MENGENAL LEBIH DEKAT TENTANG SUKU
MINAHASA
SISTEM TEKNOLOGI
Seiring
dengan perkembangan jaman, teknologi dalam setiap suku bangsa pun semakin
berkembang. Di Minahasa, sama seperti di daerah-daerah lainnya di Indonesia,
sistem teknologi dan penggunaan alat-alat tradisional sudah semakin menghilang
diganti dengan alat-alat modern buatan pabrik.
Namun,
dalam bagian ini penulis berusaha memasukkan daftar alat-alat tradisional yang
dahulu dipakai oleh masyarakat suku Minahasa atau mungkin juga masih dikenal
atau digunakan oleh masyarakat Minahasa dewasa ini di tempat-tempat tertentu.
Alat-alat
tersebut mulai dari alat-alat rumah tangga sampai alat-alat yang digunakan
untuk bekerja dan berperang.
- Alat-alat rumah tangga : masih sering dijumpai di desa-desa, antara lain nihu (penampi beras/ padi), loto (bakul), poroco (jenis bakul), rueng (belanga), rumping (belanga goreng), ramporan (dodika/ tempat memasak), tampayang (tempayan), mauseu/ nuuseu/ naaweyen/ sincom (tempat nira dari bambu), salangka (peti tempat menyimpan barang berharga), tepe (tikar), patekelan/ panteran/ koi (tempat tidur), piso (pisau),dan lisung (lesung).
- Alat-alat pertanian : beberapa alat yang selalu dipakai penduduk dalam pertanian seperti, pajeko (bajak), sisir, pacol (pacul), sekop (tembilang), peda (parang), sambel (sabel), dan pati/ tamako (kapak).
- Alat-alat perburuan : alat-alat yang dahulu sering digunakan dalam perburuan, antara lain tumbak (tombak), sumpit (senjata untuk burung saja), wetes/dodeso (jerat), sassambet (semacam jerat), dan sinapang (senapan).
- Alat-alat perikanan : alat-alat yang digunakan oleh masyarakat Minahasa yang berprofesi sebagai nelayan, yakni perahu sampan, perahu giob (lebih besar dari sampan), pelang (lebih besar dari giob), soma (pukat besar), pukat, hohati (kail), nonae (umpan), sosoroka (semacam tombak yang khusus dipergunakan di danau), rompong (rumah di atas air yang telah dipasang dengan jala), sesambe (berbentuk seperti layar kecil untuk menangkap ikan-ikan kecil), dan sero babu yang telah dianyam untuk membungkus ikan.
- Alat-alat peternakan : alat-alat yang digunakan dalam beternak. Alat-alat ini tidak terlalu banyak terdapat di Minahasa dikarenakan peternakan merupakan pekerjaan sambilan saja. Alat-alat tersebut antara lain : lontang tempat makanan babi, roreongan atau sangkar ayam.
- Alat-alat kerajinan : alat-alat yang digunakan dalam kerajinan masyarakat. Alat-alat ini merupakan campuran dari alat-alat asli buatan orang Minahasa dan alat-alat yang datang dari luar (yang berbahan logam). Beberapa alat buatan penduduk antara lain, kekendong (alat pemintal tali yang terbuat dari bambu atau kayu), jarong katu (penjahit atap yang juga dibuat dari bambu atau kayu), gelondong atau jarong benang bambu, martelu (martil yang dibuat dari kayu), sarong peda (sarung parang yang terbuat dari kayu, bambu, dan pelepah pinang).
- Alat-alat transportasi : alat-alat perhubungan yang digunakan oleh masyarakat Minahasa, antara lain roda sapi, bendi, sampan atau perahu (ada beberapa jenis), dan rakit.
- Alat-alat peperangan : yakni alat-alat yang dipakai oleh masyarakat Minahasa dahulu dalam berperang, antara lain kelung (tameng), santi (pedang), kiris (keris), tumbak, pemukul, tamor (tambur), tettengkoren (tubuh dari bambu), pontuang (alat tiup dari kulit kerang), kolintang (dibuat dari perunggu yang sama dengan alat musik Gamelan Jawa), dan gong.
- Alat-alat untuk menyimpan : antara lain godong (gudang di bagian bawah rumah untuk menyimpan hasil-hasil produksi), cupa (volumenya hamper tiga liter, terbuat dari bambu), gantang (volumenya 27 liter, terbuat dari kayu), walosong (tempat menyimpan makanan, terbuat dari bambu), dan para-para (sejenis meja dari bambu tempat menaruh alat-alat dapur).
SISTEM MATA PENCAHARIAN
Beberapa mata pencaharian masyarakat
Minahasa yang dibahas penulis dalam tulisan ini, yakni :
BERBURU/MERAMU
Pada
zaman dahulu jenis mata pencaharian ini merupakan salah satu mata pencaharian
pokok, tetapi kini tidak lagi ditemukan dalam masyarakat Minahasa. Sudah sejak
lama masyarakat Minahasa mampu menggarap tanah dan mengusahakannya bagi
kehidupan mereka.
Dahulu
di beberapa tempat masyarakat mempunyai mata pencaharian berburu babi hutan, babi
rusa (langkow), sapi hutan/anoa, dan rusa. Demikian pula penduduk peramu
pada zaman dahulu ada yang meramu damar, rotan, dan sebagainya. Kini, berburu
hanya merupakan pekerjaan sambilan atau hanya untuk mencari kesenangan saja.
PERTANIAN
Sektor
ini merupakan mata pencaharian pokok masyarakat Minahasa, dalam arti bahwa
pertanian menempati urutan teratas atau merupakan mayoritas sumber ekonomi
masyarakat.
Sudah
sejak masa sebelum Perang Dunia II, berkembang perkebunan rakyat dengan
tanaman-tanaman industri, terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan pala. Sekarang
ini komoditi pertanian lain, yaitu coklat, vanili, jahe putih, dan jambu mente
mulai digiatkan secara intensif dengan metode dan teknologi modern.
Tanah
pertanian sawah atau ladang di Minahasa dimiliki baik oleh perorangan/milik
sendiri (pasini) yang diperoleh berdasarkan warisan atau pembelian maupun
secara bersama (kalekeran) yang digarap secara mapalus.
Sistem
bercocok tanam di ladang (uma atau kobong kering)
biasanya bersifat menetap dan ditanami jagung sebagai tanaman pokok dan
diselingi dengan padi ladang, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, umbi-umbian
dan rempah-rempah.
PERIKANAN
Perikanan
merupakan salah satu sektor mata pencaharian yang berkembang baik dalam
masyarakat Minahasa. Hal ini didukung oleh program-program pemerintah yang
mendirikan Balai-balai Benih Ikan (BBI) di beberapa daerah di Minahasa.
Selain
itu, juga ada peralihan usaha perikanan semakin produktif, misalnya dengan ‘motorisasi’
perahu penangkap ikan. Sama seperti di daerah-daerah lainnya, penduduk Minahasa
yang bermukim di pesisir-pesisir pantai mempunyai mata pencaharian pokok menangkap
ikan. Usaha pemerintah dalam dalam memajukan sektor perikanan laut terlihat di
daerah Aertembaga, dengan mendirikan lembaga usaha penangkapan dan pengolahan
ikan cakalang. Berbagai jenis ikan yang juga ditangkap antara lain,
tongkol, roa (julung-julung), sardin (japuh), kembung, ikan
layang (mamalugis), ikan batu, dan kura-kura (tuturuga).
Hasil
perikanan baik darat maupun laut ini, kemudian dibawa ke pasar-pasar di ibukota
kecamatan, kabupaten, atau ke Manado yang kemudian dibawa juga ke daerah-daerah
lain di luar Minahasa.
PETERNAKAN
Peternakan
tidak terlalu memegang peranan penting sebagai sumber ekonomi masyarakat
Minahasa. Ternak yang dipelihara dalam masyarakat Minahasa berupa sapi, babi,
ayam, bebek, kuda, anjing, angsa, tetapi hanya dalam jumlah kecil saja. Namun
terdapat juga pasar ternak (belante) di beberapa daerah.
Ternak
biasanya berfungsi sebagai pembantu tenaga kerja dalam bidang pertanian,
transportasi, penjaga rumah, dan sering juga dipakai sebagai mas kawin.
KERAJINAN
Pada
umumnya hasil kerajinan masyarakat Minahasa dikerjakan oleh wanita. Kerajinan
itu berupa tikar, topi, dan alat-alat rumah tangga yang terbuat dari sejenis
daun tumbuh-tumbuhan, rotan, silar, pandan, sejenis bambu (lou/dames),
dan bambu kecil yang disebut bulu tui.
Terdapat
juga pembuatan alat-alat rumah tangga dari tanah liat berupa tembikar,
jambangan, pot-pot bunga, piring, dan mangkok. Hasil-hasil kerajinan tersebut
diperdagangkan penduduk sampai ke pelosok-pelosok Minahasa.
SISTEM KEMASYARAKATAN
Kelompok
kekerabatan di Minahasa dimulai dari bentuk yang terkecil yakni keluarga batih,
yang disebut sanggawu (sangga= satu; awu= dapur).
Sanggawu dapat berupa pasangan suami-istri sendiri, atau beserta
anak, baik anak kandung maupun anak angkat.
Terbentuknya sanggawu dimulai
dari pernikahan antara seorang wanita dan pria yang pada umumnya bukan hasil
penjodohan yang tegas dari pihak orang tua. Setiap orang bebas menentukan
jodohnya, asalkan bukan pasangan yang masih memiliki hubungan darah.
Sesudah
menikah pun mereka bebas menentukan tempat tinggal, biasanya secara neolokal (tumampas)
di mana mereka tinggal di suatu tempat yang baru, terpisah dari kerabat istri
maupun suami. Namun sebelum mempunyai rumah sendiri, adakalanya mereka tinggal
di sekitar kerabat suami atau istri.
Dengan
tinggal berdampingan dengan keluarga batih dari kerabat atau orang tua,
terbentuk suatu keluarga luas, yang biasanya terdiri dari beberapa keluarga
batih, baik dalam satu rumah maupun satu pekarangan.
Batas-batas
dari hubungan kekerabatan yang terdapat pada orang Minahasa ditentukan oleh
prinsip-prinsip keturunan melalui lelaki dan wanita yang disebut prinsip
keturunan bilateral.
Dalam
bahasa Minahasa prinsip keturunan seperti ini disebut taranak (famili),
yang dapat dimengerti sebagai sebuah klen kecil. Setiap taranak memiliki
kepala yang disebut tua unta ranak. Identitas satu taranak dilihat
dari nama famili atau disebut fam.
Nama
famili ini biasanya diambil dari nama famili suami tanpa perubahan prinsip
bilateral. Hal ini diperkuat dengan adanya kenyataan penulisan fam suami
dan isteri bersama-sama pada papan nama yang ditempelkan di depan rumah.
Hal
yang menonjol dalam hubungan taranak di Minahasa, ialah di bidang
warisan, kematian, perkawinan, dan pemilihan kepala desa. Dalam beberapa bidang
ini sering timbul persaingan antar taranak dan kerjasama dalam
satu taranak. Beberapa istilah yang digunakan untuk menyapa anggota
famili dalam masyarakat Minahasa, yakni: Opu (kakek dari ayah
atau ibu), Omu (nenek dari ayah atau ibu), Opa/Tetek (ayah
dari ibu/ayah), Oma/Nenek (ibu dari ayah/ibu), Papa/Papi/Pa’ (ayah), Mama/Mami/Ma’ (ibu),
Om/Mom (paman), Tante (bibi/tanta), dan Bu/Mbu (ipar/kakak
lelaki) [1] [22].
Desa
(Banua/Wanua) merupakan suatu kesatuan hidup setempat di Minahasa yang
dipimpin oleh seorang kepala desa (hukumtua). Ia dibantu oleh sejumlah
orang yang semuanya disebut pamong desa. Untuk usaha-usaha gotong royong dan
pembangunan desa, terdapat juga orang-orang yang membantu hukumtua yang
biasa disebut tua-tua kampung.
Mereka
itu terdiri dari pemimpin-pemimpin agama setempat, guru-guru, mantan hukum tua, pemimpin-pemimpin
kecil/RT dalam desa (kepala jaga), meweteng (pembantu kepala
jaga), juru tulis, dan sejumlah pensiunan yang ada di desa.
Dalam
menghadapi hal-hal kemasyarakatan yang penting seperti kematian, perkawinan,
pengerjaan wilayah pertanian, kepentingan rumah tangga atau komunitas,
masyarakat Minahasa menampakkan suatu gejala solidaritas berupa bantu-membantu
dan kerjasama yang didasarkan pada prinsip resiprositas.
Kegiatan
kerjasama dan gotong royong ini disebut dengan mapalus. Bantuan
yang diberikan bisa dalam berbagai bentuk, baik tenaga maupun barang-barang
atau uang. Bantuan tersebut harus disadari oleh orang yang menerimanya dan
diberikan balasannya, jika tidak ia akan dianggap sebagai orang yang tidak baik
dan tidak akan menerima bantuan lagi dari siapapun.
Perkawinan
dalam masyarakat Minahasa bukan berdasarkan penjodohan oleh orang tua, sehingga
pergaulan muda-mudi umumnya bebas tetapi selalu dilihat secara diam-diam oleh
pihak orang tua. Para muda-mudi memiliki waktu tertentu sebagai kesempatan
pertemuan, yakni pada saat pesta-pesta kawin, malam hiburan, dan mapalus.
Bila
seorang pemuda sudah menemukan jodohnya, ia berterus-terang kepada orang
tuanya. Jika disetujui, orang tua kemudian mengambil seorang perantara (rereoan/pabusean)
untuk menyampaikan hasrat pemuda tersebut dengan mengatasnamakan orang tua
pemuda kepada pihak orang tua perempuan.
Bila
disetujui, upacara berlanjut pada penentuan hari pengantaran mas kawin yang
dikenal dengan antar harta/ mali pakeang/ mehe roko. Upacara
itu termasuk juga dengan penentuan tempat dan tanggal pernikahan, jumlah
undangan, surat-surat yang diperlukan, saksi-saksi, dan sebagainya.
Kemudian barulah dilangsungkan upacara
perkawinan yang biasanya diadakan di gereja dan melalui pemerintah (catatan
sipil). Di samping itu, masih ada juga kawin baku piara yang
tidak melalui catatan sipil atau agama. Hal ini seringkali dipengaruhi oleh
persetujuan orang tua dan keterbatasan ekonomi.
No comments:
Post a Comment