Tuesday 18 November 2014

ETNIK MINAHASA

Perspektif Historis – Theologis – Antropologis
Oleh : Roy Erickson Mamengko



Setiap masyarakat ingin mengetahui dengan pasti asal usulnya. Dalam hal ini bukan hanya ingin mengetahui sesuatu yang memang masuk diakal, melainkan ada sesuatu yang lebih dari itu. Manusia selalu sadar bahwa pengetahuan tentang asal-usulnya penting bagi kelanjutan hidup adat-istiadatnya[1]. Hal ini disebabkan karena, masa permulaan kebudayaan suatu komunitas masyarakat merupakan masa penentu yang sangat mendasar. Karena, pada saat itulah, bukan pada masa sesudahnya unsur-unsur serta dasar-dasar adat-istiadat mereka terbentuk. Kemudian, membuat komunitas itu menjadi apa yang kini ada sesuai dengan hakekat mereka. Etnis Minahasa pun tidak merupakan kekecualian. Karenanya, apabila kita ingin mengetahui lebih mendalam tentang wujud kebudayaan etnik Minahasa ini dalam hal ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, aktivitas dan tindakan terpola, serta berbagai hasil karya etnik Minahasa ini di dalam maupun di luar wilayahnya adalah sesuatu yang sangat wajar.
Ada banyak hal penting dan mendasar tentang etnik Minahasa yang coba diurai oleh para penulis artikel dalam blog ini. Mencakupi pertanyaan-pertanyaan antara lain: Bagaimana kehidupan tradisional etnik Minahasa masa lalu. Bagaimana terjadinya persentuhan antara agama suku mula-mula dengan agama kristen. Bagaimana dinamika hubungan antara etnik Minahasa dengan pihak kompeni. Bagaiman gambaran ringkas tentang proses integrasi etnik ini, khususnya pihak perempuan dengan etnis dari luar yang dibawa kompeni masuk ke tanah Minahasa seputar abad 15 sampai pertengahan abad 19. Termasuk asal usul nama “Minahasa” yang sekarang menjadi simbol wilayah dan kebudayaan suku bangsa Minahasa.

ASAL USUL NAMA “MINAHASA” 

Diakui, bahwa sampai saat ini belum ditemukan sumber-sumber lain yang menjelaskan, siapa orang pertama yang menggunakan nama Minahasa, selain Residen J.D. Schierstein. Bukti-bukti historis menunjukan bahwa sampai sejauh ini, para penulis sejarah lokal yang mengkaitkan tulisan-tulisan mereka dengan nama Minahasa masih tetap merujuk pada laporan yang dibuat oleh bekas Residen Manado Schierstein tanggal 8 Oktober tahun 1789 untuk Alexander Cornabe yang kala itu menjabat sebagai Gubernur di Maluku. Dalam laporan Schierstein ini, untuk pertama kalinya ditemukan penggunaan kata “minhasa” yang kini digunakan sebagai simbol sebuah wilayah yang sekarang ditempati oleh suku bangsa “Minahasa”. Sampai sejauh ini, belum ditemukan ada penelitian komprehensif yang secara kusus membahas sumber dan makna penggunaan kata “minhasa” yang sebelumnya, digunakan J.D. Schierstein dalam laporannya tanggal 10 Oktober 1789 itu. Pemaknaan terhadap kata “minhasa” versi Schierstein, tampak berbeda dengan orang Minahasa yang muncul antara abad ke XIX dan XX. Kutipan berikut menunjukan perbedaannya :
“Bersama ini saya mengambil kebebasan untuk melaporkan dengan hormat kepada Paduka Tuan, bahwa “minhasa” atau musyawarah para ukung pada tanggal 1 bulan ini, telah menyelesaikan pertikaian antara Bantik dan Tateli menurut adat-istiadat mereka dan penegasan atau pernyataan perdamaian itu akan dilakukan kemudian dengan sumpah” [2]
Bila diperhatikan dengan cermat isi penggunaan kata “minhasa” yang tertulis dalam laporan Schierstein tersebut sebenarnya menguraikan “proses musyawarah” yang diprakarsai Residen J.D. Schierstein untuk mendamaikan pertikaian yang selalu terjadi antar “ukung” dan “walak” dari subetnik: Tontemboan, Tombuluh, Tonsea, Tondano, Ponosakan, Pasan, Ratahan dan Bantik. Terutama, permusuhan antara para ukung dan “walak dari kelompok subetnik Tondano dan Tonsawang. Proses perdamaian ini ditegaskan lagi oleh Bert Supit seperti berikut ini :
“Perdamaian yang dicapai pada tanggal 9 Desember 1789, pada akhir bulan itu juga disahkan dengan cara adat; suatu prestasi yang gemilang dari Residen J.D. Schierstein. Penyelesaian dilakukannya melalui suatu musyawarah antar-ukungseluruh Minahasa yang diundang untuk menyelenggarakan suatu musyawarah besar. Dalam Musyawarah itu ia mengajak mereka untuk bersama dengan Kompeni, mendamaikan bentrokan antar-walak . Setelah usul ajakannya disetujui, dimintanya agar tiap-tiap ukung mengerahkan kekuatan dan bersama-sama dengan kompeni, memaksa walak-walak lain mengadakan perdamaian” (Supit, 1986:141).
Dengan demikian menurut tafsiran penulis, bahwa pada awalnya penggunaan kata “minhasa ” oleh Schierstein dalam laporan yang dia buat untuk atasannya itu, dimaksudkannya sebagai metode untuk menyelesaian konflik antar ukung dan walak. Bert Supit (1988:141) membenarkan bahwa musyawarah yang disebutnya “Minhasa” atau Landraad atau Vergadering der dorpshoofden (Musyawarah para ukung) untuk pertama kalinya digunakan secara resmi dalam arti musyawarah para ukung. Sebenarnya perkataan itu berasal dari kata “minaesa” yang berarti menjadi satu, yang sejak masa lampau telah hidup dalam masyarakat Minahasa. Setiap kali masyarakat menghadapi suatu persoalan bersama, mereka mengadakan musyawarah untuk mencari jalan keluar bersama. Hasil dari musyawarah itu hampir selalu merupakan tindakan bersama berdasarkan prinsipminaesa. Tetapi segera setelah peristiwa yang dihadapi bersama itu selesai, prinsip minaesaditinggalkan oleh para walak bersangkutan, mereka kembali hidup sendiri-sendiri.

PANDANGAN DEVID E.F. HELEY

Devid E.F. Heley tampak meragukan penggunaan kata ”minahasa” bermakna sebagai ”persatuan” dalam artiannya yang sejati. Dalam tulisannya “Nationalism and Regionalism in a Colonial Contex, Minahasa in the Dutch East Indies[3] diungkapkannya bahwa Minahasa baru muncul sebagai suatu kesatuan teritorial tanggal 10 Januari 1679. Pada waktu itu kedudukan para Walak di pedalaman sangat kuat. Juga kekuasaan politik mereka lebih mencolok daripada raja-raja yang menjadi tetangganya. Karena itu, demi kepentingan Belanda, pemerintah Belanda telah menyatukan kelompok-kelompok etnis di penggunungan yang oleh residen J.D. Schierstein kata ”minhasa” diungkapkan sebagai bermakna ”mendamaikan”. Tetapi dari pihak orang pegunungan, nama Minahasa sesungguhnya merupakan exonerating.
Oleh sebab itu, Henley melihat bahwa kesatuan Minahasa sebagai nama territorial yang baru, sebenarnya lebih mengacu kepada kesatuan territorial dari pada kesatuan penduduknya. Orang Minahasa nanti mulai menganggap bahwa mereka adalah suatu kesatuan setelah pada abad ke-19, ketika penduduk dari kawasan ini mengalami transformasi sosial yang dramatis, sebagai akibat dari panetrasi pemerintahan Belanda yang intensif terhadap pembudayaan tanaman kopi secara paksa, aktivitas dari misi Kristen, dan pendidikan ala Barat. Pada waktu itulah Minahasa dapat diartikan sebagai nama untuk wilayah itu.
Sementara itu masalah “persatuan” jelas terlihat dalam kesamaan mereka sebagai suatu kelompok yang merasakan pengalaman dibawah pemerintahan kolonial dan dalam kebersamaan institusi-institusi. Para penginjil juga memperkenalkan suatu kesatuan sosial yang nyata dan sangat ideal yang berasosiasi dengan pemikiran yang menuju kepada persaudaraan secara Kristiani.

BENTUK MASYARAKAT MINAHASA

Bila menengok kebelakang, banyak informasi menunjukan bahwa bentuk masyarakat Minahasa pada zaman lampau sebenarnya berbentuk “tribe”. George Foster[4]menyebutnya sebagai masyarakat yang menjalankan “tribal system” atau kelompok masyarakat pedalaman yang pokok kehidupan mereka bersandar pada ladang pertanian. Sedangkan unit politik mereka yang tertinggi adalah “Walak”[5]. Unsur-unsur yang menonjol dalam walak ini ialah, bahwa semua orang yang hidup dalam suatu walak, mempunyai pertautan darah satu sama lain. Sedangkan di dalam seluruh Walak, hidup suatu keyakinan bahwa anggota Walak manapun juga, mempunyai garis keturunan yang sama.
Pada zaman itu, di dalam lingkungan kehidupan walak terdapat seorang pemimpin yang diangkat,yang mereka sebut sebagai kepala Walak. Sebagai seorang kepala walak ia masih dapat diangkat memangku jabatan sebagai “walian” atau pendeta relegi pribumi. Bertambahnya fungsi seorang kepala walak karena tugas rangkap: sebagai walak dan sebagai walian,maka kekuasaan dan tanggung jawabnya menjadi lebih mutlak. Tanggung jawab seorang walak yang merangkap jabatan sebagai walian mengharuskan dia dapat menjelaskan dengan baik arah gejala-gejala alam yang muncul, apalagi kalau tanda-tanda alam itu berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Ia juga memikul tanggung jawab untuk selalu memberi jalan keluar bila ada masalah yang timbul di wilayahnya. Disamping hal-hal tersebut, dia diharuskan oleh komunitasnya untuk selalu mawas diri, dan sadar terhadap batas-batas wewenang yang diberikan oleh kelompok “walak” kepadanya.
Begitu pula dengan unsur keter (power). Unsur keter merupakan persyaratan mutlak yang perlu dimiliki bila seseorang dalam komunitas walak yang sederajat ingin menjadi pemimpin. Di dalam kehidupan sebuah komunitas walak, seseorang yang mempunyai“keter” atau kekuatan selalu diprioritaskan untuk diangkat menjadi pemimpin. Jadi, unsur“keter-lah” yang memegang peran penting bagi seseorang yang ingin menjadi yang terbaik dari antara warga sederajatnya, sekaligus menjadikannya sebagai “primus inter pares” di dalam sebuah walak.
Dalam menjalankan peran (role) sebagai pemimpin, kepala walak tidak diperbolehkan menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang, terutama dalam soal pembagian tanah. Karena, ia dapat dikenai sangsi dari “opo” atau semacam sangsi Ilahi, berupa pencabutan secara transenden keter-nya sampai ia menjadi “weles” atau kehilangan kekuatan sama sekali. Bila seorang pemimpin terkena sangsi Ilahi, kemudian menjadi “weles”, maka akibatnya sangat berat. Ia akan dikucilkan dari masyarakat. Walaupun ia masih hidup, ia merasa bagaikan telah mati[6]. Dalam istilah moderen ia mengalami pembunuhan karakter (character assassination).
Dalam tahun 1870-an, pengangkatan seorang walak di Minahasa dikomentari oleh J.G.F. Riedel seperti berikut: “ Ofschoon onder de alfoeren in de Minahasa ook een ieder geroepen kan worden het bestuur te voeren, is het hun gansch niet onverschilling of zoo iemand de panangaranan (van ngaran) naam, de abakai oembanoea[7] “Walaupun siapa saja di dalam wilayah itu, dapat dipanggil untuk memimpin pemerintahan yang dipilih oleh wakil-wakil/ngaran untuk menjadi kepala (abakai oem banoea), tetapi cara mereka memilih tidaklah serampangan”
Pengangkatan seseorang menjadi pemimpin Walak syaratnya tidak mudah. Sebab, seorang pemimpin yang telah diangkat oleh para ukung atau walak menjadi pemimpin mereka, dibatasi dengan larangan menggunakan kekuasaan sewenang-wenang. Pemimpin yang melakukan pelanggaran yang dapat dikategorikan berat, hukuman yang akan ditimpahkan kepadanya bukan sekedar pembunuhan karakter (character assassination)tetapi lebih daripada itu. Dalam hal menjatuhkan hukuman bagi seseorang yang melakukan pelanggaran berat dijelaskan oleh Bert Supit seperti berikut :
“Pengadilan adalah sarana, dimana para ukung mendemonstrasikan kekuasaan mereka berdasarkan ketentuan-ketentuan adat; suatu sarana untuk menyatakan dan memenuhi rasa keadilan, baik dari para ukung maupun rakyat mereka. Misalnya, pembunuh harus dihukum mati bila yang dibunuh ternyata tidak bersalah. Bila si pembunuh tidak dijumpai, salah seorang anggota keluarga atau budaknya dapat dihukum mati. Terutama pelaksanaan hukuman mati dengan cara mengikat terhukum dalam perahu dan mencincangnya sampai halus [hukuman cincang sampai halus .. to’e-tok’ken..] (Supit, 1986:119-120).
Cara menjatuhkan hukuman mencincang tubuh seseorang sampai halus yang sering dilakukan oleh para ukung dan walak di Minahasa. Seputaran tahun 1699, hukuman cincang ini berusaha diredam oleh Residen Manado Kapten Paulus de Brieving. Hal ini dapat dilihat dalam hasil musyawarah yang dilaksanakan di dalam Loji Kompeni di Fort Amsterdam Manado, antara pihak Belanda dan para ukung dan walak yang berasal dari beberapa wilayah yang diwakili oleh tiga orang Hoofd Hukum Mayor (Kepala Hukum Mayor): Supit dari Tombariri, Lonto dari Sarongsong dan Paat dari wilayah Tomohon (Molsbergen, 1928: 89). Hasil musyawarah ini kemudian dicantumkan dalam Perjanjian Persekutuan (Bond Genootschap) tanggal 10 September 1699. Dimana, dalam pasal 3 perjanjiaan itu isinya menyatakan seperti berikut :
“…ketiga ukung tu’a kepala dan semua ukung atas nama diri sendiri dan anak temurunnya, untuk selama-lamanya dengan sukarela membuang dan menghentikan kebiasaan men-tok-tok atau mencincang orang-orang yang tidak bersalah, baik budak maupun rakyat biasa, sebagai pengganti seseorang yang benar-benar telah membunuh atau seseorang penjahat besar, dan menyatakan mempunyai suatu perasaan keji dan jijik mengenai hal ini, dan karena itu merekapun berjanji dan menyetujui, bahwa mereka dan anak keturunan mereka akan mengusahakan agar tidak seorang pun dalam wilayah mereka, dengan alasan apapun, akan dihukum mati atau dicincang, tetapi mereka sepakat akan menyerahkan setiap pembunuh atau penjahat yang akan dihukum mati ke dalam tangan Kompeni, yang akan menentukan hukuman sesuai beratnya kejahatan yang dituduhkan, dengan ketentuan bahwa, baik sekarang maupun sesudahnya, barang siapa mengabaikan atau menentang ketentuan-ketentuan ini, akan mendapat hukuman dari Kompeni, sama seperti mereka yang melanggar persahabatan yang mereka telah setujui[8]

MITOS BATU PINABETENGAN DAN SIMBOL PEREMPUAN ARIF

Banyak pemerhati sejarah dan kebudayaan mengakui, bahwa Batu Pinabetengan adalah bukti dimana daerah Minahasa Tengahlah yang menjadi pusat kebudayaan nenek moyang etnik Minahasa masa lalu.
Penulis melihat bahwa akar cerita “Toar dan Lumimuut”, sangat erat hubungannya dengan cerita tentang “Batu Pinabetengan” atau “Batu Pembagian” wilayah untuk para subetnik. Setiap suku bangsa atau sub-suku yang datang kemudian seperti Tonsawang, Pasan, Ratahan, dan Bantik, selalu mengakui bahwa ikrar yang dilakukan di Batu Pinabetengan sebagai petunjuk bahwa mereka adalah satu keturunan dari Toar dan Lumimuut. Akibatnya, versi mitos tentang Toar dan Lumimuut menjadi sangat banyak dan bervariasi, mencapai lebih dari 90 versi. Tetapi terdapat versi yang sama dalam setiap cerita itu, yakni adanya tanah, air dan batu.
Salah satu versi yang menghubungkan Lumimuut dengan alam[9] menjelaskan: bahwa pembentukan daratan dimungkinkan karena bantuan kosmik lain. Sebelum daratan diciptakan, keadaan alam masih sangat gelap, namun terdapat angin ribut, yang bersumber dari gelombang pasang laut. Gelombang dari laut kemudian menghantam gumpalan-gumpalan tanah, keadaannya amat menyeramkan. Tiba-tiba munculah matahari, menyinari gumpalan-gumpalan tanah secara terus menerus. Gelombang-gelombang di laut menjadi berbusah atau “lewa” (lewa dalam bahasa Tontemboan berarti buih). Busah-busah itu kemudian berubah bentuk menyerupai batu-batu gamping yang telah terdampar ke tepian pantai. Diantara batu-batu putih yang menyerupai batu gamping itu ada yang berbentuk telur, diantaranya ada sebuah yang menetas. Dari situ keluar seorang bayi yang mungil. Bayi mungil itu dibersihkan oleh air laut. Kemudian ia merangkak ke darat. Kelanjutan hidup si bayi sampai tumbuh menjadi seorang gadis jelita, dianggap disebabkan oleh karena bantuan alam. Dia telah disegarkan oleh embun pagi hari dan madu dari bunga-bunga. Gadis itu setelah dewasa di kenal sebagai Lumimuut. Kemudian dihamili oleh angin Barat, dan munculah Toar, dan seterusnya…” Carita ini dapat digolongkan seperti yang dicontohkan oleh C. Levie Strauss[10] yang memilah mitos dalam matriks simbol-simbol.
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa perempuan adalah simbol pertama dalam relegi pribumi Minahasa. Dari 90 versi cerita rakyat yang ada menyatakan, bahwa Lumimuut adalah ibu dari Toar. Cerita-cerita ini sebenarnya ingin menunjukkan kearifan peran dari perempuan Lumimuut. Kedua, ingin menunjukan, bahwa hubungan-hubungan kekerabatan hanya terjadi dalam lingkungan sendiri, tidak ada pertukaran dengan sub-sub etnik lain yang bersifat hubungan timbal balik (reciprocal), bila merujuk pada cerita tentang mitos Raja Empat dari A. Vander Leeden dan EKM Masinambouw, akan tampak bahwa cerita-cerita tentang anak kawin dengan ibu, bukanlah merupakan suatu hal yang aneh dalam mitos, tetapi sudah merupakan ciri universal. Contoh hal, Oedipus membunuh raksasa yang bertindak sebagai penghalang niatnya, kemudian membunuh ayahnya sendiri Labdacos, supaya ia dapat mengawini Ibunya Jacosta[11]
Tipe kekerabatan yang digambarkan oleh C.L.Straus (1969)[12] sama dengan tipe kekerabatan yang diterangkan oleh W.Ludstrom-Burghoorn (1981)[13]. Sedangkan menurut A.C. Kruyt (1925)[14] hampir semua mitos di kepulauan Pasifik, termasuk yang ada di Minahasa sampai ke Tanah Toraja menggambarkan manusia pertama adalah perempuan. Jadi tidaklah mengherankan kalau di Minahasa perempuan dilambangkan sebagai sumber kearifan dan kebijaksanaan.
Lumimuut kemudian dituturkan mendapatkan lahan untuk hidup, di sebuah tempat yang bergunung-gunung yang dinamakan “Wulurmahatus” atau daerah pegunungan yang berpuncak seratus. Mula-mula daerah itu tandus. Lumimuut kemudian memanjatkan doa secara terus-menerus kepada “Kasuruan Wangko”. Maka pada suatu ketika, Lumimuut melihat seekor burung terbang diatasnya, menggenggam ranting di sebelah kiri dan sebongkah tanah di sebelah kanan.
Ranting dan bongkahan tanah itu kemudian diletakan oleh burung itu di tempat dimana Lumimuut sedang menenangkan dirinya. Maka dalam sekejab tempat itu menghutan ditumbuhi berbagai jenis pohon dan buah-buahan. Tanah yang dijadikan Lumimuut sebagai tempat peristirahatannya menjadi sangat subur, dan menghasilkan lebih dari seribu jenis “buah-buahan”[15] yang dapat dimakan supaya keturunan Lumimuut tidak akan pernah mengalami kelaparan. “Kasuruan Wangko” juga melengkapi Lumimuut dengan beberapa “Opo” untuk mengolah tanah, seperti antara lain “Opo Mandei” yang diberikan untuk menjaga ladang Lumimuut, “se Opo ni mema in tana”, pengelolah tanah yang selamanya akan bekerja di ladang.
Pada zaman dahulu jelas terlihat bahwa Lumimuut di puja di daerah Minahasa khususnya di Minahasa Tengah sebagai “dewi tanah”. Dialah yang dianggap telah mengolah dan mengurus tanah dan karena itu pula ia dijadikan simbol pemberi makan bagi keturunannya. Kekuatannya juga dianggap melampaui jauh di atas hal-hal yang ada dalam pengalaman (transcendent), dan menurun pada keturunannya yang perempuan.

1 comment: