CAGAR BUDAYA YANG HARUS
DILESTARIKAN
Waruga
hingga kini masih menjadi misteri tentang asal mula penggunaan kata tersebut.
Meski masih kurang
begitu jelas, namun ada yang mengatakan berasal dari kata maruga (bahasa
Tombulu, Tondano, Tonsea), yang artinya direbus, dan pendapat lain dari kata meruga (kata
Minahasa kuno), yang berarti menjadi lembek atau cair.
Maksud yang seperti direbus atau menjadi
lembek itu, tentunya daging mayat yang disimpan. Serupa sarkofagus yang berarti
pemangsa daging. Yang pasti dan jelas, waruga adalah
salah satu jenis peninggalan purabakala yang berfungsi sebagai tempat
bersemayam seperti peti mayat (kubur batu).
Bahannya batu, terdiri atas dua bagian yang
berfungsi sebagai wadah dan tutup, bentuknya menyerupai rumah dengan atapnya,
bersumber dari budaya megalitik (batu
besar) pada masa prasejarah.
Hal yang hampir sama dengan Waruga ada juga
di Bali, dikenal dengan nama sarkofag, sedangkan
di Jawa Timur ada padusa, di Sumatera
Utara ada tomok, di pedalaman Kalimantan ada sanding. Mungkin juga di daerah lain ada lagi dengan nama
yang berbeda.
Beragam nama, diikuti juga dengan beragam bahan
dan bentuk serta hiasannya, namun maksudnya sama juga, yakni untuk tempat
penyimpanan mayat (kubur).
Mungkin selama ini penemuan waruga yang diketahui hanya di
Minahasa bagian utara, maka hal ini perlu diluruskan. Karena, ternyata hampir di
setiap desa atau kampung di Minahasa terdapat juga kuburan batu (waruga),
seperti pekarangan waruga di Desa Tonsewer, Kecamatan Tompaso, Kabupaten
Minahasa.
Bahkan, di Taman Waruga Tonsewer tersebut,
terdapat kuburan batu (waruga) seorang Panglima Perang Bangsa Mongolia beserta
pengawalnya yang tewas jadi korban perang di masa lampau.
Waruga sebagai
sarana pemakaman keluarga, biasanya diletakkan di pekarangan atau di kolong
rumah. Tidak semua orang Minahasa dahulu dikuburkan di waruga, rupanya hanya
orang-orang yang mempunyai posisi dan fungsi penting dalam masyarakat, sebab
itu jumlah waruga juga tidak terlalu
banyak. Yang telah berhasil dicacah mendekati jumlah 2.000 buah terdapat hampir
di seluruh daerah Minahasa, termasuk Manado, data ini belum termasuk yang telah
dijadikan koleksi museum atau dibawa ke luar Minahasa dan juga ke luar negeri.
Sejarah
Waruga mulai menarik
perhatian orang, terutama para peneliti sejak C.T. Bertling menulis artikel De Minahasche Waruga en Hockerbesttung dalam
majalah Nederlansche Indie Oud en Niew, No. XVI tahun 1931.
Penelirian tentang waruga memang
belum tuntas, namun beberapa hal telah dapat kita ketahui. Kasih sayang dan
kesetiaan kepada nenek moyang (dotu) di daerah ini antara lain dinyatakan sengan perawatan
jasadnya dalam peti batu, waruga.
Kebiasaan serupa ini terdapat di berbagai daerah
di Indonesia sebagai salah satu bentuk tradisi megalitik pada masa prasejarah
akhir, di Minahasa tentunya sudah ada jauh sebelum berkembangnya kebudayaan
yang sekarang.
Tradisi waruga berkelanjutan hingga kira-kira
pertengahan abad ke-19. Kebetulan bahwa diantara waruga yang pada bagian
atap/tutup banyak hiasannya itu didapatkan beberapa angka tahun seperti : 1769,
1839, 1850.
Hiasan
Bagian tutup waruga bentuknya
seperti atap rumah yang menjulang tinggi, itu banyak dipahatkan berbagai ragam
hiasan berupa orang, binatang, benda alam, tumbuh-tumbuhan, ragam hiasan
geometris dan lain-lain.
Ragam hias orang ada pria, wanita dengan
berbagai sikap, ada yang berdiri dengan gagah, duduk, ngangkang, bahkan ada
yang sedang melahirkan anak. Lambang matahari rupanya mendapat tempat khusus. Hiasan
salur-salur berpilin, bunga dalam berbagai bentuk. Hiasan tumpal, tali
berpintal, untaian permata, rumbai-rumbai dan lain-lain.
Hiasan-hiasan itu tampaknya merupakan
lambang-lambang gambaran situasi sorgawi atau gambaran situasi dari penghuni
kubur batu itu sendiri, misalnya ada yang meninggal waktu melahirkan.
Upaya Pelestarian dan Sarana Wisata Budaya
Waruga sebagai cagar budaya
yang unik dan khas Minahasa ini, perlu dilestarikan dengan pedoman
perundang-undangan cagar budaya yang berlaku. Dalam upaya penyelamatan Hukum Tua (Kepala Desa)
Sawangan, pernah mengumpulkan waruga yang tersebar di wilayahnya dan ditaruh
di pinggir desa. Dipandang dari satu sisi, khususnya penelitian, pemindahan
seperti ini merugikan, tapi dari segi upaya penyelamatan sangat baik.
Setelah dilakukan penelitian oleh para pakar
purbakala, sejak tahun 1976, dilakukan penataan dan penamanan. Hasilnya pada
tahun 1978, telah menjadi suatu Taman Waruga Sawangan yang unik dan menarik. Disamping diatur
secara berbaris, diselingi tanaman hias dan jalan setapak serta pagar keliling,
terdapat juga ruang koleksi, ruang informasi sekaligus tempat jaga. Jalan-jalan
pun kemudian ditata sehingga memudahkan bagi para pengunjung.
Selanjutnya,
proses pemeliharaaan dan perawatan yang harus terus diupayakan dan
ditingkatkan. Ayo bagi yang belum pernah berkunjung, segera datang ke Minahasa,
Provinsi Sulawesi Utara. Selain Minahasa, di Kota Manado masih banyak lagi
tempat-tempat Wisata lainnya yang menarik.
No comments:
Post a Comment