“Kalian pemuda, kalau kalian tidak
punya keberanian, sama saja dengan ternak,
karena fungsi hidupnya hanya
beternak diri” - Pramoedya Ananta Toer.
Suatu
malam di pertengahan Agustus 1945, sekelompok pemuda mendatangi kediaman Bung
Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Bung Karno, yang sudah mengetahui
kedatangan utusan pemuda ini, segera menemui mereka di beranda rumah. Sekarang,
Bung! Sekarang, malam ini juga kita kobarkan revolusi,” ujar Chaerul Saleh,
salah seorang dari pemuda tersebut. “Kami tidak ingin mengancammu, bung,” kata
Wikana dengan suara serak.
Pemuda
asal Sumedang, Jawa Barat, itu melangkah dengan sebilah pisau terjulur di
tangannya. “Revolusi di tangan kami sekarang dan kami memerintah Bung. Kalau
Bung tidak memulai revolusi malam ini, maka…”
“Maka
apa?” teriak Bung Karno yang bangkit dari kursinya. “”Ini batang leherku,”
katanya setengah berteriak sambil mendekati Wikana. “Seret saya ke pojok itu
dan potong malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari!” kata Bung Karno
dengan setengah berteriak.
Begitulah
sekilas cuplikan dialog pemuda saat memaksa Bung Karno, dan juga mereka yang
disebut golongan tua saat itu, untuk membacakan proklamasi kemerdekaan.
Akhirnya, karena rencana di atas
menemui kegagalan, para pemuda kemudian menculik Bung Karno dan membawanya ke
Rengasdeklot, Karawang.
Inilah
salah satu peranan menonjol pemuda dalam proklamasi kemerdekaan. Banyak
peristiwa sebelum dan sesudah kemerdekaan juga menceritakan peranan dari kaum
muda. Tidak salah kemudian, campur-tangan pemuda yang sangat besar dalam
jalannya revolusi di Indonesia oleh Ben Anderson disebut “revolusi pemuda”.
Dua
orang penulis dari luar, Robert Cribb dan Anderson, berusaha merekam peranan
pemuda di Jakarta pada waktu proklamasi kemerdekaan dan beberapa waktu
sesudahnya. “Akhirnya saya percaya bahwa watak khas dan arah dari revolusi
Indonesia pada permulaannya memang ditentukan oleh kesadaran pemuda ini,” kata
Anderson.
Pramoedya
Ananta Toer, salah seorang sastrawan besar Indonesia, mengatakan sejarah
Indonesia adalah sejarah pemuda Indonesia, yang dimulai dengan Perhimpunan
Indonesia di Belanda, Sumpah Pemuda, Revolusi Agustus 1945, hingga penggulingan
diktator Soeharto. “Hanya sayang mereka tidak melahirkan pemimpin,” kata Pram.
Perhimpunan
Indonesia, yang beranggotakan mahasiswa Indonesia di Belanda, merupakan salah
satu organisasi pemuda yang banyak menyumbang gagasan mengenai Indonesia
merdeka, terutama terkait terselenggaranya Kongres Pemuda dan lahirnya Sumpah
Pemuda.
Para
pemuda-pemuda itu, sekembalinya mereka ke tanah air, telah menjadi kemudi dari
berbagai partai politik pergerakan di tanah air: Partai Nasional Indonesia
(PNI) - sebelum dibubarkan, Partindo, PNI-Baru, PKI, dan Partai Syarekat Islam.
Merekalah,
yang masih dalam usia dua-puluhan, menulis panjang lebar mengenai
gagasan-gagasan Indonesia Merdeka: Soekarno, Hatta, Sjahrir, Semaun, Tan
Malaka, dan lain sebagainya. Gagasan-gagasan itu tidak hanya diuraikan dalam
coretan tinta di atas kertas, tetapi diperjuangkan habis-habisan dan menjadi
pegangan politik di sepanjang hidupnya.
Para
pemuda pula, ketika kesempatan dan momen itu telah tiba, mendesak dan memaksa
Bung Karno dan Bung Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan.
Setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, pasukan sekutu yang diboncengi oleh
tentara Belanda, berusaha menjajah kembali Indonesia. Dalam banyak pertempuran,
sebagaimana juga dikisahkan banyak saksi sejarah, para pemuda telah
ambil-bagian sebagai martir-martir yang gugur di masa-masa awal mempertahankan
Republik baru ini.
Ketika
Sjahrir menempuh jalan berunding dengan pihak Belanda, para pemuda radikal dan
revolusioner menyatakan “pembangkangan”. Tidak heran, ketika kabinet Sjahrir
jatuh pada bulan Juni 1947, para pemuda bersorak gembira dan menganggap hari
itu sebagai hari yang sudah lama ditunggu-tunggu.
Cornel
Simanjuntak, seorang pemuda revolusiner yang pandai menciptakan lagu-lagu
perjuangan, ikut mengangkat senjata dan bertempur melawan tentara sekutu dan Belanda.
Sampai akhirnya, dalam sebuah pertempuran di daerah Senen - Tangsi Penggorengan
Jakarta, pahanya tertembak.
Cerita
mengenai Cornel hanyalah satu dari jutaan pemuda Indonesia yang punya semangat
berkobar-kobar untuk memenangkan revolusi Agustus 1945 kala itu.