MENGENAL LEBIH DEKAT TENTANG SUKU
MINAHASA
Salah
satu suku di Indonesia adalah suku Minahasa di pulau Sulawesi, yang terdapat
di Provinsi Sulawesi Utara.
Untuk mengenal lebih dekat tentang Suku Minahasa,
selengkapnya dapat dibaca dalam artikel ini.
ETNOGRAFI
SUKU MINAHASA
LOKASI
Minahasa
terletak di bagian timur-laut jazirah Sulawesi Utara, di antara 0 derajat 51’
dan 1 derajat 51’ 40’ lintang Utara dan 124 derajat 18’ 40’ dan 125 derajat 21’
30’ bujur Timur. Luas Minahasa 5273 Km², sedangkan luas wilayah pulau-pulau
sekitarnya 169 Km².
Daerah
Minahasa termasuk juga dengan beberapa pulau kecil di bagian Utara, seperti
pulau Manado Tua, Bunaken, Siladen, dan Naen. Tetangga-tetangga Minahasa ialah Sangihe-Talaud
di bagian Utara dan Bolaang Mongondow di bagian selatan.
LINGKUNGAN
ALAM
Kawasan
Minahasa berupa daerah vulkanik muda. Sifat-sifat khasnya ialah pelbagai tepi
gunung yang curam, diselingi oleh sungai-sungai kecil yang mengering sesudah
mengalir cepat dan singkat ke laut.
Di
Minahasa terdapat empat gunung tinggi yang penting, yaitu Klabat di Utara, Lokon
dan Mahawu di tengah, dan Soputan di Selatan. Selain juga ada beberapa gunung
lain, yakni gunung Dua Saudara, Masarang, Tampusu, Manimporok, Lolombulan,
Lengkoan, dan pegunungan Lembean.
Sungai-sungai
yang terdapat di Minahasa, antara lain sungai Tondano, Ranoyapo, Poigar, dan
sebagainya. Di tengah Minahasa terdapat suatu dataran tinggi (700m) dengan
danau Tondano di tengahnya. Di daerah itu dan di wilayah-wilayah datar lainnya
ditanami padi, pada wilayah yang beririgasi, jagung di tebing-tebing gunung beserta
sayur-mayur, kelapa di sepanjang pantai dan pohon cengkeh di wilayah yang lebih
tinggi.
Iklim
Minahasa tropis dan basah, dengan curah hujan rata-rata 2.000 sampai 4.000 mm. Dalam
satu tahun terdapat dua musim, yakni musim hujan yang berlangsung sejak bulan
Oktober sampai Maret dan musim panas dari bulan April sampai September.
Orang
Minahasa menyebut diri mereka orang Manado atau Tou-Wenang
(orang Wenang), orang Minahasa, dan juga Kawanua. Masyarakat
asli Minahasa terbagi ke dalam 8 sub-etnik atau suku bangsa, yakni :
- Tonsea, terdapat di sekitar Timur Laut Minahasa;
- Tombulu, terdapat di sekitar Barat Laut danau Tondano;
- Tontemboan / Tompakewa, terdapat di sekitar Barat Daya Minahasa;
- Toulour, terdapat di bagian Timur dan pesisir danau Tondano;
- Tonsawang, terdapat di bagian tengah dan Selatan Minahasa;
- Pasan atau Ratahan, terdapat di bagian Tenggara Minahasa;
- Ponosakan, di bagian Tenggara Minahasa;
- Bantik, terdapat di beberapa tempat di pesisir Barat Laut Utara dan Selatan kota Manado.
Pola perkampungan desa di Minahasa
bersifat menetap, mengelompok, dan padat. Kelompok rumah-rumah dalam desa memanjang
mengikuti jalan raya. Rumah tradisional berbentuk panggung dengan tinggi 5-10
meter, dengan maksud untuk menghindari gangguan binatang buas dan gangguan
musuh, misalnya perampok-perampok yang datang dari luar daerah seperti dari kepulauan
Mindanauw, orang Tidore dari Maluku dan orang Bajo/Wajo.
ASAL MULA DAN SEJARAH
Sejak
tahun 1970-an, muncul pertanyaan di kalangan masyarakat Minahasa sendiri tentang
yang manakah budaya asli mereka. Orang Minahasa sendiri tidak mengetahui dengan
jelas asal-usul sejarahnya, selain dari cerita mitos tentang Toar dan Lumimuut.
Penduduk
Minahasa baik di kota maupun di desa pada umumnya tidak memperlihatkan lagi
unsur-unsur budaya asli, seperti dalam suku-suku bangsa lain di Indonesia. Hal
ini disebabkan karena perubahan sejarah yang cepat sejak perjumpaan dengan
orang-orang Eropa, khususnya pada periode pemerintahan kolonial Belanda di abad
ke-19.
Masuknya
kebudayaan asing di Minahasa sesungguhnya telah dimulai pada abad ke-16, dengan
kedatangan orang Spanyol yang kemudian digantikan oleh Belanda, setelah kalah
perang pada tahun 1660.
Pengaruh
kehadiran orang Spanyol yang bertahan hampir seabad di Minahasa masih tampak
hingga saat ini, antara lain dalam aspek bahasa ada beberapa kata yang tak lain
ialah bahasa Spanyol (nyora, kawayo).
Selain
itu, pakaian yang dianggap orang Minahasa sebagai pakaian adat (patung
kurengkeng dan saraun di Tondano) tak lain adalah
pakaian ala Spanyol. Bersamaan dengan masuknya bangsa Spanyol, masuk pula
unsur-unsur agama Katolik yang mula-mula dibawa oleh Pater Diego de Magelhaens
dan kemudian oleh misionaris lainnya.
Penginjilan
oleh misionaris Katolik kemudian diganti oleh para pendeta Protestan akibat peralihan
kependudukan dari Spanyol ke Belanda. Tahun 1675, pendeta Montanus mengadakan
penginjilan di Minahasa, diikuti oleh J.G. Schwars dan J.C. Riedel pada tahun
1831. Berkuasanya Belanda di Minahasa juga membawa unsur-unsur kebudayaan lain
bagi penduduk Minahasa, antara lain bahasa, cara-cara berpakaian, sistem
pemerintahan, sistem pengetahuan, pendidikan, kesehatan, peralatan,
pengangkutan, dan sebagainya.
Proses
perubahan yang dialami oleh suku bangsa Minahasa akibat kontak dengan
masyarakat luar dapat dilihat juga dari beberapa nama yang diberikan bagi
daerah ini. Dahulu kawasan ini disebut dengan Malesung (lesung
padi), lalu Se Mahasa (mereka yang bersatu) tetapi kemudian
kedua nama ini menghilang.
Kini
daerah ini dikenal dengan Minahasa (dipersatukan). Nama Minahasa pertama kali
muncul dalam dokumen Belanda pada tahun 1789 dan lambat laun diterima sebagai
nama resmi. Pernah pada tahun 1970-an, muncul suatu julukan yaitu ‘Bumi Nyiur
Melambai’, dan lagi pada tahun 1990-an, ‘Tanah To’ar dan Lumimu’ut’.
BAHASA
Dalam
hidup keseharian, suku Minahasa biasa menggunakan bahasa Indonesia yang
dipadukan dengan logat Melayu Manado atau yang disebut bahasa Melayu Manado. Bahasa
ini adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antar orang-orang
dari sub-sub etnik Minahasa maupun dengan penduduk dari suku-suku bangsa
lainnya.
Di
daerah perkotaan, orang memakai Melayu Manado sebagai bahasa ibu, menggantikan
bahasa pribumi Minahasa. Pengaruh Melayu Manado ini juga sudah mulai terlihat
di desa-desa. Generasi terakhir sudah kurang mengetahui bahasa pribumi mereka. Proses
indigenisasi Melayu Manado ini, berlangsung dengan pesat dan membentuk suatu
ciri identitas etnik dan bagian dari sistem budaya Minahasa.
Mengenai
bahasa pribumi, di Minahasa terdapat 8 bahasa sesuai dengan jumlah sub etnik
suku Minahasa, yakni bahasa Tombulu, Tonsea, Tondano (Toulour), Tontemboan,
Tonsawang, Pasan (Ratahan atau Bentenan), Ponosakan, dan Bantik. Ketiga yang
terakhir ini dekat dengan bahasa Sangir-Talaud, sedangkan lima bahasa yang
besar lainnya berasal dari satu rumpun, yaitu Proto-Minahasa.
Bahasa
Tontemboan kini mempunyai pengguna terbanyak, diikuti dengan bahasa Tombulu,
Tondano di posisi ketiga dan kemudian Tonsea. Dahulu bahasa Tombulu dipakai
dalam nyanyian, puisi, doa dan peribahasa di seluruh Minahasa, tetapi sekarang
ini jumlah pemakainya sudah berkurang dan kenyataan membuktikan bahwa banyak
orang Tombulu tidak lagi menggunakannya.
Sebaliknya,
bahasa Tonsea dan Tontemboan kini sedang naik pamor dan dipakai secara aktif
dan terbuka di muka umum.
No comments:
Post a Comment