TANTANGAN
BESAR TOU MINAHASA
Oleh : Roy Erickscon Mamengko
Dinamika
kebudayaan Tou Minahasa kontemporer dirasakan tidak hanya mengalami stagnasi,
tapi juga mengalami degradasi. Terancamnya sistem tradisi, memudarnya bahasa
lokal, tidak tumbuhnya kreativitas ilmu pengetahuan dan teknologi secara
prestisius, hilangnya ruang-ruang kebudayaan, sepinya penyelenggaraan festival
budaya, adalah bagian-bagian dari gejala degradasi kebudayaan Tou Minahasa
kekinian.
Mungkinkah
gejala ini, linier dengan apa yang diungkapkan oleh Filsuf Bertrand Russel,
bahwa situasi stagnasi kebudayaan adalah buah dari kondisi di mana kebudayaan
tidak berdaya? Manusia-manusia yang menjadi bagian dari sistem kebudayaan itu,
tidak ingin lagi mengambil bagian dalam gerak kebudayaannya sendiri. Karena
ini, Tou Minahasa tidak dapat lagi menciptakan prestasi-prestasi kebudayaannya
di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian dan kesusasteraan yang besar
dan menonjol, sehingga yang ada, hanyalah kemerosotan tiga “K”; kreatifitas,
kuantitas, dan kualitas?
Sekarang
ini, secara kasat mata, tampak ada beberapa ruang hidup dari Tou Minahasa yang
mengalami kemajuan signifikan. Misalkan Kota Menado yang sebelumnya adalah
bagian utuh dari tanah malesung [minahasa], kini telah menjadi ikon Provinsi
Sulawesi Utara. Wilayah ini, telah tumbuh menjadi kota majemuk karena telah
tersedianya berbagai sarana dan infrastruktur yang memadai sebagai penarik dan
penanda perubahan dan kemajuannya.
Tetapi,
apakah konsep kemajuan wilayah itu cukup dinilai dari perkembangan “produk
fisik” kebudayaannya? Tentu saja tidak cukup. Inilah sebabnya, mengapa Tou
Minahasa kontemporer, dari amatan para cerdik cendekia, perlu dirangsang untuk
merancang bangun konsep dan strategi kebudayaan yang baru, sebagai jawaban
untuk mengubah kebudayaannya, minimal untuk 50 tahun ke depan. Tujuan untuk
merancang bangun konsep kebudayaan baru, dimaksudkan, supaya Tou Minahasa
sekarang dapat keluar dari situasi stagnasi kebudayaan yang tidak hanya terkait
dengan arus mondial, tetapi yang utama, untuk menghindarkan diri dari praktek
kebudayaan kolonialisme internal gaya baru, yang diterapkan negara untuk
mengendalikan dan menyeragamkan kebudayaan suku-suku bangsa supaya menasional.
REORIENTASI KEBUDAYAAN
Reorientasi
kebudayaan Tou Minahasa kontemporer dari “ekonomi-birokratis” ke “etos-mandiri”
saat ini mutlak harus dilakukan. Mengapa,? Karena, dewasa ini persoalan
kebudayaan oleh sebagian besar Tou Minahasa, tampak hanya dilihat sebagai
persoalan pragmatisme ekonomi saja. Sehingga, unsur-unsur yang bertalian dengan
“capaian kebudayaan”, kemudian hanya diukur dari kemajuan ekonomi semata.
Kendati, capaian kebudayaan sarat dengan nilai dan marka sejarah. Karenanya,
marka historis sebagaimana yang diletakkan oleh para peletak kebudayaan moderen
di Minahasa seperti antara lain; Johann Friedrich Riedel dan Johann
Gotlieb Schwarz seputar
tahun 1830-1860 di bidang pendidikan, pertanian, kesehatan dan mimbar, tidak
kemudian ditaksasi capaian nilai pada jamanya rendah ketimbang capaian
pembangunan kekinian seperti jembatan megawati, Mega Mall, jalan
Bolevard, Lingkar Menado, dan kemegahan patung Jesus di kompleks perumahan
Citra Land?
Kita
semua perlu memandang kebudayaan sebagai sebuah konstruksi etos, dimana di
dalamnya tercakup sistem simbol sosial dan kemanusiaan. Sebagimana kita
menghargai bendera negara, semestinya kita juga memberi nilai lebih terhadap
produk-produk ilmu pengetahuan, teknologi, seni sastra, musik, tarian yang
dilahirkan dari struktur kebudayaan Tou Minahasa sendiri. Memberi penghargaan
yang tinggi terhadap sistem, simbol sosial dan kemanusiaan, berarti juga
menghargai posisi kreator yang menghasilkannya.
Beranjak
dari pemikiran ini, hasil-hasil kebudayaan Tou Minahasa akan tersusun menjadi
warisan sejarah yang tak ternilai harganya pada masa yang akan datang. Harga
sebuah lukisan Monalisa, karya Leonardo da Vinci tidak dapat dinilai
hanya dengan materi, karena capaian nilai yang terkandung dalamnya tak dapat
lagi ditaksasi oleh bangsa Italia maupun Prancis kontemporer, di mana, Leonardo
da Vinci menetap hingga akhir hayatnya. Karya-karya Williams Shakespeare
sebagaimana kita ketahui, telah menjadi simbol capaian kebudayaan besar di
bidang kemanusiaan bangsa Inggris. Sama dengan Tarian Maengket, Cakalele,
Maramba dan karya pikir Dr. G.S.S.J. Ratu Langie, Indonesia in den
Pacific.
Epos sumekolah Corneles Wohon, Adrianus Angkouw,
Silvanus Item, Albertus Zacharias Roentoerambi Wenas, Ds. W.J.Rumambi, Maria
Walanda Maramis, ke-Waranei-an G.S.S.J. Ratu Langie dan A.A. Maramis, adalah capaian nilai kultural yang
tidak dapat diukur nilainya hanya dengan sebuah monumen. Etos kebudayaan adalah
pranata penting yang dapat menunjukkan ciri kemanusiaan. Pada aspek inilah, Tou
Minahasa kontemporer harusnya “mereorientasi” dan “mengkonstruksi” kembali
kebudayaannya. Kebudayaan yang dapat menanamkan karakter kemanusiaan yang
spesifik, yang dapat memediasi dimensi kehidupan sosial komunitasnya sendiri.
Yakni, karakter spesifik dalam alam berpikir, prilaku bertindak, memimpin,
berkesenian dan pelahiran ilmu pengetahuan dan teknologi. Karakter-karakter
inilah yang “kelak” diprediksikan dapat menjadi warisan kultural komunitas Tou
Minahasa pada masa yang akan datang.
Sekarang
ini, ruang formal transformasi kebudayaan (sekolah dan pendidikan) mengalami
fase postkolonial di tangan pemerintah. Degradasi mutu melalui sistem birokrasi
menumpulkan aktivitas kebudayaan yang kreatif. Situasi miris seperti ini
hanyalah salah satu contoh konkret bahaya birokratisasi “kebudayaan”.
Karenanya, kemandirian membangun peradabann Tou Minahasa ke depan menjadi hal
yang sangat esensial untuk dikerjakan dari sekarang oleh “tou
Minahasa” sendiri.
TANTANGAN BESAR TOU MINAHASA
Dari
sebuah sistem kebudayaan yang baik, Tou Minahasa dapat mengkulturisasi kelebihan-kelebihannya
yang spesifik. Memeroduksi etos kemanusiaannya yang otentik. Seperti antara
lain; dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang orisinal, kesenian dan sastra
yang unik, pemikiran-pemikiran intelektual yang bermakna, hingga ke perilaku
diri yang khas. Dengan demikian, stagnasi kebudayaan yang membuat Tou Minahasa
kehilangan kemampuan kulturalnya untuk mengabstraksikan nilai-nilai etos
kemanusiaanya yang otentik dapat dihindari. Tegasnya, manusia yang tanpa etos
adalah manusia yang tidak mempunyai sistem nilai dalam meresponsi dan
menanggapi realitasnya. Efeknya, dia akan terseret ke dalam pusaran arus
besar (mainstream) sistem kebudayaan nasional dan
mondial. Pada akhirnya, dia kehilang karakter diri, kaburnya identitas, dan
terhentinya denyut jantung sejarah kebudayaannya.
Hanya
dalam situasi kebudayaan yang berkembang, komunitas Tou Minahasa dapat tumbuh
dengan “pandangan dunianya” yang berkarakter khas. Dengan demikian yang menjadi
tantangan terbesar Tou Minahasa sepanjang abad 21 ini adalah; bagaimana
menggeliatkan kebudayaannya dari situasi stagnasi dan gradasi kebudayaan supaya
bangkit? Bagaimana komunitas Tou Minahasa dapat bertahan dari gulungan
gelombang besar kebudayaan nasional dan mondial supaya tidak kehilangan warisan
kebudayaannya, sehingga dia dapat mewariskan kebudayaan yang orisinal Tou
Minahasa kepada generasinya yang akan datang? Kesalahan “kita” dalam memandang
kebudayaan, bukan tidak mungkin akan memelahirkan tragedi besar, dimana pada
putaran lanjut, terkuburnya Tou Minahasa dalam sejarah peradaban lokal,
nasional dan mondial.
CAPAIAN KEBUDAYAAN
Proyeksi
yang harusnya diukur oleh Tou Minahasa dalam aspek kebudayaannya, bukanlah pada
konstruksi teori kebudayaan nasional dan mondial. Konstruksi peradaban kekinian
telah mentradisi diukur dari aspek-aspek umum dan kompleksitas perkembangan
dunia materi di bidang tekonologi dan prasarana fisik. Situasi inilah yang
kemudian menjebak dan melilit “Tou Minahasa”, sehingga, pada akhirnya hanya
memandang capaian kebudayaannya pada aspek fisik semata. Pada akhirnya, gagal
mengkonstruksi struktur kebudayaan yang relevan dengan kondisi kebutuhan
kebudayaannya yang otentik di tingkat lokal, nasional bahkan mondial.
Konsep
kebudayaan nasional kontemporer cenderung memandang kebudayaan itu sebagai
keberadaban. Sementara peradaban senantiasa dihubungkannya dengan modernisme.
Inilah sebabnya, komunitas yang beradab selalu saja diasumsikan sebagai
komunitas yang maju secara modern. Akhirnya, capaian kebudayaan mengabaikan
pengukuran terhadap konsep keadatan dan keistiadatan. Kendati, konstruksi
realitas kebudayaan “kita” senantiasa mengacu pada adat-istiadat itu.
Dalam
peradaban modern, stigma adat dan keistiadatan dianggap klasik bahkan primitif
sehingga cenderung dijauhi oleh generasi muda karena dinilai kontra-moderen.
Sejauh mana adat-istiadat dapat menjadi kekuatan kemanusiaan Tou Minahasa?
adalah tantangan kebudayaannya yang sesungguhnya.
Penciptaan ruang kebudayaan yang sehat dan
mandiri merupakan unsur yang sangat mendasar bagi masa depan peradabannya. Maka
tak ada jalan lain, selain Tou Minahasa harus bangkit bersama,
mereorientasi visi kebudayaannya, dan merekayasanya untuk kesinambungan
peradabannya pada abad mendatang. Jika ini diabaikan, diprediksi, abad 21
adalah abad akhir dari identitas kebudayaan Tou Minahasa ini. Selanjutnya,
kebudayaan komunitas ini, mungkin hanya akan didapati dalam buku-buku sejarah.
Memprihatinkan?
No comments:
Post a Comment