DIBEBASKAN
KAKAK BERADIK MANGKU-TONGALRI
Puteri Indonesia 2011 Maria Selena (Ilustrasi Foto) |
Terkenanglah akan ceritra leluhur masyarakat
Bantik yang bermukim di wilayah Kerajaan Bolaang Mongondouw, pada jaman dahulu.
Pada suatu hari tersebutlah di sebuah desa di Bolaang-Mangondow sepasang
suami-istri bersama ke-2 (dua) anak mereka tinggal di pinggir sebuah kali yang
membelakangi sebuah bukit. Pada dasar bukit di seberang kali tersebut, terdapat
sebuah gua dan di depan gua tersebut tumbuh sebatang pohon besar yang pada
cabang-cabang rindang. Pohon itu merupakan tempat bertedu para unggas namun
pada saat tertentu pohon itu merupakan tempat bertengger kawanan Kakoa (burung
gagak).
Pada suatu malam tertentu, keluarga itu tidak
bisa tidur tenang karena terganggu oleh kebisingan teriakkan suara koak...
koak... koak… sepasang burung gagak, yang berlangsung sepanjang malam sampai
fajar menyingsing. Kejadian itu menyebabkan sepasang suami-istri itu ingin tahu
apa gerangan yang terjadi di seberang kali tempat tinggal mereka. Pada keesokan
harinya kelihatanlah di mulut gua itu sebuah benda berbentuk telur ukuran
sangat besar bewarna putih, bahkan lebih besar dari ukuran buah mangga golek.
Anehnya, sepasang gagak terus menunggui mulut
gua itu disertai berbagai jenis burung seolah-olah ikut nimbrung dengan bunyi
kicauan masing-masing. Mungkinkah telur burung itu dapat diambil? demikian
pikir kepala rumah tangga keluarga itu. Bersepakatlah sepasang suami-istri
memanjat dan mendatangi bukit gua itu dengan maksud mengamati dari dekat atas
telur aneh tersebut. Namun sangat sulit mendekatinya karena tidak luput dari
serangan/sambaran sepasang gagak tersebut. Setelah keduanya bersamadhi dan
mengucapkan kata-kata dalam bahasa makatana, minta ijin pada roh tetua dan
Empung, barulah sepasang burung gagak itu tiba-tiba meninggalkan/menghilang
dari mulut gua tersebut.
Akhirnya sang suami mengambil telur besar itu
dan dibawa ke rumah mereka serta diletakkan pada sebuah piring besar
(balrukuan) beralas kain tebal dan ditutup dengan kain putih bersih serta
ditempatkan di atas loteng rumah. Hari berganti hari, minggu berganti minggu,
maka menetaslah telur itu dan keluarlah seorang bayi cantik jelita (yang
kemudian diberi nama Lriukakoa karena artinya : menetas dari telur burung gagak).
Bahkan pertumbuhan bayi itu sangat tidak masuk
akal, sebab baru dalam beberapa minggu saja, ia sudah dapat berbicara dengan
lancar. Berita kehadiran bayi aneh ini telah sampai ke telinga Damopolri, Raja
Bolaang Mongondouw. Raja beserta permaisurinya kemudian mendatangi rumah
sepasang suami-istri tersebut, bahkan permaisuri meminta sekiranya bayi
tersebut akan dibawanya ke istana kerajaan Bolaang Mongondouw untuk dirawatnya
dan dijadikan sebagai putri mereka.
Suatu ketika, Lriukakoa meminta benang dan
jarum untuk merajut pakaiannya sendiri. Ia tidur di “Babokian” loteng istana (Timbou
Buntalro) kerajaan Bolaang Mongondouw. Maka tersiarlah berita tentang
kecantikan putri Lriukakoa ke seluruh penjuru kerajaan Bolaang Mongondouw, bahkan
sampai ke telinga pangeran Datunsolang yang adalah putra kerajaan Kaidipang. Yang
memiliki seorang panglima perang yang terkenal kesaktianya, bernama
Dapomilrasa.
Banyak pemuda tampan dan pangeran yang
mendatangi istana Buntalro tersebut, untuk berkenalan dengan putri Lriukakoa,
termasuk di antaranya pangeran Datunsolang. Pangeran ini sangat berkeinginan
untuk meminang dan memperistri putri Lriukakoa, tetapi dengan halus tidak
diterimanya. Karena cintanya ditolak, pangeran Datunsolang mengalami patah hati
dan bahkan jatuh sakit dan tidak mau makan. Raja kerajaan Kaidipang melihat
kondisi putranya yang sudah tidak bergairah itu sangat sedih dan berusaha
membujuk putranya untuk mengambil saja diantara gadis-gadis cantik yang
terdapat dalam kerajaannya, tetapi tetap saja ditolaknya. Rupanya ia hanya
menghendaki putri Lriukakoa untuk menjadi teman hidupnya.
Akhirnya Raja meminta panglima perangnya
Dapomilrasa untuk menculik putri kerajaan Bolaang Mongondouw, Lriukakoa. Berbagai
rencana dipersiapkan untuk menemui Si Putri Telur Burung Gagak, dan usaha
Dapomilrasa berhasil. Yang kemudian menculiknya dan dibawanya ke istana
Kerajaan Kaidipang untuk diserahkan pada pangeran Datunsolang. Gemparlah
seluruh kerajaan Bolaang Mongondouw dengan peristiwa penculikan itu. Raja
Damopolri sangat murka dan kepedihan hati serta kekuatiran melanda permaisuri
kerajaan Bolaang-Mangondow. Raja lalu mengeluarkan maklumat untuk berperang
dengan Kaidipang dalam usaha mendapatkan kembali putri Lriukakoa. Isi maklumat
antara lain : barang siapa yang dapat merebut Lriukakoa dari tangan Dapomilrasa
akan diberi hadiah dan kedudukan yang tinggi. Bahkan kalau yang bersangkutan
masih berstatus bujang dan berhasil membebaskan serta mengembalikan putri dalam
keadaan selamat, maka akan dikawinkan dengan putri. Banyaklah para jagoan muda
menawarkan diri dan pergi berperang bersama pasukan Kerajaan Bolmong namun
kembali dengan kekalahan dan kegagalan.
Di sebuah perkampungan di wilayah kekuasaan
kerajaan Bolmong, tinggallah seorang lelaki paro baya yang profesinya sebagai Mabansalra
(tukang tangkap ayam hutan) bernama Nguha. Perkampungan itu bernama Pontaka
(Pontak) dan dihuni oleh salah satu kelompok leluhur masyarakat Bantik yang
sebelumnya mendiami pegunungan Bulrudumahatusu (Wulurmahatus).
Ketika pasukan kerjaan Bolmong dikalahkan
oleh pasukan kerajaan Kaidipang, Dapomilrasa sedang melintasi hutan belantara
mengejar sisa-sisa pasukan yang telah kocar-kacir melarikan diri.
Saat itu Nguha sedang Mabansalra dalam hutan
tersebut, menyaksikan bagaimana Dapomilrasa sedang mengejar orang-orang
pelarian dari pasukan Bolmong itu. Karena ingin membantu orang sekampungnya
yang lagi lari ketakutan terbirit-birit, Nguha mencabut pedang kecilnya yang
terselib di badannya dan dengan loncatan dan tebasan kilat menghadang
Dapomilrasa. Dengan sekecap mata Bilrada (selendang tutup kemaluan Dapomilrasa)
berhasil dikerat putus sebagiannya dan kemudian si penyerang menghilang secara
gaib ke dalam hutan.
Dapomilrasa berhenti mengejar karena sadar
bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang memiliki kesaktian hebat,
karena sekali sergapan saja bagian tutup kemaluannya telah dikeratnya tanpa ia
dapat berbuat apa-apa. Dengan potongan Bilrada ditangan, Nguha kembali ke tempat
pemukimannya di Pontak dan kejadian bentroknya dengan Dapomilrasa
diceritakannya pada warga sekampungnya. Karena kekalahan perang tersebut Raja
Damopolri dan permaisuri makin bersedih hati memikirkan nasib putri mereka yang
tidak diketahui bagaimana keadaannya, serta terus mencari dan menyeleksi
orang-orang yang dapat mengalahkan Dapomilrasa dan membebaskan putri Lriukakoa.
Orang-orang di perkampungan Pontak mendesak
Nguha untuk pergi menghadap Raja Damopolri karena dengan pengalamannya yang
begitu mudah menyergap dan mengerat Bilrada dari Dapomilrasa ketika saat
Mabansalra di hutan. Bersama potongan Bilrada di tangan, Nguha memberanikan
diri menghadap Raja Damopolri. Ketika menghadap raja, Nguha berkata bahwa untuk
mengalahkan panglima perang kerajaan Kaidipang tidak sukar sambil ia menceritakan
pengalamannya ketika bentrok dengan Dapomilrasa dan dengan sekali gebrak saja
telah berhasil mengerat kain penutup kemaluannya. Yang langsung diperlihatkannya
pada Raja Damopolri. Raja menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang
yang berilmu tinggi, sehingga raja bertanya tentang asal-usulnya dan ada berapa
orang-orang sekampungnya yang memiliki kesaktian seperti Nguha. Nguha menjawab
bahwa sebetulnya dia sendiri belum terhitung apa-apa di kampungnya bila
dibanding dengan yang lain terutama ke-2 pemuda sakti kakak-beradik bernama
Mangku dan Tongalri.
Akhir percakapan, Raja meminta Nguha untuk
menghadapkan ke-2 pemuda sakti tersebut. Singkat ceritra, Mangku dan Tongalri
selanjutnya mendapat tugas dari Raja Damopolri untuk pergi menyerang Kerajaan
Kaidipang, membebaskan putri Lriukakoa yang diculik oleh panglima perangnya yang
hebat Dapomilrasa. Setelah para pemangku jabatan adat (Lrelrean, Talrenga, dan
Mogandi) masyarakat Pondaigi (cikal bakal suku Bantik) di Pontak melangsungkan
upacara adat untuk meminta petunjuk pada Empung/Roh para leluhur dan mendengar
bunyi suara burung Bantik ”Manguni” tentang misi Mangku dan Tongalri untuk
berperang dengan pasukan kerajaan Kaidipang, diperoleh jawaban bahwa misi
tersebut akan berhasil di mana Dapomilrasa akan dapat dikalahkan dan putri
Lriukakoa akan direbut dan dikembalikan dalam keadaan selamat.
Namun ada satu syarat paling penting yang
harus terlebih dahulu dilakukan, yaitu Nguha harus berhasil mencuri buah pinang
berwarna merah yang pohonnya tumbuh besar di depan istana kerajaan Kaidipang.
Perang tanding ketiga tak dapat dihindarkan lagi. Alangkah serunya, bumi
bergetar dengan lengkingan senjata pendekar-pendekar itu dengan pasukan raksasa
Dapomilrasa. Mereka berhasil dikalahkan dan ditumpas oleh ke-2 kakak-beradik
tersebut. Putri Lriukakoa ditemukan dengan selamat dalam gua persembunyian
Dapomilrasa. Terjangan pedang Tongalri yang tajam terbang melayang menghabisi
riwayat Dapomilrasa yang kepalanya besar seperti tempayang terpisah dari
badannya.
Tongalri dan Mangku masuk ke gua dan menemukan
sebuah tambur besar. Setelah tambur itu dibelah, keluarlah Lriukakoa dari
dalamnya. Lriukakoa dibawah untuk sementara diistirahatkan (dipelihara) di
kuala Boki atau kuala putri di negeri Bahu sekitar Malalayang. Setelah itu
Lriukakoa dibawah dan dipersembahkan pada Raja. Tonggalri diberi hadiah dan
predikat adat sebagai Tando Hompong, yakni duduk bersama dengan keluarga
Kerajaan dan Mangku diangkat sebagai Tando Tengede Mangkubumi (Pengawal Perdana
Menteri).
Atas jasa Mangku dan Tongalri serta karena Raja sayang pada orang
Bantik di Pontak, mereka diberi kebebasan memiliki tanah-tanah perkebunan yang
disukainya. Sebagian besar leluhur masyarakat Bantik di Pontak meninggalkan pemukiman
mereka tersebut secara berkelompok-kelompok, ada yang pindah kearah Selatan
untuk kemudian membangun suatu perkampungan baru yang juga diberi nama Pontak
(sampai sekarang masih eksis di Kecamatan Buroko). Ada yang datang tumani di
wilayah Kecamatan Bolaang (sekarang) dan membangun suatu pemukiman baru yang
diberi nama Somoiti (sekarang kampung Bantik Somoit dan Tanamon). Dan kelompok
yang lain berpindah ke berbagai tempat pemukiman baru di tanah Malesung dan
sekitarnya. Satu kelompok diketahui datang ke arah Utara Sulawesi dan mendarat
di Lraintoka (sekarang Tokambene), serta ketemu dengan kelompok sesama orang Bantik
Mandolrang dan sekitarnya (dikisahkan kembali oleh J. Koapaha)
No comments:
Post a Comment