Tuesday 18 November 2014

Bahasa-Bahasa di Minahasa [3]

WARISAN DAN KEKAYAAN BUDAYA YANG TERABAIKAN
Oleh F.S.Watuseke



Beberapa waktu sebelumnya sewaktu ditanya pada orang yang berwewenang juga, diberikan respons, bahwa untuk memberikan pelajaran bahasa daerah Minahasa, tidak ada kurikulum, yang datang dari Jakarta.
Saya katakan waktu itu bahwa siapa yang harus membuat kurikulum, bukan Jakarta, akan tetapi dari sini yang harus memberikannya. Pernah dilontarkan bahwa tidak ada guru-guru yang dapat memberikan mata pelajaran bahasa daerah. Saya pernah usulkan kita ambil saja siapa saja guru yang mengajar di SD dari seorang guru yang berasal dari wilayah dimana sekolah  itu terletak, yang masih dapat menutur bahasa daerah asalnya.
Sejak beberapa tahun memang di beberapa sekolah dasar telah diberikan mata pelajaran bahasa daerah, akan tetapi itu merupakan pilihan dari mata-mata pelajaran yang disatukan pada muatan lokal.
Pada muatan lokal ini ada ilmu pengenalan alam, ilmu bumi, sejarah daerah, bahasa daerah dan lain-lain. Apa yang terjadi umumnya seorang guru mengambil mata pelajaran yang gampang, yaitu umumnya mata pelajaran bukan bahasa daerah.
Pada saat kita beranjak, pada akhir milenium kedua yang masih sisa enam bulan lagi, maka keadaan pemakaian bahasa percakapan di Minahasa adalah sebagai berikut :
Pemakaian Bahasa Daerah : Pemakaian bahasa daerah sudah mulai berkotak-kotak. Di atas saya telah berikan contoh. Kalau 28 tahun lalu pada sebuah seminar bahasa daerah telah dikatakan, bahwa disinyalir, bahwa bahasa-bahasa daerah Minahasa telah menuju pada kepunahan. Pada waktu saya masih menantang anggapan tersebut. Saya katakan waktu itu, bahwa anak-anak yang berumur sekitar 12 – 15 tahun, masih banyak yang menguasai bahasa daerah. Saya mengambil contoh waktu itu di wilayah Tondano. Pada saat ini tantangan itu sama sekali, ternyata tidak berlaku lagi. Informasi yang saya baru dengar ialah bahwa pemuda sampai pada orang-orang berumur 40 tahun tidak berbahasa daerah lagi di wilayah Ratahan, hanya satu dua desa yang masih agak utuh yaitu : Pangu, Wioi dan barangkali Wiau. Dan selainnya itu tidak lagi dan mengatakan, bahwa mereka mengatakan, bahwa bahasa daerah itu adalah “Bahasa Kampungan”.
Minahasa yang dikenal dengan gengsinya dapat dimengerti timbulnya keadaan demikian. Hal ini kita jumpai juga di beberapa wilayah Tontemboan. Ada seorang teman saya menceritakan kepada saya, bahwa baru-baru ini ia baru saja kembali dari Pekabaran Injil di wilayah pantai Tondano dan pada salah satu pertemuan ia menyampaikan sesuatu dalam bahasa daerah dan katanya hanya orang-orang tua dapat mengertinya dan yang pemuda tidak mengerti lagi. Saya sebenarnya agak kecewa mengenai pendapatnya, bahwa usaha untuk mereka membaca teks alkitab dalam terjemahan dalam bahasa Tondano dapat jalan bisa atau tidak. Penyampaiannya yang mengatakan bahwa tidak ada guna untuk menyampaikan buku-buku agama yang diterjemahkan dalam bahasa daerah ditujukan kepada mereka, mengecewakan saya. Oleh karena saya mengharapkan dari padanya bahwa ia dapat memberikan pendapat-pendapat pada mereka untuk dapat mengetahui bahasa daerah.
Dari pihak gereja GMIM beberapa tahun lalu ada usaha untuk meluaskan gereja-gereja pada hari-hari tertentu untuk mengadakan kebaktian dengan memakai bahasa daerah. Yang saya tahu adalah mengkhotbah dalam bahasa Tontemboan, pernah dalam bahasa Tondano di salah satu gereja di Manado. Baru-baru ini saya dengar, bahwa di wilayah Tombatu sering-sering diadakan kebaktian dalam bahasa daerah Tombatu, yaitu dalam bahasa Tonsawang.
Di sana- sini di kota Manado diadakan kebaktian-kebaktian dalam bahasa daerah di kolom-kolom tertentu, umpama di Rike, di Tanjung Batu, masih terdapat 2 perkumpulan yang memakai bahasa Tondano sebagai bahasa pengantar. Dan saya kira masih ada banyak lagi kegiatan-kegiatan pemakaian bahasa daerah di wilayah-wilayah tertentu di Minahasa, Manado dan Bitung. Ada salah satu kumpulan di Kota Bitung yang memberikan khotbah dalam bahasa Tonsea. Kalau sudah begini keadaan bahasa daerah di Minahasa, Manado dan Bitung, bagaimanakah kelanjutanya ?
Kita dapat mengira-ngirakan, bahwa pada dasawarsa awal dari milenium ketiga, bahwa bahasa-bahasa daerah Minahasa telah sangat merana. Apakah hal ini kita tinggalkan begitu saja ? Jika bahasa-bahasa daerah itu telah merana bahasa apakah yang dapat menggantinya?
Dalam hal ini kita dapat katakan bahwa bahasa Melayu-Manado yang dipergunakan di seluruh Minahasa secara geografis dan itu pula akan lambat laun akan merana pula dan barangkali Bahasa Indonesia yang akan menggantinya sebagai bahasa lisan. Bahasa ini kan sudah dipergunakan sebagai bahasa tulisan, malah sebelumnya sejak medio abad ke sembilan belas bahasa melayu telah dipergunakan sebagai bahasa tulisan di sekolah-sekolah rakyat, di gereja-gereja dan lain-lain. Jika benar pendapat ini akan berlanjut pada awal dasawarsa pada milenium ketiga, apakah daya kita untuk masih dapat melestarikan bahasa daerah Minahasa ini untuk dipertahankan atau dilestarikan ?
Jalan satu-satunya turun tanganya pemerintah, dalam hal ini Depdikbud dan Depdagri, untuk mengusahakan kearah itu. Biarlah Depdikbud mengatur kurikulumnya dan mendorong pemberian pelajaran bahasa daerah dengan sungguh-sungguh. Bukan hanya asal sudah diinstruksikan untuk diberikan pelajaran bahasa daerah akan tetapi untuk memberikan dorongan yang sungguh-sungguh. Maksud saya berikan waktu tertentu untuk mata pelajaran bahasa daerah. Disamping itu mengadakan sayembara untuk menulis buku-buku pelajaran bahasa daerah.
Kedua instansi tersebut dapat memberikan kontribusinya sarana-sarana dan biaya untuk pelaksanaannya dan disamping itu Deppen dapat juga memberikan kontribusninya dengan sarana-sarananya seperti penyebaran bahasa daerah melalui RRI atau TVRI.
Dalam perubahan kebudayaan dan adat istiadat etnik Minahasa menghadapi milenium ke-III, maka sebagai salah satu unsur penting dari padanya Bahasa Daerah pun turut berubah dan merana akibat benturan yang diakibatkan oleh masuknya sekolah-sekolah dengan kata lain dengan mengetahui ilmu pengetahuan.
Dengan berakhirnya ceramah saya ini saya ingin sampaikan dua buah hal. Pertama saya ingin sampaikan dua buah nyanyian Minahasa populer dan sebuah cerita populer yang masih dikenal masyarakat Minahasa.
Kedua nyanyian ini sudah menjadi lambang identitas orang Minahasa dimanapun mereka berada dan cerita itu menunjukkan cikal-bakal orang Minahasa yang menunjukkan juga kesatuan dan persatuan orang Minahasa.
Nyanyian yang saya maksud adalah O Ina’ ni Keke’ dan Sayang-Sayang si Patokaan.

O Ina’ ni keke’
Mange wisa ko ?
Mange waki wenang
Tumeles baleko,
Baleko sapa ? Baleko temo’
Weane, weane
Weane toyo’,
Dai’mo siapa
Ko Tare makiwe.
Artinya : Hai Ibu anak gadis,
Anda mau kemana ?
Aku mau ke Manado
Untuk membeli baleko
Baleko sapa
Baleko temo’
Berilah, berilah
Berilah sedikit
Sudah habis anda baru mau minta

Sayang, sayang si Patokaan
Matigo-tigo gorokan sayang
Sa ko mangemo an tana’ jauh
Mangemo mile-ileklako sayang
Sa ko mangemo nan tana’ jauh
Mengemo mile-ileklako sayang.

Nyanyian si patokaan yang menyanyikan seorang tua yang berjalan lenggang-lenggang kali ini ke kiri dan kemudian ke kanan, oleh kelanjutan usianya. Jika anda mau ke tanah jauh, keperantauan, pergilah dan berhati-hatilah. Nyanyian O Ina’ ni keke’dan nyanyian Sayang, sayang si Patokaan, keduanya berasal dari nyanyian untuk mendendangkan seorang bayi atau anak dalam pelukan ibu atau bapak untuk menidurkannya. Sesungguhnya nyanyian ini adalah sederhana sekali. Kita dapat bayangkan seorang ibu atau bapak yang berdendang-dendang untuk menidurkan anak. Bahkan salah sebuah dari nyanyian sederhana ini telah diperhatikan seorang penulis asing dan menganalisanya. Akan tetapi kemudian nyanyian bersama lagu yang sederhana itu dinyanyikan oleh seorang penyanyi dan komponis Minahasa yang terkenal yaitu Laan Mogot dalam lagu yang dipermodern pada zamannya di Hilversum Nederland sekitar tahun 1928 dan direkam dalam piringan hitam bermerek Decca dan disebarluaskan di seluruh Indonesia dan di negeri Belanda.
Sekarang kedua lagu yang dimodernisir oleh Laan Mogot masih tetap populer. Kemudian disebarkan melalui RRI Manado dan Jakarta dan lain-lain tempat. Malah sekarang kedua nyanyian ini telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang, apalagi dalam bahasa Belanda dan Inggris.
Pada bagian akhir ini, saya ingin sampaikan sebuah cerita tentang orang pertama di Minahasa. Melalui cerita tradisi maka kita ketahui orang-orang pertama kita orang Minahasa yang merupakan juga awal dari mitologi Minahasa. Saya maksudkan adalah Toar dan Lumimuut. Kita semua mengenal kedua tokoh ini, Lumimuut seorang manusia mitologis, diam di tempat yang bernama Tuur-in Tana’ (tanah leluhur, tanah asal). Di tempat itu diceritakan secara mitologis akan kelahiran anaknya pria yang bernama Toar. Setelah ia dewasa atas sesuatu anjuran, ibu dan anak mengelilingi dunia untuk mencari jodoh masing-masing. Setelah mereka bertemu di suatu tempat mereka mempersamakan tongkat yang dipegang masing-masing, ternyata tidak sama panjang lagi; hal ini berarti bahwa mereka bukan ibu dan anak, tetapi asing satu dengan yang lain, olehnya mereka menjadi suami isteri. Mereka mendapat turunan yang beranggota banyak sekali sehingga dapat dibagi dalam beberapa kelompok. Kelompok yang dikenal umum adalah : (1) Makarua-siouw (2x9), (2) Makatelu-pitu (3x7) dan (3) Pasiowan-Telu (3 orang pasiouwan).
Motif dimana seorang anak pria kawin dengan ibunya sendiri, banyak tidak diterima orang Minahasa sendiri. Tetapi bagi kita hal ini adalah sebuah mitos yang ceritanya kita wariskan dari dahulu sehingga sekarang. Kita semua mengatakan Kita Puyun ni Toar wo ni Lumimuut. Kita adalah anak cucu dari Toar dan Lumimuut. Dan daerah dimana kita sekarang berada dikatakan Tanah To’ar dan Lumimuut.
Motif seorang anak pria kawin dengan ibunya terdapat juga di Jawa umpama Gunung Wesi kawin dengan Ibu Sinta dan di Eropa di negara Yunani kita kenal Oidipus kawin dengan ibunya sendiri Jokasta. Dalam mitologi atau dalam folklore sifat ini kita sebut Oidipus-complex atau Kompleks Oidipus, motif Oidipus. Bagi kita orang Minahasa kita pandang leluhur kita Toar dan Lumimuut sebagai alat pemersatu. Kita semua orang Minahasa adalah turunan dari Toar dan Lumimuut, dengan kata lain “Torang samua basudara”. [Selesai].

Makapulu’ Le’os = Terima Kasih.

Pakatu’an wo Pakalawiren Kita nu waya !

No comments:

Post a Comment