ASAL-USUL
DAN LEGENDA ORANG BANTIK
(N.
GRAAFLAND, 1869)
Malalayang (Minanga), merupakan suatu negeri
Bantik dengan tata-rumah yang bersifat alifuru, bersifat penyembah berhala,
kacau, buas dan kasar. Tetapi memang anda sudah tahu, bahwa orang Bantik paling
sulit dikendalikan dari seluruh rakyat di Minahasa, dan mereka masih saja
mengikuti berbagai kebiasaan para leluhur mereka dari abad-abad yang gelap,
yang bagi daerah Minahasa lainnya telah hilang. Bahwa mereka tidak mudah untuk
dipimpin mengikuti susila lain, masih secara jelas dapat dilihat pada raut muka
mereka.
Pada seluruh penduduk Minahasa sebenarnya
telah sejak lama menghilangkan kebiasaan memelihara rambut panjang bagi kaum
pria ; hanya kaum lelaki orang Bantik masih saja memeliharanya, dan begitulah
mereka mengenakan pakaian yang luar biasa dan selalu dipersenjatai lengkap
seakan mereka masih hendak memancung kepala orang. Dan mengenai halnya
perkelahian seperti yang mereka lakukan di Minahasa menurut kesaksian beberapa orang,
mereka itu tergolong yang paling berani. Bentuk tubuh mereka sudah menunjukkan
demikian; mereka biasanya bertubuh lebih kekar, lebih besar, dan pada wajah
mereka terdapat sesuatu yang berifat nakal, tidak terdapat pada seluruh
penduduk Minahasa, kecuali mugkin pada orang Tondano. Saya kira, apabila rakyat
itu sekali kelak telah menganut agama Kristen serta mengenal peradaban, maka di
banyak segi terutama dari segi energi, kemauan, mereka akan menonjol.
Asal-usul sebenarnya orang Bantik itu tidak
jelas, sama seperti orang-orang Minahasa lainnya. Mereka itu juga mempunyai
berbagai legenda dalam hal ini, yang memperkenalkan mereka sebagai bukan satu
dengan penduduk lainnya, dan di pihak lain cukup memberikan gambaran bahwa
mereka sudah lama berada di sini, untuk dalam hal agama dan penyembahan
dewa-dewa nyata-nyata dapat memiliki suatu dasar yang sama. Pengertian agamawi
orang Bantik berdasarkan cerita penyampaian dari dulu yang kacau, mereka
menafsirkan suara dari burung yang sama seperti orang Alifuru; mereka memanggil
empung-empung yang sama walau adakalanya dengan nama lain yang berbeda-beda,
yang juga terjadi pada orang Alifuru dari berbagai distrik di Minahasa.
Saya mengambil kebebasan untuk mengutip salah
satu legenda dari Van Spreeuwenberg sebagai berikut :
UTAHAGI DAN KASIMBAHA
Utahagi, seorang puteri dari Lumimuut dan
Toar, datang bersama enam dayang-dayang yang cantik, yang adalah kakak-kakaknya
ke negeri Mandolang dekat negeri Tateli, dan mereka turun dari kayangan untuk
mandi di sumur yang terdapat di tempat itu, airnya bening sekali dan jernih. Ketika
itu di negeri Mandolang, tinggal seorang bernama Kasimbaha, yang lahir dari
orang bernama Mainalo dan Linkanbene, yang mana yang pertama itu adalah putera
dari Lumimuut dan Toar. Ketika Kasimbaha melihat dayang-dayang itu di udara, ia
menganggapnya sebagai burung-burung dara putih, tetapi selanjutnya melihat
dengan rasa kagum sekali ketika mereka datang pada sumur itu, dan melepaskan
pakaian mereka, bahwa mereka adalah wanita.
Sementara mereka sedang mandi-mandi, maka
Kasimbaha mengambil sebuah sumpitan, menyembunyikan diri sedekat mungkin pada
sumur itu di dalam hutan, dan dengan sesumpitan itu menghisap selembar pakaian
orang dari kayangan itu untuk diperolehnya, pakaian yang memiliki kekuatan dari
mereka yang mengenakannya, sehingga mereka dapat terbang. Ketika selesai mandi,
masing-masing dayang itu mengenakan pakaian mereka lagi, lalu terbang
melayang-layang lagi ke kayangan, tetapi salah satu dari mereka tak dapat
menemukan pakaiannya, terpaksa harus tertinggal.
Dan ia adalah Utahagi, yang telah diberi nama
sesuai seutas rambut putih, yang tepat bertumbuh di pusaran kepalanya, dan yang
memiliki kekuatan yang luar biasa. Kasimbaha membawanya ke rumahnya, dan
menjadikan isterinya. Dari perkawinan itu lahirlah seorang putera bernama
Tambaga, yang kemudian kawin dengan Matinipu. Selang beberapa waktu, maka
Utahagi menceritakan kepada suaminya mengenai rahasia rambut putih itu yang
berada di pusaran kepalanya, bahwa ia memerintahkan suaminya untuk sangat
berhati-hati dengan rambut putih itu, sebab jika rambut putih itu lantaran
suatu peristiwa terhilang, maka akan terjadi malapetaka menimpa suaminya itu.
Apakah ia tidak percaya akan kata-kata itu,
atau apakah ia didorong oleh sesuatu hal, orang tidak mengetahuinya, tetapi
pastilah bahwa pada saat ia mencabut rambut dimaksud itu, terjadilah suatu
angin ribut yang diselingi guntur serta halilintar, dan ketika cuaca buruk itu
telah berlalu, maka Utahagi telah menghilang, telah melayang kembali ke
kayangan di atas sana, meninggalkan suami dan puteranya.
Tambaga, lantaran anak ini sekarang
kehilangan susu ibunya, maka anak itu menangis terus-menerus, sungguh menyayat
perasaan ayahnya itu, dan ketika ia sadar bahwa lambat-laun ia tak dapat
memelihara puteranya itu, maka ia memikirkan bermacam-macam jalan untuk juga
datang di kayangan. Ia hendak melakukannya dengan memanjat rotan yang menjulang
tinggi sampai kayangan, tetapi rotan ini penuh duri. Ketika ia berdiri di sana
dan memikirkan bagaimana melakukannya, maka datanglah seekor tikus hutan
kepadanya, lalu tikus itu mengunggis semua duri rotan itu sehingga ia dapat
memanjatnya.
Maka Kasimbaha, beserta puteranya di
punggung, memulai perjalanan panjat itu, tetapi ketika mereka sudah berada jauh
di sana dan seakan mereka berada di antara langit dan bumi melayang-layang, terjadilah
suatu angin ribut dari barat, yang membawa mereka ke arah matahari, tetapi oleh
karena di sana panas sekali maka mereka menunggu timbulnya bulan, yang membawa
mereka ke kayangan.
Seekor burung kecil menunjukkan kepadanya
rumah Utahagi, ia lalu memasukinya, tetapi sudah malam, ia tak dapat melihat
semuanya. Seekor kunang-kunang datang kepadanya dan berkata : ”saya lihat jika
saya tidak membantu anda, maka anda takkan mendapatkan tempat tinggal Utahagi,
sebab di rumah ini ada tujuh kamar yang sama semuanya, dihuni oleh tujuh perempuan
bersaudara. Tetapi perhatikanlah pintu yang saya akan hinggapi, itulah kamar
isterimu.
Setelah mendengar nasihat itu maka segera ia
memasuki kamar isterinya dan menyerahkan putera mereka Tambaga kepadanya. Dari
isterinya itu ia harus mendengar banyak cacian lantaran semua yang tidak
menyenangkan itu dipersalahkan kepadanya.
Kakak lelaki Utahagi, yang juga salah satu
Empung, dewa, berkata kepada orang-orang kayangan lainnya ; “Bagaimana hal ini
sekarang, oleh karena suami adik saya bukanlah Empung, maka ia tidak boleh
tinggal di sini, maka kami hendak mengujinya dengan memberikan sembilan piring
yang ditutupi di hadapannya. Delapan dari piring itu kita berikan nasi dan yang
satu lagi diisi dengan bahan lain; jika ia membuka piring terakhir ini maka ia
adalah manusia biasa dan bukan Empung”.
Tetapi di sini pun seekor lalat membantunya
dan memperingatkan untuk memperhatikan jalannya. Lantaran akibatnya ia tidak
menyentuh piring kotor itu, maka untuk itu mereka menanggapnya bahwa ia
bukanlah seorang manusia, ia diakui sebagai Empung dan tinggal terus di
kayangan bersama isterinya. Namun di kemudian hari, ia menyuruh puteranya,
Tambaga, turun ke bumi melalui suatu rantai yang panjang, kembali ke Mandolang,
tempat kelahirannya.
Tambaga kemudian kawin, memperoleh anak serta
cucu-cucu, dan kedua anak itu, Majo dan Birang, orang Bantik menyebutnya
sebagai leluhur mereka. Dengan cara begitulah mereka membuat silsilah mereka
itu, sehingga mereka itu sebenarnya adalah keturunan dewa-dewa, sama seperti
orang Minahasa lainnya.
Sumber
Bacaan :
De
Minahasa : haar verieden en haar tegenwoordige toestand (Eene bijdrage de
Land-en Volkenkunde) Door N. Graafland Roterdam, M. Wyt & Zomen, 1869; Terjemahan
: Yoost Kullit, 1987
No comments:
Post a Comment