Tinjauan Ringkas
Oleh : Y.B. Tangkilisan dan M.P.B.
Manus
Setelah
pengakuan kedaulatan, umumnya tidak banyak karya-karya sejarah yang muncul.
Suatu tulisan yang muncul adalah suatu karya dari Hetty Palm (1958) yang
mencoba menggali kesenian kuno MInahasa. Palm mengatakan bahwa banyak kesenian
Minahasa yang ditinggalkan dan kemudian menghilang ditengah-tengah pengenalan
agama Kristen. Untuk itu Palm berupaya merekonstruksi kembali masa lalu
Minahasa melalui penelusuran keseniannya. Upaya itu kemudian dikembangkan oleh
kalangan Minahasa sendiri seperti Lapian (1980; 1984; 1985). Selain tentang
surat kabar Tjahaja Sijang (1980), karya lainnya tidak secara
khusus membahas masa lampau Minahasa karena tema itu merupakan bagian dari
suatu pokok bahasan yang lebih luas. Walau demikian kedudukan dan peranan
Minahasa tampak jelas bersama kelompok sosial dan etnik lainnya dalam
permasalahan dan perkembangan yang dialami bersama. Beberapa karya yang
tersebar di sejumlah penerbitan tentang adat dan bahasa Minahasa dilakukan oleh
F.S. Watuseke (1986) di samping karya ringkasnya tentang Sejarah Minahasa
(1968).
Suatu
upaya yang lebih serius dalam menyusun kembali masa lampau Minahasa
adalah karya dari Bert Supit (1986; 1993). Pada karyanya yang pertama, penulis
itu mencoba merangkaikan dan mengikiskan perjalanan etnik Minahasa dari
pertemuan di watu Pinawetengan, yang diyakini sebagi ikrar minaesaan atu
persatuan, hingga pecahnya Perang Tondano. Penekannya lebih pada dimensi
politik terutama dalam hal persentuhan Minahasa dengan kekuatan luar yang
datang yakni VOC Belanda, terutama mengenai perdebatan di sekitar
perjanjian-perjanjian yang dilakukan antara Minahasa dan Belanda. Sandaran
utama pembahasan adalah mengenai keabsahan perjanjian yang dilansir oleh R.
Padtbrugge dan yang dikenal dengan Perjanjian 1679. Suatu Seminar
diselenggarakan untuk membahas karya tersebut. Peristiwa Perang Tondano
kemudian dikaji secara tersendiri dalam karyanya yang kedua. Selain itu,
beberapa karya lainnya yang dapat ditelusuri lebih lanjut adalah terbitan resmi
dari Ditjarahnitra Dirjenbud Depdikbud (Parengkuan et al 1984; Proyek 1977) dan
penulisan oleh B. Wowor (1985). Pada karya-karya mereka periode penulisan telah
melangkai masa kolonial. Suatu karya sejarah yang serius dalam kerangka analisi
politik adalah karya B.S. Harvey (1977) mengenai Permesta, yang nantinya
mendapat mitra tandingannya pada era 90-an.
Secara
umum, penulisan sejarah Minahasa pada kurun waktu itu bersifat menggali dan
menyusun kembali atau rekonstruksi perjalanan etnik Minahasa di masa lampau.
Terkecuali sejumlah nama, penulis-penulisnya relatif tidak memiliki latar
belakang akademik Ilmu Sejarah. Selain itu, perhatian dan tema penulisan masih
di sekitar peristiwa besar dan menonjolkan dimensi politik. Boleh dikatakan
bahwa tidak ada karya sejarah ekonomi yang muncul ketika itu. Namun sentrisme
penulisan telah meninggalkan ciri kolonial yang digantikan nasional sentris,
seperti yang tampak pada periodisasi dan semangat jaman yang digunakan.
Upaya mengarah pada Minahasa-sentrisme
timbul pada dekade 90-an, yang tampak pada karya-karya Leirissa (1991;
1997), Schouten (1993) dan Henley (1995). Pokok bahasan kesemua karya ini
sangat bervariasi, yakni mulai dari Peristiwa Merah Putih, Permesta (mengkaji
ulang karya harvey [1977] ), kepemimpinan dan nasionalisme regional.
Pendekatan dan kerangka analisa yang digunakan pun beragam mulai dari
Ilmu Sejarah, Antropologi dan Geografi Sosial dan Politik. Ketiga karya itu
mengetengahkan permasalahan yang masih relevan di masa kini seperti revolusi
kemerdekaan di daerah, hubungan pusat dan daerah, competitive
advantages dalam hal kepemimpinan lokal dan masalah kebangsaan.
No comments:
Post a Comment