Dari Gong Perunggu Tercipta Kolintang
Kayu
KOLINTANG BAND
Sekitar tahun 1940, orkes musik ”Hawaian Band” di Minahasa
mulai memudar, karena orkes musik ini menggunakan alat musik HAWAIEN, yang
menggunakan spul magnetik seperti gitar listrik sekarang ini. Sebelumnya orang
Minahasa dapat membuatnya dengan mengambil spul magnetik gagang telepon rusak,
yang kemudian sudah sangat sulit ditemukan.
Bentuk ”Kolintang Band”, pertama muncul di wilayah Tonsea,
Minahasa Utara sekitar tahun 1940-an, menurut Bapak Alfred Sundah (1990), para
pemusik kolintang Band Tonsea masih malu-malu karena menggunakan alat musik
melodi dari kayu buatan mereka sendiri. Tapi NELWAN KATUUK tidak peduli bahkan
menikmati orkes musik yang baru ini justru karena dia Tuna Netra.
Yang menamakan Xylophone kayu dengan sebutan KOLINTANG
bukanlah NELWAN KATUUK, tetapi masyarakat Tonsea, hingga muncul dua istilah
yakni : Kolintang kayu dan Kolintang tembaga (Gong).
Dengan komposisi peralatan musik seperti inilah jenis
musik kolintang band menjadi terkenal di masyarakat Minahasa, Xylaphone kayu
buatan sendiri, lagu ciptaan sendiri dan aransemen lagu dibuat sendiri, kreasi
musik tidak tergantung pada siapapun.
Lahirnya musik kolintang band tidak telepas dari karya
musik Nelwan Katuuk yang membuat alat musing Xylophone kayu bertangga nada
diatonis, yang akhirnya menjadi terkenal di seluruh Minahasa.
Nelwan Katuuk lahir pada tanggal 30 maret 1920, pada usia
12 tahun telah menjadi pemukul kolintang perunggu (Gong), untuk memanggil para
pekerja Mapalus. Dia menggunakan nada (14*)
/ 11 55 3 5 / 11 55 3 5 /
Pada usia 20 tahun, Nelwan sudah dapat memainkan biola
dan alat musik Hawaien, tapi kedua alat musik itu sudah sangat sulit di temukan
di Minahasa. Lalu seseorang bernama William Punu membuat alat musik Xylophone
kayu (Tetengen) bertangga nada diatonis untuk dimainkan sebagai melodi
menggantikan Hawaien (15*).
Tahun 1943, setelah Jepang mendarat di Minahasa pada
perang dunia ke-II, seorang Jepang memberikan alat musik Hawaien, sehingga
Nelwan Katuuk menggunakan tiga alat musik sebagai melodi dalam pertunjukan
musiknya. Xylaphone dari kayu Wanderan yang kemudian disebut kolintang kayu,
biola dan hawaien, kelompok musiknya dinamakan ”NASIB” dengan anggota : (16*)
Nelwan Katuuk : Melodi merangkap Penyanyi
Daniel Katuuk : Gitar akustik
Budiman : String bass
Lontoh Katuuk : Jukulele
Tahun 1945, menciptakan lagu instrumentalia diberi judul
”Mars New Ginea”, mendapat ilham dari kekalahan Jepang di Papua (Irian) oleh
sekutu (Amerika-Autralia), pada tahun 1957 lagu ini sering didengarkan di radio
Australia dengan nama ”Cipson”.
Kelompok musik kolintang band lainnya yang terkenal di masyarakat
Minahasa pada periode itu bernama ”Tumompo Tulen”, dengan personil sebagai
berikut :
Leser Putong : Melodi
Bibi Putong : String Bass
Wakkari Tuera : Gitar akustik
Usop : Jukulele
Doortje Rotty : Penyanyi
Kolintang band ini dan lainnya tidak menciptakan lagu dan
hanya mengisi acara hiburan musik, hingga karya musiknya tidak menembus jaman
menuju keabadian seperti karya musik dan lagu Nelwan Katuuk.
Sekitar tahun 1950-an, kolintang band mendapat sebutan
nama lain yakni orkes kolintang, tapi dalam penampilannya lebih populer disebut
”Kolintang Engkel”, karena hanya menggunakan satu alat kolintang kayu berfungsi
sebagai melodi. (17*)
Orkes kolintang kemudian mulai berkembang sampai keluar
Minahasa. Antara lain di Bandung bernama kolintang ”Maesa Bandung”
tahun 1959, pimpinan Hannes Undap, dengan personilnya, sebagai berikut :
Melodi : Nico Koroh
Gitar Akustik : Reni Mailangkai, Jorry Mowilos
Jukulele : Ferdie Lontoh, Ben Makalew
String Bass : Jessy Wenas
Penyanyi : Elly Doodoh, Winter Sisters
Karena alat musik kolintang yang dipesan dari Manado
tidak punya kaki, maka dalam pertunjukan pentas kolintang diletakkan pada dua
buah kursi.
ORKES KOLINTANG
Walaupun sudah berganti nama orkes kolintang, pada
periode 1950-1964, tetapi penampilannya masih mirip kolintang band, dan sudah
mulai menggunakan nada ½ (setengah) : di – ri – fi – sel – le.
Para pemain melodi kolintang kayu pada periode ini antara lain (18*) :
Janjte Dungus (Suwaan – Tonsea) Kolintang ” Karpilo”
Josep Iwi Sundah (Lembean)
Gustaaf Warouw (Tomohon) Kolintang ”Rayuan Masa”
Bert Rako (Kakaskasen – Tomohon)
Worang Ransun (Maumbi – Tonsea )
Daftar Pustaka dan Narasumber :
(1*) Bandar Jalur Sutra – Dept. P&K – RI. Jakarta 1998. (Alex
Ulaen, halaman 108)
(2*) Bandar Jalur Sutra – Dept. P&K – RI. Jakarta 1998. (Alex Ulaen,
halaman 109)
(3*) Naturalist in North Celebes –
London 1889 (J. Hickson, halaman 292)
(4*) Naturalist in North Celebes –
London 1889 (J. Hickson, halaman 234)
(5*) De
Minahasa, eerste deel – Batavia 1898 (N.Graafland, halaman 357)
(6*) Hasil
Survey Koleksi Museum Daerah Kebudayaan Minahasa. (Kanwil P & K. 1982.
halaman 16)
(7*) Majalah Filipina ”Quarterly”
September 1975. (halaman 69)
(8*) De
Minahasa, N. Graafland, eerste deel. Batavia 1989.
(halaman 357)
(9*) Buku Objek
Wisata Kabupaten Komering Ulu. Cetakan 1990. (halaman 35)
(10*) Toumbulusche
Pantheon. DR. J.G.F. Riedel. Berlin 1894. (halaman 7)
(11*) De Watu
Rerumeran ne Empung Dr. J.G.F. Riedel. 1897. (halaman 190)
(12*) Kamus
Tombulu – Minahasa. H.M.Taulu 1971
(13*) Jantje
Dungus, Suwaan Tonsea. 28 Mei 2007
(14*) Rachel Katuuk, Suwaan Tonsea 29 Mei 2007. (Wawancara)
(15*) Jantje Dungus, Suwaan Tonsea 28 Mei 2007. (Wawancara)
(16*) Rachel Katuuk, Suwaan Tonsea 29 Mei 2007. (Wawancara)
(17*) Jantje Dungus, Suwaan Tonsea 29 Mei 2007. (Wawancara)
(18*) Jessy Wenas.
No comments:
Post a Comment