Tuesday 18 November 2014

Bahasa-Bahasa di Minahasa [2]

WARISAN DAN KEKAYAAN BUDAYA YANG TERABAIKAN
Oleh F.S. Watuseke



Bahasa Tontemboan dipergunakan di Minahasa bagian Selatan, yaitu sebelah Selatan wilayah dialek Kakas, di Langowan, selanjutnya di Tompaso’, Kawangkoan, Sonder, Rumo’ong dan Tombasian. Kemudian sebagian dari penutur-penutur bahasa itu menyebar ke wilayah di seberang Sungai Ranoyapo’ di wilayah sekitar Gunung Lolombulan. Bahasa ini terdiri pula dari dua dialek besar yakni mereka yang disebut makela’i dan yang disebut Matana’i yaitu mereka yang menyebut kela’i (yang begini atau maotou) dan mereka yang menyebut tana’i (dalam arti yang sama).
Pada bagian matana’i terdiri dari dialek-dialek Sonder dan Kawangkoan dan dari bagian makela’i terdiri dari dialek-dialek Langowan, Tompaso’, Rumo’ong dan Tombasian. Bahasa ini merupakan bahasa yang menaruh penutur yang paling banyak di Minahasa.
Dalam dialek besar matand’i pada dialek Sonder konsonan k sesudah vokal menjadi e seperti tincas “lari”, sicu “siku”, Mawicere “nama lelaki” dan konsonan n sesudah i menjadi ny; jikalau konsonan rangkap ngk didahului oleh vokal i, maka ingk menjadi inc, seperrti inciriw “lereng”, selanjutnya wulinya “telur”.
Bahasa Tontemboan memakai awalan ni- dalam arti perfektum, jikalau bahasa Tonsea’, bahasa Tondano dan Tombulu’-Utara memakai sisipan -in- dalam arti yang sama. Bahasa Tombulu’-Selatan dialek Kakas dari Bahasa Tondano dan Bahasa Tontemboan memakai awalan ni- untuk arti perfektum tersebut.
Bahasa Tonsawang dipergunakan oleh penduduk yang menempati wilayah administrasi Kecamatan Tombatu, dengan pusatnya Tombatu. Moyang dari puak yang menggunakan bahasa ini, datangnya dari pulau kecil Mayu dan Tafure’ di selat Maluku. Dari sama mereka mendarat di Minahasa dekat desa Atep (pantai Tondano), kemudian ke Tompaso’ dan akhirnya di tempat pemukiman mereka sekarang di sebelah Selatan Gunung Soputan. Bahasa ini banyak dipengaruhi oleh Bahasa Minahasa, istimewa bahasa Tontemboan sehingga bahasa itu sangat kerabat dengan bahasa-bahasa Minahasa, sungguhpun mereka berbeda asal. Jika dalam bahasa Tontemboan terdapat awalan ni- dalam arti perfektum, maka dalam bahasa Tonsawang terdapat awalan i-, maka dalam bahasa-bahasa Minahasa Utara lain dipergunakan sisipan -im-. Bahasa Tonsawang bul “rambut ayam”, Tombulu bul-bul, Tonsea’ budbud; Tonsawang. kaha’ “kakak”, Tondano. Tombulu “kaka”; Tonsawang. Kalekep “sayap”, Tondano kale’kew, Tombulu “kalebkeb”.
Bahasa Ratahan dipergunakan disekitar kota Ratahan, seperti di Ratahan sendiri, selanjutnya di Rasi, Liwutung, Molompar, Tatengesan, Bentenan dan lain-lain. Moyang mereka sebelum datang di Ratahan, datang melalui Bentenan, olehnya juga puak yang memakai bahasa ini disebut puak Bentenan dan hasil tenunan mereka disebut kain Bentenan.
Bahasa Ratahan mempunyai persamaan dengan bahasa Sangi, seperti:  onop “sisik ikan”, Sangi ona’; owan “uban”, obang; sa “satu”, Sangi Esa’, iik “kecil”, Sangi ihi’,  “berkurang”; low “hari”, Sangi elo.
Bahasa Bantik dipakai di wilayah kecil sebelah Barat Daya Manado, yakni di Malalayang, dan Kalasei dan disebelah utara kota Buha, Bengkol, Talawaan-Bantik, Bailang, Molas, Meras dan pada mulanya di kelurahan Singkil di kota Manado, selanjutnya di desa Tanamon di kecamatan Tenga’ (Minahasa Selatan) dan di desa Bantik (dahulu Sumoit) di Kecamatan Poigar (Bolaang-Mongondow). Seperti bahasa Ratahan, bahasa Bantik ini kerabat dengan Bahasa Sangi, seperti nyata pada persamaan kata-kata sebagai berikut : bongkow “tumbak”, Sangi bengko; babolow “petang”, Sangi babelo; udung“, “menyelam”, Sangi. urung; “kayaba”, Sangi, Kalabe, “mengipas api”; hubu’, “menyalak”, Sangi hebu.
Bahasa Ponosakan dipakai di kota Belang, desa Tababo dan di sebagian desa Watuliney, di sekolah Tenggara Minahasa. Bahasa ini adalah kerabat dengan Bahasa Bolaang Mongondow. Pemakai bahasa ini adalah satu-satunya sub-etnis di Minahasa yang beragama Islam. Moyang mereka berasal dari bagian Selatan. Di sini kita berikan perbandingan dengan bahasa Bolaang Mongondow, sebagai berikut giup “meniup”, Bolaang Mongondow, girup; sogot, Bolaang Mongondow bogot “mengikat menjadi satu”; pinsur, Bolaang Mongondow pintud “tersentuh kaki dan jatuh”; gina Bolaang Mongondow gina, “napas”.
Dalam bagian ini kita dapat kemukakan disini, bahwa pemakai bahasa-bahasa daerah di Minahasa mulai merosot, terlebih bagi kalangan pemuda. Pada umumnya pemuda memakai Bahasa Melayu Manado dalam percakapannya dengan sesamanya dan biasanya juga orang tua yang mahir berbahasa daerah mempergunakan bahasa Melayu Manado dalam percakapan dengan anak-anaknya. Sewaktu anak mau mulai belajar bicara orang tua biasanya si ibu mengejanya dengan kata-kata bahasa Malayu, misalnya : mama, papa, mari, jalang, makang, dan lain-lain, kata-kata yang mudah diajarkan.
Kadang sekali seorang ibu membiasakan anak itu, mengajar kata-kata yang mudah dalam salah satu bahasa daerah di Minahasa. Caranya seorang ibu mengucapkan kata-kata ini pada seorang anak biasanya manis kedengaran. Saya kira hal ini dapat juga dilakukan dengan kata-kata dalam bahasa daerah.
Jikalau hal ini usaha pemerintah mengajar bahasa daerah di sekolah-sekolah benar-benar dijalankan, maka ada harapan bahwa bahasa daerah di Minahasa dapat dikembangkan lagi. Keadaan bahasa daerah di Minahasa dapat dikembangkan lagi. Keadaan bahasa daerah yang sekarang ialah bahwa masih banyak orang tua-tua yang masih menggunakannya akan tetapi anak cucu mereka tidak lagi. Hal ini tampak di kota-kota, seperti Manado, Amurang, Tomohon, Tondano dan lain-lain.
Bahasa daerah di desa-desa masih dipergunakan dalam percakapan hari-hari, baik generasi tua, generasi muda dan anak-anak kecil. Hal ini kita lihat umpama di desa-desa sekitar Danau Tondano. Ada tiga desa yang berdekatan di tempat lain, yang merupakan secara fisik suatu gabungan desa, maka dua dari desa-desa itu pemuda dan anak-anak mereka memakai Bahasa Melayu Manado dalam percakapan hari-hari, akan tetapi di desa yang ketiga memakai bahasa Tonsea dalam pergaulan orang tua, pemuda sampai anak-anak. Yang kita maksudkan disini adalah desa Talawaan yang masih memakai bahasa daerah dan desa Mapanget dan Kolongan tidak lagi, kecuali orang-orang tua.
Demikianlah situasi bahasa-bahasa di Minahasa pada saat ini, atau dapat dikatakan dimasa lampau dan masa kini. Bahasa daerah di Minahasa dalam perjalanannya dari dahulu hingga sekarang mulai mendapat benturan dengan dibukanya sekolah-sekolah di Minahasa.
Istilah-istilah dan kata-kata yang dipelajari di sekolah mulai diadaptasi ke dalam pemakaian bahasa-bahasa daerah Minahasa. Banyak kata-kata baru masuk dalam perbendaharaan bahasa-bahasa daerah. Sejak waktu itu timbullah suatu generasi yang hanya dapat menutur bahasa Melayu, bahasa yang dipelajari di sekolah.
Seperti diketahui sekolah-sekolah rakyat secara meluas didirikan di Minahasa oleh Zending (pekabaran injil). Setelah dibukanya sekolah-sekolah pada tingkat lanjutan pertama yang berbahasa Indonesia, pengaruh itu lebih mendalam lagi. Pada waktu-waktu ini timbullah suatu lapisan masyarakat yang sama sekali hanya memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Bergandengan dengan hal ini dipergunakan juga bahasa Melayu Manado, yang mulai dari kota Manado menjalar ke wilayah pedalaman.
Pada tahun-tahun sesudah perang dunia kedua keadaan ini lebih melebar lagi oleh karena banyaknya sekolah-sekolah lanjutan yang dibuka. Hampir disemua desa dapat dikatakan telah mempunyai sebuah sekolah dasar/rakyat dan ditambah lagi oleh sekolah-sekolah lanjutan tingkat atas. Ini semuanya menjadi sarana untuk mendesak pemakaian bahasa-bahasa daerah, sehingga hal ini menjadi parah dalam keadaan bahasa daerah di Minahasa. Di atas saya telah berikan contoh dari pemakaian bahasa daerah di sebuah desa tetapi pada dua desa tetangganya dipergunakan bahasa Melayu.
Dapat kita bayangkan apa yang sedang terjadi sekarang. Bahasa-bahasa daerah sudah mulai menghilang penuturnya. Kalau kita tidak tanggulangi pada saat sekarang ini, maka bahasa-bahasa daerah itu akan lenyap. Ini berarti salah satu unsur kebudayaan Minahasa akan hilang dari muka bumi ini. Bagaimana caranya untuk melestarikannya atau dengan kata lain bagaimana caranya, menahan arus menghilangnya hal ini dari masyarakat Minahasa ?
Dari pelestarian ini kita dapat hambatan yang merintangi cara pelestarian ini yang telah dicoba selama kira-kira empat dasawarsa yang akhir ini.
Empat dasa warsa yang lalu oleh Pemerintah Daerah Minahasa (yang masih berkedudukan di Manado waktu itu), telah diusahakan untuk memberikan pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah dasar. Lalu waktu itu dibuat sayembara untuk mengarang buku-buku pelajaran bahasa daerah. Instruksi dibuat, akan tetapi tidak ada kelanjutan atau terdiam begitu saja.
Sekitar sepuluh tahun yang lalu dari pihak Kantor Gubernur dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tingkat I Provinsi Sulawesi Utara, hendak mencanangkan mulainya pemberian pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah. Yang akan mencanangkannya adalah Wakil Gubernur Drs. A. Mokoginta sendiri. Pada waktu itu Kakanwil Depdikbud, diberitahukan mengenai hal ini, maka cepat-cepat beliau ke Kantor Gubernur menyampaikan berita kalau boleh pencanangan ini ditunda dahulu. Jadi usaha ini macet lagi. Hal ini katanya harus tunggu instruksi dari Jakarta dahulu. Usaha ini macet lagi.

Saya pernah tanyakan pada Bapak Roesmali,SH (waktu itu Kakanwil Depdikbud Sulut), almarhum mengenai pemberian pelajaran bahasa daerah ini. Beliau menjawab bahwa bahasa-bahasa daerah Minahasa mempunyai wilayah kecil dan penuturnya juga berjumlah kecil. Berapa jenis baku saja yang akan dipergunakan, jadi maksudnya biayanya terlalu tinggi. [besambung ke bagian 3].

No comments:

Post a Comment