Sunday, 7 December 2014

BERDIRINYA NEGERI MINANGA DAN POGIDON DI SULAWESI UTARA

PUSAT KEHIDUPAN MASYARAKAT BANTIK

Komunitas Bantik di Sulawesi Utara saat ini mendiami kampung-kampung yang tersebar di sebelas lokasi sebagai berikut : Mahasa (Maras), Molrasa (Molas), Bailrang, (Bailang), Talrabang (Talawaan Bantik), Bengkolro (Bengkol), Buha, Sikilri (Singkil), Minanga (Malalayang), Kalrasei (Kalasei), Tanamon (di Minahasa Selatan), dan Sumoiti (Sumoit) di Bolaang Mongondow.
Sebelum kedatangan bangsa Portugis ± tahun 1570, anak suku Bantik tinggal berpencar di tujuh lokasi berbeda yaitu :

  1. Bineheyan (dekat negeri Tomohon), dipimpin oleh seorang Magudang artinya Ketua, yang bernama Humopa.
  2. Balatantakan (dekat negeri Kasuratan dan Parepei), yang dipimpin oleh seorang Magudang yang bernama Boyoh.
  3. Tumatenden, dipegunungan Kanto, Airmadidi, Tonsea, dipimpin oleh Magudang bernama Angkoro.
  4. Muung Maalangen, yaitu dekat negeri Paslaten dan Matani Tomohon, dipimpin oleh Magudang yang bernama Tumpeheng.
  5. Bukidi dekat Burudu Diaga, dekat negeri Darunu, dipimpin oleh Magudang yang bernama Mokosoroy. Mereka ini yang kemudian hari mendirikan negeri Talawaan Bantik.
  6. Somoit (didaerah Bolmong), dipimpin oleh dua orang Magudang yang bernama Pontosumbirang dan Mahadia. Sebagian dari mereka yang kemudian hari mendirikan negeri Tanamon yang sekarang di daerah Minahasa Selatan.
  7. Di Pegunungan Pure (Amurang), dipimpin oleh Magudang Monaga. Pegunungan ini disebut juga Gunung Bantik.


Selanjutnya mereka yang tinggal di Balantakan, Muung Maalangen, Bineheyan dan yang di pegunungan Pure, kembali dan mendiami “Kantang Bantik”, yakni Gunung Bantik yang terletak di dekat Pineleng dan Warembungan. Daerah tersebut dahulunya ditempati oleh nenek moyang mereka, tetapi kemudian ditinggalkan karena adanya penyakit sampar. Segera setelah anak suku Bantik yang berada pada empat lokasi tersebut berkumpul dan tinggal menetap di Gunung Bantik, mereka mengangkat Humaisi menjadi Pemimpin, yang dalam bahasa Bantik disebut “Gudangne”, dan Mamosey diangkat menjadi “Mogandi” (kepala perang) mereka.
Sedangkan anak suku Bantik yang di Bukidi dan Kaho, walaupun tidak ikut pindah ke Gunung Bantik, tetapi mereka mengakui “Gudangne” Humaisi dan “Mogandi” Mamosey sebagai Pemimpin mereka, dan mereka saling mengunjungi satu dengan yang lainnya, baik pada pesta-pesta perkawinan maupun kematian, dan lain-lain.

BERDIRINYA NEGERI MINANGA (MALALAYANG) DAN POGIDON

Sebagian anak suku Bantik yang tinggal di “Kantang Bantik” (Gunung Bantik) pada masa kepemimpinan “Gudangne” Kasiaha, pergi mendirikan negeri “Minanga” (Malalayang sekarang). Daerah tersebut masih berupa hutan dan belum berpenghuni. Di sepanjang pantai negeri Minanga, mereka menanam semacam pohon kayu yang warna daunnya muda, disebut oleh orang Bantik “Kayu Bulrang” dan lazim disebut orang sekarang ini “Kayu Bulan”. Pohon kayu ini kelihatannya sangat mencolok bila dipandang dari kejauhan, sebab warna daunnya yang kuning muda itu sangat kontras dengan warna pohon-pohon kayu lain yang tumbuh disepanjang pantai Minanga.
Kemudian pada masa “Gudangne” Rombang, sebagian anak-suku Bantik di Gunung Bantik, pergi mendirikan negeri “Pogidon” yang letaknya sebelah selatan muara sungai Tondano, dimana daerah tersebut sama dengan Minanga, awalnya masih berupa hutan dan belum berpenghuni.
Adapun pusat perkampungannya didirikan tepatnya di Makorem (bersebelahan dengan Kantor Pos Manado sekarang) dan sekitarnya, dan ditandai dengan penanam 7 (tujuh) pohon “Kayu Dondo”.
Sangat disayangkan, sebab sewaktu Kolonel Soetrisno menjabat sebagai komandan Korem 131 Santiago, 5 (lima) dari 7 (tujuh) pohon legenda tersebut telah ditebang. Sedangkan 1 (satu) dari 2 (dua) pohon legenda yang tertinggal (sisa) ditebang pula oleh Letkol Runtukahu pada tahun 2000.
Pada tahun 2006 masih tertinggal 1 (satu) batang tuur (stumb) yang ditumbuhi oleh cabang/ranting muda di halaman markas Korem 131 Santiago Manado. Lagi pula, di halaman samping kiri Makorem 131 tersebut terdapat sebuah selokan (stream) bernama “kali Pogidon” yang sampai sekarang eksis mengalir ke arah Reklamasi Megamall Teluk Manado di antara gedung Kentucky Fried Chicken dan kantor Asuransi PT Jasindo Manado, (Joutje Koapaha, 2006).
Di sekeliling negeri Pogidon banyak ditumbuhi semacam pohon kayu yang daunnya lebar-lebar yang disebut “Kayu Benang” (Wenang). Kulit batangnya biasa dipakai oleh orang Bantik untuk mencelup pukat penangkap ikan, supaya kuat dan bertahan lama. Oleh karena itu negeri Pogidon itu disebut juga “Benang” (Wenang).
Antara negeri Pogidon (Benang/Wenang) dan negeri Minanga pada zaman itu tidak ada berpenghuni, hanya hutan belaka dan tempat-tempat perkebunan orang Bantik.
Adapun pohon kayu bulrang yang ditanam oleh mereka yang tinggal di Minanga, adalah sebagai tanda kepada kawan-kawan dan keluarga yang ada di Pogidon, supaya bilamana mereka di Pogidon itu memandang kesana, akan tampak pemandangan indah di tepi pantai, di situlah letaknya negeri Minanga. Biarpun mereka tinggal menetap di dua lokasi yang cukup berjauhan pada waktu itu, tetapi dengan memandang pohon-pohon “kayu bulrang” tersebut, mereka merasa seolah-olah seperti berdekatan saja. Oleh karena itu pula, kadang-kadang orang Bantik di “Minanga” disebut juga “Orang Bantik Kayu Bulrang” oleh orang Bantik yang tinggal di tempat lain.
Selanjutnya Gudangne Rombang berkedudukan di Pogidon, menjadi Pemimpin semua orang Bantik yang menetap di Bukidi, Kaho, Minanga dan Pogidon tentunya, kecuali orang Bantik yang di Somoit, Bolaang Mongondow dan di Tanamon Minahasa Selatan, mereka itu berdiri sendiri jauh terpisah dari orang-orang Bantik lainnya.

PULAU MANADO TUA, KEDATANGAN BANGSA PORTUGIS DAN SPANYOL


Pulau Manado Tua yang terletak berhadapan dengan negeri Pogidon dan Minanga, pada zaman itu disebut “Pulau Manadou”, pulau tersebut tidak berpenghuni karena ditinggal oleh orang “mangindanou” yang terkenal sebagai bajak laut. Orang mangindanou yang tinggal di pulau tersebut dinamakan “orang manadou” oleh orang Bantik. Setelah lama tidak berpenghuni, kemudian datang ke sana suku “Babontehu”, jumlahnya hanya sedikit ± 30-40 kepala keluarga, dan oleh orang Bantik disebut juga mereka itu “orang manadou” tapi dari suku Babontehu. Mereka bersahabat dengan orang-orang Bantik yang tinggal di Pogidon dan Minanga.
Pada zaman itu, ± tahun 1570-1606 datang bangsa Portugis berlabuh di pulau Manado Tua, selanjutnya bersama orang Manadou, mereka datang ke negeri Pogidon (Wenang) untuk tukar-menukar hasil bumi penduduk negeri Pogidon (Wenang) dan Minanga (Malalayang). Bangsa Portugis tidak tinggal menetap di Pogidon (Wenang), mereka seringkali datang dan pergi, dan tampak seolah-olah mereka hanya ingin bersahabat.
Setelah bangsa Portugis, datang pula bangsa Spanyol ± tahun 1607-1650 dengan kapal mereka berlabuh di muka negeri Pogidon. Masuknya Spanyol ke Pogidon menyebabkan bangsa Portugis menjadi jarang datang dan akhirnya tidak pernah muncul kembali.
Orang Spanyol mulai bersahabat dengan orang Bantik, mereka mendirikan pabrik batu-bata dan mendirikan rumah-rumah di sekitar negeri Pogidon, yaitu sekeliling Kantor Pos Manado sekarang, dan mengatur perusahaan-perusahaan yang mereka dirikan.
Awalnya orang Spanyol ini sangat dihormati oleh orang Bantik Pogidon, tetapi lama-kelamaan terlihat siasat mereka ingin menguasai orang-orang Bantik dan para Pemimpinnya. Orang Bantik tidak senang dengan perilaku orang Spanyol ini sehingga timbul permusuhan tetapi tidak sampai terjadi peperangan.
Ternyata orang Spanyol ini tidak disukai juga oleh orang “Minahasa” lainnya, sehingga mereka bermaksud pergi memanggil orang-orang Belanda yang ada di Maluku untuk bersahabat dan memintakan bantuan untuk mengusir orang Spanyol. Dalam perjalan ke Maluku, mereka diantar oleh 2 (dua) orang “tonaasa” Bantik yang bernama Samolra dan Sahumanang sebagai penunjuk jalan.
Dua orang tonaasa Bantik ini sangat menguasai pencarian laut yang disebut “matambung”, yaitu pencarian yang sarat dengan pertempuran senjata melawan orang-orang Mangindanou, Lolada dan Tobelo, sebagai bajak laut. Samolra dan Sahumanang ini sering pergi sampai ke pulau Batang Dua, di dekat Maluku, untuk mencari penyu, ikan dan lain-lain. Mereka sangat paham mengenai jalannya bintang, sebagai pedoman untuk perjalanan di laut.

KEDATANGAN BANGSA BELANDA

Orang Belanda ± tahun 1658 mendarat di Pogidon dengan kapal-kapal mereka, dan mulai mengusir orang-orang Spanyol. Di Pogidon atau dikenal juga dengan nama “Wenang”, mereka mendirikan rumah-rumah di bekas rumah orang Spanyol. Sikap orang Belanda dianggap peramah pada waktu itu sehingga kedatangan mereka disenangi oleh penduduk tanah Toada-Lumimuutu, mereka mulai mencampuri urusan penduduk, menolong mengatur mata-pencaharian, menukar barang-barang mereka dengan hasil bumi penduduk, dan dengan kecerdikannya lama-kelamaan mereka mulai berkuasa dan perlahan-lahan tanah Toada-Lumimuutu menjadi jajahan Belanda.

GELAR GUDANGNE (PEMIMPIN) DIUBAH MENJADI KEPALA BALAK


Pada tahun 1788, orang Belanda mulai mengganti gelar Gudangne menjadi “Kepala Balak”. Kepala Balak pada waktu itu belum menerima gaji dan belum ada peraturan membayar pajak. Kepala Balak hanya menerima pemberian-pemberian dari rakyat seperti biasa sejak dulu (diberikan kepada Gudangne) disebut “Habua” yaitu pemberian berupa : padi, jagung, sayur-mayur, hasil buruan, hasil tangkapan ikan dan lain-lain, yang diberikan menurut kerelaan masing-masing kepala keluarga. Demikian juga rumah tinggalnya diselenggarakan oleh rakyat.
Pemerintah Belanda mulai menuntut macam-macam dari rakyat, dan mulailah mereka mengeluarkan berbagai-bagai aturan, dan rakyat disuruh secara paksa untuk menanam kopi. Hal ini tidak disenangi oleh rakyat, maka Kepala Balak pada waktu itu bernama Kapugu yang juga tidak setuju dengan tindakan Belanda tersebut dan mengajak rakyat untuk melawan pemerintah Belanda.
Mereka mengadakan “Bakidang” (musyawarah) dengan seluruh kepala negeri Bantik, dan diputuskan untuk menyerang semua orang Belanda yang di Pogidon (Wenang), untuk itu semua orang Bantik yang mau ikut berontak diambil sumpahnya dengan menyembelih babi.
Rencana tersebut tercium oleh Belanda, dan dengan segera Belanda datang membujuk Kepala Balak Kapugu, lalu menarik segala peraturan dan perintah-perintah yang menimbulkan kemarahan rakyat. Dengan kecerdikan halus Pemerintah Belanda berhasil membujuk Kepala Balak Kapugu dan diasingkan ke Belang, Ratahan, sebab dianggap sangat berbahaya. Sampai pada hari tuanya Kapugu dipulangkan kembali ke negeri asalnya.

(Sumber bacaan : Sejarah Anak Suku Bantik oleh Pdt. M. Kiroh, 1968)

No comments:

Post a Comment