WARISAN DAN KEKAYAAN BUDAYA YANG
TERABAIKAN
Oleh
F.S.Watuseke
Beberapa
waktu sebelumnya sewaktu ditanya pada orang yang berwewenang juga, diberikan
respons, bahwa untuk memberikan pelajaran bahasa daerah Minahasa, tidak ada
kurikulum, yang datang dari Jakarta.
Saya
katakan waktu itu bahwa siapa yang harus membuat kurikulum, bukan Jakarta, akan
tetapi dari sini yang harus memberikannya. Pernah dilontarkan bahwa tidak ada
guru-guru yang dapat memberikan mata pelajaran bahasa daerah. Saya pernah
usulkan kita ambil saja siapa saja guru yang mengajar di SD dari seorang guru
yang berasal dari wilayah dimana sekolah itu terletak, yang masih
dapat menutur bahasa daerah asalnya.
Sejak
beberapa tahun memang di beberapa sekolah dasar telah diberikan mata pelajaran
bahasa daerah, akan tetapi itu merupakan pilihan dari mata-mata pelajaran yang
disatukan pada muatan lokal.
Pada
muatan lokal ini ada ilmu pengenalan alam, ilmu bumi, sejarah daerah, bahasa
daerah dan lain-lain. Apa yang terjadi umumnya seorang guru mengambil mata
pelajaran yang gampang, yaitu umumnya mata pelajaran bukan bahasa daerah.
Pada
saat kita beranjak, pada akhir milenium kedua yang masih sisa enam bulan lagi,
maka keadaan pemakaian bahasa percakapan di Minahasa adalah sebagai berikut :
Pemakaian
Bahasa Daerah : Pemakaian
bahasa daerah sudah mulai berkotak-kotak. Di atas saya telah berikan contoh. Kalau
28 tahun lalu pada sebuah seminar bahasa daerah telah dikatakan, bahwa
disinyalir, bahwa bahasa-bahasa daerah Minahasa telah menuju pada kepunahan. Pada
waktu saya masih menantang anggapan tersebut. Saya katakan waktu itu, bahwa
anak-anak yang berumur sekitar 12 – 15 tahun, masih banyak yang menguasai
bahasa daerah. Saya mengambil contoh waktu itu di wilayah Tondano. Pada saat
ini tantangan itu sama sekali, ternyata tidak berlaku lagi. Informasi yang saya
baru dengar ialah bahwa pemuda sampai pada orang-orang berumur 40 tahun tidak
berbahasa daerah lagi di wilayah Ratahan, hanya satu dua desa yang masih agak
utuh yaitu : Pangu, Wioi dan barangkali Wiau. Dan selainnya itu tidak lagi dan
mengatakan, bahwa mereka mengatakan, bahwa bahasa daerah itu adalah “Bahasa
Kampungan”.
Minahasa
yang dikenal dengan gengsinya dapat dimengerti timbulnya keadaan demikian. Hal
ini kita jumpai juga di beberapa wilayah Tontemboan. Ada seorang teman saya menceritakan
kepada saya, bahwa baru-baru ini ia baru saja kembali dari Pekabaran Injil di
wilayah pantai Tondano dan pada salah satu pertemuan ia menyampaikan sesuatu
dalam bahasa daerah dan katanya hanya orang-orang tua dapat mengertinya dan yang
pemuda tidak mengerti lagi. Saya sebenarnya agak kecewa mengenai pendapatnya,
bahwa usaha untuk mereka membaca teks alkitab dalam terjemahan dalam bahasa
Tondano dapat jalan bisa atau tidak. Penyampaiannya yang mengatakan bahwa tidak
ada guna untuk menyampaikan buku-buku agama yang diterjemahkan dalam bahasa daerah
ditujukan kepada mereka, mengecewakan saya. Oleh karena saya mengharapkan dari
padanya bahwa ia dapat memberikan pendapat-pendapat pada mereka untuk dapat
mengetahui bahasa daerah.
Dari
pihak gereja GMIM beberapa tahun lalu ada usaha untuk meluaskan gereja-gereja
pada hari-hari tertentu untuk mengadakan kebaktian dengan memakai bahasa
daerah. Yang saya tahu adalah mengkhotbah dalam bahasa Tontemboan, pernah dalam
bahasa Tondano di salah satu gereja di Manado. Baru-baru ini saya dengar, bahwa
di wilayah Tombatu sering-sering diadakan kebaktian dalam bahasa daerah
Tombatu, yaitu dalam bahasa Tonsawang.
Di
sana- sini di kota Manado diadakan kebaktian-kebaktian dalam bahasa daerah di
kolom-kolom tertentu, umpama di Rike, di Tanjung Batu, masih terdapat 2
perkumpulan yang memakai bahasa Tondano sebagai bahasa pengantar. Dan saya kira
masih ada banyak lagi kegiatan-kegiatan pemakaian bahasa daerah di
wilayah-wilayah tertentu di Minahasa, Manado dan Bitung. Ada salah satu
kumpulan di Kota Bitung yang memberikan khotbah dalam bahasa Tonsea. Kalau
sudah begini keadaan bahasa daerah di Minahasa, Manado dan Bitung, bagaimanakah
kelanjutanya ?
Kita
dapat mengira-ngirakan, bahwa pada dasawarsa awal dari milenium ketiga, bahwa bahasa-bahasa
daerah Minahasa telah sangat merana. Apakah hal ini kita tinggalkan begitu saja
? Jika bahasa-bahasa daerah itu telah merana bahasa apakah yang dapat
menggantinya?
Dalam
hal ini kita dapat katakan bahwa bahasa Melayu-Manado yang dipergunakan di
seluruh Minahasa secara geografis dan itu pula akan lambat laun akan merana
pula dan barangkali Bahasa Indonesia yang akan menggantinya sebagai bahasa
lisan. Bahasa ini kan sudah dipergunakan sebagai bahasa tulisan, malah
sebelumnya sejak medio abad ke sembilan belas bahasa melayu telah dipergunakan
sebagai bahasa tulisan di sekolah-sekolah rakyat, di gereja-gereja dan
lain-lain. Jika benar pendapat ini akan berlanjut pada awal dasawarsa pada
milenium ketiga, apakah daya kita untuk masih dapat melestarikan bahasa daerah
Minahasa ini untuk dipertahankan atau dilestarikan ?
Jalan
satu-satunya turun tanganya pemerintah, dalam hal ini Depdikbud dan Depdagri,
untuk mengusahakan kearah itu. Biarlah Depdikbud mengatur kurikulumnya dan
mendorong pemberian pelajaran bahasa daerah dengan sungguh-sungguh. Bukan hanya
asal sudah diinstruksikan untuk diberikan pelajaran bahasa daerah akan tetapi
untuk memberikan dorongan yang sungguh-sungguh. Maksud saya berikan waktu
tertentu untuk mata pelajaran bahasa daerah. Disamping itu mengadakan sayembara
untuk menulis buku-buku pelajaran bahasa daerah.
Kedua
instansi tersebut dapat memberikan kontribusinya sarana-sarana dan biaya untuk
pelaksanaannya dan disamping itu Deppen dapat juga memberikan kontribusninya
dengan sarana-sarananya seperti penyebaran bahasa daerah melalui RRI atau TVRI.
Dalam
perubahan kebudayaan dan adat istiadat etnik Minahasa menghadapi milenium
ke-III, maka sebagai salah satu unsur penting dari padanya Bahasa Daerah pun
turut berubah dan merana akibat benturan yang diakibatkan oleh masuknya
sekolah-sekolah dengan kata lain dengan mengetahui ilmu pengetahuan.
Dengan
berakhirnya ceramah saya ini saya ingin sampaikan dua buah hal. Pertama saya
ingin sampaikan dua buah nyanyian Minahasa populer dan sebuah cerita populer
yang masih dikenal masyarakat Minahasa.
Kedua
nyanyian ini sudah menjadi lambang identitas orang Minahasa dimanapun mereka
berada dan cerita itu menunjukkan cikal-bakal orang Minahasa yang menunjukkan
juga kesatuan dan persatuan orang Minahasa.
Nyanyian
yang saya maksud adalah O Ina’ ni Keke’ dan Sayang-Sayang
si Patokaan.
O Ina’ ni keke’
Mange wisa ko ?
Mange waki wenang
Tumeles baleko,
Baleko sapa ? Baleko temo’
Weane, weane
Weane toyo’,
Dai’mo siapa
Ko Tare makiwe.
Artinya : Hai Ibu anak gadis,
Anda mau kemana ?
Aku mau ke Manado
Untuk membeli baleko
Baleko sapa
Baleko temo’
Berilah, berilah
Berilah sedikit
Sudah habis anda baru mau minta
Sayang, sayang si Patokaan
Matigo-tigo gorokan sayang
Sa ko mangemo an tana’ jauh
Mangemo mile-ileklako sayang
Sa ko mangemo nan tana’ jauh
Mengemo mile-ileklako sayang.
Nyanyian
si patokaan yang menyanyikan seorang tua yang berjalan lenggang-lenggang kali
ini ke kiri dan kemudian ke kanan, oleh kelanjutan usianya. Jika anda mau ke
tanah jauh, keperantauan, pergilah dan berhati-hatilah. Nyanyian O Ina’ ni
keke’dan nyanyian Sayang, sayang si Patokaan, keduanya berasal dari nyanyian
untuk mendendangkan seorang bayi atau anak dalam pelukan ibu atau bapak untuk
menidurkannya. Sesungguhnya nyanyian ini adalah sederhana sekali. Kita dapat
bayangkan seorang ibu atau bapak yang berdendang-dendang untuk menidurkan anak.
Bahkan salah sebuah dari nyanyian sederhana ini telah diperhatikan seorang penulis
asing dan menganalisanya. Akan tetapi kemudian nyanyian bersama lagu yang
sederhana itu dinyanyikan oleh seorang penyanyi dan komponis Minahasa yang
terkenal yaitu Laan Mogot dalam lagu yang dipermodern pada
zamannya di Hilversum Nederland sekitar tahun 1928 dan direkam
dalam piringan hitam bermerek Decca dan disebarluaskan di seluruh Indonesia dan
di negeri Belanda.
Sekarang
kedua lagu yang dimodernisir oleh Laan Mogot masih tetap populer.
Kemudian disebarkan melalui RRI Manado dan Jakarta dan lain-lain tempat. Malah
sekarang kedua nyanyian ini telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang, apalagi
dalam bahasa Belanda dan Inggris.
Pada
bagian akhir ini, saya ingin sampaikan sebuah cerita tentang orang pertama di Minahasa.
Melalui cerita tradisi maka kita ketahui orang-orang pertama kita orang
Minahasa yang merupakan juga awal dari mitologi Minahasa. Saya maksudkan adalah
Toar dan Lumimuut. Kita semua mengenal kedua tokoh ini, Lumimuut seorang
manusia mitologis, diam di tempat yang bernama Tuur-in Tana’ (tanah leluhur,
tanah asal). Di tempat itu diceritakan secara mitologis akan kelahiran anaknya
pria yang bernama Toar. Setelah ia dewasa atas sesuatu anjuran, ibu dan anak
mengelilingi dunia untuk mencari jodoh masing-masing. Setelah mereka bertemu di
suatu tempat mereka mempersamakan tongkat yang dipegang masing-masing, ternyata
tidak sama panjang lagi; hal ini berarti bahwa mereka bukan ibu dan anak, tetapi
asing satu dengan yang lain, olehnya mereka menjadi suami isteri. Mereka
mendapat turunan yang beranggota banyak sekali sehingga dapat dibagi dalam
beberapa kelompok. Kelompok yang dikenal umum adalah : (1) Makarua-siouw (2x9),
(2) Makatelu-pitu (3x7) dan (3) Pasiowan-Telu (3 orang pasiouwan).
Motif
dimana seorang anak pria kawin dengan ibunya sendiri, banyak tidak diterima
orang Minahasa sendiri. Tetapi bagi kita hal ini adalah sebuah mitos yang
ceritanya kita wariskan dari dahulu sehingga sekarang. Kita semua
mengatakan Kita Puyun ni Toar wo ni Lumimuut. Kita adalah anak cucu
dari Toar dan Lumimuut. Dan daerah dimana kita sekarang berada dikatakan Tanah
To’ar dan Lumimuut.
Motif
seorang anak pria kawin dengan ibunya terdapat juga di Jawa umpama Gunung Wesi kawin
dengan Ibu Sinta dan di Eropa di negara Yunani kita kenal Oidipus kawin dengan
ibunya sendiri Jokasta. Dalam mitologi atau dalam folklore sifat ini kita sebut
Oidipus-complex atau Kompleks Oidipus, motif Oidipus. Bagi kita orang Minahasa
kita pandang leluhur kita Toar dan Lumimuut sebagai alat pemersatu. Kita semua
orang Minahasa adalah turunan dari Toar dan Lumimuut, dengan kata lain “Torang
samua basudara”. [Selesai].
Makapulu’
Le’os = Terima Kasih.
Pakatu’an
wo Pakalawiren Kita nu waya !
No comments:
Post a Comment