Monday, 1 July 2013

PERANG TONDANO (Jilid Dua)



Kisah Heroik Keberanian Orang Minahasa Melawan Kompani Belanda

Latar Belakang Ekonomi

Sumber makanan/logistik di Minahasa merupakan alasan untuk menjadikan sebagai daerah koloni. Di kemukakan oleh Prof Adolf Sinolungan,  bahwa kaitan antara sumber makanan beras dengan upaya Hindia Belanda Timur di Batavia dengan Gubernur Maluku yang seenaknya memasukkan Minahasa dalam Keresidenan Manado. Pada abad 16 perusahan-perusahan dagang Eropa Barat bersaing merebut perdagangan rempah-rempah di Maluku. Portugis, diikuti Spanyol, kemudian Inggeris (EIC), VOC. Mereka datang dengan Armada Dagang dalam pelayaran panjang dan lama, konsekuensi logis makanan atau kebutuhan logistik dianggap penting. Dalam upaya mencari makanan, mereka menemukan Malesung/nama tua Minahasa di mana pelabuhan Manado sebagai pusat perdagangan beras. Waktu itu benar-benar beras menjadi komoditi eksport yang di bawah dalam pelayaran armada dagang pergi pulang Maluku-Eropa Barat.

Perdagangan beras abad 17 bukan perdagangan antar sub-wilayah yang hanya dikuasai Belanda, tetapi antara armada Dagang Potugis dan Spanyol, kemudian antara VOC/Belanda dengan EIC Inggeris. VOC/dgn hak oktroi dipandang sebagai upaya pemerintah Kerajaan Belanda yang ingin menganti peran Spanyol yang kalah perang dengan pasukan Minahasa sehingga terusir dari Minahasa dalam Perang Tasikela 1643-1644. Semua langsun tak langsung terkait dgn persaingan barter beras dgn Malesung.

Beras amat diperlukan Armada Dagang dan juga prajurit-prajurit mereka di benteng-benteng lokal. Sebab itu VOC membujuk ukung-ukung merdeka di Malesung untuk bikin persekutuan dan persahabatan dengan Verbond 10 Januari 1679. Untuk memantapkan perdagangan/barter beras, VOC minta tanah untuk loji dan kantor dagang yang kemudian dijadikan benteng Fort Amsterdam di Manado. Lama-kelamaan muncul keinginan untuk memonopoli perdaganan beras di kawasan Minahasa, dibuatlah suatu kebijakan sepihak yakni  berusaha memutar balik makna perjanjian atau Verbond 10 Januari 1679 dengan Verdrag 10 September1699 menjadikan Malesung terjajah. Upaya ini berlanjut sampai upaya sepihak VOC membuat Verdrag 5 Agustus 1790 menetapkan Minahasa dlm status terjajah hanya mempertuan VOC/penjajah.

Terjadi perubahan di Eropa di mana Perancis jaman Napoleon menjajah Belanda. Waktu itu Perancis sedang bermusuhan dgn Inggeris. GG Daendels perlu 22.000 pemuda utk mempertahankan p Jawa (Jl Anyer - Panarukan), dan minta 2.000 pemuda dr walak-walak merdeka di Minahasa, berdasar asumsi Minahasa sjk Malesung dgn Verdrag 1699, dan Verdrag 1790 adalah jajahan VOC/dgn hak oktroi jajahan Belanda Verdrag itu yg erat terkait dgn barter beras, meniadakan Verbond 10 Januari 1679.

Upaya merekrut pemuda Minahasa sesuai perintah diktator Daendels juga hendak dipaksakan Residen Manado C.Ch.Predigger. Ini membangkitkan perlawanan suku Tondano didukung walak-walak merdeka di Minahasa yg menyebabkan Perlawanan rakyat Minahasa di Tondano yang dikenal sebagai Perang Tondano.

Tentang tanah Minahasa yang subur itu disadari Belanda setelah lepas dari penguasaan kaisar Perancis atas negerinya, yg juga teralami setelah Perang Kemerdekaan abad 19 di Nusantara yg dimulai di Tondano dalam puncak Perang Tondano pada 1808-1809.

Kas negeri Belanda, kosong, lalu mencari sumber memperbaiki perekonomiannya di tanah jajahan. Waktu itu spices seperti cengkih tak populer lagi seperti abad pertengan pasca Perang Salib. Komoditi kopi di cari dan amat laku di pasar global. Ternyata di Remboken kopi tumbuh bagus dan buahnya bermutu. Ini menunjuk tanah Minahasa subur, karena memang top soilnya endapan vulkanis kaya mineral, cocok dgn tanaman kopi. Aroma, mutu dan rasa kopi Minahasa bagus. Maka kopi ditanam massal hampir di seluruh Minahasa sampai Bolmong Pem Belanda memonopoli dan monopsoni perdaganan komoditi kopi, shg memperoleh keuntungan amat besar yg bisa mengatasi masalah perekonomiannya.
Setelah kopi komoditi dr Minahasa adalah kopra, kmd Cengkih (cloves) dan di beberapa tempat terutama di Siauw palla (nutmeg).

Jadi kesimpulan anda bahwa : "Kedatangan Belanda ke Minahasa yg menyebabkan perang Tondano BUKAN dalam rangka ingin menguasai perdagangan BERAS, karena beras tidak laku di Eropa", ada benarnya. Tetapi beras sangat diperlukan untuk kepentingan Armada Dagang pedagang Eropa Barat sehinga praktis jadi komoditi eksport jaman Malesung. Informasi lebih lengkap ada diulas dalam Buku : PERANG TONDANO, Dampak dan Maknanya utk Pembangunan Bangsa dan Negara.




Rentang Waktu Perang Tondano

Bahwa kedatangan Belanda di Minahasa., pada mulanya disambut gembira oleh penduduk, karena mengharapkan bantuan dalam menghadapi peperangan dengan Spanyol dan ancaman gangguan keamanan perompak-perompak dari Mindano Filipina. Dikisahkan bahwa  dalam negosiasi perjanjian keamanan  tanpa adanya sesuatu ikatan apa pun. Akan tetapi, alasan yang sesungguhnya kedatangan Belanda di Minahasa adalah untuk kepentingan kekuasaan dalam memperoleh monopoli perdagangan dan usaha untuk menjalankan pemerintahan/penjajahan.

Sebagai indikasi alasan monopoli dan kekuasaan pemerintahan yang dimaksud di atas, bahwa pada tahun 1657 Belanda mendirikan benteng di pelabuhan Wenang/Manado yang diberi nama Nederlandsche Vasticheijt  atau dikenal dengan nama Fort-Amsterdam (lihat Molsbergen 1929) dalam  Umboh (1985). Benteng ini dijadikan pusat pemerintahan, pertahanan, dan perdagangan Belanda di Minahasa. Dikatakan bahwa sejak adanya benteng tersebut, Belanda mulai menguasai perdagangan di Minahasa, dan mengharuskan penjualan beras kepada pedagang-pedagang Belanda. Seperti apa yang telah disinggung di atas, cara pemaksaan ini sama sekali tidak disenangi oleh Walak Tondano, sehingga menimbulkan kebencian mereka terhadap Belanda.

Implikasinya,  sejak saat itu lahirlah kebencian orang Minahasa, khususnya orang Tondano terhadap Belanda. Kebencian ini tidak hanya sampai pada tingkat sikap, akan tetapi dimanifestasikan dalam bentuk perlawanan senjata alias perang yang dimulai sejak tahun 1661 sampai tahun 1809. Dikemukakan bahwa perang berlangsung selama empat kali. Untuk itu, dapat dilihat pada  deskripsi historisnya yang diungkap oleh Umboh (Skripsi 1985), di bawah ini :

Perang Tondano Pertama (1661-1664)

Singkatnya, Perang Tondano pertama ini, terjadi pada tanggal 1 Juni 1661. Perang ini merupakan kisah heroik yang dilakukan oleh rakyat yang bermukim di sekitar danau Tondano, tepatnya di sebelah selatan Kota Tondano sekarang ini yang dahulu disebut Minawanua, melawan pasukan kolonial Belanda. Boleh dikatakan perang pertama ini merupakan perang yang luar biasa. Sebab dilihat dari segi militer oleh pihak Belanda ternyata lawan mereka yang tergolong sebagai rakyat biasa/primitif yang berumah di atas air dapat menyiapkan infrastruktur perang yang demikian lengkapnya.

Kurang lebih seribu empat ratus laskar (termasuk kaum perempuannya)  terlibat dalam pertempuran. Ratusan perahu disiapkan untuk melayani medan perang yang berkecamuk di atas air dan rawa. Perahu-perahu tempur ini telah dibuat sedemikian rupa, sehingga dengan ditumpangi empat sampai lima orang dengan peralatan perangnya, dapat bergerak di atas air maupun di atas rumput-rumput rawa dengan cepat dan gesit. Lamanya pertempuran berlangsung selama beberapa bulan dan telah menimbulkan korban jiwa di kedua belah pihak. Beberapa pahlawan yang terlibat langsung dalam perang Tondano pertama ini, selain berasal dari Tondano, seperti Kawengian, Wengkang, Gerungan, Nelwan, Tawaluyan dan Rumambi), juga turut serta pahlawan-pahlaman dari Remboken, seperti Kentei, Tellew, Tarumetor, dan Wangko dari kakas.

Pada suatu ketika,  ekspedisi Simon Cos dengan bantuan sementara pemimpin rakyat Maesa yang telah menyeleweng, telah dapat mendesak untuk menghentikan peperangan ini.

Perang Tondano Kedua (1681-1682)

Singkatnya latar belakang terjadinya  perang kedua ini, ada hubungannya dengan perlakuan semena-mena Belanda demi kepentingannya sendiri atas makna Perjanjian 10 Januari 1679 yang disebut oleh N. Graafland (1898) dalam Umboh (1985) sebagai “Kunci Kontrak Besar” persekutuan - persahabatan antara Minahasa dan Belanda, yang ditandatangani oleh Robertus Padttbrugge dari pihak Belanda, dan dari pihak Minahasa ditandatangani oleh Maondi (Mandey), Capitaine Pacat (Paat), Soepit (Supit), dan Pedro Rantij (Ranti).
Disebut Perang Tondano, oleh karena Walak Tondano dalam menghadapi kehadiran kaum kolonial Belanda, cenderung menunjukkan sikap antipati maupun ketidakpatuhan atas eksistensi kompani Belanda, maka konsekuensinya kawasan pemukiman Walak Tondano tepatnya di Minawanua dijadikan sasaran penyerbuan pasukan Belanda dan antek-anteknya. Bagi kompani Belanda kawasan Minawanua yang disebut oleh Boven Tondano (tempat tinggal orang Tondano), merupakan kawasan yang dijadikan tempat berkumpul para ekstrimis (Pangalila).

Perang Tondano Ketiga (1707-1711)

Seperti halnya yang terjadi pada perang pertama di atas, yakni perlakuan semena-mena penjajah Belanda terhadap seluruh Walak di  Minahasa pada umumnya, dan khususnya  Walak Tondano yang tidak tahan atas penderitaan yang berat akibat kekejaman bangsa Belanda tersebut.  Terutama mengenai Verdrag 10 September 1699, dianggap merupakan politik tipu daya terhadap walak-walak Minahasa. Sebab isi perjanjian tersebut bukan untuk meringankan beban penduduk, akan tetapi bertujuan untuk mengikat para kepala walak agar tunduk kepada kekuasaan Belanda (lihat Wuntu 1963; Umboh 1985). Hal-hal inilah yang  mendorong orang-orang Tondano bersatu untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda, dengan  semboyan: “Lebih baik menghadapi perompak-perompak Mingindanou daripada dikunjungi kompeni Belanda dan antek-anteknya yang harus dengan terpaksa menyerahkan hasil-hasil pertanian (padi) kepada mereka”. Berbeda dengan perang pertama dan kedua yang terjadi secara frontal, sedangkan pada perang ketiga ini berlangsung dengan menggunakan taktik gerilya.

Perang Tondano Keempat (1807-1809)

Singkatnya, perang terakhir ini terjadi, berawal dari  aksi melarang utusan Hindia Belanda masuk ke wilayah Tondano, karena dianggap oleh para tona’as atau pemimpin-pemimpin sekitar danau Tondano bahwa Residen G.F. Durr telah mengubar ‘janji kosong’ terhadap rakyat Minahasa pada umumnya, dan khususnya orang Tondano (perjanjian 10 Januari 1679).

Musyawarah Minawanua. Menanggapi hasil musyawarah di Airmadidi, berhimpunlah para pemimpin Minahasa (kepala-kepala walak) yang dilaksanakan di Minawanua, dalam suatu forum musyawarah yang disebut ‘Musyawarah Minawanua’. Jalannya musyawarah, sempat terjadi perbedaan pendapat dan pendirian dalam Walak Tondano (Toulimambot-Toliang), sehingga suasana pembukaan musyawarah terjadi ketegangan. Seperti diketahui bahwa Kepala Walak Korengkeng dan beberapa Ukung Toulimambot dan Touliang, telah menyatakan bahwa mereka tidak mau hadir dalam musyawarah.

Apa alasan sehingga Ukung Korengkeng  tidak mau hadir?  Sangat disayangkan tidak dijelaskan oleh Supit (1991). Karena itu, pada tingkat wacana, ada dua asumsi yang dapat saya diajukan di bawah ini, yaitu :

Asumsi pertama, adanya kesalingcurigaan satu dengan yang lain, di mana gejalanya sudah muncul pada waktu musyawarah di Airmadidi.  Lonto dicurigai oleh Korengkeng pro-Belanda karena pada waktu musyawarah di Airmadidi seakan-akan Lonto menyetujui kemauan residen Predigger untuk mengganti Verbond 10 Januari 1679;

Asumsi kedua,  ketidakmunculan Korengkeng dalam pembukaan musyawarah, sengaja dilakukan  (strategi),  untuk mengelabui utusan dari pihak Belanda (Ukung Maramis) yang ditugaskan oleh residen Predigger  untuk mengamati peranan kepala walak Toulimambot  Korengkeng dan kepala walak Touliang Sarapung dalam melaksanakan musyawarah, sekaligus mengamati solidaritas para walak dalam menyikapi hasil musyawarah Airmadidi.

Sementara itu, Ukung Sarapung, tanpa suatu pernyataan tidak pula kelihatan pada hari pembukaan, sehingga dikira Ukung senior Sarapung bermaksud memboikot jalannya musyawarah. Ternyata setelah diketahui Ukung Sarapung berhalangan hadir karena di samping usianya sudah lanjut, juga mengalami gangguan kesehatan.  Akhirnya musyawarah dapat dikendalikan oleh Ukung Tewu selain sebagai  Teterusan (Panglima Perang), yang menguasai lahan pertanian yang sangat luas (Tana ’I Tewu), Matulandi (saudara dari Ukung Sarapung), dan Lumingkewas (ketiganya dari Minawanua-Tondano), serta Lonto (kepala walak Tomohon) dan Mamait (kepala walak Remboken).

Para pemimpin Minahasa yang hadir dalam musyawarah,  antara lain dari Tondano-Toliang, yakni Tewu (Pemilik Benteng Moraya), Sarapung, Walintukan, Korengkeng, Rumapar, Wuisan, Lumingkewas, Sepang; dari Kakas terdiri dari L. Supit, dan  Kalalo; dari Remboken, terdiri dari Mamait dan Tendean, sedangkan dari Tonsea diwakili oleh Pangemanan, Lengkong dan Ombu yang memihak Tondano; sedangkan mewakili Tombulu adalah Lonto. Dan juga mendapat dukungan dari beberapa kepala walak  Minahasa lainnya, seperti Pantouw dari Saroinsong, Koyongian dari Pasan, Walewangko dari Sonder, Tuyu dari Kawangkoan, Sondakh dari Tompaso, Iroth dari Langowan, Runtuwene dari Tombasian, Tumbelaka dari Rumoong, Watak dari Ratahan, Rugian dari Tonsawang, dan Mokolensang dari Ponosakan.

Dengan berlandaskan semangat Mapalus (tolong-menolong), Maesa (bersatu), dan Matuari (turunan Toar-Lumimu’ut), akhir musyawarah menghasilkan keputusan, “menyatakan tekad bahwa apibila pihak kompeni Belanda tidak menghentikan pelanggaran terhadap Verbond 10 Januari 1679, dan pemaksaan-pemaksaan yang bertentangan dengan adat, maka seluruh Walak Minahasa yang hadir dalam musyawarah akan memutuskan hubungan dan melawan kompeni Belanda yang berbentuk perlawanan, sebagai berikut :
1.      Penghentian pemasokan dan perdagangan beras;
2.      Tidak membayar hutang sandang;
3.      Tidak mengizinkan seorang pemuda pun untuk menjadi serdadu kompeni;
4.      Tuntutan pemulangan serdadu-serdadu dari luar Minahasa;
5.      Bila Residen Prediger mau mengadakan penekanan, maka Minahasa terpaksa memutuskan ikatan persahabatan dengan Belanda, dan mengadakan perlawanan terbuka terhadap tiap bentuk pemaksaan.

Musyawarah Pinawetengan. Hasil musyawarah Minawanua, antara lain diputuskan untuk melanjutkan musyawarah di Pinawetengan. Bagi walak Tondano, usulan ini sangat strategis dalam upaya untuk memperkuat ikatan se-maesa, di mana ditenggarai masih ada sejumlah walak yang belum dilibatkan dalam musyawarah Minawanua. Kecuali itu, disinyalir  beberapa walak lainnya masih diragukan komitmennya untuk melakukan perlawanan terhadap kompeni. Dengan kata lain, masih ada walak yang masih bersikap kooperatif dengan Belanda.

Selang beberapa hari kemudian berangkatlah utusan-utusan walak Tondano ke Pinawetengan, bertemu dengan walak-walak lainnya, antara lain Kakas, Remboken, Langowan, Tompaso, Sonder, Langowan, Pasan, Ratahan, Ponosakan, Tounsawang, Tomohon, Kakaskasen, Tombariri, Rumoong, Tombasian, dan Amurang. Sementara itu, wakil dari Tonsea sulit untuk bergabung karena begitu kerasnya tekanan dari pihak Belanda, apalagi sejumlah pimpinan di sana sudah diperalat sebagai kaki tangan Belanda. Kecuali walak-walak Likupang, Kema, dan Talawaan dengan cara sembunyi-sembunyi mengutus waranei-waraneinya untuk mengikuti musyawarah di Pinawetengan tersebut.

Jalannya musyawarah tidak berlangsung lama, karena isu-isu yang dibahas sudah dirumuskan terlebih dahulu. Terutama mengenai pembagian tugas dalam upaya untuk menyediakan bahan-bahan untuk memperkuat benteng dan persiapan perang. Seperti menyediakan balok-balok kayu, bambu, logistik (bahan makanan dan obat-obatan), persenjataan, amunisi, dan meriam. Selain itu, menentukan strategi organisasi perang, siapa yang diandalkan berperan di medan tempur, siapa yang dipercaya bisa melakukan penyusupan (mata-mata).

Dalam pembicaraan, juga cara bagaimana menggunakan sandi agar orang-orang Minahasa yang bergabung dengan pasukan Belanda bisa menghindar dari terjangan peluru pasukan Minahasa. Sandi yang dimaksud adalah, ’Rumungku se Maesa’.

Di samping itu, para pemimpin musyawarah memanfaatkan waktu untuk mendengar keluhan dari walak-walak lainnya yang wilayahnya dekat dengan pos-pos keamanan Belanda, sering mendapat tekanan bahkan ancaman teror. Keluhan-keluhan ini akhirnya dimasukkan menjadi bagian dari rumusan kesepakatan hasil musyawarah, adalah sebagai berikut :
1.      Bahwa walak-walak yang ada di sekitar benteng, terutama walak Tondano betapapun akibatnya akan tetap meneruskan perlawanan/peperangan;
2.      Kepada walak-walak lain, oleh karena sesuatu dan lain hal tidak sanggup lagi meneruskan perlawanan/peperangan, dihimbau untuk tetap mengirm bantuan-bantuan mesiu, terutama bahan makanan;
3.      Khususnya kepada walak lainnya yang memang sama sekali tidak bisa melanjutkan peperangan dan mengirim bantuan, ditekankan agar jangan sampai menjadi kaki tangan Belanda (berhianat).

Hasil rumusan musyawarah ini diputuskan secara bulat untuk dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Bagi yang tidak melaksanakan akan mendapat sangsi secara adat (lihat Taulu 1961; Wuntu 1963).


Suasana Perang



Oleh karena pihak Belanda tidak bergeming menerima keputusan hasil musyawarah tersebut, maka konsekuensinya terjadilah pertempuran atau perang modern pertama di Indonesia di mana pihak Hindia Belanda mendapat perlawanan sengit dari waranei-waranei dan wulan-wulan Minahasa yang mahir menggunakan senjata meriam buatan Spanyol, meriam bambu (lantaka), senapan api, dan senjata tajam lainnya. Berdasarkan catatan sejarah,  pihak pasukan Belanda sempat melakukan tiga kali serangan (lihat Mangindaan 1871; Mambu 1986) dalam Wenas (2007), singkatnya adalah sebagai berikut :

Serangan pertama pasukan Belanda dilakukan pada tanggal 1 September 1808, terjadi tembak menembak barisan senapan dari kedua pihak.

Serangan kedua, terjadi pada tanggal 6 Oktober, pihak Belanda berhasil merebut negeri Tataaran (5 Km dari Benteng Moraya). Pada serangan kedua ini, pihak Belanda mengajak berunding, dan akhirnya taktik berunding ini bermaksud untuk menangkap Tewu, Lonto, Lumingkewas dan Mamahit.

Serangan ketiga,  berlangsung pada tanggal 23 Oktober 1808, pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari pasukan Minahasa terutama dalam menghadapi serangan dari arah danau (Benteng Paapal) ditangani oleh pasukan katak yang dikenal sebagai ‘hantu-hantu danau’. Demikian juga dalam menghadapi  serangan  dari arah Koya (Benteng Moraya), tidak jarang pasukan atau waranei-waranei Minawanua menyerang balik sampai ke pertahanan pasukan Belanda di Koya, bahkan sempat melukai dan membunuh beberapa perwira Belanda, termasuk melukai kepala residen Predigger di Tataaran yang ditembak oleh pasukan berani mati Rumapar.

Mengahadapi perlawanan dari waranei-waranei (milisi) Minawanua yang demikian sengit itu, akhirnya pada bulan Januari 1809, serangan ketiga dilanjutkan oleh pasukan  Belanda dari arah barat dan utara Benteng Moraya. Terjadilah pertempuran sengit, pasukan arteleri Minahasa (meriam 9 pond buatan Spanyol) berhasil memporakporandakan pasukan Belanda di kampung Koya.  Karena serangan ini masih gagal, maka pada tanggal 9 April 1809 pasukan Belanda menyerang dari arah danau dengan menggunakan perahu kora-kora yang didatangkan dari Tanawangko. Serangan dari arah danau disambut oleh pasukan katak Minahasa yang menyerang dari bawah air. Maka terjadilah serangan kombinasi (darat dan air) dari pasukan Belanda.

Oleh karena serangan demi serangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda selalu mengalami kegagalan, maka pada bulan Juni 1809 melalui komando Kapten Winter (veteran Perang Napoleon), pasukan kompeni Belanda dan antek-anteknya diperintahkan untuk mengatur strategi penyerangan dengan cara mengepung seluruh kawasan benteng pertahahan pasukan Minahasa, dan memutuskan semua jalur bantuan logistik dan senjata/amunisi yang dibutuhkan oleh waranei-waranei Walak Tondano dan Walak-Walak dari luar Tondano.

Hal ini sudah tentu mempengaruhi moral sejumlah Walak dari luar Tondano yang kemudian mereka satu demi satu meninggalkan arena pertempuran  kembali ke tempat asalnya masing-masing. Sebagian yang bertahan siap mati dengan waranei-waranei Minawanua-Tondano. Dikemukakan oleh para waranei Minawanua yang tetap bertahan menghadapi gempuran pasukan kompeni Belanda dan antek-anteknya itu, “kami akan menyerah apabila air sungai dan danau habis”, artinya kami akan bertempur sampai titik darah penghabisan.

Pasukan kompeni Belanda yang sudah mengetahui kelemahan pasukan Minahasa (kelaparan, kehabisan amunisi, dan berkurangnya personil pasukan), dengan tanpa balas kasihan, dan tanpa pandang bulu membantai seluruh penghuni pemukiman Minawanua, termasuk hewan piaraan, kemudian melululatahkan benteng-benteng pertahanan dan membunuh semua waranei yang berusaha mempertahankan benteng dari musuh. Dikisahkan, bahwa hampir seluruh permukaan air danau dan sungai teberen Tondano berwarna merah (genangan darah dari pasukan-pasukan Minahasa yang menjadi korban perang).

Sejak saat itu, benteng yang menghadap kampung Koya di sebut ’Benteng Moraya’,  yang berarti di mana-mana (sungai dan danau) terdapat genangan darah dan menimbulkan bau amis, seperti permadani berwarna merah. Sedangkan benteng yang menghadap sebelah barat danau disebut ’Benteng Papal’, yang berarti ’tiang-tiang’ yang tertanam kokoh dipasang secara miring menghadap danau (lihat Sendoh 1985).

Kapten Winter yang memimpin penyerbuan terakhir ke Benteng Moraya, sempat membuka topi perwiranya (tanda rasa hormatnya) di hadapan mayat-mayat pahlawan orang Tondano yang bertahan di benteng Moraya, sambil berkata, “mereka yang korban ini  adalah  patriot-patriot  sejati”  (lihat  laporan  Vergadering  Raad  van Politie di Ternate tanggal 30 Desember 1808) dalam Mambu (1986).

Diakui atau tidak, bahwa keberanian Orang Minahasa melawan kompani Belanda yang dilakukan melalui perang, seperti apa yang sudah disinggung di atas, merupakan perang modern pertama di Indonesia, di mana pihak kompani Belanda mendapat perlawanan sengit penduduk pribumi Minahasa dengan menggunakan senjata api (meriam dan senapan) serta senjata tradisional (tombak, parang dan ranjau alam, yakni tumbuhan rawa yang berduri).

“YANG PALING PENTING DARI SEMUA KEUNGGULAN ADALAH KEBERANIAN, KECERDASAN, DAN KESEHATAN” (HERMAN MAURICE SAXE (SAXON, GERMAN) MARSHALL OF THE KINGDOM OF FRANCE).

PERANG TONDANO (Jilid Satu)



Kisah Heroik Keberanian Orang Minahasa Melawan Kompani Belanda


Introduksi

Kisah Heroik Keberanian Orang Minahasa Melawan Kompani Belanda, puncaknya pada tanggal 5 Agustus 1809, selain dipenuhi asap mesiu, bau anyir darah dan daging bakar, juga  seluruh kawasan danau dan sungai bagaikan permadani diselimuti darah (Moraya).
Sesungguhnya kisah heroik tersebut bukanlah kisah baru yang sekarang ini ditulis atau dibicarakan oleh kalangan tertentu. Akan tetapi, berdasarkan referensi kepustakaan, catatan-catatan, dan surat-surat atau dokumen sejarah bangsa Eropa, terutama Belanda, banyak kita jumpai bukti-bukti sejarahnya. Meskipun demikian, kisah perlawanan orang Minahasa terhadap kompani Belanda, bagaimana pun juga  merupakan kenyataan sejarah yang tidak boleh dilupakan atau dipinggirkan sebagai bagian dari sejarah bangsa/nasional kita.

Ada tujuh penulis lokal (Minahasa) yang mengekspresikan rasa  kepeduliannya ketika mereka mengungkapkan makna sejarah Perang Tondano, yakni: 1) H.M. Taulu (1961), 2) Giroth Wuntu (1963), 3) Frans Watuseke (1968), 4) Eddy Mambu, SH (1986), 5) Drs. Jootje Sendoh (Materi Lokakarya/1985), 6) Sam A.H Umboh (Skripsi/1985), dan 7) Bert Supit (1991). Sebagai tulisan yang bernilai sejarah perjuangan, patutlah diberikan apresiasi terhadap ke tujuh penulis tersebut.

Menyimak hasil penulisan ke tujuh penulis tersebut, dalam mengungkapkan makna latar belakang terjadinya perang, secara umum  memiliki pandangan yang sama. Bagi mereka, Perang Tondano masih tetap merupakan suatu riwayat peperangan yang gagah berani, paling lama (1961-1809), dan utama, melebih dari kisah-kisah heroik lainnya yang pernah dialami oleh orang Minahasa, seperti perang dengan perompak-perompak Mindanao, Kerajaan Bolaang Mongondow, atau perang antara Minahasa-Spanyol (pasukan Spanyol berhasil dipukul mundur – lari ke Mindanao Filipina alias kalah).

Mengapa Disebut Perang Tondano?

Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan, mengingat masih adanya persepsi di kalangan tertentu orang Minahasa yang beranggapan bahwa seakan-akan pelaku-pelaku yang terlibat dalam peristiwa besar Perang Tondano hanya Orang Tondano yang bermukim di Minawanua.  Padahal, pemakaian istilah Perang Tondano bukan berarti yang terlibat dalam perang hanya Walak Tondano, akan tetapi hampir seluruh Walak di Minahasa telah berperanserta menunjukkan solidaritasnya sebagai Tou-Minahasa berjuang bersama Walak Tondano melawan Kompeni Belanda.

Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang penulis asal Tondano Giroth Wuntu (1963), bahwa pada hakekatnya Perang Tondano (PT) adalah perang patriotik yang besar dari rakyat Maesa (Minahasa pada umumnya) melawan penjajahan Belanda, yang telah berlangsung secara berulang-ulang dalam kurun waktu satu setengah abad. Perang perlawanan yang pertama telah dimulai pada 1 Juni 1661, dan berakhir (perang perlawanan terbesar) pada 14 Januari 1807 sampai 5 Agustus 1809.

Para pemimpin Perang Tondano, selain Tewu, Sarapung, Korengkeng, Lumingkewas Matulandi (semuanya berasal dari Tondano-Minawanua), terdapat juga Lonto Kamasi Kepala Walak Tomohon, dan Ukung Mamahit dari Walak Remboken. Bahkan sebagai organisator dan atau otak (“de ziel”) dari perlawanan melawan kompeni Belanda, selain Tewu juga Lonto Kamasi Kepala Walak Tomohon yang dicari-cari oleh pihak kompeni Belanda untuk ditangkap.

Seperti juga yang terungkap dalam dokumen Perang Tondano, akhirnya Tewu ditangkap menemani Ukung Pangalila (Tondano) dan Ukung Sumondak (Tompaso) yang sudah sejak awal menjadi penghuni penjara di Benteng Fort-Amsterdam. Mereka ditangkap oleh Belanda ketika selagi mengikuti musyawarah di Benteng Belanda tersebut. Mereka ditangkap karena keduanya dengan tegas menentang usaha dari Residen Schierstein  yang hendak mengubah substansi perjanjian atau Verbond 10 Januari 1679, seperti yang diakui oleh Jacob Claesz, kepada David van Peterson dinyatakan: “Bahwa orang-orang Minahasa bukan  merupakan orang taklukan atau bawahan, tetapi yang berada dalam suatu ikatan persahabatan dengan Kompeni Belanda”.

Dengan demikian, perlulah diungkapkan di sini bahwa disebut Perang Tondano yang secara historis telah berlangsung sejak tahun 1661, dan puncaknya terjadi pada tahun 1808-1809,  didasarkan atas:


  1. Puncak petualangan kompeni Belanda itu dimulai, dilaksanakan dan diakhiri di wilayah Walak Tondano;
  2. Waktu perang pecah, kita belum mengenal istilah Minahasa sebagaimana kita mengartikannya sekarang ini. Memang pada dekade terakhir dari abad kedelapan belas, istilah Minahasa memang sudah dipakai. Tapi, masih dalam arti “Landraad”/”Vergadering van Volkshoofden” (Musyawarah para Ukung dan Kepala Walak. Karenanya menurut sejarawan Dr.E.C. Godee Molsbergen, Residen Predigger, arsitek Perang Tondano itu hanya memakai istilah “Manadosche onlusten”; sedangkan sejarawan Dr.H.J. de Graaf menyebutnya “Volksopstand in Manado”.
  3. Berdasarkan cerita rakyat, peristiwa itu diistilahkan sebagai Perang Tondano, merupakan istilah yang telah membudaya dalam masyarakat Minahasa pada umumnya (lihat Supit 1991).

Latar Belakang Perang Tondano dan Implikasinya

Bahwa hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perang antara orang Minahasa dengan kompani Belanda,  antara lain dipengaruhi oleh sikap antipati seluruh Walak di Minahasa khususnya Walak Tondano atas kedatangan kolonial Belanda yang dianggap sama dengan kolonial asing sebelumnya, yakni orang Tasikela (Portugis dan Spanyol) yang telah membunuh beberapa Tona’as, antara lain Mononimbar dan Rakian dari Tondano dan Tona’as Umboh dari Tomohon, serta adanya pemerkosaan terhadap perempuan (Wewene) Minahasa. Hal ini menimbulkan kesan bahwa semua orang kulit putih (kolonial) memiliki perangai yang sama alias kejam. Demikian juga pada perang ketiga, dipicu oleh tertangkapnya Ukung Pangalila kepala Walak Tondano, dan Ukung Sumondak kepala Walak Tompaso.

Hampir semua penulis menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya Perang Tondano keempat (terakhir), adalah bahwa Minahasa tidak mau menyediakan tentara untuk kepentingan militer Hindia-Belanda (lihat Wenas 2007). Dikemukakan oleh Supit (1991), “para penulis barat dalam tulisan sepintas senantiasa menyatakan bahwa penyebab terjadinya peristiwa itu, adalah karena masalah “rekrutering” atau “ketentuan menjadi serdadu” bagi para pemuda Minahasa untuk dikirim ke Jawa guna menghadapi perjuangan tentara Inggris. Sejarawan Dr. H.J de Graaf, menyatakan atas hal ini :

“Maka dipanggilah dalam jumlah besar, orang-orang yang berasal dari suku-suku pemberani dalam peperangan, seperti suku Minahasa, suku Madura, dan suku Dayak.  Bila yang datang melapor secara suka rela tidak segenap hati/memadai, pemaksaan dilakukan. Suatu tindakan yang telah mengakibatkan pecahnya pemberontakan rakyat di Manado/Minahasa”.

Kecuali itu, Dr. E.C. Godee Molsbergen, yang pada tahun 1928 ditugaskan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menulis sejarah Minahasa dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun “Persahabatan Minahasa-Belanda/Verbond 10 Januari 1679 kedua ratus lima puluh, menulis :

“Walaupun Predigger dengan pembawaannya yang lemah lembut menghindari bentrokan dengan penduduk, ia tidak dapat mencegah tindakan petugas pendaftaran yang tidak bijaksana dan terciptanya cerita yang tidak-tidak mengenai tujuan perekrutan. Ditambah dengan hutang lama, disebabkan penerimaan sandang dengan uang muka, hubungan baik dengan Pemerintah Hindia-Belanda, menjadi rusak sama sekali”.

Apabila disimak secara kritis makna terjadinya Perang Tondano itu, bahwa sesungguhnya bukan karena alasan rekruitmen, tagihan hutang lama dan tafsiran yang mengada-ada dari sejarawan kolonial tersebut. Akan tetapi, akar masalahnya terletak pada “pelanggaran-pelanggaran kolonial Belanda terhadap ketentuan ikatan persahabatan Minahasa-Belanda Verbond 10 Januari 1679”.  Hal ini menunjukkan bahwa secara antropologis, orang Minahasa sudah sejak tempo doeloe tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai budaya (orientasi terhadap kebenaran dan keadilan) yang tidak mengenal kompromi dengan pelanggaran adat, siapa pun pihak yang melakukan pelanggaran adat yang dimaksud (sei’reen).

Bagi orang Minahasa Verbond tersebut sudah menjadi bagian dari adat Minahasa yang menjamin kelanjutan hidup orang Minahasa. Hal ini dianggap oleh  para pemimpin  Minahasa, merupakan pengingkaran kompani Belanda terhadap Verbond  yang sudah mereka sepakati bersama. Pengingkaran ini adalah suatu penghinaan yang fantastis terhadap kebenaran dan keadilan. Apalagi mereduksi nilai-nilai kepemimpinan sosial orang Minahasa, di mana posisi kepala walak dikondisikan sedemikian rupa dalam perubahan perjanjian (Verdrag 10 September 1699/amandemen pasal 9), sebagai bawahan yang harus tunduk terhadap semua kebijakan kompani Belanda. Padahal dalam konteks status – peranan, menjadi kepala walak, bukanlah jabatan yang diberikan atas dasar turunan (ascribed); tetapi menjadi kepala walak diperoleh secara demokratis/dipilih secara adat atas dasar kinerja (achieved).

Posisi Minahasa sebelum perang di tahun 1808-1809

(Dirangkum dari berbagai Sumber oleh : Erwin Saderac Pioh 2010)
Seperti yang sudah sudah dituliskan beberapa peneliti dan penulis bahwa Minahasa sebelumnya memiliki dasar kontrak kerja sama dengan V.O.C dalam apa yang disebut kontrak persekutuan atau persahabatan atau dikenal dengan VERBOND 10 Januari 1679, dengan 10 pasal perjanjian dimana pada mukadimah perjanjian bertuliskan :

“VOORWAARDEN EN VERBONDT aengegaan door den Gouverneur der Moluccos Robertus Padtbrugge in name van d’ED.  Heer Gouverneur Generaal Rijckloff Van Goens en Raede van Indie,  representeerende de Nederlandsche g’octrooijeerde Oost Indische Comp…… en Staat der Verenigde Nederlanden ter eenre en de dorpshoofden en gantsche gemeijnte van Celebes,  ter andere zijde.” Yang artinya:  Perjanjian dan Persekutuan yang diadakan oleh yang terhormat Gubernur Maluku Robertus Padtbrugge atas nama tuan besar Gubernur Jenderal Rijckloff Van Goens dan Dewan Hindia yang mewakili Kompeni Hindia Timur di Oktroij dan Negara Persekutuan Belanda pada satu pihak dan Kepala-kepala Walak seluruh Haminte dalam wilayah Manado atau ujung paling utara pulau Sulawesi, pada pihak yang lain.
Tetapi dari kewajiban pihak Minahasa atas Belanda sangatlah dapat di lihat lebih banyak yang harus dipenuhi termasuk mengakui V.O.C sebagai yang dipertuan, sebaliknya dari pihak Belanda hanyalah perlindungan dari serangan luar ke dalam Minahasa oleh suku-suku lainnya, dimana akhirnya implementasi dari kebijakan kebijakan ini tidaklah berjalan mulus sehingga menimbulkan ketimpangan kerja sama Minahasa –Belanda dalam hal ini V.O.C baik secara regional, ekonomi dan persekutuan.  Dan akhirnya dalam mengatasi hal tersebut 20 tahun kemudian tepatnya pada 10 September 1699 pada artikel ke 6 dan 9 dari VERDRAGG 10 Setember 1699, yang bertuliskan :

“Artikel 6.’ … waaromme hun ook verbinden sig steeds te sullen bethoonen vrinden van’s Comps vrinden en vijanden van deselver vijanden te wesen en oversal nevens andere bondgenooten d’E. Comp.  ‘t zij te water of te land getrouwelijk te sullen bijstaan en tot den dood toe the helpen redden en beschermen soo de nood sulx motge komen vereschen.”  Yang artinya: …Mengapa mereka bersekutu, serta menyatakan bahwa sahabat Kompeni adalah sahabat rakyat dan demikian dengan sekutu kompeni lain-lain, di laut dan di darat, bantu –membantu dan lindung-melindungi bila dituntut sampai mati sekalipun.”

“Artikel 9.’ … Soo verbind haar d’E. Comp. omme gesamentlijke gemeente van beneden, boven en agterlanddorpen als hare ware bondgenoten steeds te sullen erkennen en voor alle geweld en overlast mogen wesen, mogten worden aangedaan te sullen beschermen en na tijds gelegentheden tegen de zoodanige hare vijanden te sullen adsiteren.”  Yang artinya: Demikian Kompeni bersekutu dengan seluruh haminte di pantai-pantai, digunung-gunung dan di desa-desa, di pelosok pedalaman sebagai sekutunya yang selalu di akui dan melindunginya dari penganiayaan dan tekanan dari siapapun juga.”

Jadi jelaslah bahwa Minahasa-Belanda telah mengeluarkan sebuah perjanjian persekutuan yang dapat dikatakan telah menimbang asaz-asaz kesetaraan dalam persahabatan dan hal kontrak-kontrak berikutnya tetap diadakan dan ditanda tangani oleh walak-walak Minahasa sebagai representative atau perwakilan sebuah wilayah teritori yang berdaulat yang diakui oleh Belanda juga sampai pada kontrak Minahasa-Kerajaan Inggris pada 14 September 1810. 

Antara tahun 1699 sampai pada pecah perang di Minahasa lebih khusus perlawanan Waraney-Waraney  atau Ksatria-ksatria Minahasa di Tondano pada 1808, ada jarak sekitar 109 tahun, atau dapat diperkirakan 100 tahun setelah perjanjian atau kontrak VERDRAGG 10 September 1699 baru muncul friksi friksi yang tajam dimana simpul utamanya letak pada masalah ekonomi.   Tetapi sebelumnya dapat dilihat juga dari posisi Kerajaan Belanda itu sendiri.



Empat Suku Bangsa di Minahasa

Bangsa Minahasa terdiri dari 4 (empat) suku/etnis/sub-etnis besar sebagai etnis utama, yaitu : Tountemboan, Tombulu, Toulour/Tondano, dan Tonsea.

Obyek Wisata di Kota Tomohon - Sulawesi Utara
Obyek Wisata di Kota Tomohon – Sulawesi Utara

Kemudian bergabung suku-suku yang berdiam di selatan Minahasa seperti :  Tonsawang, Ratahan-Pasan (Pasan Wangko), dan Ponosakan.
Terakhir suku Bantik sebagai suku pendatang dari Sulawesi Tengah.
Pada saat ini, etnis Babontehu diterima sebagai suku/sub-etnis Minahasa bersama-sama dengan orang-orang Borgo.

Sub-etnis Tombulu berpusat di Tomohon yang mendiami daerah Kota Tomohon, Kecamatan Tombariri, Kecamatan Pineleng, dan Kecamatan Tombulu, Kecamatan Wori, Likupang Barat dan Kota Manado, Sub-etnis merupakan pakasaan Tombulu yang memiliki delapan walak, yaitu : Tomohon/Tou Muung, Sarongsong, Tombariri, Kakaskasen, Ares, Kalawat Atas, Kalawat Wawa (Klabat di Bawah) di Paniki, dan Likupang.

Sub-etnis Tountemboan berkedudukan di Minahasa bagian Selatan yang mendiami daerah Langowan, Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Tareran, Tumpaan, Amurang, dan daerah di sepanjang kuala (sungai) Ranoyapo, yaitu di daerah Motoling, Kumelembuai, Ranoyapo, Tompaso Baru, Modoinding, Tenga, dan Sinonsayang. Suku ini berasal dari Pakasaan Tompakewa yang terdiri dari walak Tompaso, Langowan, Tombasian, Rumoong, Tongkimbut Atas atau Kawangkoan, dan Tongkimbut Bawah atau Sonder.

Sub-etnis Tondano atau Toulour, mendiami daerah sekeliling Danau Tondano sampai di pantai timur Minahasa (Tondano Pante), yaitu daerah Tondano, Kombi, Eris, Lembean Timur, Kakas, Remboken. Pakasaan Toulour terbagi atas dua Walak, yaitu Tondano Toulimambot di bagian barat dan Tondano Touliang di bagian barat.

Sub-etnis Tonsea, berada di Minahasa bagian Utara yang dahulu berada di bawah Walak Tonsea. Daerah suku ini meliputi daerah Airmadidi, Kauditan, Kema, Bitung, Tatelu, Talawaan, dan Likupang Timur.

Sub-etnis Tonsawang, berada di daerah Kecamatan Tombatu dan Touluaan. Leluhur dari puak ini datang dari pulau kecil Mayu dan Tafure di selat Maluku yang mendarat di Atep (Tondano Pante) kemudian beralih ke Tompaso kemudian beralih ke tempat sekarang. Mereka menyebut sub-etnisnya sebagai orang Toundano.
Sub-etnis Ratahan, berada di sekitar kota Ratahan. Sub-etnis Ratahan atau Pasan, atau Pasan-Ratahan atau disebut juga Bentenan. Sub-etnis Ratahan berada di kampung-kampung Ratahan/Tosuraya, Wioi, Wiau, Wongkai, Rasi, Molompar, Wawali, Minanga, dan Bentenan. Sedangkan sub-etnis Pasan berada di kampung Towuntu, Liwutung, Tolambukan, dan Watulinei.

Sub-etnis Ponosakan berada di Kecamatan Belang dan Kecamatan Ratatotok, yaitu di kampung Belang, Basaan, Ratatotok, dan Tumbak serta sebagian kampung Watuliney dan Tababo. Suku ini merupakan satu-satunya sub-etnis di Minahasa yang beragama Islam.
Sub-etnis Bantik berada di daerah sekitar Manado, yaitu di barat daya Manado seperti Malalayang dan Kalasei dan sebelah utara Manado seperti Buha, Bengkol, Talawaan Bantik, Bailang, Molas, Meras serta Tanamon di kecamatan Sinonsayang Minahasa Selatan. Suku ini berlainan sekali bahasa, adat kebiasaan,  dan roman muka dari suku-suku lain di Minahasa. Suku ini berasal dari Sulawesi Tengah, kemudian bermukim di Bolaang Mongondow (Bolmong). Kemudian mereka datang di Minahasa sebagai tentara bantuan Bolmong untuk memerangi suku-suku Minahasa. Ketika tentara Bolmong dikalahkan di Maadon, Lilang (Kema) maka suku ini menetap di sekitar teluk Manado. 

Sub-etnis Babontehu berada di kepulauan sebelah barat laut Minahasa. Dahulu sub-etnis ini berada di bawah satu kerajaan tersendiri bernama Kerajaan Manado yang berpusat di pulau Manado Tua. Orang Babontehu terkenal sebagai pelaut yang ulung. Kepala mereka disebut Kolano (Raja). Karena dikalahkan Kerajaan Bolaang Mongondow, mereka terusir dari sana dan menetap di kepulauan Sangihe.

Ada juga beberapa kelompok kecil yang telah lama berasimilasi dengan orang Minahasa sehingga mereka dianggap sebagai bagian dari Minahasa.
Orang Borgo dulunya adalah serdadu sipil masa VOC dan Hindia - Belanda, merupakan campuran orang Eropa, Afrika Selatan, Asia dan lain-lain dengan Minahasa.
Orang Jawa Tondano (Jaton) yang menetap di timur laut Tondano merupakan campuran dari bangsa Jawa pengikut Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo yang kawin dengan gadis-gadis Minahasa. (Oleh : Rafans Manado – Dari berbagai sumber),-

MINAHASA DAN PERKEMBANGANNYA

Minahasa berasal dari kata Esa yag berarti satu; kata Mah-esa berarti menyatukan, yakni menyatukan berbagai kelompok sub-etnik Minahasa yang terdiri dari Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tondano, Ponosakan, Pasan, Ratahan, dan Bantik. Nama Minahasa pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D Schierstein, tanggal 8 Oktoer 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli); demikian pula antara kelompok sub-etnik Tondano dan Tonsawang (Godee Molsbergen, 1928 : 53).

Minahasa adalah semenanjung yang terletak di bagian paling utara dari semenanjung pulau Sulawesi, yaitu antara 0 derajat 51’ dan 1 derajat 51’ 40” lintang utara dan antara 123 derajat 21’ 30” dan 125 derajat 10’ bujur Timur. Luas semenanjung adalah 5373 kilometer persegi. Iklim daerah Minahasa terpegaruh oleh angin muson. Pada bulan September sampai April, bertiup angin pembawa hujan lebat. Bulan Mei sampai November bertiup angin selatan ke barat laut. curah hujan di darerah pedalaman Minahasa terhitung tinggi yaitu 4188mm pertahun dan jumlah curah hujan mencapai 195 hari. Suhu pesisir pantai agak tinggi, namun daerah pegunungan temperatur menunjukkan 26-27 derajat celsius pada musim hujan. Jenis vegetasi yang paling dominan sekarang adalah pohon kelapa (cocos nucivera) yang terdapat sejak Zaman Portugis, sedangkan sejak dahulu kala telah ada pohon seho (aranga sachariferum) sebagai pohon yang serba guna, dan sekarang yang menjadi tanaman favorit adalah Cengkih dan Vanili. Kuda (kawalo) telah dikenal penduduk sejak zaman spanyol sedangkan sapi didatangkan dari Benggala, India sejak zaman V.O.C (Tjahaja Siang, Januari 1870)

Bentuk masyarakat Minahasa pada zaman dahulu adalah bentuk Tribe. Bentuk masyarakat demikian dirinci oleh George Foster dkk dalam “Peasant Society” (1967) sebagai “Tribal System” atau kelompok masyarakat pedalaman yang pokok kehidupan adalah ladang pertanian. Unit politiknya yang tertinggi adalah Walak. Pada zaman dahulu dapat saja seorang walak kepala sub-etnik menjadi seorang Walian (pendeta religi pribumi) dan dalam fungsi seperti itu, kekuasaanya menjadi lebih mutlak. Ia akan merupakan seorang yang dekat dengan alam, karena dia harus dapat dengan cepat menangkap gejala-gejala alam untuk mengatasi persoalan yang mugkin terdapat di wilayahnya. Jadi dia harus seorang yang dapat membaca gejala-gejala alam yang diberikan alam sekitarnya, dan seorang yang mengerti akan batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya. Seorang pimpinan dianggap seoseorang yang memiliki “kete” atau kekuatan. Karena memiliki kekuatan ini, maka ia dapat diangakat menjadi pemimpin. Ia dapat dianggap yang terbaik diantara warga sederajatnya yang terdapat dalam wilayahnya. Oleh sebab itu ia menjadi unsur “primus interpares” desanya. Dalam peran ini dia juga tidak boleh sewenang-wenang menggunakan kekuasaanya, terutama dalam soal pembagian tanah, karena dia juga bisa dikenakan sanksi dari “Opo” atau semacam sanksi Ilahi. Ia dapat menjadi “wales” maka akibatnya berat. Ia akan mendapat nama jelek dan dikucilkan dari masyarakat, sebagai hukuman bagi si pemimpin (J.A.T. Schwrz, Tontemboancher Teksten : 1907:133,381). Dalam istilah moderen disebut “character assassination”.

J.G.F Riedel sebagai seorang ahli pemerintahan pada tahun 1870 menilai pengangkatan kepala walak sebagai suatu yang khas di Minahasa. Riedel menulis sebagai berikut,”walaupun siapa saja di dalam wilayah itu, dapat dipanggil untuk memimpin pemerintahan yang dipilih oleh wakil-wakil/”ngaran” untuk menjadi kepala (abakai oem banoea), tetapi dalam cara memilih mereka tidak sembarangan”.


Batu Pinabetengan

Batu ini terdapat di daerah Tompaso, Minahasa Tengah, kira-kira 10 km masuk dari jalan raya Tompaso, dan terletak di lereng gunung Tonderukan, dekat gunung Soputan. Di pegunungan Tonderukan terdapat banyak batu. Menurut para ahli arkeologi batu-batu tersebut termasuk jenis “menhir”, yang dikenal sejak zaman pra sejarah dan termasuk tradisi “megaliktik”. Batu-batu seperti itu yang terdapat dilereng gunung Tonderukan menjadi tempat duduk untuk orang-orang mendengar bunyi burung. Salah satu batu yag letaknya lebih ke puncak dari batu pinabetengan dinamakan “kekeretan”, penduduk percaya bahwa itulah tempat duduk Opo Muntu Untu, bila ia turun maka disertai gemuruh yang dahsyat, dan biasanya turun ke gunung soputan sesudah itu baru ke gunung Tonderukan. Bila dia hadir maka manguni akan memberitakannya. Terdapat pula batu yang lain yang dikatakan tempat duduk Opo Kopero. Opo Muntu Untu adalah utusan Yang Maha Tinggi, atau Kasuruan (Tuhan). Kasuruan akan menyuarakan pesanannya melalui Manguni yang dilambangkan sebagai burung yang bijaksana. Bunyi yang bagus disebut Maapi. Manguni dipelihara oleh Opo khusus yaitu Opo Mamarimbing. Oleh sebab itu Manguni disebut juga se kokok se Mamarimbing atau burungnya Opo Mamarimbing yang dalam religi pribumi adalah juru bicara Kasuruan.

Batu Pinabetengan merupakan suatu bukti bahwa Minahasa tegah-lah dahulu menjadi pusat kebudayaan nenek moyang. Dari sini, kita melihat bahwa cerita “lumimuut dan Toar” memiliki keterkaitan yang erat hubungnnya dengan cerita Batu Pinabetengan atau Batu pembagian wilayah untuk para sub-etnik. Setiap suku atau sub-sub yang datang kemudian seperti Tonsawang, Pasan, Ratahan, dan Bantik harus mengakui ikrar yang dilakukan di batu Pinabetengan yaitu mereka adalah satu keturunan, dari Lumiuut dan Toar,akibatnya versi mitos Lumimuut danToar menjadi banyak, mencapai lebih dri 90 versi. Tetapi terdapat versi yang sama dalam setiap cerita yaitu terdapatnya tanah,air dan batu.

Dari seluruh cerita Batu Pinabetengan dapat disimpulkan bahwa, disitu adalah pusat dari religi pribumi. Kemudian batu itu menjadi simbol dari keseimbangan dari para sub-etnik yag datang kemudian. Jadi percampuran etnik untuk “Orang Minahasa” bukanlah sesuatu yang baru. Menerima etnik lain adalah suatu yang lumrah. Perlu dicatat bahwa Batu Pinabetengan itu diketahui pertamakali sebagai tempat pemujaan dari religi pribumi “Orang Minahasa” oleh J.G. Schwarz, penginjilan Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG ) yang bertugas di daerah Langouwan dan sekitarnya di tahun 1832.

TAPIKONG

Saat kerusuhan mendera Republik Indonesia, khususnya Ibukota Jakarta, deng beberapa kota besar laeng di Indonesia pada taong 1998, Etnis tionghoa adalah etnis yang paling dapa sayang, lantaran jadi korban dari kerusuhan tersebut. Toko-toko, kantor-kantor deng rumah-rumah, hangus dibakar massa, setelah isinya dijarah kong dibawa pulang tanpa rasa berdosa dengan logo “ milik pribadi “. Pe klaar kejadian tersebut, banya orang yang menghujat serta mengutuk tindakan brutal yang telah terjadi. Maar, biar lei mo hujat deng kutuk sampe ribuan kali, hal itu so nyanda mo sanggup kase pulang tu kerusakan deng kerugian yang terjadi.

Sebelum kerusuhan terjadi deng sesudahnya, banyak etnis tionghoa yang banya doi lari ke singapore, Amerika, ato Australia. Dorang samua lari, menghindari kerusuhan, bacari tampa aman. Maar, for beberapa etnis Tionghoa yang nyanda cukup doi for mo cari slamat ke luar negeri, dorang lari ke Manado dan memulai hidop baru disana. Kiapa kong dorang pilih Manado ? Sebab Manado adalah tampa dimana dorang boleh mo melebur deng masyarakat setempat, dimana nyanda ada diskriminasi ras. Samua sama, dibawah slogan,”Torang samua basudara”. Jadi nyanda perduli ngana mo mata sipit, kulit itang, bahkan, kalu lei ada kulit korotei, tetap orang orang nyanda mo beking suka pa ngana disana.

Apresiasi rasa pengertian deng persaudaraan yang kantal dari masyarakat sulawesi utara terhadap etnis tionghoa boleh torang mo lia dalam apa yang torang kenal dengan “Tapikong” . Setiap tahunnya, saat taong baru cina (Imlek), etnis Tionghoa diijinkan for mo beking arak-arakan ritual, yang mengarak “Ince Pia” (Tan Chi) orang yang sedang babawa peda tajang (saking depe tajang, tu peda boleh stou mo ba potong akang kumis), kong ada sementara potong depe lidah, badan, deng anggota tubuh lainnya.

Sejak kita pe tau dunia jo, acara ini so ada. Kong asal ngoni samua tau, dulu kita waktu kacili kalu ada arak-arakan bagitu, biar mo baku injang deng orang yang lebe basar, kong tagepe diantara orang orang yang depe badan lawang-lawang boke budo, kita tetap musti cari lia itu arak-arakan.
Kalu dari kita pe masa kacili itu tapikong so ada, muncul pertanyaan, mulai kapan so tu tapikong ada di Manado ? Untuk mo tau hal ini, torang musti bale ulang jaoh ke belakang, ke masa lalu.


Mulai tempo apa Orang Cina so ada di Manado ?

Di Desa Paso, sekitar danau Tondano pernah di temukan keramik Cina yang berasal dari jaman dinasti Tang, abad ke 7 Masehi. Penemuan ini sungguh mengejutkan, mengingat betapa tuanya usia keramik tersebut, serta lokasi penemuan Keramik cukup jauh dari Laut. Hal ini menujukkan bahwa pada saat itu, so ada interaksi antara Orang Minahasa deng Orang Cina. Hanya saja, belum dapat disimpulkan secara rinci, apa bentuk interaksi tersebut. Yang jelas keramik tersebut menujukkan adanya kehadiran Orang Cina di tanah Toar-Lumimu’ut pada jaman dulu.

Pada tahun 1521, waktu bangsa Portugis mendarat di pulau Manado

Tua kong minta bantuan orang Babontehu for mo antara pa dorang bakudapa deng kepala walak Wenang ; Dotu Ruru-Ares, dorang so so dapa lia banyak perahu Jung Cina berada di teluk Manado. Bahkan dari pelau Cina-lah orang Portugis dapat mengetahui letak Makao dan menemukannya pada tahun 1523.

Setelah itu, Spanyol kase badiri kantor dagang (Loji) di Wenang yang berlokasi di pasar 45 sekarang (Pasar Jengky), atas ijin kepala Walak Wenang yang waktu itu so dijabat Dotu Lolong Lasut. Lantaran so ada kantor dagang Spanyol, maka pedagang Cina mulai kase badiri dorang pe rumah disekitar kantor dagang itu. Sebelumnya, baik pedagang Cina maupun Portugis dorang batimbun dorang pe barang dagang di pulau Manado Tua (Manaro), yang waktu itu lebeh populer dikalangan Spanyol-Portugis daripada Wenang (sekarang ini Manado).

Tahun 1679 waktu VOC Belanda beking perjanjian dengan Minahasa di Benteng Belanda di Manado (Pasar Jengky sekarang) saat itu so ada pawai-pawai adat Minahasa. Gubernur Belanda Robertus Padtbruge dalam depe laporan tentang Minahasa “Bewoners der Minahasa” tahun 1679, hlm. 217, bilang bahwa, Prajurit Tradisional Minahasa samua bapake gelang logam bergemerincing, kalong kulit kerang, deng suara Tambor yang depe ribut, minta ampuuun..!

Setelah orang Minahasa banyak yang menganut agama Kristen, kong pemerintahan VOC Belanda so beralih pa pemerintah Hindia Belanda, mulai muncul pawai Pigura for acara tutup taong deng pawai Lampion for ulang taong Raja Belanda. Salah satu pawai yang paling menarik yang ada waktu itu adalah “Tapikong” yang di adakan selama dua minggu oleh orang-orang Cina di Manado, for mo rayakan hari raya Imlek. Uniknya, pada abad 17, samua pawai upacara di kota Wenang Manado, selalu di dahului oleh barisan prajurit tradisional “Kabasaran” sebagai pembuka jalan. Hal ini membuktikan bahwa waktu itu, antara budaya Minahasa deng Etnis Kawanua, bisa melebur, dalam artikata, upacara nyanda bajalang sendiri-sendiri, melainkan bersamaan. Sangat disayangkan kalu saat ini Kabasaran deng Tapikong bajalang sandiri-sandiri.

Sekarang kita kembali kemasa kini, dimana kalu dulu pawai diadakan for merayakan sesuatu, sekarang, selain untuk merayakan dapat pula dijadikan obyek wisata yang menarik, yang bisa mendatangkan keuntungan bagi banyak pihak di Sulawesi Utara. Pawai tapikong deng depe “Ince Pia” (Tan Chi) boleh mo jadi nilai positif for pariwisata sulawesi Utara, apabila dikelola dengan baik oleh instansi terkait. Banyak turis lokal dari Cina Makassar