Perspektif Historis – Theologis –
Antropologis
Oleh
: Roy Erickson Mamengko
Setiap
masyarakat ingin mengetahui dengan pasti asal usulnya. Dalam hal ini bukan
hanya ingin mengetahui sesuatu yang memang masuk diakal, melainkan ada sesuatu
yang lebih dari itu. Manusia selalu sadar bahwa pengetahuan tentang
asal-usulnya penting bagi kelanjutan hidup adat-istiadatnya[1]. Hal ini
disebabkan karena, masa permulaan kebudayaan suatu komunitas masyarakat
merupakan masa penentu yang sangat mendasar. Karena, pada saat itulah, bukan
pada masa sesudahnya unsur-unsur serta dasar-dasar adat-istiadat mereka
terbentuk. Kemudian, membuat komunitas itu menjadi apa yang kini ada sesuai
dengan hakekat mereka. Etnis Minahasa pun tidak merupakan kekecualian. Karenanya,
apabila kita ingin mengetahui lebih mendalam tentang wujud kebudayaan etnik
Minahasa ini dalam hal ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan,
aktivitas dan tindakan terpola, serta berbagai hasil karya etnik Minahasa ini
di dalam maupun di luar wilayahnya adalah sesuatu yang sangat wajar.
Ada
banyak hal penting dan mendasar tentang etnik Minahasa yang coba diurai oleh
para penulis artikel dalam blog ini. Mencakupi pertanyaan-pertanyaan antara
lain: Bagaimana kehidupan tradisional etnik Minahasa masa lalu. Bagaimana
terjadinya persentuhan antara agama suku mula-mula dengan agama kristen.
Bagaimana dinamika hubungan antara etnik Minahasa dengan pihak kompeni.
Bagaiman gambaran ringkas tentang proses integrasi etnik ini, khususnya pihak
perempuan dengan etnis dari luar yang dibawa kompeni masuk ke tanah Minahasa
seputar abad 15 sampai pertengahan abad 19. Termasuk asal usul nama “Minahasa”
yang sekarang menjadi simbol wilayah dan kebudayaan suku bangsa Minahasa.
ASAL USUL NAMA “MINAHASA”
Diakui,
bahwa sampai saat ini belum ditemukan sumber-sumber lain yang menjelaskan,
siapa orang pertama yang menggunakan nama Minahasa, selain Residen J.D.
Schierstein. Bukti-bukti historis menunjukan bahwa sampai sejauh ini, para
penulis sejarah lokal yang mengkaitkan tulisan-tulisan mereka dengan nama
Minahasa masih tetap merujuk pada laporan yang dibuat oleh bekas Residen Manado
Schierstein tanggal 8 Oktober tahun 1789 untuk Alexander Cornabe yang kala itu
menjabat sebagai Gubernur di Maluku. Dalam laporan Schierstein ini, untuk
pertama kalinya ditemukan penggunaan kata “minhasa” yang kini digunakan sebagai
simbol sebuah wilayah yang sekarang ditempati oleh suku bangsa “Minahasa”.
Sampai sejauh ini, belum ditemukan ada penelitian komprehensif yang secara
kusus membahas sumber dan makna penggunaan kata “minhasa” yang sebelumnya,
digunakan J.D. Schierstein dalam laporannya tanggal 10 Oktober 1789 itu.
Pemaknaan terhadap kata “minhasa” versi Schierstein, tampak berbeda dengan
orang Minahasa yang muncul antara abad ke XIX dan XX. Kutipan berikut
menunjukan perbedaannya :
“Bersama
ini saya mengambil kebebasan untuk melaporkan dengan hormat kepada Paduka Tuan,
bahwa “minhasa” atau musyawarah para ukung pada tanggal 1 bulan ini, telah
menyelesaikan pertikaian antara Bantik dan Tateli menurut adat-istiadat mereka
dan penegasan atau pernyataan perdamaian itu akan dilakukan kemudian dengan
sumpah” [2]
Bila
diperhatikan dengan cermat isi penggunaan kata “minhasa” yang tertulis dalam
laporan Schierstein tersebut sebenarnya menguraikan “proses musyawarah” yang
diprakarsai Residen J.D. Schierstein untuk mendamaikan pertikaian yang selalu
terjadi antar “ukung” dan “walak” dari subetnik: Tontemboan, Tombuluh, Tonsea,
Tondano, Ponosakan, Pasan, Ratahan dan Bantik. Terutama, permusuhan antara para
ukung dan “walak dari kelompok subetnik Tondano dan Tonsawang. Proses
perdamaian ini ditegaskan lagi oleh Bert Supit seperti berikut ini :
“Perdamaian
yang dicapai pada tanggal 9 Desember 1789, pada akhir bulan itu juga disahkan
dengan cara adat; suatu prestasi yang gemilang dari Residen J.D. Schierstein.
Penyelesaian dilakukannya melalui suatu musyawarah antar-ukungseluruh Minahasa
yang diundang untuk menyelenggarakan suatu musyawarah besar. Dalam Musyawarah
itu ia mengajak mereka untuk bersama dengan Kompeni, mendamaikan bentrokan
antar-walak . Setelah usul ajakannya disetujui, dimintanya agar tiap-tiap ukung
mengerahkan kekuatan dan bersama-sama dengan kompeni, memaksa walak-walak lain
mengadakan perdamaian” (Supit, 1986:141).
Dengan
demikian menurut tafsiran penulis, bahwa pada awalnya penggunaan kata “minhasa
” oleh Schierstein dalam laporan yang dia buat untuk atasannya itu,
dimaksudkannya sebagai metode untuk menyelesaian konflik antar ukung dan walak.
Bert Supit (1988:141) membenarkan bahwa musyawarah yang disebutnya “Minhasa”
atau Landraad atau Vergadering der dorpshoofden (Musyawarah para ukung) untuk
pertama kalinya digunakan secara resmi dalam arti musyawarah para ukung.
Sebenarnya perkataan itu berasal dari kata “minaesa” yang berarti menjadi satu,
yang sejak masa lampau telah hidup dalam masyarakat Minahasa. Setiap kali
masyarakat menghadapi suatu persoalan bersama, mereka mengadakan musyawarah
untuk mencari jalan keluar bersama. Hasil dari musyawarah itu hampir selalu
merupakan tindakan bersama berdasarkan prinsipminaesa. Tetapi segera setelah
peristiwa yang dihadapi bersama itu selesai, prinsip minaesaditinggalkan oleh
para walak bersangkutan, mereka kembali hidup sendiri-sendiri.
PANDANGAN DEVID E.F. HELEY
Devid
E.F. Heley tampak meragukan penggunaan kata ”minahasa” bermakna sebagai
”persatuan” dalam artiannya yang sejati. Dalam tulisannya “Nationalism and
Regionalism in a Colonial Contex, Minahasa in the Dutch East Indies[3]
diungkapkannya bahwa Minahasa baru muncul sebagai suatu kesatuan teritorial
tanggal 10 Januari 1679. Pada waktu itu kedudukan para Walak di pedalaman
sangat kuat. Juga kekuasaan politik mereka lebih mencolok daripada raja-raja
yang menjadi tetangganya. Karena itu, demi kepentingan Belanda, pemerintah
Belanda telah menyatukan kelompok-kelompok etnis di penggunungan yang oleh
residen J.D. Schierstein kata ”minhasa” diungkapkan sebagai bermakna
”mendamaikan”. Tetapi dari pihak orang pegunungan, nama Minahasa sesungguhnya
merupakan exonerating.
Oleh
sebab itu, Henley melihat bahwa kesatuan Minahasa sebagai nama territorial yang
baru, sebenarnya lebih mengacu kepada kesatuan territorial dari pada kesatuan
penduduknya. Orang Minahasa nanti mulai menganggap bahwa mereka adalah suatu
kesatuan setelah pada abad ke-19, ketika penduduk dari kawasan ini mengalami
transformasi sosial yang dramatis, sebagai akibat dari panetrasi pemerintahan
Belanda yang intensif terhadap pembudayaan tanaman kopi secara paksa, aktivitas
dari misi Kristen, dan pendidikan ala Barat. Pada waktu itulah Minahasa dapat
diartikan sebagai nama untuk wilayah itu.
Sementara
itu masalah “persatuan” jelas terlihat dalam kesamaan mereka sebagai suatu
kelompok yang merasakan pengalaman dibawah pemerintahan kolonial dan dalam
kebersamaan institusi-institusi. Para penginjil juga memperkenalkan suatu
kesatuan sosial yang nyata dan sangat ideal yang berasosiasi dengan pemikiran
yang menuju kepada persaudaraan secara Kristiani.
BENTUK MASYARAKAT MINAHASA
Bila
menengok kebelakang, banyak informasi menunjukan bahwa bentuk masyarakat
Minahasa pada zaman lampau sebenarnya berbentuk “tribe”. George
Foster[4]menyebutnya sebagai masyarakat yang menjalankan “tribal system” atau
kelompok masyarakat pedalaman yang pokok kehidupan mereka bersandar pada ladang
pertanian. Sedangkan unit politik mereka yang tertinggi adalah “Walak”[5].
Unsur-unsur yang menonjol dalam walak ini ialah, bahwa semua orang yang hidup
dalam suatu walak, mempunyai pertautan darah satu sama lain. Sedangkan di dalam
seluruh Walak, hidup suatu keyakinan bahwa anggota Walak manapun juga,
mempunyai garis keturunan yang sama.
Pada
zaman itu, di dalam lingkungan kehidupan walak terdapat seorang pemimpin yang
diangkat,yang mereka sebut sebagai kepala Walak. Sebagai seorang kepala walak
ia masih dapat diangkat memangku jabatan sebagai “walian” atau pendeta relegi
pribumi. Bertambahnya fungsi seorang kepala walak karena tugas rangkap: sebagai
walak dan sebagai walian,maka kekuasaan dan tanggung jawabnya menjadi lebih
mutlak. Tanggung jawab seorang walak yang merangkap jabatan sebagai walian
mengharuskan dia dapat menjelaskan dengan baik arah gejala-gejala alam yang
muncul, apalagi kalau tanda-tanda alam itu berkaitan dengan kehidupan
masyarakat. Ia juga memikul tanggung jawab untuk selalu memberi jalan keluar bila
ada masalah yang timbul di wilayahnya. Disamping hal-hal tersebut, dia
diharuskan oleh komunitasnya untuk selalu mawas diri, dan sadar terhadap
batas-batas wewenang yang diberikan oleh kelompok “walak” kepadanya.
Begitu
pula dengan unsur keter (power). Unsur keter merupakan persyaratan mutlak yang
perlu dimiliki bila seseorang dalam komunitas walak yang sederajat ingin
menjadi pemimpin. Di dalam kehidupan sebuah komunitas walak, seseorang yang
mempunyai“keter” atau kekuatan selalu diprioritaskan untuk diangkat menjadi
pemimpin. Jadi, unsur“keter-lah” yang memegang peran penting bagi seseorang
yang ingin menjadi yang terbaik dari antara warga sederajatnya, sekaligus
menjadikannya sebagai “primus inter pares” di dalam sebuah walak.
Dalam
menjalankan peran (role) sebagai pemimpin, kepala walak tidak diperbolehkan
menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang, terutama dalam soal pembagian
tanah. Karena, ia dapat dikenai sangsi dari “opo” atau semacam sangsi Ilahi,
berupa pencabutan secara transenden keter-nya sampai ia menjadi “weles” atau
kehilangan kekuatan sama sekali. Bila seorang pemimpin terkena sangsi Ilahi,
kemudian menjadi “weles”, maka akibatnya sangat berat. Ia akan dikucilkan dari
masyarakat. Walaupun ia masih hidup, ia merasa bagaikan telah mati[6]. Dalam
istilah moderen ia mengalami pembunuhan karakter (character assassination).
Dalam
tahun 1870-an, pengangkatan seorang walak di Minahasa dikomentari oleh J.G.F.
Riedel seperti berikut: “ Ofschoon onder de alfoeren in de Minahasa ook een
ieder geroepen kan worden het bestuur te voeren, is het hun gansch niet
onverschilling of zoo iemand de panangaranan (van ngaran) naam, de abakai
oembanoea[7] “Walaupun siapa saja di dalam wilayah itu, dapat dipanggil untuk
memimpin pemerintahan yang dipilih oleh wakil-wakil/ngaran untuk menjadi kepala
(abakai oem banoea), tetapi cara mereka memilih tidaklah serampangan”
Pengangkatan
seseorang menjadi pemimpin Walak syaratnya tidak mudah. Sebab, seorang pemimpin
yang telah diangkat oleh para ukung atau walak menjadi pemimpin mereka,
dibatasi dengan larangan menggunakan kekuasaan sewenang-wenang. Pemimpin yang
melakukan pelanggaran yang dapat dikategorikan berat, hukuman yang akan
ditimpahkan kepadanya bukan sekedar pembunuhan karakter (character
assassination)tetapi lebih daripada itu. Dalam hal menjatuhkan hukuman bagi
seseorang yang melakukan pelanggaran berat dijelaskan oleh Bert Supit seperti
berikut :
“Pengadilan
adalah sarana, dimana para ukung mendemonstrasikan kekuasaan mereka berdasarkan
ketentuan-ketentuan adat; suatu sarana untuk menyatakan dan memenuhi rasa
keadilan, baik dari para ukung maupun rakyat mereka. Misalnya, pembunuh harus
dihukum mati bila yang dibunuh ternyata tidak bersalah. Bila si pembunuh tidak
dijumpai, salah seorang anggota keluarga atau budaknya dapat dihukum mati.
Terutama pelaksanaan hukuman mati dengan cara mengikat terhukum dalam perahu
dan mencincangnya sampai halus [hukuman cincang sampai halus .. to’e-tok’ken..]
(Supit, 1986:119-120).
Cara
menjatuhkan hukuman mencincang tubuh seseorang sampai halus yang sering
dilakukan oleh para ukung dan walak di Minahasa. Seputaran tahun 1699, hukuman
cincang ini berusaha diredam oleh Residen Manado Kapten Paulus de Brieving. Hal
ini dapat dilihat dalam hasil musyawarah yang dilaksanakan di dalam Loji
Kompeni di Fort Amsterdam Manado, antara pihak Belanda dan para ukung dan walak
yang berasal dari beberapa wilayah yang diwakili oleh tiga orang Hoofd Hukum
Mayor (Kepala Hukum Mayor): Supit dari Tombariri, Lonto dari Sarongsong dan
Paat dari wilayah Tomohon (Molsbergen, 1928: 89). Hasil musyawarah ini kemudian
dicantumkan dalam Perjanjian Persekutuan (Bond Genootschap) tanggal 10
September 1699. Dimana, dalam pasal 3 perjanjiaan itu isinya menyatakan seperti
berikut :
“…ketiga
ukung tu’a kepala dan semua ukung atas nama diri sendiri dan anak temurunnya,
untuk selama-lamanya dengan sukarela membuang dan menghentikan kebiasaan
men-tok-tok atau mencincang orang-orang yang tidak bersalah, baik budak maupun
rakyat biasa, sebagai pengganti seseorang yang benar-benar telah membunuh atau
seseorang penjahat besar, dan menyatakan mempunyai suatu perasaan keji dan
jijik mengenai hal ini, dan karena itu merekapun berjanji dan menyetujui, bahwa
mereka dan anak keturunan mereka akan mengusahakan agar tidak seorang pun dalam
wilayah mereka, dengan alasan apapun, akan dihukum mati atau dicincang, tetapi
mereka sepakat akan menyerahkan setiap pembunuh atau penjahat yang akan dihukum
mati ke dalam tangan Kompeni, yang akan menentukan hukuman sesuai beratnya
kejahatan yang dituduhkan, dengan ketentuan bahwa, baik sekarang maupun
sesudahnya, barang siapa mengabaikan atau menentang ketentuan-ketentuan ini,
akan mendapat hukuman dari Kompeni, sama seperti mereka yang melanggar
persahabatan yang mereka telah setujui[8]
MITOS BATU PINABETENGAN DAN SIMBOL
PEREMPUAN ARIF
Banyak
pemerhati sejarah dan kebudayaan mengakui, bahwa Batu Pinabetengan adalah bukti
dimana daerah Minahasa Tengahlah yang menjadi pusat kebudayaan nenek moyang
etnik Minahasa masa lalu.
Penulis
melihat bahwa akar cerita “Toar dan Lumimuut”, sangat erat hubungannya dengan
cerita tentang “Batu Pinabetengan” atau “Batu Pembagian” wilayah untuk para
subetnik. Setiap suku bangsa atau sub-suku yang datang kemudian seperti
Tonsawang, Pasan, Ratahan, dan Bantik, selalu mengakui bahwa ikrar yang
dilakukan di Batu Pinabetengan sebagai petunjuk bahwa mereka adalah satu
keturunan dari Toar dan Lumimuut. Akibatnya, versi mitos tentang Toar dan
Lumimuut menjadi sangat banyak dan bervariasi, mencapai lebih dari 90 versi.
Tetapi terdapat versi yang sama dalam setiap cerita itu, yakni adanya tanah,
air dan batu.
Salah
satu versi yang menghubungkan Lumimuut dengan alam[9] menjelaskan: bahwa
pembentukan daratan dimungkinkan karena bantuan kosmik lain. Sebelum daratan
diciptakan, keadaan alam masih sangat gelap, namun terdapat angin ribut, yang
bersumber dari gelombang pasang laut. Gelombang dari laut kemudian menghantam
gumpalan-gumpalan tanah, keadaannya amat menyeramkan. Tiba-tiba munculah
matahari, menyinari gumpalan-gumpalan tanah secara terus menerus.
Gelombang-gelombang di laut menjadi berbusah atau “lewa” (lewa dalam bahasa
Tontemboan berarti buih). Busah-busah itu kemudian berubah bentuk menyerupai
batu-batu gamping yang telah terdampar ke tepian pantai. Diantara batu-batu putih
yang menyerupai batu gamping itu ada yang berbentuk telur, diantaranya ada
sebuah yang menetas. Dari situ keluar seorang bayi yang mungil. Bayi mungil itu
dibersihkan oleh air laut. Kemudian ia merangkak ke darat. Kelanjutan hidup si
bayi sampai tumbuh menjadi seorang gadis jelita, dianggap disebabkan oleh
karena bantuan alam. Dia telah disegarkan oleh embun pagi hari dan madu dari
bunga-bunga. Gadis itu setelah dewasa di kenal sebagai Lumimuut. Kemudian
dihamili oleh angin Barat, dan munculah Toar, dan seterusnya…” Carita ini dapat
digolongkan seperti yang dicontohkan oleh C. Levie Strauss[10] yang memilah
mitos dalam matriks simbol-simbol.
Dari
uraian di atas jelas terlihat bahwa perempuan adalah simbol pertama dalam
relegi pribumi Minahasa. Dari 90 versi cerita rakyat yang ada menyatakan, bahwa
Lumimuut adalah ibu dari Toar. Cerita-cerita ini sebenarnya ingin menunjukkan
kearifan peran dari perempuan Lumimuut. Kedua, ingin menunjukan, bahwa
hubungan-hubungan kekerabatan hanya terjadi dalam lingkungan sendiri, tidak ada
pertukaran dengan sub-sub etnik lain yang bersifat hubungan timbal balik
(reciprocal), bila merujuk pada cerita tentang mitos Raja Empat dari A. Vander
Leeden dan EKM Masinambouw, akan tampak bahwa cerita-cerita tentang anak kawin
dengan ibu, bukanlah merupakan suatu hal yang aneh dalam mitos, tetapi sudah
merupakan ciri universal. Contoh hal, Oedipus membunuh raksasa yang bertindak
sebagai penghalang niatnya, kemudian membunuh ayahnya sendiri Labdacos, supaya
ia dapat mengawini Ibunya Jacosta[11]
Tipe
kekerabatan yang digambarkan oleh C.L.Straus (1969)[12] sama dengan tipe
kekerabatan yang diterangkan oleh W.Ludstrom-Burghoorn (1981)[13]. Sedangkan
menurut A.C. Kruyt (1925)[14] hampir semua mitos di kepulauan Pasifik, termasuk
yang ada di Minahasa sampai ke Tanah Toraja menggambarkan manusia pertama
adalah perempuan. Jadi tidaklah mengherankan kalau di Minahasa perempuan
dilambangkan sebagai sumber kearifan dan kebijaksanaan.
Lumimuut
kemudian dituturkan mendapatkan lahan untuk hidup, di sebuah tempat yang
bergunung-gunung yang dinamakan “Wulurmahatus” atau daerah pegunungan yang
berpuncak seratus. Mula-mula daerah itu tandus. Lumimuut kemudian memanjatkan
doa secara terus-menerus kepada “Kasuruan Wangko”. Maka pada suatu ketika,
Lumimuut melihat seekor burung terbang diatasnya, menggenggam ranting di
sebelah kiri dan sebongkah tanah di sebelah kanan.
Ranting
dan bongkahan tanah itu kemudian diletakan oleh burung itu di tempat dimana
Lumimuut sedang menenangkan dirinya. Maka dalam sekejab tempat itu menghutan
ditumbuhi berbagai jenis pohon dan buah-buahan. Tanah yang dijadikan Lumimuut
sebagai tempat peristirahatannya menjadi sangat subur, dan menghasilkan lebih
dari seribu jenis “buah-buahan”[15] yang dapat dimakan supaya keturunan
Lumimuut tidak akan pernah mengalami kelaparan. “Kasuruan Wangko” juga
melengkapi Lumimuut dengan beberapa “Opo” untuk mengolah tanah, seperti antara
lain “Opo Mandei” yang diberikan untuk menjaga ladang Lumimuut, “se Opo ni mema
in tana”, pengelolah tanah yang selamanya akan bekerja di ladang.
Pada zaman dahulu jelas terlihat bahwa Lumimuut
di puja di daerah Minahasa khususnya di Minahasa Tengah sebagai “dewi tanah”.
Dialah yang dianggap telah mengolah dan mengurus tanah dan karena itu pula ia
dijadikan simbol pemberi makan bagi keturunannya. Kekuatannya juga dianggap
melampaui jauh di atas hal-hal yang ada dalam pengalaman (transcendent), dan
menurun pada keturunannya yang perempuan.
luar biasa, menarik
ReplyDelete