MANUSIA
TERBANG PENAKLUK RAJA BANTEN
Pada waktu sekelompok leluhur masyarakat
Bantik asal Selatan Tumani dan bermukim di suatu tempat yang bernama Kaho
(selokan Tirang) antara Maumbi dan Kairagi, mereka kemudian pindah ke Pogidon
Wenang) dan selanjutnya bergerak kearah Utara, dan Tumani di Singkil, Bailang,
Buha, dan Bengkol. Dalam kelompok ini, terdapat sepasang suami-istri tanpa
memiliki keturunan yang pekerjaannya sehari-hari sebagai Balrian Lramo (Walian
besar = tukang mengobati secara tradisional).
Suami bernama Tolrombiga dan istrinya bernama
Hagi. Keduanya sangat terkenal sebagai ahli pengobatan tradisonal (makatana)
apalagi sebagai Biang (bidan yang menunggui dan mengurus kelahiran seorang
bayi) yang terkenal di kalangan masyarakat Bantik. Bila ada orang yang datang
memanggil Hagi untuk menolong orang melahirkan maka Hagi selalu berkata pada si
pemanggil itu : kembalilah lebih dulu dan nanti disusulnya. Tapi anehnya, Biang
Hagi akan selalu tiba lebih dulu sebelum si pemanggil tiba di rumah orang yang
akan melahirkan itu. Rupanya suami-istri ini mempunyai banyak sahabat sosok
halus sebagai penolong dalam menjalankan tugas mereka sebagai Balrian Lramo.
Pada suatu hari, Hagi kelihatan hamil dan
datanglah sosok halus kepada Tolrombiga dan meminta agar, bila anaknya lahir
agar anak itu diberikan kepada sosok halus tadi untuk dipeliharanya, sang suami
tidak keberatan. Setelah genap usia kandungan Hagi, lahirlah laki-laki yang
hanya tangisnya saja yang kedengaran tapi bayinya sudah tidak ada lagi, dan
mengertilah sang suami bahwa anaknya sudah dijemput sosok halus tadi. Akan hal
Hagi bila ada orang bertanya mana anaknya, maka Hagi menjawab bahwa ia
mengalami keguguran (kinadaen) dan bayinya hilang.
Konon bayi itu dipelihara sosok halus dengan
diberi makan jantung pisang tanduk (sejenis pisang yang buahnya besar-besar,
berbentuk tanduk kerbau) oleh sebab itu jika melihat jantung pisang tersebut,
keadaan seperti dicakar-cakar kuku, kata orang karena dicakar sosok halus tadi
bila membuat makanan bayi tadi. Konon kebiasaan orang Bantik bila ingin melihat
makhluk halus, carilah pohon pisang tanduk yang jantungnya hampir keluar dan
tunggulah di bawah pohon itu. Bila sosok halus datang mengambil makanannya,
niscaya akan bertemu dengan sosok halus, asal berani untuk bertemu menemuinya,
apalagi berada di bawah pohon itu dan kedengaranlah tangisan bayi maka pasti
akan bertemu dengan sosok halus. Di situlah anda boleh berdialog dengan sosok
halus dan boleh memohon atau meminta sesuatu. Sudah tentu sosok halus itu akan
mencobai anda lebih dulu setelah anda tahan uji atas cobaan itu barulah pinta
anda akan terkabul.
Demikianlah anak itu dipelihara oleh sosok
halus sampai menginjak masa remaja umur 18 tahun, lalu dikembalikan kepada
ibu-bapanya di Buha dan diberi nama Matansing berasal dari kata Tumansing meloncat
tinggi/seperti terbang). Selanjutnya dalam umur 20 tahun, Matansing turut
mengambil bagian dalam perang Banten.
Cerita rakyat tentang Matansing berlangsung
pada tahun 1770-an, di mana masyarakat Bantik yang mendiami kawasan Benang
(Wenang) dipimpin oleh Kepala Walak Abuthan. Kisah ini terjadi pada jaman
kolonialisme Belanda menguasai tanah Minahasa dan daerah-daerah lainnya di
Indonesia. Tatkala kepala balak Bantik Abuthan sedang memimpin kelompok
masyarakat Bantik di Wenang, tersiarlah berita bagaimana orang-orang Banten di
pulau Jawa mengangkat senjata melawan Kompeni Belanda. Huru-hara pemberontakan
rakyat Banten sangat menggegerkan Batavia yang waktu itu dipimpin oleh Gubernur-Jenderal
Riemsdyk. Secara masal rakyat Banten mengangkat senjata dan lakukan serangan
atas pos-pos tentara kolonialisme di Batavia. Pemerintahan Riemsdyk terganggu
karena tentara Belanda jumlahnya sangat kurang dan tidak dapat mengimbangi
perjuangan rakyat Banten. Maka pemerintah Belanda di Batavia menyurat pada
koleganya di Ternate dan Minahasa untuk meminta bantuan dari warga masyarakat
yang ada di sana. Dijejakilah bantuan dari Ternate di mana di sana juga
terdapat sebagian tentara Belanda dan warga setempat di mana mereka diminta
datang berkumpul di Pogidon (Wenang) untuk kemudian berangkat bersama ke Pulau
Jawa dengan armada laut. Di Minahasa bantuan terutama dikerahkan dari
orang-orang Bantik yang berdomisili di Tomohon dan Tondano. Yang di Tondano
dipimpin oleh Tonaas Sigaha (Sigar) dan di Tomohon dipimpin oleh Tonaas Dotulong.
Kepala balak Abuthan selaku pemimpin masyarakat Bantik di wilayah Wenang,
segera meresponi permintaan kolonial Belanda di Wenang dengan melakukan plakat
di beberapa negeri orang Bantik yang terdapat di : Titiwungen, Singkil,
Bailang, Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Molas, Meras, Malalayang, dan Bahu. Mereka
bersedia dan menyatakan kerelaan untuk mengambil bagian dalam perang Banten
tersebut, yang sebetulnya merupakan siasat kaum penjajah untuk mengadu-domba
masyarakat pribumi.
Tersebutlah seorang laki-laki bernama
Matansing dari negeri Buha datang menghadap kepala balak Abuthan. Setelah
Abuthan bertanya perihal kesanggupan dan kebolehannya, maka Matansing menjawab :
Ia Po ada tumondo Mabukuan galrete be mabei, age nu pai pinakou” (artinya :
kalau saya pergi ke medan laga, selalu kembali dengan kemenangan dan membawa
bukti atas kemenangan itu).
Dengan demikian Matansing salah seorang
pendekar Bantik yang akan berangkat ke pulau Jawa untuk turut berperang
membantu Belanda dan bantuan dari Ternate, Minahasa dan Bantik telah musta’id
semuanya berkumpul di Wenang dan jumlahnya 3000 (tiga ribu) orang, pimpinan
bala bantuan itu ialah Tonaas Sigar dan Dotulong yang terkenal sangat
pemberani.
Pengaturan persiapan selesai dan pasukaN
dipersilahkan naik ke kapal untuk berangkat. Selesai diadakan apel maka
berlayarlah kapal-kapal itu dengan haluan pertama pulau Manado Tua, tiga hari
dalam pelayaran dan pada hari keempat, anehnya..... kapal-kapal itu kembali
berlabuh di pelabuhan Wenang.
Setiba di pelabuhan Wenang kepada pasukan
ditanyakan oleh nahkoda kapal, siapakah di antaranya melupakan sesuatu di
rumahnya. Masing-masing segera berdiri dan mengacungkan tangan sambil
mengatakan bahwa sayalah yang melupakan sesuatu itu. Setelah ia melapor untuk
pergi sebentar ke rumah, waktu itu masih keadaan pagi jam anak-anak pergi
sekolah. Gaiblah ia, hilang dari pandangan mata mereka. Patut diakui oleh
orang-orang Bantik karena peninggalan riwayat pedangnya pun masih ada di negeri
Bengkol pada cucu, cece, cicit, buyutnya pusaka kesaktian membuktikan ini.
Beberapa lama antaranya pada jam makan siang
hampir tengah hari tiba-tiba bergetarlah kapal yang tadi-tadinya ditumpangi
Matansing yang berada di atas kapal, ditangannya terpegang sebuah bungkusan
Kumunou (daun woka) dan sebuah Lrimpudong (sosiru) lalu melaporkan pada nahkoda
kapal siap sudah ada di tempat, bertanya Kapten Nahkoda Kapal. Apakah yang kau
bawa itu? Jawabnya ini ada tempat makan pinang. Yang terbungkus daun woka itu,
perangkat empat sirih pinang sebagai biasanya yang dipakai oleh orang Bantik
bila akan makan sirih. Keberadaan kembali Matansing di atas kapal, berarti saat
keberangkatan sudah tiba. Maka berangkatlah armada Belanda dan bala bantuan
itu.
Angin kencang dari belakang menyebabkan layar
kapal-kapal itu berkembang dengan megah. Semalam-malaman, siang dan paginya
mereka berlayar dan tiba di pelabuhan Donggala pagi hari. Kapal-kapal berlabuh
untuk mengambil air minum (air tawar) di darat. Setelah diketahui oleh
Matansing bahwa maksud kapal-kapal itu singgah di pelabuhan Donggala hanya
karena untuk mengambil air tawar, maka turunlah Matansing melalui tangga kapal
dengan membawa nyiru yang dibawanya dari rumah tadi. Dikoyakkannya bagian dalam
nyiru itu dan dicelupkannya bagian kaki dalam nyiru ajaib itu yang tinggal
lingkaran rotan bagian luarnya saja. Maka terjadilah keanehan di pelabuhan
Donggala! Air laut dalam lingkaran rotan itu menjadi air tawar. Ramailah
seluruh petugas kapal menimba air tawar untuk mengisi tong pada kapal
masing-masing, sesuai kebutuhan dari lingkaran rotan ajaib itu. Pelayaran
dilanjutkan beberapa lama, dalam pelayaran masuklah mereka di pelabuhan Serang
(Banten) dengan selamat dan berkat.
Pada saat itu pelabuhan Banten bergelora
sangat hebatnya sehingga pendaratan dilakukan dengan menggunakan sekoci-sekoci
pendarat. Oleh karena di darat telah berjaga-jaga pasukan Banten, maka perang
besar tak terelakan lagi. Serta merta perang besar terus berkecamuk dan
berkobar sangat hebatnya. Bunyi tembakan, tetakan pedang, baku potong dan baku
bunuh sudah tak terkendalikan lagi. Bagian perang yang dahsyat berlangsung
antara tahun 1775-1780.
Bagaimana
dengan Matansing? Ia ketinggalan dan masih berada di atas kapal, ia menjadi
gelisah, hilir mudik di atas kapal.
Ia segera mengambil keputusan dengan berdiri
siap masuk ke mulut meriam kapal. Tatkala meriam berdentum dengan arah tembakan
kedarat......... gaiblah pula ia pada saat genting itu. Alkisah menurut cerita
ia melayang bersama peluru meriam tadi, terbang dan jatuh di atas mahligani
istana tempat bersemayam Raja Banten, sesampai di istana Matansing menjumpai
pengawal Raja Banten yaitu tujuh orang laki-laki bermuka sangat menyeramkan
mempunyai anting atau bertopeng seperti babi hutan besar, jadi Matansing harus
berhadapan lebih dulu dengan para pengawal itu sebelum tiba pada Raja. Pada
saat itu melayanglah Matansing ke atas pohon aren dan duduk di atas pelepahnya
hingga bergegerlah bumi karena tumbangnya pohon itu. Semuanya lalu menjadi
gempar. Dari situ ia melayang ke pohon padi lalu duduk diatas butir buahnya berayun-ayun
bersama tiupan angin.
Selesai berayun di atas pohon padi itu sambil
menyenangkan hatinya, melompatlah ia langsung berhadapan dengan ketujuh
pendekar itu dan terjadilah perang satu lawan tujuh dengan seru dan seramnya.
Matansing bertarung sambil melayang kian kemari di udara. Konon, pada akhirnya
tewaslah ketujuh pengawal Raja tadi, terpisah kepala mereka dari badannya
masing-masing.
Matansing segera menuju kepada Raja Banten
didapatinya Raja sedang tidur nyenyak di tempat peraduannya. Tatkala Raja
membuka mata, alangkah terkejutnya Raja dengan segera Matansing mencabut
pedangnya dan tombak diayunkan sekali tepat kena leher Raja. Maka tewaslah Raja
pada saat itu juga. Sebagai bukti kemenangan oleh Matansing kumis dan
janggutnya serta kuku Raja, dikeratnya dan diambilnya untuk dibawa pulang.
Selesai mengambil barang bukti itu, Matansing gaiblah dari kamar peraduan sang
Raja itu. Tiba diluarnya dilihatnya ternyata perang telah berakhir.
Laskar Banten kalah dan Belanda menang.
Pendekar Sigar diberi pangkat Mayor dan pendekar Dotulong diberi pangkat
Letnan-Kolonel lengkap dengan senjata dan pakaian kebesaran. Mereka yang masih
hidup kembali ke Wenang setelah menjalankan tugas membantu Belanda berperang
dengan Banten. Sebagaimana kita pelajari dari sejarah, bahwa perang Banten itu
di kobarkan oleh KYAI TAPA dan Ratu Bagus Buang dan diteruskan oleh Sultan
Abdul Nazar, Muhammad Arif, Zainul Asyikin tahun 1752-1780. Adapun cerita Ambon
bahwa yang turut berperang dan mengalahkan Raja Banten adalah Kapitan Jongker
yang namanya termasyur itu.
Kembali tentang Matansing sesampainya di
Wenang ia langsung menghadap Kepala Balak Abuthan dan melaporkan kemenangannya
sambil membawa bukti berupa janggut, kumis, serta kuku Raja yang dikalahkannya sebagaimana
yang telah diceritakan tadi. Percayalah Abuthan atas kebolehan Matansing, ia
dibawa oleh Abuthan menghadap Residen TANROLF. Oleh Residen Tanrolf, Matansing
diberi hadiah dan piagam ditulis atas kertas kulit yang berbunyi : selama
penjajahan Belanda di Minahasa, maka anak-cucu dari keturunannya bebas dari
pungutan uang sekolah kalau mereka bersekolah.
Kemudian Matansing kembali sebagai petani dan
berkebun di antara negeri Singkil dan Buha (di suatu tempat yang disebut kelapa
lima). Sekali peristiwa datanglah seorang putra Raja Sulawesi Selatan, Bugis
bernama anak Raja HASSANUDDIN menumpang kora-kora bersama anak buahnya. Ia
datang memamerkan ketangkasan, kesaktian dan keajaibannya dan ingin mencari
lawan, siapa kalangan di Utara Sulawesi ini yang sanggup menandinginya. Untuk
menguji kesaktiannya diwujudkan dalam mengadu ayam sabungan. Maka kedatanganlah
berita kedatangan tamu-tamu ini kepada Matansing yang segera ingin dengan
mengadu ayam sabungan lebih dahulu. Ayam sabungan anak Raja Bugis berbulu hitam
berkaki hitam sedangkan ayam jago milik Matansing berbulu putih sampai kakinya.
Persabungan yang seru dimulai dan semua orang Bantik datang menonton.
Begitu serangan kedua ayam sabungan itu
bersiaga dan akhirnya…….. menanglah ayam sabungan milik Matansing. Putra Raja
dari Sulawesi Selatan berseru : “Ayam sabungannya yang kalah belum tentu
orangnya kalah”, Matansing naik dan keduanya menyiapkan diri untuk bertarung, duel
maut satu lawan satu, keduanya bermufakat dan tempat yang akan dijadikan arena
laga ialah lembah di antara gunung Bantik dan gunung Tumpa (Tumumpa). Karena
keduanya sama saktinya maka duel maut itu banyak berlangsung di udara. Sama
hebat, sama cerdik, dan sama jago. Alkisah maka terbanglah Matansing di awan
gunung Bantik dan putra Raja Bugis terbang pula dari gunung Tumpa, lalu sesaat
kemudian duel udara yang serupun berlangsung.
Pertarungan babak pertama selesai karena
mereka beristirahat. Kemudian dilanjutkan dengan pergantian tempat. Duel maut
babakan kedua dimulai, Matansing melayang terbang melalui gunung Tumpa dan
lawannya sebagai anak panah lepas dari busurnya melayang dari gunung Bantik, Matansing
yang melihat musuhnya sangat sukar dikalahkan itu, setiba bertukaran tempat di
Tumpa, lalu mengambil tali hutan (”bahahing”) untuk dibuat jerat. Tali buatan
itu dilemparkan Matansing ke arah musuhnya dan terjeratlah di leher putra Raja
itu sekaligus tergantunglah di udara, maka Matansing mengambil parangnya dan
memancung leher musuhnya.
Badannya jatuh ke Bumi, disusul dengan
kepalanya yang masih terikat dengan tali hutan tadi. Melihat musuhnya telah
kalah, Matansing mengambil mayat musuhnya lalu diterbangkan ke kebunnya di
kelapa lima. Di sana mayat itu dikuburkan Matansing lalu ditandai dengan
ditanamkannya di tempat itu lima pohon kelapa, sehingga tempat itu biasa
disebut ”kelapa lima”.
Hingga muat riwayat ini ditulis, di antaranya
negeri Singkil dan Buha terdapat kelapa Matansing (tempat tersebut disebut
kelapa lima) kelapanya memang sudah tidak ada lagi, tetapi tanah dan bekasnya
masih ada. Tahun demi tahun berlalu sampai Matansing telah berusia tua, ia
mulai jatuh sakit di negeri Buha, tetapi bila ada orang datang menjenguknya,
kadangnya tidak diketemukan hanya tempat tidurnya saja. Lama-kelamaan, pada
saat mautnya tiba, hilanglah ia entah kemana tak diketahui rimbanya. Ia pergi
dan tak seorangpun mengetahuinya. Kata orang, ia kembali ke Kayangan
sebagaimana cerita kita pada bagian-bagian lain, seperti kisah negeri Balruda
itu. Pedang dan tombak milik Matansing, masih ada di negeri Bantik.
Demikianlah
riwayat Matansing yang menurut tutur orang ia menjelma menjadi dewa, sedang
tutur orang lain ia menjelma menjadi jin atau makhluk halus. Untuk lebih
melengkapi riwayat tentang Matansing alangkah baiknya kalau diutarakan pula
disini sedikit tentang asal-usul dan siapakah Matansing yang mengemarakan
sejarah anak suku Bantik. (dikisahkan kembali oleh J. Koapaha, edited Jeldy
Tontey)
Matansing memang jago tumani te. Skarang ie kite maya musti muali matansing modern. Mampu tumalra age nu teknologi modern. Kita musti meigaha ma balajar supaya mualri matansing-matansing modern.
ReplyDelete