“KAULA ATAU SETERU”
Oleh : Yuda B. Tangkilisan
RINGKASAN
Pada
tanggal 31 Maret 1877 sebuah petisi dilayangkan kepada Gubernur Jendral Hindia
belanda di Batavia. Petisi itu dikirimkan oleh para pemimpin Minahasa. Pada dasarnya,
petisi itu mengajukan keberatan terhadap besluit Residen Manado tanggal 25
Januari 1876 no 1 Lh A. Sebenarnya besluit itu mengatur peraturan tanah negara
yakni ordonansi 1875 (Staatsblad 1875 no. 199a) Para pemimpin Minahasa
memprotes pernyataan bahwa Minahasa nerupakan tanah milik negara (Hindia
Belanda), seperti bunyi salah satu butir ordonansi itu.
Dalam
petisi itu dinyatakan bahwa hubungan Minahasa dan Belanda sejak pihak yang
terakhir datang di daerah Sulawesi bagian utara diatur dengan perjanjian atau
kontrak. Dasar hubungan itu bukan sebagai daerah taklukan dengan penakluknya,
melainkan berlandaskan bentuk persekutuan. Atas pertimbangan hubungan sekutu
itu, menurut para pemimpin Minahasa, seyogyanya ordonansi tu dipertimbangkan
kembali.
Padahal
sejak menerima kembali daerah Minahasa dari tangan Inggris awal abad 19,
Belanda memperlakukan Minahasa sebagai wilayah yang diperintah langsung (direct
gebied). Dengan sendirinya, kebijaksanaan politik Belanda di Minahasa
berlandaskan dasar pemikiran tersebut di atas.
Situasi
yang berubah itu, tidak segera disadari oleh para pemimpin Minahasa, Dengan
diterbitkannya ordonansi 1875 itu, kurang lebih setengah abad telah
berlangsungnya perubahan politik, barulah mereka mahfum, dan untuk itu mereka
memprotes.
PETISI
31 MARET 1877
Pada
tanggal 21 Januari 1876 Residen Menado J.C. van Musschenbroek digantikan oleh
A.H. Swaving. Swaving dalam tugasnya dibantu oleh beberapa kepala bawahan
seperti. W.H. Stalle sebagai kontroler kelas 1 dan G. Schaap sebagai kontroleur
kelas 2 dari Afdeeling Menado, E.J. Jellesma sebagai kontroleur kelas 1 dari
Afdeeling Amurang, H.R. Rookmaker sebagai kontroleur kelas 2 Afdeeling Kema dan
C. W. Palm sebagai kontroleur kelas 1 untuk Afdeeling Belang.[1]
Masa
tugas Swaving sebagai residen di Minahasa mulai tahun 1876 hingga 1879. Selama
kira-kira 4 tahun itu ia menjalankan beberapa program. Program itu antara lain
adalah penghapusan kontribusi, pengaturan kerja rodi, pemberian gaji kepada
kepala-kepala distrik, dan pengaturan masalah tanah di Minahasa.[2]
Kontribusi
adalah pembayaran (berupa uang) oleh seseorang yang dimaksudkan sebagai
pengganti kewajiban kerja rodi. Swaving mencoba menertibkan dan
menghapuskannya.
Swaving
juga mencoba menertibkan pelaksanaan kerja rodi. Jumlah hari kerja rodi yang
sebelumnya tidak menentu ditetapkan menjadi 25 hari dalam setahun. Namun jumlah
tersebut belum termasuk kerja wajib untukwanua dan kepentingan
masyarakat. Mengenai hal itu, pengaturannya diserahkan kepada pemimpin-pemimpin
setempat.
Mengenai
usaha memberikan gaji kepada para kepala distrik, Swaving telah berusaha 2 kali
untuk mengumpulkan para kepala distrik. Dalam pertemuan-pertemuan itu
dibicarakan masalah pemberian gaji kepada para kepala distrik. Rupa-rupanya
pertemuan itu tidak menghasilkan keputusan atau kesepakatan mengenai pemberian
gaji secara tetap itu. Para pemimpin Minahasa tidak sepakat dengan usulan
Swaving.[3]
Suatu
kejutan bagi para pemimpin Minahasa adalah besluit tanggal 25
Januari 1877 No. 1 L a A, yang mengatur mengenai pemilikan
tanah negara untuk Minahasa berdasarkan Ordonansi tahun 1875 (Staatsblad 1875
no. 179 dan 199a).[4] Dalam Staatsblad tersebut
dinyatakan bahwa tanah di wilayah luar Jawa (Outer Province) adalah
tanah milik kerajaan/gubernemen. Besluititu menyatakan bahwa semua
tanah harus didaftarakan, orang non-bumiputra tidak boleh membelinya.[5]
Ternyata
besluit itu mendapat reaksi dari kalangan setempat. Suatu pertemuan yang
dihadiri oleh para kepala distrik, zendeling (penginjil/ pendeta), dan
beberapa orang swasta/partikelir (particulieren)menghasilkan suatu
petisi.[6]
Petisi
yang ditujukan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda itu berbunyi sebagai
berikut:[7]
Kepada
Yang Dipertuan Agung
Gubernur
Jenderal Hindia Belanda
di
Batavia
Dengan
segala hormat dan kerendahan hati kami Kepala-kepala dari Minahasa datang
menghadap Yang Dipertuan Agung Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan
menyampaikan dengan segala kesadaran akan keberatan kami: Bahwa Yang Dipertuan
Residen Menado memberitahukan kami, bahwa; I. Semua kontrak kami atau
kontrak-kontrak yang ditutup oleh nenek moyang kami dengan Pemerintah Belanda,
oleh Gubernur itu dihapuskan dengan alasan-alasan tersebut, II. Tanah kami
Minahasa, menurut Staatsblad 1875 no. 199a seperti juga disebut dalam keputusan
dari Yang Dipertuan Residen Menado tanggal 25 Januari 1876 no. 1 Lh A sekarang
sudah menjadi tanah pemerintah.
Bahwa
kami dengan dua hal tersebut merasa keberatan sekali dan sangat bersusah hati,
karena Pemerintah melakukan hal itu tanpa ada pemberitahuan lebih dahulu kepada
kami; Kami pikir, bagaimana adilnya pemerintah terhadap nenek moyang kami,
demikian juga adilnya pemerintah terhadap kami, -bahwa tidak ada perlakuan di
Minahasa tanpa terlebih dahulu ada pembicaran dengan kami dan memperoleh
persetujuan kami dalam hal tersebut.
Kami
pikir, bahwa isi naskah yang diberikan oleh Residen C. Bosscher kepada
masing-masing kami dengan surat dinas yang Dipertuan Pemerintah tertanggal 16
Juni 1860 no. 730 sebagai hadiah untuk disimpan sebagai pusaka keramat bagi
anak cucu dan keturunan kami, adalah pidato dari Yang Dipertuan kami dan
disayangi Residen A.J. Jansen (pada kesempatan pembagian payung di Tondano yang
ditetapkan dengan keputusan pemerintah tanggal 12 Juni 1868 no. 30, sebagai
pertanda distinktif kewibawaan kami yang diberikan kepada kami, kepala-kepala
dari Minahasa seperti pernyataan puas pemerintah), meliputi antara lain bahwa
nenek moyang kami menerima pemerintah Hindia Belanda sebagai pelindung, ya
sebagai orang tua kami dan penduduk Minahasa sebagai anak, dsb., untuk
mengingatkan kami akn kontrak nenek moyang kami, atau menjangkau bukti bahwa
dengan hal ini kontrak sama dengan diperbaharui.
Kami
pikir, bahwa bagaimana keabsahan 9 tembakan kehormatan yang kami terima pada
pertemuan yang diadakan menurut Staasblad 1859 no.104a (tembakan kehormatan
mana juga diberikan anggota sahabat pemerintah) belum lenyap, demikian juga
dengan kontrak-kontrak nenek moyang kami yang diadakan dengan pemerintah yang
masih akan ditiadakan.
Kami
pikir, bahwa selama kami tetap setia kepada pemerintah Belanda dan tidak
menerima gaji (pemberian gaji yang dibicarakan dengan kami oleh residen Menado
yang sekarang dalam pertemuan yang diadakan pada tanggal 1, 2 dan 3 September
1876, dan dengan hal mana banyak dari kami menolaknya, karena kami mengharapkan
lebih baik diasuh oleh rakyat kami sendiri), kontrak-kontrak nenek moyang kami
tidak dapat dilenyapkan; Ja, kami mengetahui juga, bahwa nenek moyang kami dulu
tidak memperbaharui kontrak-kontrak tersebut tiap tahun, tetapi setelah beberapa
tahun berselang; dan oleh karena itu kami tidak meragukan adanya hal demikian,
sebab itu kami belum memintakan pembaharuan apalagi kami berkeyakinan bhwa hal
itu tidka dapat tidak akan dilenyapkan begitu saja tanpa sepengetahuan dan
persetujuan dari kedua belah pihak.
Hingga
kini – menurut kontrak-kontrak – sudah berlalu 200 tahun, waktu nenek moyang
kami untuk pertama kali memohon bantuan dari penguasa Belanda;
Mereka
memohon bantuan itu, karena mereka perlu melawan musuh mereka, juga karena
perselisihan antara sesama mereka dalam lingkungan; dengan demikian mereka
menerima pemerintah Belanda juga sebagai orang tua.
Pemerintah
Belanda memberikan bantuan itu; musuh-musuh kami terhalau; Pemerintah menerima
juga penduduk negeri ini sebagai orang tua.
Karena
itu kami dan nenek moyang kami menyatakan rasa terima kasih kami dengan tetap
menurut dan setia kepada Pemerintah.
Dengan
alasan-alasan itu bendera Belanda berkibar disini selama 200 tahun, bagi
kehormatan Belanda dan Minahasa.
Ya
kami mengakui sungguh-sungguh, bahwa pemerintah Belanda banyak berbuat untuk
kebaikan kami dan mengangkat rakyat kami; tetapi kami dan rakyat kami juga
banyak membantu pemerintah dan memberikan banyak keuntungan;
Atas
dasar apa atau dengan alasan apa, atau apa yang kami dna rakyat telah lakukan,
hingga pemerintah Belanada memutuskan -- (tanpa menanyakan kepada kami dan
mendengarkan kami) -- menghapus kontrak-kontrak nenek moyang kami dan
amenyatakan tanah Minahasa sekarang tanah pemerintah ?
Kami
mengetahui benar bahwa pemerintah Belanda memperoleh tanah kami atau
memiliki tanah bukan dengan cara lain dari persahabatan.
Ah!
apa yang akan dikatakan Raja dan rakyat kerajaan Bolaang Mongondow dan kerajaan
lain yang berbatasan dengan Minahasa yang dulu adalah musuh kami; mereka yang
tidak begitu setia melayani pemerintah, tidak begitu besar membantu dan tidak
begitu banyak memberikan keuntungan seperti kami; mereka yang menjual kopi
mereka kepada swasta dengan harga tinggi; mereka tidak diberatkan oleh
pemerintah, tetapi . . . kami yang selalu setia dan menurut dan menjual kopi
kami kepada pemerintah dengan harga murah; yang banyak membantu dan memberikan
keuntungan banyak pada pemerintah, kontrak-kontrak kami atau nenek moyang kami
dihapus oleh pemerintah dan tanah kami diambil oleh pemerintah.
Benar-benar
kami merasa malu dengan hal itu, berduka cita sekali sangat menyayat hati,
tetapi... dengan demikian kami tidak kehilangan keberanian.
Demi
pertimbangan yang maju dan andil dari Yang Dipertuan Agung Gubernur Jenderal
Hindia Belanda yang memerintah di Batavia dalam nama Yang Mulia dan Setia Raja
kami, ya seperti orang tua kami, kami seperti anak Yang Dipertuan Agung,
menyerahkan dengan segala kerendahan keberatan dan kesusahan kami, dengan
permohonan akan perlindungan Yang Dipertuan Agung dan bantuan yang adil dalam
persoalan ini, yakni :
- Kami, kepala-kepala Minahasa memohon dengan kerendahan akan pembaharuan kontrak-kontrak kami atau kerelaan membuat kontrak baru dengan kami;
- atau membiarkan demikian tanpa ada penghapusan,
- agar tanah Minahasa tidak menjadi tanah pemerintah, tetapi tetap tanah rakyat seperti dulu, kecuali hak-hak dan penggunaan tanah kami menurut adat, seperti yang juga terdapat dalam kontrak-kontrak nenek moyang kami dan di dalamnya dibuat beberapa perubahan, dengan
- tidak mengijinkan kami dan rakyat kami menjual tanah pasini kami yang menjadi milik kami menurut adat kepada orang yang bukan penduduk Minahasa sebenarnya, tetapi bahwa kami mempunyai kebebasan untuk menyewakan tanah pasini kami yang tidak dipergunakan, karena kekurangan tenaga untuk mengolahnya, kepada mereka (warga pemerintah Belanda).
Dengan
alasan-alasan itu kami menghimbau Yang Dipertuan Agung Gubernur Jenderal Hidia
Belanda, untuk melindungi kami dan rakyat kami dan membantu kami keluar dari
kesusahan, agar kami dengan demikian disandarkan, untuk seperti dahulu nenek
moyang kami, terhadap pemerintah tetap setia dan menurut dan melakukan
pekerjaan yang diberikan kepada kami dengan rajin dan memenuhi
kewajiban-kewajiban kami dengan semestinya seperti kepala yang setia dan
bawahan yang patuh.
Demikianlah
dengan segala kerendahan hati
(Menurut tanda tangan semua kepala-kepala
Minahasa)
No comments:
Post a Comment