WARISAN DAN KEKAYAAN BUDAYA YANG
TERABAIKAN
Oleh
F.S. Watuseke
Bahasa
Tontemboan dipergunakan di Minahasa bagian Selatan, yaitu sebelah Selatan
wilayah dialek Kakas, di Langowan, selanjutnya di Tompaso’, Kawangkoan, Sonder,
Rumo’ong dan Tombasian. Kemudian sebagian dari penutur-penutur bahasa itu
menyebar ke wilayah di seberang Sungai Ranoyapo’ di wilayah sekitar Gunung
Lolombulan. Bahasa ini terdiri pula dari dua dialek besar yakni mereka yang
disebut makela’i dan yang disebut Matana’i yaitu mereka yang
menyebut kela’i (yang begini atau maotou) dan mereka yang menyebut tana’i (dalam
arti yang sama).
Pada
bagian matana’i terdiri dari dialek-dialek Sonder dan Kawangkoan dan dari bagian
makela’i terdiri dari dialek-dialek Langowan, Tompaso’, Rumo’ong dan Tombasian.
Bahasa ini merupakan bahasa yang menaruh penutur yang paling banyak di Minahasa.
Dalam
dialek besar matand’i pada dialek Sonder konsonan k sesudah
vokal i menjadi e seperti tincas
“lari”, sicu “siku”, Mawicere “nama lelaki” dan konsonan n sesudah i
menjadi ny; jikalau konsonan rangkap ngk didahului oleh vokal i,
maka ingk menjadi inc, seperrti inciriw
“lereng”, selanjutnya wulinya “telur”.
Bahasa
Tontemboan memakai awalan ni- dalam arti perfektum, jikalau bahasa
Tonsea’, bahasa Tondano dan Tombulu’-Utara memakai sisipan -in- dalam
arti yang sama. Bahasa Tombulu’-Selatan dialek Kakas dari Bahasa Tondano dan
Bahasa Tontemboan memakai awalan ni- untuk arti perfektum
tersebut.
Bahasa
Tonsawang dipergunakan oleh penduduk yang menempati wilayah administrasi
Kecamatan Tombatu, dengan pusatnya Tombatu. Moyang dari puak yang menggunakan
bahasa ini, datangnya dari pulau kecil Mayu dan Tafure’ di selat Maluku. Dari
sama mereka mendarat di Minahasa dekat desa Atep (pantai Tondano), kemudian ke
Tompaso’ dan akhirnya di tempat pemukiman mereka sekarang di sebelah Selatan Gunung
Soputan. Bahasa ini banyak dipengaruhi oleh Bahasa Minahasa, istimewa bahasa
Tontemboan sehingga bahasa itu sangat kerabat dengan bahasa-bahasa Minahasa,
sungguhpun mereka berbeda asal. Jika dalam bahasa Tontemboan terdapat awalan
ni- dalam arti perfektum, maka dalam bahasa Tonsawang terdapat awalan i-, maka
dalam bahasa-bahasa Minahasa Utara lain dipergunakan sisipan -im-. Bahasa
Tonsawang bul “rambut ayam”, Tombulu bul-bul, Tonsea’ budbud; Tonsawang.
kaha’ “kakak”, Tondano. Tombulu “kaka”; Tonsawang. Kalekep “sayap”, Tondano kale’kew,
Tombulu “kalebkeb”.
Bahasa
Ratahan dipergunakan disekitar kota Ratahan, seperti di Ratahan sendiri,
selanjutnya di Rasi, Liwutung, Molompar, Tatengesan, Bentenan dan lain-lain. Moyang
mereka sebelum datang di Ratahan, datang melalui Bentenan, olehnya juga puak
yang memakai bahasa ini disebut puak Bentenan dan hasil tenunan mereka disebut
kain Bentenan.
Bahasa
Ratahan mempunyai persamaan dengan bahasa Sangi, seperti: onop
“sisik ikan”, Sangi ona’; owan “uban”, obang; sa
“satu”, Sangi Esa’, iik “kecil”, Sangi ihi’, “berkurang”; low
“hari”, Sangi elo.
Bahasa
Bantik dipakai di wilayah kecil sebelah Barat Daya Manado, yakni di Malalayang,
dan Kalasei dan disebelah utara kota Buha, Bengkol, Talawaan-Bantik, Bailang,
Molas, Meras dan pada mulanya di kelurahan Singkil di kota Manado, selanjutnya
di desa Tanamon di kecamatan Tenga’ (Minahasa Selatan) dan di desa Bantik (dahulu
Sumoit) di Kecamatan Poigar (Bolaang-Mongondow). Seperti bahasa Ratahan, bahasa
Bantik ini kerabat dengan Bahasa Sangi, seperti nyata pada persamaan kata-kata
sebagai berikut : bongkow “tumbak”, Sangi bengko; babolow “petang”,
Sangi babelo; udung“, “menyelam”, Sangi. urung; “kayaba”,
Sangi, Kalabe, “mengipas api”; hubu’, “menyalak”, Sangi hebu.
Bahasa
Ponosakan dipakai di kota Belang, desa Tababo dan di sebagian desa Watuliney,
di sekolah Tenggara Minahasa. Bahasa ini adalah kerabat dengan Bahasa Bolaang
Mongondow. Pemakai bahasa ini adalah satu-satunya sub-etnis di Minahasa yang
beragama Islam. Moyang mereka berasal dari bagian Selatan. Di sini kita berikan
perbandingan dengan bahasa Bolaang Mongondow, sebagai berikut giup
“meniup”, Bolaang Mongondow, girup; sogot, Bolaang Mongondow bogot
“mengikat menjadi satu”; pinsur, Bolaang Mongondow pintud “tersentuh
kaki dan jatuh”; gina Bolaang Mongondow gina, “napas”.
Dalam
bagian ini kita dapat kemukakan disini, bahwa pemakai bahasa-bahasa daerah di
Minahasa mulai merosot, terlebih bagi kalangan pemuda. Pada umumnya pemuda
memakai Bahasa Melayu Manado dalam percakapannya dengan sesamanya dan biasanya
juga orang tua yang mahir berbahasa daerah mempergunakan bahasa Melayu Manado
dalam percakapan dengan anak-anaknya. Sewaktu anak mau mulai belajar bicara
orang tua biasanya si ibu mengejanya dengan kata-kata bahasa Malayu, misalnya : mama,
papa, mari, jalang, makang, dan lain-lain, kata-kata yang mudah diajarkan.
Kadang
sekali seorang ibu membiasakan anak itu, mengajar kata-kata yang mudah dalam
salah satu bahasa daerah di Minahasa. Caranya seorang ibu mengucapkan kata-kata
ini pada seorang anak biasanya manis kedengaran. Saya kira hal ini dapat juga
dilakukan dengan kata-kata dalam bahasa daerah.
Jikalau
hal ini usaha pemerintah mengajar bahasa daerah di sekolah-sekolah benar-benar
dijalankan, maka ada harapan bahwa bahasa daerah di Minahasa dapat dikembangkan
lagi. Keadaan bahasa daerah di Minahasa dapat dikembangkan lagi. Keadaan bahasa
daerah yang sekarang ialah bahwa masih banyak orang tua-tua yang masih
menggunakannya akan tetapi anak cucu mereka tidak lagi. Hal ini tampak di
kota-kota, seperti Manado, Amurang, Tomohon, Tondano dan lain-lain.
Bahasa
daerah di desa-desa masih dipergunakan dalam percakapan hari-hari, baik generasi
tua, generasi muda dan anak-anak kecil. Hal ini kita lihat umpama di desa-desa
sekitar Danau Tondano. Ada tiga desa yang berdekatan di tempat lain, yang
merupakan secara fisik suatu gabungan desa, maka dua dari desa-desa itu pemuda
dan anak-anak mereka memakai Bahasa Melayu Manado dalam percakapan hari-hari,
akan tetapi di desa yang ketiga memakai bahasa Tonsea dalam pergaulan orang
tua, pemuda sampai anak-anak. Yang kita maksudkan disini adalah desa Talawaan
yang masih memakai bahasa daerah dan desa Mapanget dan Kolongan tidak lagi,
kecuali orang-orang tua.
Demikianlah
situasi bahasa-bahasa di Minahasa pada saat ini, atau dapat dikatakan dimasa
lampau dan masa kini. Bahasa daerah di Minahasa dalam perjalanannya dari dahulu
hingga sekarang mulai mendapat benturan dengan dibukanya sekolah-sekolah di
Minahasa.
Istilah-istilah
dan kata-kata yang dipelajari di sekolah mulai diadaptasi ke dalam pemakaian
bahasa-bahasa daerah Minahasa. Banyak kata-kata baru masuk dalam perbendaharaan
bahasa-bahasa daerah. Sejak waktu itu timbullah suatu generasi yang hanya dapat
menutur bahasa Melayu, bahasa yang dipelajari di sekolah.
Seperti
diketahui sekolah-sekolah rakyat secara meluas didirikan di Minahasa oleh Zending (pekabaran
injil). Setelah dibukanya sekolah-sekolah pada tingkat lanjutan pertama yang
berbahasa Indonesia, pengaruh itu lebih mendalam lagi. Pada waktu-waktu ini timbullah
suatu lapisan masyarakat yang sama sekali hanya memakai bahasa Melayu sebagai
bahasa pengantar. Bergandengan dengan hal ini dipergunakan juga bahasa Melayu
Manado, yang mulai dari kota Manado menjalar ke wilayah pedalaman.
Pada
tahun-tahun sesudah perang dunia kedua keadaan ini lebih melebar lagi oleh
karena banyaknya sekolah-sekolah lanjutan yang dibuka. Hampir disemua desa
dapat dikatakan telah mempunyai sebuah sekolah dasar/rakyat dan ditambah lagi
oleh sekolah-sekolah lanjutan tingkat atas. Ini semuanya menjadi sarana untuk
mendesak pemakaian bahasa-bahasa daerah, sehingga hal ini menjadi parah dalam
keadaan bahasa daerah di Minahasa. Di atas saya telah berikan contoh dari
pemakaian bahasa daerah di sebuah desa tetapi pada dua desa tetangganya
dipergunakan bahasa Melayu.
Dapat
kita bayangkan apa yang sedang terjadi sekarang. Bahasa-bahasa daerah sudah
mulai menghilang penuturnya. Kalau kita tidak tanggulangi pada saat sekarang
ini, maka bahasa-bahasa daerah itu akan lenyap. Ini berarti salah satu unsur
kebudayaan Minahasa akan hilang dari muka bumi ini. Bagaimana caranya untuk
melestarikannya atau dengan kata lain bagaimana caranya, menahan arus
menghilangnya hal ini dari masyarakat Minahasa ?
Dari
pelestarian ini kita dapat hambatan yang merintangi cara pelestarian ini yang
telah dicoba selama kira-kira empat dasawarsa yang akhir ini.
Empat
dasa warsa yang lalu oleh Pemerintah Daerah Minahasa (yang masih berkedudukan
di Manado waktu itu), telah diusahakan untuk memberikan pelajaran bahasa daerah
di sekolah-sekolah dasar. Lalu waktu itu dibuat sayembara untuk mengarang
buku-buku pelajaran bahasa daerah. Instruksi dibuat, akan tetapi tidak ada
kelanjutan atau terdiam begitu saja.
Sekitar
sepuluh tahun yang lalu dari pihak Kantor Gubernur dalam hal ini Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan tingkat I Provinsi Sulawesi Utara, hendak mencanangkan mulainya
pemberian pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah. Yang akan mencanangkannya
adalah Wakil Gubernur Drs. A. Mokoginta sendiri. Pada waktu itu Kakanwil Depdikbud,
diberitahukan mengenai hal ini, maka cepat-cepat beliau ke Kantor Gubernur
menyampaikan berita kalau boleh pencanangan ini ditunda dahulu. Jadi usaha ini
macet lagi. Hal ini katanya harus tunggu instruksi dari Jakarta dahulu. Usaha
ini macet lagi.
Saya
pernah tanyakan pada Bapak Roesmali,SH (waktu itu Kakanwil Depdikbud Sulut), almarhum
mengenai pemberian pelajaran bahasa daerah ini. Beliau menjawab bahwa bahasa-bahasa
daerah Minahasa mempunyai wilayah kecil dan penuturnya juga berjumlah kecil. Berapa
jenis baku saja yang akan dipergunakan, jadi maksudnya biayanya terlalu
tinggi. [besambung ke bagian 3].
No comments:
Post a Comment