Saturday, 1 November 2014

Penumpasan Perang Jawa (1825-1830)

Dokumentasi Pahlawan Bangsa Minahasa
Meringkus Pangeran Diponegoro


Dokumen Foto by : B. Talumewo

Baris atas : Majoor Tololiu H.W. Dotulong (Sonder), Kapitein Benjamin Th. Sigar/Tawalijn (Langowan), Kapitein Hendrik Werias Supit (Tondano)

Baris 2 : Kubur T.H.W. Dotulong di Tounelet-Sonder, kubur B.Th. Sigar di Langowan, kubur H.W. Supit di Tondano-Toulimambot

Baris 3 : Groot-Majoor Bintang T.H.W. Dotulong sebelum meninggal, T.H.W. Dotulong masih muda, kubur Luitenan Thomas Poluakan di Talikuran-Kawangkoan

Baris akhir : Sekelompok pejuang muslim yang dipecundangi orang Minahasa (dengan menangkap/mengalahkan kesaktian mereka oleh para PAHLAWAN NASIONAL BANGSA MINAHASA), namun akhirnya merekalah yang mempecundangi orang Minahasa (dengan menjadikan Pangeran Diponegoro/Dipa Negara, Kiay Modjo, Tuanku Imam Bonjol sebagai PAHLAWAN NASIONAL BANGSA INDONESIA.

Majoor Bintang Tololiu Hermanus Wilhelm Dotulong
Lahir : Kema, 12 Januari 1795
Meninggal : Sonder, 18 November 1888

Majoor Benjamin Thomas Sigar (Tawalijn Sigar)
Lahir : Langoan, 1790
Meninggal : Langowan, 1879

Majoor Hendrik Werias Supit
Lahir : Tondano-Toulimambot, 1802
Meninggal : Tondano-Toulimambot, 1865

KISAH HEROIK PERTEMPURAN DI WILAYAH UDARA TONSEA

(TRAGEDI PERANG DUNIA KEDUA DI TANAH MINAHASA)

Pasukan pertahanan Kompi “A” sektor Airmadidi di bawah pimpinan komandannya letnan I O.A. Rademaker, berada dalam keadaan siaga penuh. Letnan O.A. Rademaker terlihat dengan gagah berani ikut menyandang senapan karaben, dan berhasil membakar semangat tempur para serdadu yang dikomandoinya. Kopral Mandagi, salah seorang anggota pasukannya, berkomentar, “Ini baru perang! Letnan juga pegang senapan. Dus, torang juga harus iko baku pasang.”
Namun, di kejauhan di atas langit Kema terlihat tiga buah pesawat udara berwarna kehitam-hitaman sedang beraksi menari-nari di udara. Salah satu di antaranya tampak menukik dengan tajam bagaikan seekor burung elang yang hendak menyambar mangsanya di permukaan laut, tetapi kemudian tidak muncul kembali di udara. Belakangan baru terdengar kabar bahwa salah satu kapal pengangkut Jepang yang besar telah diserang oleh pesawat udara Sekutu dan tenggelam di perairan laut Girian, Tonsea. Pesawat udara yang ke dua dari ketiga pesawat udara Sekutu tadi, terlihat menjulang lebih tinggi ke angkasa, lalu akhirnya merubah haluannya ke arah timur dan menghilang dari pandangan mata. Diduga pesawat udara itu akhirnya kembali ke pangkalannya dengan selamat.
Sedangkan pesawat udara yang ke tiga juga menukik ke bawah dalam lingkaran Armada Tempur kapal-kapal perang Jepang. Tetapi, sekonyong-konyong pesawat itu menanjak kembali dengan tajam ke udara, langsung memutar haluan dan menuju arah selatan pegunungan Lembean sambil mengeluarkan asap hitam. Beberapa saat kemudian terlihat dua pesawat pemburu Jepang “Zero” menderu-deru sambil melaju dengan kencang menuju arah pesawat udara Sekutu tadi. Pesawat udara Sekutu itu tetap terbang lurus tanpa merobah haluan, namun kian lama kian menyemburkan asap hitam tebal serta nyala api kuning kemerah-merahan di salah satu sayapnya.
Sementara itu di suatu lokasi pengungsian, sepasang suami-istri, yaitu Johannes Lambertus Kumontoy yang menjabat wakil hukum tua dan istri tercintanya Fien Geertruida Lengkong, bersama kedua orang putra remaja mereka, masing-masing dengan nama panggilan Ade’ dan Alo’, sedang menata meja untuk persiapan makan pagi mereka di daerah perkebunan Tuloun. Lokasi perkebunan ini hanya berada sekitar lima ratus meter dari kampung Ranowangko II, di daerah pegunungan Lembean. Salah satu putra mereka yang bernama Albert dengan panggilan sehari-hari Alo’ itu, bertanya kepada sang ibunda, “Mak, apa sebabnya di hari Minggu [11 Januari 1942] yang indah ini, begitu ramainya pesawat-pesawat terbang di udara? Ini lain dari hari-hari biasa.” Sang ibu yang mereka cintai itu mencoba menjelaskan, “Sesuai pengumuman plakat dari Hukum tua, kita sekarang sedang dalam keadaan perang dengan Jepang.” Alo’ belum begitu paham dengan apa yang dimasudkan sang ibu. Maklumlah ia masih seorang remaja, belum akil baliq.
Memang di pagi hari yang indah itu, di angkasa raya bumi Toar-Lumimuut berkeliaran puluhan pesawat-pesawat udara Jepang dari berbagai jenis, seakan-akan sedang berpesta pora menyambut kemenangan-kemenangan yang mereka raih di front Manado dan pantai Kema, serta keunggulan di udara yang mereka miliki. Selain itu, pesawat-pesawat udara tempur Jepang itu turut pula memberikan dukungan terhadap kampanye aksi pendaratan (dengan penerjunan) bagi pasukan payung mereka di kawasan pangkalan udara Kalawiran, yang saat itu sedang dalam pertarungan sengit dengan pihak pasukan pertahanan KNIL. Di zona laut bagian utara, barat dan timur sama sekali tidak terjadi pertarungan laut antara pihak yang bertahan dan pihak penyerbu. Angkatan Laut Jepang secara telak telah menguasai lautan.
Tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang mengejutkan mereka! Para anggota keluarga Kumontoy itu dengan serentak meninggalkan meja makan dan keluar dari pondok tempat kediaman mereka dalam pengungsian itu. Nasi dan ikan yang sedang dikunyah dalam mulut terhenti seketika, karena mereka mendadak dikagetkan oleh gemuruh keras bunyi mesin pesawat udara, yang mereka sangka akan menabrak pondok mereka itu. Dalam sekejap itu juga melintaslah dengan sangat rendah di atas pondok mereka itu, sebuah pesawat udara yang sedang terbakar dan diselimuti asap hitam tebal, lalu sesaat kemudian disusul bunyi ledakan yang dahsyat, yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Ternyata pesawat udara itu mungkin berusaha melakukan pendaratan darurat, namun meledak berkeping-keping di sebuah lahan dekat kali Tuloun.
Suasana perang untuk seketika dilupakan. Penduduk yang berada di bukit-bukit tempat pengungsian secara berbondong-bondong turun menuju lokasi terjadinya malapetaka itu. Mereka tidak mempedulikan apakah itu pesawat udara kawan atau lawan. Hukum tua yang cukup bijaksana didampingi oleh Johannes L. Kumontoy beserta kedua putranya, beberapa orang pensiunan tentara, para pemuka kampung, dan kepala jaga kampung, bertemu di lokasi kejadian.
Hukum tua Z.Z. Singal, yang kebetulan pula pensiunan kopral KNIL, segera mengenali identitas pesawat udara naas itu sebagai milik skuadron pembom Angkatan Udara Australia, karena membujur pada badan pesawat udara itu jelas terpampang empat huruf besar “RAAF”, singkatan dari “Royal Australian Air Force”. Jenis pesawat ini dikenal sebagai pembom tipe B-17 “Flying Fortress”. Keempat awak pesawatnya yang terdiri dari tiga orang pria dan seorang wanita, yang bertugas sebagai pilot, co-pilot, navigator, dan air gunner (juru tembak udara), tewas di dalam reruntuhan bangkai pesawat udara itu.
Hukum tua Singal memerintahkan kepada warganya, agar keempat jenazah awak pesawat udara Angkatan Udara Australia itu dievakuasi dari bangkai pesawat udara B-17 itu. Jenazah-jenazah yang sudah tidak utuh lagi itu kemudian ditata kembali dan dirapihkan secara terhormat.
Semua tanda pengenal keanggotaan militer mereka yang terbuat dari bahan logam seperti yang terdapat di pergelangan tangan dan yang dikalungkan di leher, dikumpulkan dan diminyaki dengan minyak gemuk dan dibungkus, lalu dimasukkan ke dalam peti jenazah. Sebelum jenazah mereka diusung ke tempat pemakaman, terlebih dahulu disemayamkan di gereja GMIM setempat, di mana dilangsungkan suatu acara kebaktian.
Gema bunyi momongan (gong besar) yang didentangkan berulang kali, memberikan isyarat, bahwa keempat jenazah itu segera akan diusung menuju tempat pemakaman dengan diiringi oleh warga masyarakat kampung itu. Jenazah-jenazah itu dimakamkan di pekuburan penduduk kampung Ranowangko II dengan upacara agama Kristen Protestan dan secara militer walaupun tanpa tembakan salvo, dengan dipimpin oleh kelompok pensiunan tentara dan para pemuka masyarakat setempat.
Seluruh bagian dari bangkai pesawat udara itu kemudian dikumpulkan oleh penduduk, lalu diletakkan di sebidang kecil lahan dari pekarangan rumah hukum tua Z.Z. Singal, bagaikan sebuah “monumen memorial” yang menjadi bukti kepahlawanan para personil Tentara Sekutu, walaupun perang belum juga berakhir di kampung Ranowangko II itu!
Setelah pesawat udara RAAF yang terakhir itu menghilang ke jurusan timur, muncullah tiga pesawat udara Jepang yang meraung-raung di atas angkasa pantai Kema. Pesawat-pesawat udara itu secara berturut-turut mulai menjatuhkan parasut (payung udara) yang terbuka dengan manis sekali. Anehnya, parasut-parasut itu tidak langsung mendarat, melainkan melayang-layang cukup lama di udara, baru lah kemudian menghilang. Letnan Rademaker yang menyaksikan langsung kejadian itu dari kejauhan, berkomentar, “Dat zijn toch poppetjes!” (Itu ‘kan boneka-boneka!), karena ia mengetahui hal itu sebagai suatu siasat saja dari pihak Jepang. Bila boneka-boneka itu kita tembak, Jepang segera akan tahu posisi pertahanan kita dan akan menggempur kita, tambah Rademakerlebih lanjut.

Dalam pada itu, di atas kapal-kapal perang Armada Tempur Angkatan Laut Jepang yang sedang bercokol di perairan Teluk Kema, “aroma” kemenangan sedang menyusupi ke dalam benak para perwira Tentara Jepang, meskipun kepastian kemenangan masih diragukan. Para opsir dari pimpinan Komando Tempur telah berkeyakinan penuh, bahwa para komandan pertempuran beserta para serdadu pasukan marinir “Sasebo” maupun pasukan payung “Yokosuka”, pasti telah memenangkan pertempuran di semua front.
Keyakinan tersebut didasarkan atas telah dibekalinya setiap opsir maupun serdadu dari “Imperial Dai Nippon Dai Koku Sentai” (pasukan penyerang khusus dari Kekaisaran Jepang yang jaya) masing-masing dengan satu pak rokok sigaret yang bertuliskan huruf-huruf amanat “Tennoheika Gogoheika” (kaisar dan permaisuri). Amanat tersebut menjiwai semangat “jibaku tai, kamikaze, dan harakiri” bagi setiap serdadu “Koku Sentai” dan “Samurai”, di mana dengan tekad untuk “menang atau kalah dalam perang”, pasukan khusus itu rela berkorban jiwa demi kehormatan dan kejayaan kaisar dan permaisuri kekaisaran Jepang.
Komandan Eskader ke-5 Armada Tempur A.L. Jepang, Laksamana Muda Takeo Takagi belum sempat merayakan kemenangannya, ketika di udara telah muncul lima belas pesawat pembom jenis “Hudson” milik Angkatan Udara Australia (RAAF) didampingi oleh tiga buah pesawat udara jenis “Dornier” dari Militaire Luchtvaart (penerbangan militer) atau ML-KNIL Hindia-Belanda. Dalam tempo singkat, di angkasa telah terjadi “perkelahian” antara pesawat udara yang saling bermusuhan. Dari kejar-mengejar sambil masing-masing menampilkan taktik dan lawan-taktiknya, akhirnya berkembang menjadi pertarungan duel di udara. Beberapa pesawat udara Jepang sempat dirontokkan. Sebuah pesawat udara bermesin ganda Jepang dari jenis pembom tukik, tidak sempat kembali mencapai pangkalannya di kapal induk Armada Tempur Jepang yang berada di sekitar perairan itu. Pesawat udara itu jatuh terbakar di lokasi perkebunan rakyat Mataingkere, yang terletak sekitar tiga kilometer dari kampung Tumaluntung, distrik Tonsea.
Salah seorang awak pesawatnya tewas bersama bangkai pesawat udara itu, sedangkan rekannya yang lain, entah ia pilot atau ko-pilot pesawat udara itu, sempat menyelamatkan diri terjun dengan parasut. Pilot itu selamat dan menyerahkan diri kepada Hukum tua dan rakyat kampung itu. Pilot yang tidak berdaya itu memohon, agar ia dapat dikembalikan kepada Komando Tempur Tentara Jepang yang kini telah bermarkas di semenanjung pantai Kema. Permintaan sang korban dikabulkan, dan ia pun selamat.
Kedelapan belas buah pesawat udara Sekutu yang diterbangkan dari pangkalan udara Laha (kini: Lanud Patimura) di Ambon itu, ternyata tidak berhasil menyelesaikan seluruh misinya. Pesawat pembom “Betty” dan pesawat pemburu “Zero” milik satuan udara Angkatan Laut Jepang yang segera mengudara dari kapal induk, berhasil merontokkan empat pesawat udara jenis “Hudson” dan satu pesawat udara jenis “Dornier”. Sedangkan ketiga pesawat pembom B-17 “Flying Fortress” yang diobrak-abrik di angkasa terlebih dahulu itu, juga termasuk dalam formasi tempur skuadron pembom B-17 RAAF. Beberapa pesawat udara pihak Sekutu yang berhasil kembali dengan selamat ke pangkalannya, mendarat kembali di pangkalan udara Laha, Ambon, dengan badan yang tercabik-cabik, bahkan beberapa awak pesawatnya dalam keadaan gugur di dalam pesawat udara itu.
Komentator “Tokyo Rose” dari Radio Tokyo dalam ulasannya mengakui, bahwa pertempuran untuk merebut Kema itu “berlangsung dengan singkat, tetapi sengit.” Sedangkan Radio NIROM Batavia Centrum, dalam komentarnya pada siaran tertanggal 13 Januari 1942 yang menyangkut pertempuran di Manado-Minahasa, menyatakan pendapatnya yang bernada pujian: “De zonen van Toar-Lumimuut vechten als leeuw”, yang artinya “Para putra-putri Toar-Lumimuut (Minahasa) itu bertarung bagaikan singa [lapar]”. 

Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh dan disunting kembali oleh Bpk. Johanes Mundung, eks Pilot Tempur TNI AU.

Friday, 31 October 2014

KISAH ALGOJO DI “TOKYO BARU” MINAHASA

(GEJOLAK PERANG DUNIA KEDUA)

Spandri Soleman Tulangouw dan adiknya Paul Tulangouw bersama kawan-kawan anggota pasukan Reservekorps yang mengaku tidak terlibat pertempuran melawan Tentara Jepang, beberapa hari kemudian diangkut ke kota Tondano, dimasukkan dalam kamp Tawanan Perang Jepang sampai dengan tahun 1944, dan pada akhirnya dibebaskan oleh komandan korps marinir Jepang.
Lain halnya dengan nasib yang menimpa para anggota pasukan Reservekorps rekan mereka yang mengakui secara jujur telah ikut serta dalam pertempuran melawan pasukan payung Jepang di pangkalan udara militer Kalawiran. Mereka itu, seperti sersan Robbemond, sersan Sirus Wungkana, sersan Kaparang, spandri Tinus Neman, spandri Serei Wurara, spandriSorongan, kesemuanya dikenakan hukuman perang, karena turut serta dalam pesta bersenjata mencabut nyawa 130 serdadu dan perwira pasukan payung “Yokosuka” dari korps marinir Tentara Jepang.
Robbemond dan Wungkana menjelang akhir bulan Maret 1942 terlihat di pagi hari diikat pada pohon manggis di pekarangan markas komando tempur pasukan payung Jepang yang terletak di samping gereja Protestan GMIM di pertigaan jalan kota Langowan-Manado, Langowan-Belang. Kedua orang komandan pasukan brigade Reservekorps KNIL itu mengalami penyiksaan berat selama dua puluh empat jam penuh, dipukul-pukuli dengan kayu hingga babak belur.
Pada tanggal 18 Maret 1942, tiba di tempat itu puluhan tahanan perang Jepang yang terdiri dari pria dan wanita, tua dan muda. Mereka diturunkan dari dua kendaraan truk Jepang yang datang dari kota Amurang. Mereka adalah sebagian dari kelompok ex-pertempuran Kaneyan dan Ritey onderdistrik Tombasian Amurang. Mereka menyerahkan diri pada tanggal 17 dan 18 Maret 1942, digabungkan dengan kelompok yang sudah terlebih dahulu tiba di tempat ini, yang ditangkap di pasar Tumpaan pada tanggal 9 Maret 1942 yang lalu. Dikarenakan demikian banyaknya para tahanan perang, sehingga mereka disuruh setengah berlutut sambil menjepit balok kayu sepanjang enam meter di antara kedua betis dan paha mereka, dengan tangan terikat di belakang badan. Mereka berjajar memanjang hingga ke bagian belakang pekarangan markas komando tempur Jepang itu. Sungguh bukan main siksaan yang dialami oleh mereka itu!
Pasukan payung korps marinir Jepang sengaja menghukum para tahanan perang itu di tempat yang strategis, agar rakyat yang datang dari kota Manado-Langowan, dari Belang-Ratahan-Langowan, atau pun arah sebaliknya, serta terutama bagi masyarakat onderdistrik Langowan, dapat secara langsung menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana “nasib musuh” pasukan Tentara Jepang di tanah Toar-Lumimuut ini. Bagi sanak saudara, keluarga, kerabat, atau pun rakyat yang lewat di tempat terbuka itu, malahan dianjurkan agar jangan sekali-kali melinangkan air mata melihat penyiksaan terhadap para tahanan perang itu. Sebab bila hal itu diketahui oleh petugas serdadu Jepang, maka tanpa ditawar-tawar lagi akan dikenakan pula hukuman yang sama, dengan alasan bersimpati dengan si tahanan perang yang merupakan musuh mereka (Jepang).
Suasana semacam ini merupakan sebagian dari duri-duri dalam kehidupan di masa perang, masa selama pendudukan Jepang. Hukuman perang yang diperankan oleh para serdadu pasukan Tentara Jepang, tidak hanya berhenti di tempat ini. Sepanjang hari sampai keesokan petang hari, para tahanan perang itu tidak diberikan sesuap nasi atau setetes air pun. Mereka memang sedang dalam persiapan untuk dipaksa melangkah ke depan menuju lahan “Tokyo Baru”. Tokyo Baru, dua buah kata sandi yang digunakan oleh rakyat di daerah ini untuk menunjukkan suatu lokasi tempat pelaksanaan “hukuman pancung kepala” atau “hukuman tembak mati” bagi para korban perang di kaki bukit Sampuk pada kawasan ladang perkebunan rakyat yang dinamakan “Temboan”, di sebelah timur kampung Totolan onderdistrik Kakas. Terdapat empat lokasi tempat pelaksanaan hukum perang di kawasan daerah perkebunan itu.
Para tahanan perang yang berlatarbelakang pertempuran Kaneyan-Ritey, diperiksa satu demi satu yang erat kaitannya dengan peristiwa yang telah menelan korban 39 serdadu pasukan tempur korps marinir Jepang yang tewas, termasuk komandan operasi tempur kapten marinir Baron Tashaki. Sepuluh orang tahanan perang dipisahkan dari kelompok bekas pertempuran Kaneyan-Ritey. Mereka ini ialah kopral Reservekorps Jahja Rumagit, sersan Beroepsmilitair Melieser, sersan pensiunanP.J. Hoffman yang diciduk dari kamp Tawanan Perang Manado, kepala kampung Kaneyan Joel Pratasis, kepala kampung Ritey Justinus Kimbal, Gode Pratasis, Musa Pratasis, Urli Umboh, dan fuselir milisi Jus Sumakud.
Carolina Pratasis di hadapan tim pemeriksa Jepang dengan gigih membela sang suami tercinta sersan P.J. Hoffman. Beberapa argumentasi ia lontarkan, antara lain bahwa sang suami sama sekali tidak terlibat dalam aksi pertempuran baik sebelum maupun sesudah aksi bersenjata. Hoffman jauh sebelumnya memang sudah meringkuk di dalam kamp Tawanan Perang di Manado. Namun segala bentuk alibi, tidak dijadikan bahan pertimbangan yang logis dan wajar untuk meraih kebebasan.Hoffman bersama sang istri Carolina Pratasis dan rekan-rekan mereka dipaksa menjadi korban perang di lahan “Tokyo Baru”, di kaki bukit Sampuk di kawasan kampung Totolan, Minahasa.
Namun spandri Simon Penu tidak termasuk dalam klasifikasi kelompok sepuluh tersebut di atas. Spandri ini luput dari ancaman maut, berkat ulah dan jawaban polos dari putra sulungnya yang masih kecil bernama Agam. Agam yang saat itu baru berusia tujuh tahun, ketika ditanyai oleh juru bahasa tim pemeriksa Tentara Jepang, antara lain “Apakah perbuatan Papa, salah?” yang ia jawab “Salah!” Lalu ketika ditanya, “Apakah Agam sayang Papa?” dijawab, “Agam sangat sayang Papa”. Lalu diberitahukan kepadanya, bahwa “Karena perbuatan Papa salah, maka perlu mendapat hukuman mati!” Agam langsung menyahut, “Papa jangan dibunuh, karena siapa lagi yang akan mengurusAgam dan adiknya yang tidak punya Mama lagi.” Jawaban yang polos dari bocah itu rupanya telah menggugah perasaan sang penguasa Jepang, sehingga spandri Simon Penu luput dari renggutan maut.
Pada hari yang naas itu, kesepuluh tahanan perang itu digabungkan dengan kelompok sersan Robbemond dan Sirus Wungkana, sersan Kaparang dan rekan-rekan seperjuangan dari satuan pasukan Reservekorps. Mereka diangkut dengan truk yang dikawal ketat oleh serdadu pasukan payung Jepang, dibawa ke ujung kampung Totolan di lokasi bekas tempat latihan menembak sekip brigade pasukan Reservekorps dan tentara profesional KNIL. Kamiora adalah sang algojonya, sedangkan pasukan korps marinir Jepang diperkuat oleh sederetan “regu tembak” Jepang, yang sudah siap untuk melaksanakan tugas eksekusi di tempat itu.
Sang mentari bersembunyi di balik awan seolah-olah turut merasa sedih dan iba untuk diundang menyaksikan hukuman perang massal tahap pertama di ujung kampung itu. Para tahanan perang diperintahkan oleh serdadu Jepang supaya menggali lubang yang bakal menjadi liang kubur bagi mereka sendiri. Mata mereka satu persatu ditutup dengan sehelai kain hitam, disuruh berlutut dengan kepala menghadap ke lubang. Demikian pula mereka yang dikenakan hukuman “tembak mati”, mata mereka juga ditutup sehelai kain hitam, disuruh berdiri di tepi lubang membelakangi lubang lahat dengan wajah mereka menghadap regu tembak.
Pedang samurai di tangan algojo, bayonet terhunus pada ujung laras senapan, memancung dan menikam satu demi satu tubuh manusia yang segera tergulir ke dalam liang lahat. Terdengar letusan-letusan senjata secara beruntun, peluru-peluru melesat keluar dari laras-laras senapan regu tembak serdadu Jepang, dan gugurlah para tahanan perang, bagaikan bunga-bunga mawar berwarna-warni yang menghiasi jalan raya di sudut bukit pahlawan Perang Dunia II di lahan “Tokyo Baru”, di kaki bukit Sampuk, di kawasan kampung Totolan, onderdistrik Kakas, Minahasa.

Sumber: Draft buku susunan alm. Jimmy Andre Legoh (disunting kembali oleh Mantan Pilot Tempur TNI AU, Bpk Johanes Mundung).

Monday, 27 October 2014

Pagoda Ekayana - Chinese Buddhist Temples in Tomohon City



Pagoda Ekayana terletak di Bukit Kakaskasen di Kelurahan Kakaskasen Dua Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara. Tempat Ibadah umat Budha ini telah menjadi tujuan Wisata Religi dan Ikon bagi Kota Tomohon. Pagoda unik yang berlantai sembilan ini, selain dapat menyajikan sederetan Patung Emas 18 Lohan/Arhats, juga secara terbuka member ruang pemandangan Gunung Lokon. Bahkan dari puncak Pagoda di lantai Sembilan, dapat disaksikan pemandangan keseluruhan Kota Tomohon yang terkenal sebagai Kota Bunga. Berdirinya Pagoda yang bernuansa Kuil Budha Cina ini, semakin mengukuhkan Kota Tomohon sebagai Kota Religi dan Wisata. Ini juga melambangkan adanya kerukunan antar umat beragama di Kota Tomohon.