Tuesday, 18 November 2014

HISTORIOGRAFI MINAHASA [2]

Tinjauan Ringkas
Oleh : Y.B. Tangkilisan dan M.P.B. Manus


Setelah pengakuan kedaulatan, umumnya tidak banyak karya-karya sejarah yang muncul. Suatu tulisan yang muncul adalah suatu karya dari Hetty Palm (1958) yang mencoba menggali kesenian kuno MInahasa. Palm mengatakan bahwa banyak kesenian Minahasa yang ditinggalkan dan kemudian menghilang ditengah-tengah pengenalan agama Kristen. Untuk itu Palm berupaya merekonstruksi kembali masa lalu Minahasa melalui penelusuran keseniannya. Upaya itu kemudian dikembangkan oleh kalangan Minahasa sendiri seperti Lapian (1980; 1984; 1985). Selain tentang surat kabar Tjahaja Sijang (1980), karya lainnya tidak secara khusus membahas masa lampau Minahasa karena tema itu merupakan bagian dari suatu pokok bahasan yang lebih luas. Walau demikian kedudukan dan peranan Minahasa tampak jelas bersama kelompok sosial dan etnik lainnya dalam permasalahan dan perkembangan yang dialami bersama. Beberapa karya yang tersebar di sejumlah penerbitan tentang adat dan bahasa Minahasa dilakukan oleh F.S. Watuseke (1986) di samping karya ringkasnya tentang Sejarah Minahasa (1968).
Suatu upaya  yang lebih serius dalam menyusun kembali masa lampau Minahasa adalah karya dari Bert Supit (1986; 1993). Pada karyanya yang pertama, penulis itu mencoba merangkaikan dan mengikiskan perjalanan etnik Minahasa dari pertemuan di watu Pinawetengan, yang diyakini sebagi ikrar minaesaan atu persatuan, hingga pecahnya Perang Tondano. Penekannya lebih pada dimensi politik terutama dalam hal persentuhan Minahasa dengan kekuatan luar yang datang yakni VOC Belanda, terutama mengenai perdebatan di sekitar perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara Minahasa dan Belanda. Sandaran utama pembahasan adalah mengenai keabsahan perjanjian yang dilansir oleh R. Padtbrugge dan yang dikenal dengan Perjanjian 1679. Suatu Seminar diselenggarakan untuk membahas karya tersebut. Peristiwa Perang Tondano kemudian dikaji secara tersendiri dalam karyanya yang kedua. Selain itu, beberapa karya lainnya yang dapat ditelusuri lebih lanjut adalah terbitan resmi dari Ditjarahnitra Dirjenbud Depdikbud (Parengkuan et al 1984; Proyek 1977) dan penulisan oleh B. Wowor (1985). Pada karya-karya mereka periode penulisan telah melangkai masa kolonial. Suatu karya sejarah yang serius dalam kerangka analisi politik adalah karya B.S. Harvey (1977) mengenai Permesta, yang nantinya mendapat mitra tandingannya pada era 90-an.
Secara umum, penulisan sejarah Minahasa pada kurun waktu itu bersifat menggali dan menyusun kembali atau rekonstruksi perjalanan etnik Minahasa di masa lampau. Terkecuali sejumlah nama, penulis-penulisnya relatif tidak memiliki latar belakang akademik Ilmu Sejarah. Selain itu, perhatian dan tema penulisan masih di sekitar peristiwa besar dan menonjolkan dimensi politik. Boleh dikatakan bahwa tidak ada karya sejarah ekonomi yang muncul ketika itu. Namun sentrisme penulisan telah meninggalkan ciri kolonial yang digantikan nasional sentris, seperti yang tampak pada periodisasi dan semangat jaman yang digunakan.
Upaya mengarah pada Minahasa-sentrisme timbul  pada dekade 90-an, yang tampak pada karya-karya Leirissa (1991; 1997), Schouten (1993) dan Henley (1995). Pokok  bahasan kesemua karya ini sangat bervariasi, yakni mulai dari Peristiwa Merah Putih, Permesta (mengkaji ulang  karya harvey [1977] ), kepemimpinan dan nasionalisme regional. Pendekatan dan kerangka  analisa yang digunakan pun beragam mulai dari Ilmu Sejarah, Antropologi dan Geografi Sosial dan Politik. Ketiga karya itu mengetengahkan permasalahan yang masih relevan di masa kini seperti revolusi kemerdekaan di daerah, hubungan pusat dan daerah, competitive advantages dalam hal kepemimpinan lokal dan masalah kebangsaan.

No comments:

Post a Comment