MENURUT DAVID.E.F.HENLEY
Oleh
Roy Erickson Mamengko
Pemikiran
akademik David E.F. Henley yang ditungkannya dalam bukunya “Nationalism and
Regionalism in A Colonial Contex: Minahasa in the Dutch East Indies, yang
dipublikasikan oleh KITV Press, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde, Leiden, Netherlands, tahun 1996, atau lima belas tahun lalu, dari
sudut penglihatan saya sekarang ini, menarik untuk di bahas.
Mengapa
meninjau tulisan Henley yang telah dipublikasikan sejak lima belas tahun silam?
Dua alasan saya. Pertama, karena tulisan Henley ini mengungkapkan beberapa hal
penting yang terkait erat dengan “ideologi” dan “kebudayaan politik” orang
Minahasa pada kurun waktu yang dia bicarakan, tapi tampak tidak menarik minat
kalangan luas Tou Minahasa untuk dipelajari. Kedua, untuk menopang “ancangan
pikir” Dr. Bert Adrian Supit, sebagaimana yang saya baca dalam artikel yang
diberinya judul “Nasionalisme Bangsa Minahasa” di FaceBook. Dr. Bert A. Supit
ini mengemukakan pikirannya dengan sangat lugas, gaya berpikir dan berujar
karakter Tou Minahasa tulen. Dimana, karakter "Tou Minahasa"
yang dikenal suka bicara terus terang, lurus, bicara langsung pada pokok
persoalan, tidak suka berbelit-belit, menurut penilaian saya, karakter ini,
dikalangan Tou Minahasa, telah redup bahkan hilang tergerus dinamika zaman.
Mengacu
dari apa yang dapat saya rangkum dari Bab I yang merupakan bagian pendahuluan
dari buku Henley ini (hal.1-43), diketahuilah, bahwa pilihan atas daerah
Minahasa sebagai objek kajiannya, didasarkannya pada observasi awal yang
kemudian menghasilkan anggapan sementara, bahwa “kesadaran sebagai suatu
komunitas Minahasa” (perceived community), besar kemungkinan telah lebih dahulu
ada setengah abad sebelum Indonesia (lihat hal.40). Untuk keabsahan “tesis”
ini, Henley kemudian merumuskan kerangka pikir untuk ancangan pengurai, bahwa;
sebelum nasionalisme itu ada, perhatian harus ditujukan pada “the origin of
nation”.
Ada
lima model terpilih digunakan Henley sebagai acuan pengurai ”thesis”
nasionalisme Minahasa ini. Pertama, ethnic model. Kedua, transformation model.
Ketiga, communication model. Keempat, reactive model. Dan, kelima, political
model (lihat hal. 29-34). Dari argumentasi deskriptif atas lima model ini,
selanjutnya Henley melakukan pemilahan terhadap “inti kajiannya” dalam enam bab
judul. Bab II. Minahasa sebagai suatu unit wilayah (hal.44-83). Bab III.
Minahasa sebagai sebuah kesadaran komunitas (hal.84-123). Bab IV. Minahasa
sebagai suatu kategori sosial (hal. 124-164). Bab V. Minahasa sebagai sebuah
alasan politik (hal.165). Bab VI. Minahasa dan Indonesia (hal. 209-250) dan Bab
VII. Epilog (hal.251-278).
Uraian
berikut diharapkan dapat merangkum muatan umum isi buku yang dipilah menjadi
bab per bab. Sebagaimana yang ditulis dalam Bab II, pada intinya analisis
Henley berhasil mengetengahkan bagaimana keterbatasan Minahasa sebagai sebuah
teritorial, namun mampu membangun “dasar nasionalisme” yang berkaitan dengan
tanah kelahiran miliknya -- tidak untuk mereka sendiri --, tetapi juga mencakup
para warga pendatang. Unifikasi politis dan penciptaan hubungan baru antara
penduduk dengan tanahnya ini terbentuk dan berlangsung secara evolusioner.
Selain menguraikan hal-hal pokok yang berhubungan dengan proses evolusi, pada
bagian ini, Henley juga meninjau secara jelas dan detail kondisi-kondisi yang
membedakan antara Minahasa dengan Wilayah-Wilayah tetangga lainnya selama masa
pra-kolonial.
Sementara
itu, terdapat suatu lompatan temporal cukup jauh dilakukan Henley sebelum ia
tiba pada daerah Minahasa sepanjang abad ke-19 yang diletakkannya ke dalam Bab
III, dengan tema “perceived community”. Dalam periode inilah, menurut
anggapannya suatu proses di mana orang-orang Minahasa memunculkan perasaannya
sebagai warga dari komunitasnya sendiri mulai berlaku. Begitu pula, di
tengah-tengah fakta, bahwa Minahasa, tidak lagi memiliki batas-batas teritorial
berhubung kehadiran Belanda, maka adalah fakta pula, bahwa orang-orang Minahasa
ternyata telah dapat “mengisi sendiri” dan “menyadari sendiri” komunitasnya.
Dengan
mendasarkan pada contoh-contoh “etnik dan nasionalisme” , Henley dalam banyak
tempat pembahasannya, juga menunjukkan bukti tentang adanya akar-akar kesadaran
orang-orang Minahasa, yang bisa ditemukan pada sepanjang abad tersebut.
Gambaran tentang hal ini menjadi semakin kentara setelah melewati separuh abad
itu, berhubung telah mulai berlaku dan meluasnya penginjilan dan pendidikan,
termasuk terbitnya koran Tjahaja Sijang sebagai media lokal di tahun 1860-an.
Hal-hal inilah, antara lain, yang telah membantu percepatan proses pematangan
dari kondisi sebelumnya, yang disebut Henley sebagai “the beginning of
Minahasan nasionalism” .
Perkembangan
selanjutnya yang termuat di dalam bab IV, menunjukkan, bahwa orang-orang
Minahasa telah menemukan “akses” dalam rangka meningkatkan integrasi sosial
mereka, kedalam apa yang disebut sistem-sistem sosial, cakrawala dunia etnik
dan geografis. Sebagaimana dugaan yang mendasarkan diri pada “reactive model”,
pada tahap inilah juga, orang-orang Minahasa telah berani memunculkan “kekuatan
identitas kelompoknya”, karena telah dipunyainya kemampuan untuk berasimilasi
dengan unsur-unsur Eropa.
Fakta
tersebut menjadi lebih jelas tergambar dalam Bab V, yang menguraikan
perkembangan aktivitas politik moderen diantara orang-orang Minahasa.
Sekaligus, ditunjukkannya bagaimana hal itu telah memunculkan “kekuatan
nasionalisme politik Tou Minahasa” yang “kooperatif” dan yang bukan
“konfrontatif”. Kondisi ini menurut Henley, terjadi, karena “karakter rasial”
orang Minahasa tidak muncul. Begitu pula dengan aturan-aturan kolonial yang
dibuat menguntungkan komunitas ini, dan kemudian dinikmati oleh orang-orang
Minahasa” sendiri (hal.173). Retorika “the twelfth Province” dalam lingkup
kerajaan Belanda bagi Minahasa, merupakan contoh lain terhadap pengaburan
“nasionalisme Minahasa”.
Persoalan
lain yang perlu diketengahkan, bahwa loyalisme dan nasionalisme di Minahasa
tidaklah bersifat “mutually exclusive” karena keduanya mempunyai saling
ketergantungan. Pembentukkan “Minahasaraad” di tahun 1903 sebagai sarana
politik paling awal dan paling demokratis di seluruh Hindia Belanda, dapat
dirujuk sebagai terdapatnya “azas reciprocity” antar keduanya. Hadirnya,
“Minahasaraad” sebagai strategi pemerintah kolonial, juga berhasil membentuk
“kaum loyalis” dikalangan orang-orang Minahasa, karena mereka juga, telah
berfungsi sebagai pekerja untuk urusan-urusan pelayanan publik dan penagih
pajak di seluruh daerah Minahasa.
Situasi
bagaimanakah orang-orang Minahasa kemudian masuk dalam komunitas politik yang
berpusat di Batavia? Secara mendetail terurai dalam Bab VI. Gagasan-gagasan
tentang bangsa Indonesia yang bersatu dan Independen, termasuk ketegangan yang
muncul antara “tokoh-tokoh Minahasa” dengan tokoh-tokoh pergerakan yang nasionalis
Indonesia, kemudian bentuk penyelesaian ketegangan politik antara keduanya,
juga dipaparkan Henley pada bagian ini.
“Kita
belum siap menerima kemerdekaan sebab kita belum mempunyai cukup orang yang
mampu mengendalikan pemerintahan”, demikian “jawaban orang-orang Minahasa” atas
ketidak hadiran mereka pada kongres PPPKI di tahun 1928 (hal.2005). Pernyataan
ini berubah ketika pada tahun 1939, orang-orang Minahasa memutuskan bergabung
dengan GAPI seraya berharap, bahwa “Federalisme” merupakan satu-satunya jalan
untuk mengurangi perasaan was-was kalangan orang Minahasa, karena jumlah
penduduknya hanya 0,5% dari keseluruhan jumlah penduduk wilayah yang
bertetangga dengan mereka (hal.233).
Minahasa
melalui keputusan para intelektualnya tetap berpegang pada “konsep federal”
untuk Indonesia. Karena hanya dengan konsep ini hak setiap “ warga daerah”
eksistensinya dapat terjamin. Pendek kata, yang terpenting adalah; bagaimana
saluran nasionalisme Minahasa tidak terhambat, dan dapat dipersatukan dengan
aspirasi yang datang dari wilayah lainnya di Hindia Belanda.
Apakah
“nasionalisme Minahasa” akhirnya jatuh di luar lingkup nasionalisme Indonesia?”
Demikian pertanyaan Henley yang dijawabnya sendiri: “pada akhirnya tidak”
(hal.242). Pada tahun 1942, para intelektual Minahasa menerima kenyataan bahwa
apapun masa depan politik Minahasa, akan juga merupakan masa depan Indonesia
secara keseluruhan. Meskipun citra Indonesia yang ada dibenak orang Minahasa
”bukanlah” nasionalisme Indonesia yang ”unitarian” seperti ”bentuk
nasionalisme” yang di kehendaki Soekarno.
Hingga
saat itu, urai Henley, “bagi orang-orang Minahasa, bangsa Indonesia adalah
Proyek Politis, bukan fakta historis atau budaya”. Pernyataan ini juga terlihat
dari pendapat kaum intelektual Minahasa yang menegaskan; “bangsa Indonesia
adalah suatu abstraksi, suatu negara Indonesia harus merupakan ”federasi” dari
berbagai bangsa, dimana, setiap bangsa akan mempunyai otonomi politik dan
kebudayaannya sendiri-sendiri (hal. 243). Henley melihat, bahwa hingga saat itu,
”identitas” nasionalisme Minahasa bergelut pada pilihan di antara dua kutup.
Yang satu terkait pada kenyataan, bahwa kaum republik teguh pada keyakinan
untuk dekat pada ”unitarisme”, sedangkan Belanda tegak pada sikap bahwa mereka
dapat mengendalikan Indonesia melalui daerah lainnya (hal.253).
Pada
akhir April 1950 Minahasaraad, meskipun tanpa plebisit, telah menyatakan
berintegrasi dengan Indonesia. Setelah itu, demikian tinjauan Henley,
signifikansi kepentingan politik di Minahasa tak kunjung reda. Masa setelah
tahun 1950-an ekonomi Minahasa melemah akibat ”monopoli” pemerintah” pusat.
Pada tahun 1957 kebutuhan-kebutuhan rakyat di Minahasa memuncak melalui gerakan
yang menuntut adanya ”otonomi daerah” yang disebut dengan ”Permesta”. Henley
menekankan bahwa, diperlukan pengorbanan maksimal dari pemerintah sebelum
gerakan ini berhenti, yang sampai detik terakhirpun orang-orang Minahasa tetap
konsisten pada tujuannya “ membentuk Indonesia dengan tipe lain, melalui cara
yang tidak menimbulkan perpecahan Indonesia” (hal.257). Bagaimanapun, “meski
Minahasa sekarang ini (tahun 1990-an maksudnya) telah menjadi satu Kabupaten,
namun Minahasa belumlah merupakan satu kabupaten biasa”, demikian Henley
mengutip pendapat sosok orang penting dalam kalimat-kalimat akhir dari
simpulannya ini.
Menarik
ditambahkan, penyebutan ”adanya karakter spesifik” pada nasionalisme Minahasa
ini. Apakah karena adanya unsur-unsur yang kontras dengan nasionalisme
Indonesia? Atau karena adanya kemiripan-kemiripan dengan nasionalisme Filipina?
Henley mengatakan, “bila cendekiawan Jawa dan Sumatra di tahun 1920-an dan
1930-an sering kali di ilhami oleh gerakan nasionalisme India ketika dibawah
pengaruh Inggris, maka orang-orang Minahasa justru lebih tertarik pada
nasionalisme Filipina yang saat itu dikuasai oleh Amerika (hal.265). Terdapat
sejumlah temuan yang disodorkan Henley, yang sangat relevan dengan tesis ini.
Bila dengan Filipina Henley menemukan banyak kesamaannya pada aspek kultural,
politis, sosial dan kemajuan ekonomi – termasuk perbedaan-perbedaan yang tidak
begitu menyolok – dilain pihak, perbedaan yang besar malah ditemukan ketika
membandingkannya dengan nasionalisme Batak-Toba dan Ambon, juga dengan jawa dan
Sumatra. Pilihan membandingkan dengan Batak-Toba dan Ambon, jelas didasarkan
pada kesamaan kekristenannya. (hal.267).
Dalam
pengamatan Henley, nasionalisme Ambon tidaklah sedalam seperti halnya
nasionalisme Minahasa, berhubung tidak dimilikinya latar belakang teritorial
sebagai ukuran. Sementara di Batak Toba, meskipun dinilai mempunyai akar
primordial yang jelas, namun hal itu lebih tepat disebut sebagai embrionya
nasionalisme Indonesia yang tidak mempunyai perluasan ideologis, dan tidak
mengalami konflik kepentingan etnik. Pada masanya, nasionalisme Batak ini butuh
waktu sebelum berbentuk menjadi ciri dan identitas, kemudian melebur ke dalam
nasionalisme Indonesia.
Henley
setuju dengan pendapat yang menyatakan, bahwa jawa adalah “bangsa-bangsa tua”
di Indonesia. Dengan mendasarkan pada memoar Diponegoro, Henley selanjutnya menerangkan,
bahwa; “meskipun Diponegoro sangat memperhatikan tanah Jawa, tetapi tujuan
perangnya adalah untuk ”menaklukkan Jawa”, bukan untuk membebaskannya”. Henley
pada sisi yang lain, menemukan banyaknya kemiripan antara nasionalisme Minahasa
dengan nasionalisme yang ada pada orang-orang Sundah. Jawa dibagian Barat
adalah wilayah pertama yang kebijakan pengurangan kontrol kolonialnya
ditetapkan melalui dewan perwakilan yang berdiri tahun 1926. Orang-orang Sundah
telah memperoleh kerangka kelembagaan resmi guna melengkapi kesatuan politik
yang dibangun oleh organisasi Pasundan-nya. Sikap orang Sundah terhadap
otoritas kolonial dinilai Henley; “meskipun tidak konfrontatif namun tetap
oposisional”. Letak perbedaannya, yakni, bahwa rekonsiliasi nasionalisme orang-orang
Sundah dengan nasionalisme Indonesia berjalan secara lengkap, sedangkan
nasionalisme Minahasa bila dibandingkan tidaklah selengkap mereka (hal.268-269).
Bagi
bangsa Minahasa, “Indonesia hanyalah merupakan suatu pilihan problematik
setelah terleburkan ke dalam “konsep kesatuan” melalui suatu transformasi
sosial dan kultural yang berlangsung drastis” (hal.270). Relevansi pernyataan
akhir Henley ini menjadi lebih kentara saat bagian dari epilog kajiannnya
berhasil mengurai kondisi-kondisi sosial dan politik masa lalu di Minahasa
hingga dasa warsa akhir abad 20. Dimana, sebagaian diantaranya telah dipaparkan
pada halaman depan.
Sekilas
harus diakui, bahwa tesis yang diacu Henley ternyata tidak hanya mampu
membentangkan sejumlah besar bukti dalam rangka menguatkan apa yang diduga
sebelumnya, melainkan dia telah pula memberikan sesuatu yang sangat berharga,
bagi pengayaan sejarah nasionalisme Indonesia, khususnya bagi orang-orang
Minahasa.
Hal
menarik lainnya, bahwa metafora Henley dalam tulisannya tampil begitu kuat. Dia
menghindari pernyataan-pernyataan gamang yang menggunakan kata-kata seperti;
“mungkin”, “kurang lebih”, dan kata-kata lain sejenis, sehingga bobot akademik
tulisan ini menjadi sangat menonjol. Dalam kajian-kajian sejarah, bobot
informasi yang ditampilkan, sebagaimana yang dilakukan Henley ini, sangat
tergantung pada banyaknya sumber, dan dokumen yang dapat dimanfaatkan.
Kedekatannya pada akses sumber informasi di Belanda, Australia, dan lamanya dia
menetap di Indonesia, sangat menunjang tingkat kepercayaan pembaca atas
informasi yang dia disajikan.
Namun
demikian, tulisan ini bukan tidak ada kurangnya. Bagi mereka yang terus
mengikuti dan mendalami perkembangan dan perubahan struktur sosial-politik
masyarakat Minahasa, dari waktu ke waktu, setelah membaca buku Henley ini, akan
menyadari kalau kajiannya yang memetakan nasionalisme Minahasa atas dua aliran
saja, yakni; (1) Nasionalisme Twalfde Provintie dan (2) Nasionalisme Federalis,
kurang lengkap. Sebab, dari sudut pengamatan saya, kelompok aliran politik baru
yang juga muncul di antara orang-orang Minahasa seputar permulaan abad 20,
seperti B.W. Lapian yang jelas-jelas arus pemikiran dan perjuangannya terhisap
ke dalam kelompok “nasionalis unitarian” tidak dibahas mendalam Henley.
Kendati, Arus pemikiran B.W. Lapian tentang nasionalisme Indonesia yang
“unitarian” terpapar jelas dalam surat kabar “Fadjar Kemadjoean” yang terbit
rentang tahun 1924-1927. Juga, dalam artikel-artikel lainnya yang
dipublikasikan oleh surat kabar Bintang Timur, sepanjang tahun 1917-1919.
Begitu pula, kala ia terpilih menjadi anggota Volksraad kemudian menyatu ke
dalam Fraksi Nasional.
Ringkas
kata, nasionalisme Minahasa kala itu, terpilah dalam tiga kutub simpul arus
pikir, masing-masing; (1) “Nasionalisme Federalis” yang diwakili GSSJ
Ratulangi, (2) “Nasionalisme Unitarian” yang tampak dari arus pemikiran dan
prilaku politik B.W. Lapian dan (3) “Nasionalisme Twalfde Provintie”.
Hasil
pemilihan Badan Partai Politik pada bulan Maret tahun 1948, yang terdapat dalam
“laporan-laporan politik di Keresidenan Manado seputar bulan Desember 1947
sampai September 1949” --- Algemene Secretarie te Batavia, eerste zending I
1/10/2/8 --- menunjukan tiga peraih dukungan suara terbanyak. Yang pertama, BNI
memperoleh dukungan suara dari 28.035 orang. --- BNI ini dikategorikan
”pro-unitarian”---. Kedua, Hoofdenbond, memperoleh dukungan suara dari 28.574
orang, --- dikategorikan ”pro-federalis”---. Ketiga, Twalfde Provintie, yang
meraup dukungan suara dari 22.383 orang, --- dikategorikan ”pro-separatis”---. Data
ini menunjukan, bahwa polarisasi kutub ”ideologi” dan ”kebudayaan politik” yang
hidup di tengah-tengah Tou Minahasa pada zaman yang dibicarakan tersebut,
sampai hari ini, tampak terus hidup dan berlanjut.
Dari tepian Danau Tondano
REM
No comments:
Post a Comment