Kisah Heroik Keberanian Orang Minahasa Melawan Kompani Belanda
Latar Belakang Ekonomi
Sumber makanan/logistik di Minahasa merupakan alasan untuk menjadikan
sebagai daerah koloni. Di kemukakan oleh Prof Adolf Sinolungan, bahwa
kaitan antara sumber makanan beras dengan upaya Hindia Belanda Timur di Batavia
dengan Gubernur Maluku yang seenaknya memasukkan Minahasa dalam Keresidenan
Manado. Pada abad 16 perusahan-perusahan dagang Eropa Barat bersaing merebut
perdagangan rempah-rempah di Maluku. Portugis, diikuti Spanyol, kemudian
Inggeris (EIC), VOC. Mereka datang dengan Armada Dagang dalam pelayaran panjang
dan lama, konsekuensi logis makanan atau kebutuhan logistik dianggap penting.
Dalam upaya mencari makanan, mereka menemukan Malesung/nama tua Minahasa di
mana pelabuhan Manado sebagai pusat perdagangan beras. Waktu itu benar-benar
beras menjadi komoditi eksport yang di bawah dalam pelayaran armada dagang
pergi pulang Maluku-Eropa Barat.
Perdagangan beras abad 17 bukan perdagangan antar sub-wilayah yang hanya
dikuasai Belanda, tetapi antara armada Dagang Potugis dan Spanyol, kemudian
antara VOC/Belanda dengan EIC Inggeris. VOC/dgn hak oktroi dipandang sebagai
upaya pemerintah Kerajaan Belanda yang ingin menganti peran Spanyol yang kalah
perang dengan pasukan Minahasa sehingga terusir dari Minahasa dalam Perang
Tasikela 1643-1644. Semua langsun tak langsung terkait dgn persaingan barter
beras dgn Malesung.
Beras amat diperlukan Armada Dagang dan juga prajurit-prajurit mereka di
benteng-benteng lokal. Sebab itu VOC membujuk ukung-ukung merdeka di Malesung
untuk bikin persekutuan dan persahabatan dengan Verbond 10 Januari 1679. Untuk
memantapkan perdagangan/barter beras, VOC minta tanah untuk loji dan kantor
dagang yang kemudian dijadikan benteng Fort Amsterdam di Manado. Lama-kelamaan
muncul keinginan untuk memonopoli perdaganan beras di kawasan Minahasa,
dibuatlah suatu kebijakan sepihak yakni berusaha memutar balik makna
perjanjian atau Verbond 10 Januari 1679 dengan Verdrag 10 September1699
menjadikan Malesung terjajah. Upaya ini berlanjut sampai upaya sepihak VOC
membuat Verdrag 5 Agustus 1790 menetapkan Minahasa dlm status terjajah hanya
mempertuan VOC/penjajah.
Terjadi perubahan di Eropa di mana Perancis jaman Napoleon menjajah Belanda.
Waktu itu Perancis sedang bermusuhan dgn Inggeris. GG Daendels perlu 22.000
pemuda utk mempertahankan p Jawa (Jl Anyer - Panarukan), dan minta 2.000 pemuda
dr walak-walak merdeka di Minahasa, berdasar asumsi Minahasa sjk Malesung dgn
Verdrag 1699, dan Verdrag 1790 adalah jajahan VOC/dgn hak oktroi jajahan
Belanda Verdrag itu yg erat terkait dgn barter beras, meniadakan Verbond 10
Januari 1679.
Upaya merekrut pemuda Minahasa sesuai perintah diktator Daendels juga hendak
dipaksakan Residen Manado C.Ch.Predigger. Ini membangkitkan perlawanan suku
Tondano didukung walak-walak merdeka di Minahasa yg menyebabkan Perlawanan
rakyat Minahasa di Tondano yang dikenal sebagai Perang Tondano.
Tentang tanah Minahasa yang subur itu disadari Belanda setelah lepas dari
penguasaan kaisar Perancis atas negerinya, yg juga teralami setelah Perang
Kemerdekaan abad 19 di Nusantara yg dimulai di Tondano dalam puncak Perang
Tondano pada 1808-1809.
Kas negeri Belanda, kosong, lalu mencari sumber memperbaiki perekonomiannya
di tanah jajahan. Waktu itu spices seperti cengkih tak populer lagi seperti
abad pertengan pasca Perang Salib. Komoditi kopi di cari dan amat laku di pasar
global. Ternyata di Remboken kopi tumbuh bagus dan buahnya bermutu. Ini
menunjuk tanah Minahasa subur, karena memang top soilnya endapan vulkanis kaya
mineral, cocok dgn tanaman kopi. Aroma, mutu dan rasa kopi Minahasa bagus. Maka
kopi ditanam massal hampir di seluruh Minahasa sampai Bolmong Pem Belanda
memonopoli dan monopsoni perdaganan komoditi kopi, shg memperoleh keuntungan
amat besar yg bisa mengatasi masalah perekonomiannya.
Setelah kopi komoditi dr Minahasa adalah kopra, kmd Cengkih (cloves) dan di
beberapa tempat terutama di Siauw palla (nutmeg).
Jadi kesimpulan anda bahwa : "Kedatangan Belanda ke Minahasa yg
menyebabkan perang Tondano BUKAN dalam rangka ingin menguasai perdagangan
BERAS, karena beras tidak laku di Eropa", ada benarnya. Tetapi beras
sangat diperlukan untuk kepentingan Armada Dagang pedagang Eropa Barat sehinga
praktis jadi komoditi eksport jaman Malesung. Informasi lebih lengkap ada
diulas dalam Buku : PERANG TONDANO,
Dampak dan Maknanya utk Pembangunan Bangsa dan Negara.
Rentang Waktu Perang Tondano
Bahwa kedatangan Belanda di Minahasa., pada mulanya disambut gembira oleh
penduduk, karena mengharapkan bantuan dalam menghadapi peperangan dengan
Spanyol dan ancaman gangguan keamanan perompak-perompak dari Mindano Filipina.
Dikisahkan bahwa dalam negosiasi perjanjian keamanan tanpa adanya
sesuatu ikatan apa pun. Akan tetapi, alasan yang sesungguhnya kedatangan
Belanda di Minahasa adalah untuk kepentingan kekuasaan dalam memperoleh
monopoli perdagangan dan usaha untuk menjalankan pemerintahan/penjajahan.
Sebagai indikasi alasan monopoli dan kekuasaan pemerintahan yang dimaksud di
atas, bahwa pada tahun 1657 Belanda mendirikan benteng di pelabuhan
Wenang/Manado yang diberi nama Nederlandsche Vasticheijt atau dikenal
dengan nama Fort-Amsterdam (lihat Molsbergen 1929) dalam Umboh (1985).
Benteng ini dijadikan pusat pemerintahan, pertahanan, dan perdagangan Belanda
di Minahasa. Dikatakan bahwa sejak adanya benteng tersebut, Belanda mulai
menguasai perdagangan di Minahasa, dan mengharuskan penjualan beras kepada
pedagang-pedagang Belanda. Seperti apa yang telah disinggung di atas, cara pemaksaan
ini sama sekali tidak disenangi oleh Walak Tondano, sehingga menimbulkan
kebencian mereka terhadap Belanda.
Implikasinya, sejak saat itu lahirlah kebencian orang Minahasa,
khususnya orang Tondano terhadap Belanda. Kebencian ini tidak hanya sampai pada
tingkat sikap, akan tetapi dimanifestasikan dalam bentuk perlawanan senjata
alias perang yang dimulai sejak tahun 1661 sampai tahun 1809. Dikemukakan bahwa
perang berlangsung selama empat kali. Untuk itu, dapat dilihat pada
deskripsi historisnya yang diungkap oleh Umboh (Skripsi 1985), di bawah ini :
Perang Tondano Pertama (1661-1664)
Singkatnya, Perang Tondano pertama ini, terjadi pada tanggal 1 Juni 1661.
Perang ini merupakan kisah heroik yang dilakukan oleh rakyat yang bermukim di
sekitar danau Tondano, tepatnya di sebelah selatan Kota Tondano sekarang ini
yang dahulu disebut Minawanua, melawan pasukan kolonial Belanda. Boleh
dikatakan perang pertama ini merupakan perang yang luar biasa. Sebab dilihat
dari segi militer oleh pihak Belanda ternyata lawan mereka yang tergolong
sebagai rakyat biasa/primitif yang berumah di atas air dapat menyiapkan
infrastruktur perang yang demikian lengkapnya.
Kurang lebih seribu empat ratus laskar (termasuk kaum perempuannya)
terlibat dalam pertempuran. Ratusan perahu disiapkan untuk melayani medan
perang yang berkecamuk di atas air dan rawa. Perahu-perahu tempur ini telah
dibuat sedemikian rupa, sehingga dengan ditumpangi empat sampai lima orang
dengan peralatan perangnya, dapat bergerak di atas air maupun di atas rumput-rumput
rawa dengan cepat dan gesit. Lamanya pertempuran berlangsung selama beberapa
bulan dan telah menimbulkan korban jiwa di kedua belah pihak. Beberapa pahlawan
yang terlibat langsung dalam perang Tondano pertama ini, selain berasal dari
Tondano, seperti Kawengian, Wengkang, Gerungan, Nelwan, Tawaluyan dan Rumambi),
juga turut serta pahlawan-pahlaman dari Remboken, seperti Kentei, Tellew,
Tarumetor, dan Wangko dari kakas.
Pada suatu ketika, ekspedisi Simon Cos dengan bantuan sementara
pemimpin rakyat Maesa yang telah menyeleweng, telah dapat mendesak untuk
menghentikan peperangan ini.
Perang Tondano Kedua (1681-1682)
Singkatnya latar belakang terjadinya perang kedua ini, ada hubungannya
dengan perlakuan semena-mena Belanda demi kepentingannya sendiri atas makna
Perjanjian 10 Januari 1679 yang disebut oleh N. Graafland (1898) dalam Umboh
(1985) sebagai “Kunci Kontrak Besar” persekutuan - persahabatan antara Minahasa
dan Belanda, yang ditandatangani oleh Robertus Padttbrugge dari pihak Belanda,
dan dari pihak Minahasa ditandatangani oleh Maondi (Mandey), Capitaine Pacat
(Paat), Soepit (Supit), dan Pedro Rantij (Ranti).
Disebut Perang Tondano, oleh karena Walak Tondano dalam menghadapi kehadiran
kaum kolonial Belanda, cenderung menunjukkan sikap antipati maupun
ketidakpatuhan atas eksistensi kompani Belanda, maka konsekuensinya kawasan
pemukiman Walak Tondano tepatnya di Minawanua dijadikan sasaran penyerbuan
pasukan Belanda dan antek-anteknya. Bagi kompani Belanda kawasan Minawanua yang
disebut oleh Boven Tondano (tempat tinggal orang Tondano), merupakan kawasan
yang dijadikan tempat berkumpul para ekstrimis (Pangalila).
Perang Tondano Ketiga (1707-1711)
Seperti halnya yang terjadi pada perang pertama di atas, yakni perlakuan
semena-mena penjajah Belanda terhadap seluruh Walak di Minahasa pada
umumnya, dan khususnya Walak Tondano yang tidak tahan atas penderitaan
yang berat akibat kekejaman bangsa Belanda tersebut. Terutama mengenai
Verdrag 10 September 1699, dianggap merupakan politik tipu daya terhadap
walak-walak Minahasa. Sebab isi perjanjian tersebut bukan untuk meringankan
beban penduduk, akan tetapi bertujuan untuk mengikat para kepala walak agar
tunduk kepada kekuasaan Belanda (lihat Wuntu 1963; Umboh 1985). Hal-hal inilah
yang mendorong orang-orang Tondano bersatu untuk mengadakan perlawanan
terhadap Belanda, dengan semboyan: “Lebih baik menghadapi
perompak-perompak Mingindanou daripada dikunjungi kompeni Belanda dan
antek-anteknya yang harus dengan terpaksa menyerahkan hasil-hasil pertanian (padi)
kepada mereka”. Berbeda dengan perang pertama dan kedua yang terjadi secara
frontal, sedangkan pada perang ketiga ini berlangsung dengan menggunakan taktik
gerilya.
Perang Tondano Keempat (1807-1809)
Singkatnya, perang terakhir ini terjadi, berawal dari aksi melarang
utusan Hindia Belanda masuk ke wilayah Tondano, karena dianggap oleh para
tona’as atau pemimpin-pemimpin sekitar danau Tondano bahwa Residen G.F. Durr
telah mengubar ‘janji kosong’ terhadap rakyat Minahasa pada umumnya, dan khususnya
orang Tondano (perjanjian 10 Januari 1679).
Musyawarah Minawanua. Menanggapi hasil musyawarah di Airmadidi, berhimpunlah
para pemimpin Minahasa (kepala-kepala walak) yang dilaksanakan di Minawanua,
dalam suatu forum musyawarah yang disebut ‘Musyawarah Minawanua’. Jalannya
musyawarah, sempat terjadi perbedaan pendapat dan pendirian dalam Walak Tondano
(Toulimambot-Toliang), sehingga suasana pembukaan musyawarah terjadi
ketegangan. Seperti diketahui bahwa Kepala Walak Korengkeng dan beberapa Ukung
Toulimambot dan Touliang, telah menyatakan bahwa mereka tidak mau hadir dalam
musyawarah.
Apa alasan sehingga Ukung Korengkeng tidak mau hadir? Sangat
disayangkan tidak dijelaskan oleh Supit (1991). Karena itu, pada tingkat
wacana, ada dua asumsi yang dapat saya diajukan di bawah ini, yaitu :
Asumsi pertama, adanya kesalingcurigaan satu dengan yang lain, di mana
gejalanya sudah muncul pada waktu musyawarah di Airmadidi. Lonto
dicurigai oleh Korengkeng pro-Belanda karena pada waktu musyawarah di Airmadidi
seakan-akan Lonto menyetujui kemauan residen Predigger untuk mengganti Verbond
10 Januari 1679;
Asumsi kedua, ketidakmunculan Korengkeng dalam pembukaan musyawarah,
sengaja dilakukan (strategi), untuk mengelabui utusan dari pihak
Belanda (Ukung Maramis) yang ditugaskan oleh residen Predigger untuk
mengamati peranan kepala walak Toulimambot Korengkeng dan kepala walak
Touliang Sarapung dalam melaksanakan musyawarah, sekaligus mengamati
solidaritas para walak dalam menyikapi hasil musyawarah Airmadidi.
Sementara itu, Ukung Sarapung, tanpa suatu pernyataan tidak pula kelihatan
pada hari pembukaan, sehingga dikira Ukung senior Sarapung bermaksud memboikot
jalannya musyawarah. Ternyata setelah diketahui Ukung Sarapung berhalangan
hadir karena di samping usianya sudah lanjut, juga mengalami gangguan
kesehatan. Akhirnya musyawarah dapat dikendalikan oleh Ukung Tewu selain
sebagai Teterusan (Panglima Perang), yang menguasai lahan pertanian yang
sangat luas (Tana ’I Tewu), Matulandi (saudara dari Ukung Sarapung), dan Lumingkewas
(ketiganya dari Minawanua-Tondano), serta Lonto (kepala walak Tomohon) dan
Mamait (kepala walak Remboken).
Para pemimpin Minahasa yang hadir dalam musyawarah, antara lain dari
Tondano-Toliang, yakni Tewu (Pemilik Benteng Moraya), Sarapung, Walintukan,
Korengkeng, Rumapar, Wuisan, Lumingkewas, Sepang; dari Kakas terdiri dari L.
Supit, dan Kalalo; dari Remboken, terdiri dari Mamait dan Tendean,
sedangkan dari Tonsea diwakili oleh Pangemanan, Lengkong dan Ombu yang memihak
Tondano; sedangkan mewakili Tombulu adalah Lonto. Dan juga mendapat dukungan
dari beberapa kepala walak Minahasa lainnya, seperti Pantouw dari
Saroinsong, Koyongian dari Pasan, Walewangko dari Sonder, Tuyu dari Kawangkoan,
Sondakh dari Tompaso, Iroth dari Langowan, Runtuwene dari Tombasian, Tumbelaka
dari Rumoong, Watak dari Ratahan, Rugian dari Tonsawang, dan Mokolensang dari
Ponosakan.
Dengan berlandaskan semangat Mapalus (tolong-menolong), Maesa (bersatu), dan
Matuari (turunan Toar-Lumimu’ut), akhir musyawarah menghasilkan keputusan,
“menyatakan tekad bahwa apibila pihak kompeni Belanda tidak menghentikan
pelanggaran terhadap Verbond 10 Januari 1679, dan pemaksaan-pemaksaan yang
bertentangan dengan adat, maka seluruh Walak Minahasa yang hadir dalam
musyawarah akan memutuskan hubungan dan melawan kompeni Belanda yang berbentuk
perlawanan, sebagai berikut :
1.
Penghentian pemasokan dan perdagangan beras;
2.
Tidak membayar hutang sandang;
3.
Tidak mengizinkan seorang pemuda pun untuk menjadi
serdadu kompeni;
4.
Tuntutan pemulangan serdadu-serdadu dari luar Minahasa;
5.
Bila Residen Prediger mau mengadakan penekanan, maka
Minahasa terpaksa memutuskan ikatan persahabatan dengan Belanda, dan mengadakan
perlawanan terbuka terhadap tiap bentuk pemaksaan.
Musyawarah Pinawetengan. Hasil musyawarah Minawanua, antara lain diputuskan
untuk melanjutkan musyawarah di Pinawetengan. Bagi walak Tondano, usulan ini
sangat strategis dalam upaya untuk memperkuat ikatan se-maesa, di mana
ditenggarai masih ada sejumlah walak yang belum dilibatkan dalam musyawarah
Minawanua. Kecuali itu, disinyalir beberapa walak lainnya masih diragukan
komitmennya untuk melakukan perlawanan terhadap kompeni. Dengan kata lain,
masih ada walak yang masih bersikap kooperatif dengan Belanda.
Selang beberapa hari kemudian berangkatlah utusan-utusan walak Tondano ke
Pinawetengan, bertemu dengan walak-walak lainnya, antara lain Kakas, Remboken,
Langowan, Tompaso, Sonder, Langowan, Pasan, Ratahan, Ponosakan, Tounsawang,
Tomohon, Kakaskasen, Tombariri, Rumoong, Tombasian, dan Amurang. Sementara itu,
wakil dari Tonsea sulit untuk bergabung karena begitu kerasnya tekanan dari
pihak Belanda, apalagi sejumlah pimpinan di sana sudah diperalat sebagai kaki
tangan Belanda. Kecuali walak-walak Likupang, Kema, dan Talawaan dengan cara
sembunyi-sembunyi mengutus waranei-waraneinya untuk mengikuti musyawarah di
Pinawetengan tersebut.
Jalannya musyawarah tidak berlangsung lama, karena isu-isu yang dibahas
sudah dirumuskan terlebih dahulu. Terutama mengenai pembagian tugas dalam upaya
untuk menyediakan bahan-bahan untuk memperkuat benteng dan persiapan perang.
Seperti menyediakan balok-balok kayu, bambu, logistik (bahan makanan dan
obat-obatan), persenjataan, amunisi, dan meriam. Selain itu, menentukan
strategi organisasi perang, siapa yang diandalkan berperan di medan tempur,
siapa yang dipercaya bisa melakukan penyusupan (mata-mata).
Dalam pembicaraan,
juga cara bagaimana menggunakan sandi agar orang-orang Minahasa yang bergabung
dengan pasukan Belanda bisa menghindar dari terjangan peluru pasukan Minahasa.
Sandi yang dimaksud adalah, ’Rumungku se Maesa’.
Di samping itu, para pemimpin musyawarah memanfaatkan waktu untuk mendengar
keluhan dari walak-walak lainnya yang wilayahnya dekat dengan pos-pos keamanan
Belanda, sering mendapat tekanan bahkan ancaman teror. Keluhan-keluhan ini
akhirnya dimasukkan menjadi bagian dari rumusan kesepakatan hasil musyawarah,
adalah sebagai berikut :
1.
Bahwa walak-walak yang ada di sekitar benteng, terutama
walak Tondano betapapun akibatnya akan tetap meneruskan perlawanan/peperangan;
2.
Kepada walak-walak lain, oleh karena sesuatu dan lain
hal tidak sanggup lagi meneruskan perlawanan/peperangan, dihimbau untuk tetap
mengirm bantuan-bantuan mesiu, terutama bahan makanan;
3.
Khususnya kepada walak lainnya yang memang sama sekali
tidak bisa melanjutkan peperangan dan mengirim bantuan, ditekankan agar jangan
sampai menjadi kaki tangan Belanda (berhianat).
Hasil rumusan musyawarah ini diputuskan secara bulat untuk dilaksanakan
secara murni dan konsekuen. Bagi yang tidak melaksanakan akan mendapat sangsi
secara adat (lihat Taulu 1961; Wuntu 1963).
Suasana Perang
Oleh karena pihak Belanda tidak bergeming menerima keputusan hasil
musyawarah tersebut, maka konsekuensinya terjadilah pertempuran atau perang
modern pertama di Indonesia di mana pihak Hindia Belanda mendapat perlawanan
sengit dari waranei-waranei dan wulan-wulan Minahasa yang mahir menggunakan
senjata meriam buatan Spanyol, meriam bambu (lantaka), senapan api, dan senjata
tajam lainnya. Berdasarkan catatan sejarah, pihak pasukan Belanda sempat
melakukan tiga kali serangan (lihat Mangindaan 1871; Mambu 1986) dalam Wenas
(2007), singkatnya adalah sebagai berikut :
Serangan pertama pasukan Belanda dilakukan pada tanggal 1 September
1808, terjadi tembak menembak barisan senapan dari kedua pihak.
Serangan kedua, terjadi pada tanggal 6 Oktober, pihak Belanda
berhasil merebut negeri Tataaran (5 Km dari Benteng Moraya). Pada serangan
kedua ini, pihak Belanda mengajak berunding, dan akhirnya taktik berunding ini
bermaksud untuk menangkap Tewu, Lonto, Lumingkewas dan Mamahit.
Serangan ketiga, berlangsung pada tanggal 23 Oktober 1808,
pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari pasukan Minahasa terutama dalam
menghadapi serangan dari arah danau (Benteng Paapal) ditangani oleh pasukan
katak yang dikenal sebagai ‘hantu-hantu danau’. Demikian juga dalam
menghadapi serangan dari arah Koya (Benteng Moraya), tidak jarang
pasukan atau waranei-waranei Minawanua menyerang balik sampai ke pertahanan
pasukan Belanda di Koya, bahkan sempat melukai dan membunuh beberapa perwira
Belanda, termasuk melukai kepala residen Predigger di Tataaran yang ditembak
oleh pasukan berani mati Rumapar.
Mengahadapi perlawanan dari waranei-waranei (milisi) Minawanua yang demikian
sengit itu, akhirnya pada bulan Januari 1809, serangan ketiga dilanjutkan oleh
pasukan Belanda dari arah barat dan utara Benteng Moraya. Terjadilah
pertempuran sengit, pasukan arteleri Minahasa (meriam 9 pond buatan Spanyol)
berhasil memporakporandakan pasukan Belanda di kampung Koya. Karena
serangan ini masih gagal, maka pada tanggal 9 April 1809 pasukan Belanda
menyerang dari arah danau dengan menggunakan perahu kora-kora yang didatangkan
dari Tanawangko. Serangan dari arah danau disambut oleh pasukan katak Minahasa
yang menyerang dari bawah air. Maka terjadilah serangan kombinasi (darat dan
air) dari pasukan Belanda.
Oleh karena serangan demi serangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda
selalu mengalami kegagalan, maka pada bulan Juni 1809 melalui komando Kapten
Winter (veteran Perang Napoleon), pasukan kompeni Belanda dan antek-anteknya
diperintahkan untuk mengatur strategi penyerangan dengan cara mengepung seluruh
kawasan benteng pertahahan pasukan Minahasa, dan memutuskan semua jalur bantuan
logistik dan senjata/amunisi yang dibutuhkan oleh waranei-waranei Walak Tondano
dan Walak-Walak dari luar Tondano.
Hal ini sudah tentu mempengaruhi moral
sejumlah Walak dari luar Tondano yang kemudian mereka satu demi satu
meninggalkan arena pertempuran kembali ke tempat asalnya masing-masing.
Sebagian yang bertahan siap mati dengan waranei-waranei Minawanua-Tondano.
Dikemukakan oleh para waranei Minawanua yang tetap bertahan menghadapi gempuran
pasukan kompeni Belanda dan antek-anteknya itu, “kami akan menyerah apabila air
sungai dan danau habis”, artinya kami akan bertempur sampai titik darah
penghabisan.
Pasukan kompeni Belanda yang sudah mengetahui kelemahan pasukan Minahasa
(kelaparan, kehabisan amunisi, dan berkurangnya personil pasukan), dengan tanpa
balas kasihan, dan tanpa pandang bulu membantai seluruh penghuni pemukiman
Minawanua, termasuk hewan piaraan, kemudian melululatahkan benteng-benteng
pertahanan dan membunuh semua waranei yang berusaha mempertahankan benteng dari
musuh. Dikisahkan, bahwa hampir seluruh permukaan air danau dan sungai teberen
Tondano berwarna merah (genangan darah dari pasukan-pasukan Minahasa yang
menjadi korban perang).
Sejak saat itu, benteng yang menghadap kampung Koya di sebut ’Benteng
Moraya’, yang berarti di mana-mana (sungai dan danau) terdapat genangan
darah dan menimbulkan bau amis, seperti permadani berwarna merah. Sedangkan
benteng yang menghadap sebelah barat danau disebut ’Benteng Papal’, yang
berarti ’tiang-tiang’ yang tertanam kokoh dipasang secara miring menghadap
danau (lihat Sendoh 1985).
Kapten Winter yang memimpin penyerbuan terakhir ke Benteng
Moraya, sempat membuka topi perwiranya (tanda rasa hormatnya) di hadapan
mayat-mayat pahlawan orang Tondano yang bertahan di benteng Moraya, sambil
berkata, “mereka yang korban ini adalah patriot-patriot
sejati” (lihat laporan Vergadering Raad van
Politie di Ternate tanggal 30 Desember 1808) dalam Mambu (1986).
Diakui atau tidak, bahwa keberanian Orang Minahasa melawan
kompani Belanda yang dilakukan melalui perang, seperti apa yang sudah
disinggung di atas, merupakan perang modern pertama di Indonesia, di mana pihak
kompani Belanda mendapat perlawanan sengit penduduk pribumi Minahasa dengan
menggunakan senjata api (meriam dan senapan) serta senjata tradisional (tombak,
parang dan ranjau alam, yakni tumbuhan rawa yang berduri).
“YANG PALING PENTING DARI SEMUA KEUNGGULAN
ADALAH KEBERANIAN, KECERDASAN, DAN KESEHATAN” (HERMAN MAURICE SAXE (SAXON,
GERMAN) MARSHALL OF THE KINGDOM OF FRANCE).