang sudah tidak utuh lagi itu kemudian ditata
kembali dan dirapihkan secara terhormat.
Semua
tanda pengenal keanggotaan militer mereka yang terbuat dari bahan logam seperti
yang terdapat di pergelangan tangan dan yang dikalungkan di leher, dikumpulkan
dan diminyaki dengan minyak gemuk dan dibungkus, lalu dimasukkan ke dalam peti
jenazah. Sebelum jenazah mereka diusung ke tempat pemakaman, terlebih dahulu
disemayamkan di gereja GMIM setempat, di mana dilangsungkan suatu acara
kebaktian.
Gema
bunyi momongan (gong besar) yang didentangkan berulang kali, memberikan
isyarat, bahwa keempat jenazah itu segera akan diusung menuju tempat pemakaman
dengan diiringi oleh warga masyarakat kampung itu. Jenazah-jenazah itu dimakamkan
di pekuburan penduduk kampung Ranowangko II dengan upacara agama Kristen
Protestan dan secara militer walaupun tanpa tembakan salvo, dengan dipimpin
oleh kelompok pensiunan tentara dan para pemuka masyarakat setempat.
Seluruh
bagian dari bangkai pesawat udara itu kemudian dikumpulkan oleh penduduk, lalu
diletakkan di sebidang kecil lahan dari pekarangan rumah hukum tua Z.Z.
Singal, bagaikan sebuah “monumen memorial” yang menjadi bukti kepahlawanan para
personil Tentara Sekutu, walaupun perang belum juga berakhir di kampung
Ranowangko II itu!
Setelah
pesawat udara RAAF yang terakhir itu menghilang ke jurusan timur, muncullah
tiga pesawat udara Jepang yang meraung-raung di atas angkasa pantai Kema.
Pesawat-pesawat udara itu secara berturut-turut mulai menjatuhkan parasut
(payung udara) yang terbuka dengan manis sekali. Anehnya, parasut-parasut itu
tidak langsung mendarat, melainkan melayang-layang cukup lama di udara, baru
lah kemudian menghilang. Letnan Rademaker yang menyaksikan langsung kejadian
itu dari kejauhan, berkomentar, “Dat zijn toch poppetjes!” (Itu ‘kan
boneka-boneka!), karena ia mengetahui hal itu sebagai suatu siasat saja dari
pihak Jepang. Bila boneka-boneka itu kita tembak, Jepang segera akan tahu
posisi pertahanan kita dan akan menggempur kita, tambah Rademakerlebih
lanjut.
Dalam
pada itu, di atas kapal-kapal perang Armada Tempur Angkatan Laut Jepang yang
sedang bercokol di perairan Teluk Kema, “aroma” kemenangan sedang menyusupi ke
dalam benak para perwira Tentara Jepang, meskipun kepastian kemenangan masih
diragukan. Para opsir dari pimpinan Komando Tempur telah berkeyakinan penuh,
bahwa para komandan pertempuran beserta para serdadu pasukan marinir “Sasebo”
maupun pasukan payung “Yokosuka”, pasti telah memenangkan pertempuran di semua
front.
Keyakinan
tersebut didasarkan atas telah dibekalinya setiap opsir maupun serdadu dari
“Imperial Dai Nippon Dai Koku Sentai” (pasukan penyerang khusus dari Kekaisaran
Jepang yang jaya) masing-masing dengan satu pak rokok sigaret yang bertuliskan
huruf-huruf amanat “Tennoheika Gogoheika” (kaisar dan permaisuri). Amanat
tersebut menjiwai semangat “jibaku tai, kamikaze, dan harakiri” bagi
setiap serdadu “Koku Sentai” dan “Samurai”, di mana dengan tekad untuk “menang
atau kalah dalam perang”, pasukan khusus itu rela berkorban jiwa demi
kehormatan dan kejayaan kaisar dan permaisuri kekaisaran Jepang.
Komandan
Eskader ke-5 Armada Tempur A.L. Jepang, Laksamana Muda Takeo
Takagi belum sempat merayakan kemenangannya, ketika di udara telah muncul
lima belas pesawat pembom jenis “Hudson” milik Angkatan Udara Australia (RAAF)
didampingi oleh tiga buah pesawat udara jenis “Dornier” dari Militaire
Luchtvaart (penerbangan militer) atau ML-KNIL Hindia-Belanda. Dalam tempo
singkat, di angkasa telah terjadi “perkelahian” antara pesawat udara yang
saling bermusuhan. Dari kejar-mengejar sambil masing-masing menampilkan taktik
dan lawan-taktiknya, akhirnya berkembang menjadi pertarungan duel di udara.
Beberapa pesawat udara Jepang sempat dirontokkan. Sebuah pesawat udara bermesin
ganda Jepang dari jenis pembom tukik, tidak sempat kembali mencapai
pangkalannya di kapal induk Armada Tempur Jepang yang berada di sekitar
perairan itu. Pesawat udara itu jatuh terbakar di lokasi perkebunan rakyat
Mataingkere, yang terletak sekitar tiga kilometer dari kampung Tumaluntung,
distrik Tonsea.
Salah
seorang awak pesawatnya tewas bersama bangkai pesawat udara itu, sedangkan
rekannya yang lain, entah ia pilot atau ko-pilot pesawat udara itu, sempat
menyelamatkan diri terjun dengan parasut. Pilot itu selamat dan menyerahkan
diri kepada Hukum tua dan rakyat kampung itu. Pilot yang tidak berdaya itu
memohon, agar ia dapat dikembalikan kepada Komando Tempur Tentara Jepang yang
kini telah bermarkas di semenanjung pantai Kema. Permintaan sang korban
dikabulkan, dan ia pun selamat.
Kedelapan
belas buah pesawat udara Sekutu yang diterbangkan dari pangkalan udara Laha
(kini: Lanud Patimura) di Ambon itu, ternyata tidak berhasil menyelesaikan
seluruh misinya. Pesawat pembom “Betty” dan pesawat pemburu “Zero” milik satuan
udara Angkatan Laut Jepang yang segera mengudara dari kapal induk, berhasil
merontokkan empat pesawat udara jenis “Hudson” dan satu pesawat udara jenis
“Dornier”. Sedangkan ketiga pesawat pembom B-17 “Flying Fortress” yang
diobrak-abrik di angkasa terlebih dahulu itu, juga termasuk dalam formasi
tempur skuadron pembom B-17 RAAF. Beberapa pesawat udara pihak Sekutu yang
berhasil kembali dengan selamat ke pangkalannya, mendarat kembali di pangkalan
udara Laha, Ambon, dengan badan yang tercabik-cabik, bahkan beberapa awak
pesawatnya dalam keadaan gugur di dalam pesawat udara itu.
Komentator
“Tokyo Rose” dari Radio Tokyo dalam ulasannya mengakui, bahwa pertempuran untuk
merebut Kema itu “berlangsung dengan singkat, tetapi sengit.” Sedangkan Radio
NIROM Batavia Centrum, dalam komentarnya pada siaran tertanggal 13 Januari
1942 yang menyangkut pertempuran di Manado-Minahasa, menyatakan pendapatnya
yang bernada pujian: “De zonen van Toar-Lumimuut vechten als leeuw”, yang
artinya “Para putra-putri Toar-Lumimuut (Minahasa) itu bertarung bagaikan singa
[lapar]”.
Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre
Legoh dan disunting kembali oleh Bpk. Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU.