ARTI
KATA KAWANUA
(Cerita
Taranak dan Walak Minahasa)
Dalam bahasa Minahasa, Kawanua sering di artikan
sebagai penduduk negeri atau wanua-wanua yang bersatu atau "Mina-Esa"
(Orang Minahasa). Kata Kawanua telah diyakini berasal dari kata Wanua. Karena
kata Wanua dalam bahasa Melayu Tua (Proto Melayu), diartikan sebagai wilayah
pemukiman. Mungkin karena beberapa ribu tahun yang lalu, bangsa Melayu tua
telah tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke kepulauan pasifik.
Setelah mengalami perkembangan sejarah yang
cukup panjang, maka pengertian kata Wanua juga mengalami perkembangan. Tadinya
kata Wanua diartikan sebagai wilayah pemukiman, kini berkembang menjadi desa,
negeri bahkan dapat diartikan sebagai negara.
Sementara dalam bahasa Minahasa, kata Wanua
diartikan sebagai negeri atau desa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah Wanua
- yang diartikan sebagai tempat pemukiman - sudah digunakan sejak orang
Minahasa masih merupakan satu taranak ketika berkediaman di pegunungan
Wulur-Mahatus, yang kemudian mereka terbagi menjadi tiga kelompok Taranak,
masing-masing :
- Makarua Siouw
- Makatelu Pitu
- Telu Pasiowan
Karena
sistem Taranak melahirkan bentuk pemerintahan turun-temurun, maka pada abad
ke-17, terjadi suatu persengketaan antara ketiga taranak tersebut.
Persengketaan terjadi karena taranak Makatelu Pitu, mengikat pernikahan dengan
"Makarua Siouw", sehingga leluhur Muntu-untu dan Mandey dari
"Makatelu Pitu" muncul sebagai kelompok Taranak yang terkuat dan
memegang pemerintahan pada seluruh Wanua - yang waktu itu terdiri dari :
- Tountumaratas
- Tountewu
- Toumbuluk
Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka
Tountumaratas berkembang menjadi Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk menyatakan
kedua kelompok itu satu asal, maka dilahirkan suatu istilah Pakasa’an yang
berasal dari kata Esa. Pakasa’an berarti satu yakni, Toungkimbut di pegunungan dan
Toumpakewa di dekat pantai.
Lalu istilah Walak dimunculkan kembali.
Perkembangan selanjutnya nama walak-walak tua di wilayah Tountemboan berganti
nama menjadi walak Kawangkoan Tombasian, Rumo’ong dan Sonder.
Kemudian kelompok masyarakat Tountewo
membelah menjadi dua kelompok yakni :
- Tounsea
- Toundano
Menurut Drs. Corneles Manoppo, masyarakat
Toundano terbelah lagi menjadi dua yakni :
- Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan
- Masyarakat "Toundanau" yang bermukim di wilayah Ratahan dan Tombatu
Masyarakat
di sekitar Danau Tondano membentuk tiga walak yakni ;
- Tondano Touliang,
- Tondano Toulimambot
- Kakas-Remboken
Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo
maka lahirlah istilah Pakasa’an Tonsea dan Pakasa’an Tondano.
Pakasa’an Tonsea terdiri dari tiga walak
yakni ; Maumbi, Kema dan Likupang. Abad 18, Tounsea hanya mengenal satu hukum
besar (Mayor) atau "Hukum Mayor", wilayah Maumbi, Likupang dan Kema
di perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano memiliki banyak mayor-mayor.
Masyarakat Tombuluk sejak jaman Watu Pinawetengan
abad ke-7, tetap utuh satu Pakasa’an yang terdiri dari tiga walak yakni ;
Tombariri, Tomohon dan Sarongsong.
Dengan demikian istilah Wanua berkembang
menjadi dua pengertian yaitu : Ro’ong atau negeri. Pengertian sempit, artinya
Negeri yang sama dengan Ro’ong (desa atau kampung). Jadi, kata Wanua, memiliki
dua unsur yaitu : Ro’ong atau negeri dan Taranak atau penduduk. Ro’ong itu
sendiri memiliki unsur : Wale, artinya rumah dan Tana. Kata Tana dalam bahasa
Minahasa punya arti luas yaitu mencakup Talun (hutan), dan Uma (kebun atau
kobong).
Kobong terbagi menjadi dua yaitu :
"kobong kering" dan "kobong pece" (sawah). Kalau kita amati
penggunaan kata Wanua dalam bahasa Minahasa, misalnya ada dua orang yang
bertempat tinggal di desa yang sama kemudian bertemu di hutan.
Si
A bertanya pada si B:"Mange wisa" (mau kemana ?)
Kemudian
B menjawab: "Mange witi uma" (pergi ke kobong),
si
B balik bertanya pada si A:"Niko mange wisa" (kamu hendak kemana ?)
si
A menjawab: "Mange witi Wanua" (mau ke negeri, maksudnya ke kampung
dimana ada rumah-rumah penduduk).
Contoh
lain adalah kata "Mina - Wanua". Kata " Mina" artinya,
pernah ada tapi sekarang sudah tidak ada. Maksudnya, tempo dulu di tempat itu
ada negeri dan sekarang sudah tidak ada lagi (negeri lama) karena negeri itu
telah berpindah ke tempat lain. Kata "Mina Amak " (Amak = Bapak)
adalah sebutan pada seseorang lelaki dewasa yang dahulu ada tapi sekarang sudah
tidak ada, karena meninggal.
Kata Wanua yang punya pengertian luas dapat
kita lihat pada kalimat "Rondoren um Wanua...". Kata Wanua dalam
kalimat ini artinya; Negeri-negeri di Minahasa dan tidak berarti hanya satu
negeri saja. Maksudnya melakukan pembangunan di seluruh Minahasa. Jadi sudah
termassuk negeri-negeri dari walak-walak dan pakasa’an yang didiami seluruh
etnis atau sub-etnis Minahasa.
Jadi dapat dilihat bahwa pengertian utama
dari kata Wanua lebih mengarah pada pengertian sebagai wilayah adat dari
Pakasa’an (kesatuan sub-etnis) yang sekarang terdiri dari kelompok masyarakat
yang mengaku turunan leluhur Toar dan Lumimu’ut. Turunan dalam arti luas
termasuk melalui perkawinan dengan orang luar, Spanyol, Belanda, Ambon,
Gorontalo, Jawa, Sumatera dan sebagainya.
Orang Minahasa boleh mendirikan Wanua diluar
Minahasa, tapi orang Tombulu tidak boleh mendirikan negeri Tombulu di wilayah
Tontemboan atau sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan adat kebiasaan. Meletakkan
"Watu I Pe-ro’ong" atau batu rumah menjadi negeri yang baru dilakukan
oleh Tona’as khusus, misalnya, bergelar Mamanua (Ma’Wanua = Pendiri Negeri) yang
tau batas-batas wilayah antara walak yang satu dengan walak yang lain, jangan
sampai salah tempat hingga terjadi perang antara walak.
Setelah meneliti arti kata Wanua dari berbagai
segi, kita teliti arti awalan Ka pada kata Kawanua. Beberapa awalan pada kata
Ka-rete (rete=dekat) berdekatan rumah, artinya teman tetangga. Ka-Le’os
(Le’os=baik), teman berbaik-baikan (kekasih). Kemudian kata Ka-Leong
(leong=bermain) teman bermain.
Dari ketiga contoh diatas, dapat diprediksi
bahwa awalan Ka memberi arti teman, jadi, Ka-wanua dapat diartikan sebagai
Teman Satu Negeri, Satu Ro’ong, satu kampung. Untuk lebih jelasnya kita ambil
contoh melalui syair lagu "Marambak" (naik rumah baru)... "Watu
tinuliran umbale Mal’lesok ungkoro’ ne Kawanua..." artinya batu tempat
mendirikan tiang rumah baru, bersimbolisasi menepis niat jahat dan dengki dari
teman satu negeri. Misalnya, batu rumah baru itu di Tombulu bersimbol
menjauhkan dengki sesama warga Tombulu satu kampung, dan tidak ditujukan pada
kampung atau walak lain misalnya Tondano dan Tonsea.
Demikian juga cerita tua-tua Minahasa
dinamakan "sisi’sile ne tou Mahasa" (buku A.L Waworuntu) dan
"A’asaren Ne Tou Manhesa" artinya cerita-cerita orang Minahasa. Tidak
ditulis "A’asaren ne Kawanua" atau cerita orang Kawanua. Disini
terlihat bahwa orang Minahasa di Minahasa tidak menamakan dirinya Kawanua.
Orang Minahasa di Minahasa menamakan dirinya "Orang Minahasa" dan
bukan "Orang Kawanua" selanjutnya baru diterangkan asal sub-etnisnya
seperti, Tondano, Tontemboan, Tombatu dan sebagainya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
istilah Kawanua dilahirkan oleh masyarakat orang Minahasa di luar Minahasa
sebagai sebutan identitas bahwa seseorang itu berasal dari Minahasa, dalam
lingkungan pergaulan mereka di masyarakat yang bukan orang Minahasa, misalnya
di Makasar, Balikpapan, Surabaya, Jakarta, Padang, Aceh.
Orang Minahasa yang sudah beberapa generasi
berada di luar Minahasa menggunakan istilah Kawanua untuk mendekatkan diri
dengan daerah asal, dan walaupun sudah kawin-mawin antara suku, masih merasa
dekat dengan Wanua lalu melahirkan Jawanua, Bataknua, Sundanua, dan lain
sebagainya.