Musik
Bergengsi Dalam Status Sosial Masyarakat
Musik
Bambu Minahasa di mulai dari musik
suling penthatonis lima lobang yang menjadi salah satu alat musik dari ‘Musik
Maoling‘, terdiri dari Kolintang gong,
tambur dan gong besar. Suling bambu kemukinan datang dari Ternate bersama
Kolintang gong (momongan) melalui perdagangan beras Minahasa sejak Jaman
Portugis di Minahasa sampai jaman V.O.C. Belanda 1560-1870. Suling bambu lima
nada terlihat pada gambar skestsa buku Ethnographische Miszelen Celebes, A.B.
Meyer, O.Richter, Dresden, 1902.
Tahun
1844, Zending Belanda berusaha menghapus alat musik gong di Minahasa dan
menggantikannya dengan musik suling. Ketika itu Gubernemen Belanda minta
guru –guru Zending mengajar di sekolah Gubernemen, maka para guru Zending
mengajarkan lagu gerejani dengan solmisasi musik suling oktaf.
Musik
suling anak-anak sekolah dengan tiga suara di lihat oleh N. Graafland di
Kawangkoan. Korps musik HINDIA BELANDA mengiringi pemberangkatan serdadu
Minahasa ke perang Jawa, tahun 1829, yang memakai alat musik tiup dan tambur di
pelabuhan Manado (Wenang ).
Korps
musik kerajaan Belanda ini, juga yang mengiringi tarian katreli oleh para
milisi orang Manado-Minahasa di Manado tahun 1885, (J. Hickson,1889, hal. 345).
Tahun 1930-an korps music ‘Marching Band‘ kerajaan Belanda di Manado bernama
‘IRENE BRIGADE BLAAS INSTRUMENT ‘.
Musik
bambu berbentuk orkes kemungkinan muncul pertama kali sekitar tahun 1880-an
terdiri dari sederetan peniup suling, tambur besar kecil, Korno (Hoorn), Piston
dari bambu, Bombardon (bas) dari bambu, pontuang dan gong, hingga di sebut
‘Musik bambu‘, Foto music bamboo Tondano tahun 1917, terlihat selain sederetan
peniup suling, ada TAMBUR dan GENDERANG, buatan Eropa serta KLARINET dan
TROMPET buatan Eropa juga ada gong dan pontuang. Musik ‘Suling Bambu’, sudah
berubah menjadi musik orkes yang alat musiknya bukan hanya suling, dan
sudah menggunakan alat musik buatan eropa.
Untuk
membuat tiruan alat musik eropa, Tuba (piston) dan bas dari bahan logam seng
aluminium diperlukan keahlian ‘Tukang Blek‘ yang umumnya orang Cina. Seorang
“Tukang Blek“ dari Amurang, Minahasa Selatan bernama KEK-BENG, tahun 1932,
berhasil membuat tiruan alat musik Eropa, TUBA dan BOMBARDON (bas) dari bahan
Seng aluminium yang di gunting-gunting, kemudian di alas pakai timah. Dengan
demikian ORKES SULING BAMBU dengan TUBA (Piston) dan BAS dari bahan Bambu,
ditahun 1932 berubah menjadi MUSIK BAMBU SENG.
Sampai
tahun 1957, sebelum pergolakan permesta, seluruh musik bambu di Minahasa sudah
berbentuk musik bamboo Seng, seperti orkes musik bambu ‘Garuda (Buyungon),
‘Banteng“ (Rumoong bawah), ’Nasional (Kawangkoan Bawah), ‘Uluna (Tondano),
Orion (Kakaskasen Tomohon) dan yang lainnya.
Kemudian
Arie Kristen juga di Amurang, mencoba membuat musik tiup memakai alat getar
meniru alat musik Klarinet buatan Eropa, yang mulai umum di gunakan oleh
kelompok musik bambu mulai tahun 1960-an.
Dengan
demikian lahir lagi periode baru dalam orkes Musik bambu Minahasa menjadi
‘MUSIK BAMBU‘, SENG KLARINET‘ dimana hanya suling dan korno yang terbuat dari
bambu. Karena alat musik dari seng aluminium cepat berlobang terkena air liur
manusia yang mengandung garam, lalu di cari lembaran kuningan mulai tahun
1970-an, karena mudah dibentuk, alat tiup bas dan Tuba mengalami perubahan menjadi
‘Tuba Celo ‘ dan “Tuba benyo‘, ditambah lagi dengan alat musik tiup yang di
beri nama Saxophone, Oterton dan Trombon, mengikuti nama-nama alat musik tiup
orkestra eropa.
Karena
bahan kuningan cepat menjadi buram terkena keringat manusia, maka di cari bahan
logam lain, supaya alat musik tiup nampak selalu bercahaya tanpa selalu harus
di gosok dan di bersihkan. Pilihan lembaran logam itu adalah besi putih
‘steinles steel’, warna perak berkilau, lebih kuat dari kuningan tapi agak
sulit di bentuk.
Cara
memainkan alat musik bambu sama dengan memainkan alat music Marching Band korps
musik angkatan bersenjata dan kepolisian. Oleh karna itu pada parade
angkatan bersenjata Republik Indonesia yang umumnya terdiri dari para
Laskar rakyat tahun 1945 di lapangan IKADA Jakarta, ketika angkatan
bersenjata RI belum punya korps musik, digunakan Orkes Musik bambu
pemadam kebakaran cideng Jakarta yang terdiri dari para putra Kawanua.
Secara
tradisi di Minahasa, semua kelompok orkes Musik bambu memiliki ‘Vandel’ yang bertuliskan
indentitas nama kelompok musik bambu dan asal desa atau kampung wilayah
kecamatan.
Musik
bambu juga sudah menjadi musik bergengsi yang dapat menaikan status
sosial pihak yang mengundang, seperti penjemputan Tamu agung, acara perkawinan,
dan acara-acara yang di selenggarakan oleh pihak pemerintah daerah.
Satu kelompok musik bambu beranggotakan sekitar
30 (tiga pulu) orang, memainkan alat musik tiup (Aero[hone) dan alat musik
getar (mambranophone) seperti Tambur, Drum, Simbal, agar dapat menghasilkan
suara gegap-gempita memeriahkan suasana atau mengiring dansa acara pesta.
No comments:
Post a Comment