TANDA-TANDA DAN PETUNJUK BERSIFAT
BAIK
Oleh
: Bertha Pantouw
BENTUK
FISIK
Minahasa
berasal dari kata esa yang berarti satu; kata mah-esa berarti menyatukan, yakni
menyatukan berbagai kelompok subetnik Minahasa yang terdiri dari Tontemboan,
Tombuluh, Tonsea, Tondano Ponosakan, Pasan, Ratahan dan Bantik.
Nama
Minahasa pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D.Schierstein, tanggal 8
Oktober 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok
subetnik Bantik dan Tombuluh (Tateli); demikian pula antara kelompok subetnik
Tondano dan Tonsawang (Godee Molsbergen 1928:53).
Minahasa
adalah semenanjung yang terletak di bagian paling Utara dari semenanjung pulau
Sulawesi, yaitu antara 0 derajat 51’ dan 1 derajat 51’ 40” Lintang Utara dan
antara 123 derajat 21’ 30” dan 125 derajat 10’ Bujur Timur. Luas semenanjung
adalah 5373 kilometer persegi (Provinsi Tingkat I Sulawesi Utara “Badan
Koordinasi Penanam Modal Daerah Dati I Sulut 1984/1985:1). Lebar semenanjung
tidak melebihi 50 mil (sekitar 66,67 kilometer). Banyak dari gugusan gunung
berapi tercatat masih aktif terutama Lokon, Soputan dan Mahawu (Jones 1977:8).
Iklim
daerah Minahasa terpengaruh oleh angin muson. Pada bulan September sampai April
bertiup angin pembawa hujan lebat. Bulan Mei-November bertiup angin Selatan ke
Barat Laut. Curah hujan didaerah pedalaman Minahasa terhitung tinggi yaitu
4188mm per tahun dan jumlah curah hujan mencapai 195 hari. Suhu di pesisir
pantai agak tinggi, namun di daerah pegunungan temperatur menunjukkan 26-27 derajat
Celsius pada musim hujan.
Jenis
vegetasi yang paling dominan sekarang adalah pohon kelapa yang terdapat sejak
zaman Portugis, sedangkan sejak dahulu kala telah ada pohon seho (“Aranga
Sachariferum”) sebagai pohon yang serba guna, dan sekarang yang menjadi tanaman
favorit adalah cengkih dan vanili.
Kuda
(“Kawalo”) telah dikenal penduduk sejak zaman Spanyol sedangkan sapi
didatangkan dari Benggala/India sejak zaman V.O.C. (“Tjahaja Siang” Januari
:1870).
BENTUK
MASYARAKAT DAN KEPEMIMPINAN
Bentuk
masyarakat Minahasa pada zaman dahulu adalah bentuk tribe. Bentuk masyarakat
demikian dirinci oleh George Foster dkk dalam “Peasant Society” (1967) sebagai
“tribal system” atau kelompok masyarakat pedalaman yang pokok kehidupan adalah
ladang pertanian. Unit politiknya yang tertinggi adalah walak (A.B.Lapian:1989:116).
Pada
zaman dahulu dapat saja seorang walak kepala subetnik menjadi
seorang walian (pendeta religi pribumi) dan dalam fungsi seperti itu
kekuasaannya menjadi lebih mutlak. Ia akan merupakan seorang yang dekat dengan
alam, karena dia harus dapat cepat menangkap gejala-gejala alam untuk mengatasi
persoalan yang mungkin terdapat diwilayahnya. Jadi dia harus seorang yang dapat
mambaca gejala-gejala alam yang diberikan alam sekitar, dan seorang yang mengerti
akan batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya.
Seorang
pimpinan dianggap seseorang yang memiliki “Keter” atau kekuatan. Karena
memiliki kekuatan ini, maka ia dapat diangkat menjadi pemimpin. Ia dapat
dianggap yang terbaik di antara warga sederajatnya yang terdapat dalam wilayah,
oleh sebab itu ia menjadi unsur “primus interpares” desanya. Dalam peran ini
dia juga tidak boleh sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya, terutama dalam
soal pembagian tanah, karena dia juga bisa kenakan sanksi dari “Opo” atau
semacam sanksi Ilahi. Ia dapat menjadi “weles”atau tanpa kekuatan.
Bila
seorang pimpinan terkena sanksi Ilahi, dan menjadi weles maka
akibatnya berat. Ia akan mendapat nama jelek dan dikucilkan dari masyarakat.
Walaupun dia masih hidup tetapi dianggap sama sekali tidak berguna bagi
masyarakat, sebagai hukuman bagi si pemimpin ( J.A.T. Schwarz, Tontemboansche
Teksten :1907:133,381). Dalam istilah moderen disebut “character
assassination”.
J.G.F.
Riedel sebagai seorang ahli pemerintahan pada tahun 1870, menilai pengangkatan
kepala walak sebagai sesuatu yang khas di Minahasa. Riedel menulis sebagai
berikut : “Ofschoon onder de Alfoeren in de Minahasa ook een ieder geroepen
kan worden het bestuur te voeren, is het hun gansch niet onverschillig of zoo
iemand de panagaranan (van ngaran) naam, de abakai oembanoea…(Walaupun
siapa saja di dalam wilayah itu, dapat dipanggil untuk memimpin pemerintahan
yang dipilih oleh wakil-wakil/ “ngaran” untuk menjadi kepala (“abakai oem
banoea”), tetapi dalam cara memilih mereka tidak sembarangan.
CERITA DAN MAKNA BATU PINABETENGAN
Batu
ini terdapat didaerah Tompaso, Minahasa Tengah, kira-kira 10 km masuk dari
jalan raya Tompaso, dan terletak dilereng gunung Tonderukan, dekat gunung
Soputan. Di pegunungan Tonderukan terdapat banyak batu. Menurut para ahli
arkeologi batu-batu tersebut termasuk jenis “menhir”, yang dikenal sejak zaman
prasejarah dan termasuk tradisi “megaliktik”.
Batu-batu
seperti itu yang terdapat dilereng gunung Tonderukan menjadi tempat duduk untuk
orang-orang untuk mendengar bunyi burung. Salah satu batu yang letaknya lebih
ke puncak dari batu Pinabetengan dinamakan “Kekeretan”, penduduk percaya bahwa
itulah tempat duduk Opo’ Muntu Untu, bila ia turun maka disertai gemuruh yang
dasyhat, dan biasanya turun ke gunung Soputan sesudah itu baru ke gunung
Tonderukan.
Bila
dia hadir maka Manguni akan memberitakannya. Terdapat pula batu yang lain, yang
dikatakan tempat duduk Opo’ Kopero. Opo’ Muntu Untu adalah
utusan Yang Maha Tinggi, atau Kasuruan (Tuhan). Kasuruan, akan
menyuarakan pesanannya melalui Manguni yang dilambangkan
sebagai burung yang bijaksana.
Bunyi
yang bagus disebut Maapi. Manguni dipelihara oleh Opo’ khusus
yaitu Opo’ Mamarimbing oleh sebab itu Manguni disebut
juga se kokok seMamarimbing, atau burungnya Opo’ Mamarimbing
yang dalam religi pribumi, adalah juru bicara Kasuruan.
Batu Pinabetengan merupakan suatu bukti bahwa
Minahasa Tengahlah dahulu menjadi pusat kebudayaan nenek moyang. Penulis
melihat bahwa cerita “Lumimuut dan Toar”, sangat erat hubungannya dengan cerita
Bqatu Pinabetengan atau Batu Pembagian wilayah untuk para subetnik. Setiap suku
atau sub-suku yang datang kemudian seperti Tonsawang, Pasan, Ratahan, Pasan dan
Bantik, harus mengakui ikrar yang dilakukan di Batu Pinabetengan, yaitu mereka
adalah satu keturunan yaitu dari Lumimuut dan Toar, akibatnya versi mitos
Lumimuut dan Toar menjadi banyak, mnecapai lebih dari 90 versi tetapi terdapat
versi yang sama dalam setiap cerita yaitu terdapatnya, tanah, air dan batu pada
setiap versi. (Bersambung ke bagian 2)
No comments:
Post a Comment