Sunday, 7 December 2014

KISAH LRIUKAKOA : PUTERI TELUR BURUNG GAGAK

DIBEBASKAN KAKAK BERADIK MANGKU-TONGALRI


Puteri Indonesia 2011 Maria Selena (Ilustrasi Foto)
Terkenanglah akan ceritra leluhur masyarakat Bantik yang bermukim di wilayah Kerajaan Bolaang Mongondouw, pada jaman dahulu. Pada suatu hari tersebutlah di sebuah desa di Bolaang-Mangondow sepasang suami-istri bersama ke-2 (dua) anak mereka tinggal di pinggir sebuah kali yang membelakangi sebuah bukit. Pada dasar bukit di seberang kali tersebut, terdapat sebuah gua dan di depan gua tersebut tumbuh sebatang pohon besar yang pada cabang-cabang rindang. Pohon itu merupakan tempat bertedu para unggas namun pada saat tertentu pohon itu merupakan tempat bertengger kawanan Kakoa (burung gagak).
Pada suatu malam tertentu, keluarga itu tidak bisa tidur tenang karena terganggu oleh kebisingan teriakkan suara koak... koak... koak… sepasang burung gagak, yang berlangsung sepanjang malam sampai fajar menyingsing. Kejadian itu menyebabkan sepasang suami-istri itu ingin tahu apa gerangan yang terjadi di seberang kali tempat tinggal mereka. Pada keesokan harinya kelihatanlah di mulut gua itu sebuah benda berbentuk telur ukuran sangat besar bewarna putih, bahkan lebih besar dari ukuran buah mangga golek.
Anehnya, sepasang gagak terus menunggui mulut gua itu disertai berbagai jenis burung seolah-olah ikut nimbrung dengan bunyi kicauan masing-masing. Mungkinkah telur burung itu dapat diambil? demikian pikir kepala rumah tangga keluarga itu. Bersepakatlah sepasang suami-istri memanjat dan mendatangi bukit gua itu dengan maksud mengamati dari dekat atas telur aneh tersebut. Namun sangat sulit mendekatinya karena tidak luput dari serangan/sambaran sepasang gagak tersebut. Setelah keduanya bersamadhi dan mengucapkan kata-kata dalam bahasa makatana, minta ijin pada roh tetua dan Empung, barulah sepasang burung gagak itu tiba-tiba meninggalkan/menghilang dari mulut gua tersebut.
Akhirnya sang suami mengambil telur besar itu dan dibawa ke rumah mereka serta diletakkan pada sebuah piring besar (balrukuan) beralas kain tebal dan ditutup dengan kain putih bersih serta ditempatkan di atas loteng rumah. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, maka menetaslah telur itu dan keluarlah seorang bayi cantik jelita (yang kemudian diberi nama Lriukakoa karena artinya : menetas dari telur burung gagak).
Bahkan pertumbuhan bayi itu sangat tidak masuk akal, sebab baru dalam beberapa minggu saja, ia sudah dapat berbicara dengan lancar. Berita kehadiran bayi aneh ini telah sampai ke telinga Damopolri, Raja Bolaang Mongondouw. Raja beserta permaisurinya kemudian mendatangi rumah sepasang suami-istri tersebut, bahkan permaisuri meminta sekiranya bayi tersebut akan dibawanya ke istana kerajaan Bolaang Mongondouw untuk dirawatnya dan dijadikan sebagai putri mereka.
Suatu ketika, Lriukakoa meminta benang dan jarum untuk merajut pakaiannya sendiri. Ia tidur di “Babokian” loteng istana (Timbou Buntalro) kerajaan Bolaang Mongondouw. Maka tersiarlah berita tentang kecantikan putri Lriukakoa ke seluruh penjuru kerajaan Bolaang Mongondouw, bahkan sampai ke telinga pangeran Datunsolang yang adalah putra kerajaan Kaidipang. Yang memiliki seorang panglima perang yang terkenal kesaktianya, bernama Dapomilrasa.
Banyak pemuda tampan dan pangeran yang mendatangi istana Buntalro tersebut, untuk berkenalan dengan putri Lriukakoa, termasuk di antaranya pangeran Datunsolang. Pangeran ini sangat berkeinginan untuk meminang dan memperistri putri Lriukakoa, tetapi dengan halus tidak diterimanya. Karena cintanya ditolak, pangeran Datunsolang mengalami patah hati dan bahkan jatuh sakit dan tidak mau makan. Raja kerajaan Kaidipang melihat kondisi putranya yang sudah tidak bergairah itu sangat sedih dan berusaha membujuk putranya untuk mengambil saja diantara gadis-gadis cantik yang terdapat dalam kerajaannya, tetapi tetap saja ditolaknya. Rupanya ia hanya menghendaki putri Lriukakoa untuk menjadi teman hidupnya.
Akhirnya Raja meminta panglima perangnya Dapomilrasa untuk menculik putri kerajaan Bolaang Mongondouw, Lriukakoa. Berbagai rencana dipersiapkan untuk menemui Si Putri Telur Burung Gagak, dan usaha Dapomilrasa berhasil. Yang kemudian menculiknya dan dibawanya ke istana Kerajaan Kaidipang untuk diserahkan pada pangeran Datunsolang. Gemparlah seluruh kerajaan Bolaang Mongondouw dengan peristiwa penculikan itu. Raja Damopolri sangat murka dan kepedihan hati serta kekuatiran melanda permaisuri kerajaan Bolaang-Mangondow. Raja lalu mengeluarkan maklumat untuk berperang dengan Kaidipang dalam usaha mendapatkan kembali putri Lriukakoa. Isi maklumat antara lain : barang siapa yang dapat merebut Lriukakoa dari tangan Dapomilrasa akan diberi hadiah dan kedudukan yang tinggi. Bahkan kalau yang bersangkutan masih berstatus bujang dan berhasil membebaskan serta mengembalikan putri dalam keadaan selamat, maka akan dikawinkan dengan putri. Banyaklah para jagoan muda menawarkan diri dan pergi berperang bersama pasukan Kerajaan Bolmong namun kembali dengan kekalahan dan kegagalan.
Di sebuah perkampungan di wilayah kekuasaan kerajaan Bolmong, tinggallah seorang lelaki paro baya yang profesinya sebagai Mabansalra (tukang tangkap ayam hutan) bernama Nguha. Perkampungan itu bernama Pontaka (Pontak) dan dihuni oleh salah satu kelompok leluhur masyarakat Bantik yang sebelumnya mendiami pegunungan Bulrudumahatusu (Wulurmahatus).
Ketika pasukan kerjaan Bolmong dikalahkan oleh pasukan kerajaan Kaidipang, Dapomilrasa sedang melintasi hutan belantara mengejar sisa-sisa pasukan yang telah kocar-kacir melarikan diri.
Saat itu Nguha sedang Mabansalra dalam hutan tersebut, menyaksikan bagaimana Dapomilrasa sedang mengejar orang-orang pelarian dari pasukan Bolmong itu. Karena ingin membantu orang sekampungnya yang lagi lari ketakutan terbirit-birit, Nguha mencabut pedang kecilnya yang terselib di badannya dan dengan loncatan dan tebasan kilat menghadang Dapomilrasa. Dengan sekecap mata Bilrada (selendang tutup kemaluan Dapomilrasa) berhasil dikerat putus sebagiannya dan kemudian si penyerang menghilang secara gaib ke dalam hutan.
Dapomilrasa berhenti mengejar karena sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang memiliki kesaktian hebat, karena sekali sergapan saja bagian tutup kemaluannya telah dikeratnya tanpa ia dapat berbuat apa-apa. Dengan potongan Bilrada ditangan, Nguha kembali ke tempat pemukimannya di Pontak dan kejadian bentroknya dengan Dapomilrasa diceritakannya pada warga sekampungnya. Karena kekalahan perang tersebut Raja Damopolri dan permaisuri makin bersedih hati memikirkan nasib putri mereka yang tidak diketahui bagaimana keadaannya, serta terus mencari dan menyeleksi orang-orang yang dapat mengalahkan Dapomilrasa dan membebaskan putri Lriukakoa.
Orang-orang di perkampungan Pontak mendesak Nguha untuk pergi menghadap Raja Damopolri karena dengan pengalamannya yang begitu mudah menyergap dan mengerat Bilrada dari Dapomilrasa ketika saat Mabansalra di hutan. Bersama potongan Bilrada di tangan, Nguha memberanikan diri menghadap Raja Damopolri. Ketika menghadap raja, Nguha berkata bahwa untuk mengalahkan panglima perang kerajaan Kaidipang tidak sukar sambil ia menceritakan pengalamannya ketika bentrok dengan Dapomilrasa dan dengan sekali gebrak saja telah berhasil mengerat kain penutup kemaluannya. Yang langsung diperlihatkannya pada Raja Damopolri. Raja menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan seseorang yang berilmu tinggi, sehingga raja bertanya tentang asal-usulnya dan ada berapa orang-orang sekampungnya yang memiliki kesaktian seperti Nguha. Nguha menjawab bahwa sebetulnya dia sendiri belum terhitung apa-apa di kampungnya bila dibanding dengan yang lain terutama ke-2 pemuda sakti kakak-beradik bernama Mangku dan Tongalri.
Akhir percakapan, Raja meminta Nguha untuk menghadapkan ke-2 pemuda sakti tersebut. Singkat ceritra, Mangku dan Tongalri selanjutnya mendapat tugas dari Raja Damopolri untuk pergi menyerang Kerajaan Kaidipang, membebaskan putri Lriukakoa yang diculik oleh panglima perangnya yang hebat Dapomilrasa. Setelah para pemangku jabatan adat (Lrelrean, Talrenga, dan Mogandi) masyarakat Pondaigi (cikal bakal suku Bantik) di Pontak melangsungkan upacara adat untuk meminta petunjuk pada Empung/Roh para leluhur dan mendengar bunyi suara burung Bantik ”Manguni” tentang misi Mangku dan Tongalri untuk berperang dengan pasukan kerajaan Kaidipang, diperoleh jawaban bahwa misi tersebut akan berhasil di mana Dapomilrasa akan dapat dikalahkan dan putri Lriukakoa akan direbut dan dikembalikan dalam keadaan selamat.
Namun ada satu syarat paling penting yang harus terlebih dahulu dilakukan, yaitu Nguha harus berhasil mencuri buah pinang berwarna merah yang pohonnya tumbuh besar di depan istana kerajaan Kaidipang. Perang tanding ketiga tak dapat dihindarkan lagi. Alangkah serunya, bumi bergetar dengan lengkingan senjata pendekar-pendekar itu dengan pasukan raksasa Dapomilrasa. Mereka berhasil dikalahkan dan ditumpas oleh ke-2 kakak-beradik tersebut. Putri Lriukakoa ditemukan dengan selamat dalam gua persembunyian Dapomilrasa. Terjangan pedang Tongalri yang tajam terbang melayang menghabisi riwayat Dapomilrasa yang kepalanya besar seperti tempayang terpisah dari badannya.
Tongalri dan Mangku masuk ke gua dan menemukan sebuah tambur besar. Setelah tambur itu dibelah, keluarlah Lriukakoa dari dalamnya. Lriukakoa dibawah untuk sementara diistirahatkan (dipelihara) di kuala Boki atau kuala putri di negeri Bahu sekitar Malalayang. Setelah itu Lriukakoa dibawah dan dipersembahkan pada Raja. Tonggalri diberi hadiah dan predikat adat sebagai Tando Hompong, yakni duduk bersama dengan keluarga Kerajaan dan Mangku diangkat sebagai Tando Tengede Mangkubumi (Pengawal Perdana Menteri).
Atas jasa Mangku dan Tongalri serta karena Raja sayang pada orang Bantik di Pontak, mereka diberi kebebasan memiliki tanah-tanah perkebunan yang disukainya. Sebagian besar leluhur masyarakat Bantik di Pontak meninggalkan pemukiman mereka tersebut secara berkelompok-kelompok, ada yang pindah kearah Selatan untuk kemudian membangun suatu perkampungan baru yang juga diberi nama Pontak (sampai sekarang masih eksis di Kecamatan Buroko). Ada yang datang tumani di wilayah Kecamatan Bolaang (sekarang) dan membangun suatu pemukiman baru yang diberi nama Somoiti (sekarang kampung Bantik Somoit dan Tanamon). Dan kelompok yang lain berpindah ke berbagai tempat pemukiman baru di tanah Malesung dan sekitarnya. Satu kelompok diketahui datang ke arah Utara Sulawesi dan mendarat di Lraintoka (sekarang Tokambene), serta ketemu dengan kelompok sesama orang Bantik Mandolrang dan sekitarnya (dikisahkan kembali oleh J. Koapaha)

No comments:

Post a Comment