PUSAT
KEHIDUPAN MASYARAKAT BANTIK
Komunitas Bantik di Sulawesi Utara saat ini
mendiami kampung-kampung yang tersebar di sebelas lokasi sebagai berikut :
Mahasa (Maras), Molrasa (Molas), Bailrang, (Bailang), Talrabang (Talawaan
Bantik), Bengkolro (Bengkol), Buha, Sikilri (Singkil), Minanga (Malalayang),
Kalrasei (Kalasei), Tanamon (di Minahasa Selatan), dan Sumoiti (Sumoit) di
Bolaang Mongondow.
Sebelum kedatangan bangsa Portugis ± tahun
1570, anak suku Bantik tinggal berpencar di tujuh lokasi berbeda yaitu :
- Bineheyan (dekat negeri Tomohon), dipimpin oleh seorang Magudang artinya Ketua, yang bernama Humopa.
- Balatantakan (dekat negeri Kasuratan dan Parepei), yang dipimpin oleh seorang Magudang yang bernama Boyoh.
- Tumatenden, dipegunungan Kanto, Airmadidi, Tonsea, dipimpin oleh Magudang bernama Angkoro.
- Muung Maalangen, yaitu dekat negeri Paslaten dan Matani Tomohon, dipimpin oleh Magudang yang bernama Tumpeheng.
- Bukidi dekat Burudu Diaga, dekat negeri Darunu, dipimpin oleh Magudang yang bernama Mokosoroy. Mereka ini yang kemudian hari mendirikan negeri Talawaan Bantik.
- Somoit (didaerah Bolmong), dipimpin oleh dua orang Magudang yang bernama Pontosumbirang dan Mahadia. Sebagian dari mereka yang kemudian hari mendirikan negeri Tanamon yang sekarang di daerah Minahasa Selatan.
- Di Pegunungan Pure (Amurang), dipimpin oleh Magudang Monaga. Pegunungan ini disebut juga Gunung Bantik.
Selanjutnya mereka yang tinggal di
Balantakan, Muung Maalangen, Bineheyan dan yang di pegunungan Pure, kembali dan
mendiami “Kantang Bantik”, yakni Gunung Bantik yang terletak di dekat Pineleng
dan Warembungan. Daerah tersebut dahulunya ditempati oleh nenek moyang mereka,
tetapi kemudian ditinggalkan karena adanya penyakit sampar. Segera setelah anak
suku Bantik yang berada pada empat lokasi tersebut berkumpul dan tinggal
menetap di Gunung Bantik, mereka mengangkat Humaisi menjadi Pemimpin, yang
dalam bahasa Bantik disebut “Gudangne”, dan Mamosey diangkat menjadi “Mogandi”
(kepala perang) mereka.
Sedangkan anak suku Bantik yang di Bukidi dan
Kaho, walaupun tidak ikut pindah ke Gunung Bantik, tetapi mereka mengakui
“Gudangne” Humaisi dan “Mogandi” Mamosey sebagai Pemimpin mereka, dan mereka
saling mengunjungi satu dengan yang lainnya, baik pada pesta-pesta perkawinan maupun
kematian, dan lain-lain.
BERDIRINYA NEGERI MINANGA
(MALALAYANG) DAN POGIDON
Sebagian anak suku Bantik yang tinggal di
“Kantang Bantik” (Gunung Bantik) pada masa kepemimpinan “Gudangne” Kasiaha,
pergi mendirikan negeri “Minanga” (Malalayang sekarang). Daerah tersebut masih
berupa hutan dan belum berpenghuni. Di sepanjang pantai negeri Minanga, mereka
menanam semacam pohon kayu yang warna daunnya muda, disebut oleh orang Bantik
“Kayu Bulrang” dan lazim disebut orang sekarang ini “Kayu Bulan”. Pohon kayu ini
kelihatannya sangat mencolok bila dipandang dari kejauhan, sebab warna daunnya
yang kuning muda itu sangat kontras dengan warna pohon-pohon kayu lain yang
tumbuh disepanjang pantai Minanga.
Kemudian pada masa “Gudangne” Rombang,
sebagian anak-suku Bantik di Gunung Bantik, pergi mendirikan negeri “Pogidon”
yang letaknya sebelah selatan muara sungai Tondano, dimana daerah tersebut sama
dengan Minanga, awalnya masih berupa hutan dan belum berpenghuni.
Adapun pusat perkampungannya didirikan tepatnya
di Makorem (bersebelahan dengan Kantor Pos Manado sekarang) dan sekitarnya, dan
ditandai dengan penanam 7 (tujuh) pohon “Kayu Dondo”.
Sangat disayangkan, sebab sewaktu Kolonel
Soetrisno menjabat sebagai komandan Korem 131 Santiago, 5 (lima) dari 7 (tujuh)
pohon legenda tersebut telah ditebang. Sedangkan 1 (satu) dari 2 (dua) pohon legenda
yang tertinggal (sisa) ditebang pula oleh Letkol Runtukahu pada tahun 2000.
Pada tahun 2006 masih tertinggal 1 (satu)
batang tuur (stumb) yang ditumbuhi oleh cabang/ranting muda di halaman markas
Korem 131 Santiago Manado. Lagi pula, di halaman samping kiri Makorem 131
tersebut terdapat sebuah selokan (stream) bernama “kali Pogidon” yang sampai
sekarang eksis mengalir ke arah Reklamasi Megamall Teluk Manado di antara
gedung Kentucky Fried Chicken dan kantor Asuransi PT Jasindo Manado, (Joutje
Koapaha, 2006).
Di sekeliling negeri Pogidon banyak ditumbuhi
semacam pohon kayu yang daunnya lebar-lebar yang disebut “Kayu Benang”
(Wenang). Kulit batangnya biasa dipakai oleh orang Bantik untuk mencelup pukat
penangkap ikan, supaya kuat dan bertahan lama. Oleh karena itu negeri Pogidon
itu disebut juga “Benang” (Wenang).
Antara negeri Pogidon (Benang/Wenang) dan
negeri Minanga pada zaman itu tidak ada berpenghuni, hanya hutan belaka dan tempat-tempat
perkebunan orang Bantik.
Adapun pohon kayu bulrang yang ditanam oleh
mereka yang tinggal di Minanga, adalah sebagai tanda kepada kawan-kawan dan
keluarga yang ada di Pogidon, supaya bilamana mereka di Pogidon itu memandang
kesana, akan tampak pemandangan indah di tepi pantai, di situlah letaknya
negeri Minanga. Biarpun mereka tinggal menetap di dua lokasi yang cukup
berjauhan pada waktu itu, tetapi dengan memandang pohon-pohon “kayu bulrang”
tersebut, mereka merasa seolah-olah seperti berdekatan saja. Oleh karena itu
pula, kadang-kadang orang Bantik di “Minanga” disebut juga “Orang Bantik Kayu
Bulrang” oleh orang Bantik yang tinggal di tempat lain.
Selanjutnya Gudangne Rombang berkedudukan di
Pogidon, menjadi Pemimpin semua orang Bantik yang menetap di Bukidi, Kaho,
Minanga dan Pogidon tentunya, kecuali orang Bantik yang di Somoit, Bolaang
Mongondow dan di Tanamon Minahasa Selatan, mereka itu berdiri sendiri jauh
terpisah dari orang-orang Bantik lainnya.
PULAU MANADO TUA, KEDATANGAN
BANGSA PORTUGIS DAN SPANYOL
Pulau Manado Tua yang terletak berhadapan
dengan negeri Pogidon dan Minanga, pada zaman itu disebut “Pulau Manadou”,
pulau tersebut tidak berpenghuni karena ditinggal oleh orang “mangindanou” yang
terkenal sebagai bajak laut. Orang mangindanou yang tinggal di pulau tersebut
dinamakan “orang manadou” oleh orang Bantik. Setelah lama tidak berpenghuni,
kemudian datang ke sana suku “Babontehu”, jumlahnya hanya sedikit ± 30-40
kepala keluarga, dan oleh orang Bantik disebut juga mereka itu “orang manadou”
tapi dari suku Babontehu. Mereka bersahabat dengan orang-orang Bantik yang
tinggal di Pogidon dan Minanga.
Pada zaman itu, ± tahun 1570-1606 datang
bangsa Portugis berlabuh di pulau Manado Tua, selanjutnya bersama orang
Manadou, mereka datang ke negeri Pogidon (Wenang) untuk tukar-menukar hasil
bumi penduduk negeri Pogidon (Wenang) dan Minanga (Malalayang). Bangsa Portugis
tidak tinggal menetap di Pogidon (Wenang), mereka seringkali datang dan pergi,
dan tampak seolah-olah mereka hanya ingin bersahabat.
Setelah bangsa Portugis, datang pula bangsa
Spanyol ± tahun 1607-1650 dengan kapal mereka berlabuh di muka negeri Pogidon.
Masuknya Spanyol ke Pogidon menyebabkan bangsa Portugis menjadi jarang datang
dan akhirnya tidak pernah muncul kembali.
Orang Spanyol mulai bersahabat dengan orang
Bantik, mereka mendirikan pabrik batu-bata dan mendirikan rumah-rumah di sekitar
negeri Pogidon, yaitu sekeliling Kantor Pos Manado sekarang, dan mengatur
perusahaan-perusahaan yang mereka dirikan.
Awalnya orang Spanyol ini sangat dihormati
oleh orang Bantik Pogidon, tetapi lama-kelamaan terlihat siasat mereka ingin
menguasai orang-orang Bantik dan para Pemimpinnya. Orang Bantik tidak senang
dengan perilaku orang Spanyol ini sehingga timbul permusuhan tetapi tidak sampai
terjadi peperangan.
Ternyata orang Spanyol ini tidak disukai juga
oleh orang “Minahasa” lainnya, sehingga mereka bermaksud pergi memanggil
orang-orang Belanda yang ada di Maluku untuk bersahabat dan memintakan bantuan
untuk mengusir orang Spanyol. Dalam perjalan ke Maluku, mereka diantar oleh 2 (dua)
orang “tonaasa” Bantik yang bernama Samolra dan Sahumanang sebagai penunjuk
jalan.
Dua orang tonaasa Bantik ini sangat menguasai
pencarian laut yang disebut “matambung”, yaitu pencarian yang sarat dengan pertempuran
senjata melawan orang-orang Mangindanou, Lolada dan Tobelo, sebagai bajak laut.
Samolra dan Sahumanang ini sering pergi sampai ke pulau Batang Dua, di dekat
Maluku, untuk mencari penyu, ikan dan lain-lain. Mereka sangat paham mengenai
jalannya bintang, sebagai pedoman untuk perjalanan di laut.
KEDATANGAN BANGSA BELANDA
Orang Belanda ± tahun 1658 mendarat di Pogidon
dengan kapal-kapal mereka, dan mulai mengusir orang-orang Spanyol. Di Pogidon
atau dikenal juga dengan nama “Wenang”, mereka mendirikan rumah-rumah di bekas
rumah orang Spanyol. Sikap orang Belanda dianggap peramah pada waktu itu
sehingga kedatangan mereka disenangi oleh penduduk tanah Toada-Lumimuutu, mereka
mulai mencampuri urusan penduduk, menolong mengatur mata-pencaharian, menukar
barang-barang mereka dengan hasil bumi penduduk, dan dengan kecerdikannya
lama-kelamaan mereka mulai berkuasa dan perlahan-lahan tanah Toada-Lumimuutu
menjadi jajahan Belanda.
GELAR GUDANGNE (PEMIMPIN)
DIUBAH MENJADI KEPALA BALAK
Pada tahun 1788, orang Belanda mulai
mengganti gelar Gudangne menjadi “Kepala Balak”. Kepala Balak pada waktu itu
belum menerima gaji dan belum ada peraturan membayar pajak. Kepala Balak hanya
menerima pemberian-pemberian dari rakyat seperti biasa sejak dulu (diberikan
kepada Gudangne) disebut “Habua” yaitu pemberian berupa : padi, jagung,
sayur-mayur, hasil buruan, hasil tangkapan ikan dan lain-lain, yang diberikan
menurut kerelaan masing-masing kepala keluarga. Demikian juga rumah tinggalnya
diselenggarakan oleh rakyat.
Pemerintah Belanda mulai menuntut macam-macam
dari rakyat, dan mulailah mereka mengeluarkan berbagai-bagai aturan, dan rakyat
disuruh secara paksa untuk menanam kopi. Hal ini tidak disenangi oleh rakyat,
maka Kepala Balak pada waktu itu bernama Kapugu yang juga tidak setuju dengan
tindakan Belanda tersebut dan mengajak rakyat untuk melawan pemerintah Belanda.
Mereka mengadakan “Bakidang” (musyawarah)
dengan seluruh kepala negeri Bantik, dan diputuskan untuk menyerang semua orang
Belanda yang di Pogidon (Wenang), untuk itu semua orang Bantik yang mau ikut
berontak diambil sumpahnya dengan menyembelih babi.
Rencana tersebut tercium oleh Belanda, dan
dengan segera Belanda datang membujuk Kepala Balak Kapugu, lalu menarik segala
peraturan dan perintah-perintah yang menimbulkan kemarahan rakyat. Dengan
kecerdikan halus Pemerintah Belanda berhasil membujuk Kepala Balak Kapugu dan
diasingkan ke Belang, Ratahan, sebab dianggap sangat berbahaya. Sampai pada
hari tuanya Kapugu dipulangkan kembali ke negeri asalnya.
No comments:
Post a Comment