Monday, 1 July 2013

MINAHASA DAN PERKEMBANGANNYA

Minahasa berasal dari kata Esa yag berarti satu; kata Mah-esa berarti menyatukan, yakni menyatukan berbagai kelompok sub-etnik Minahasa yang terdiri dari Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tondano, Ponosakan, Pasan, Ratahan, dan Bantik. Nama Minahasa pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D Schierstein, tanggal 8 Oktoer 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli); demikian pula antara kelompok sub-etnik Tondano dan Tonsawang (Godee Molsbergen, 1928 : 53).

Minahasa adalah semenanjung yang terletak di bagian paling utara dari semenanjung pulau Sulawesi, yaitu antara 0 derajat 51’ dan 1 derajat 51’ 40” lintang utara dan antara 123 derajat 21’ 30” dan 125 derajat 10’ bujur Timur. Luas semenanjung adalah 5373 kilometer persegi. Iklim daerah Minahasa terpegaruh oleh angin muson. Pada bulan September sampai April, bertiup angin pembawa hujan lebat. Bulan Mei sampai November bertiup angin selatan ke barat laut. curah hujan di darerah pedalaman Minahasa terhitung tinggi yaitu 4188mm pertahun dan jumlah curah hujan mencapai 195 hari. Suhu pesisir pantai agak tinggi, namun daerah pegunungan temperatur menunjukkan 26-27 derajat celsius pada musim hujan. Jenis vegetasi yang paling dominan sekarang adalah pohon kelapa (cocos nucivera) yang terdapat sejak Zaman Portugis, sedangkan sejak dahulu kala telah ada pohon seho (aranga sachariferum) sebagai pohon yang serba guna, dan sekarang yang menjadi tanaman favorit adalah Cengkih dan Vanili. Kuda (kawalo) telah dikenal penduduk sejak zaman spanyol sedangkan sapi didatangkan dari Benggala, India sejak zaman V.O.C (Tjahaja Siang, Januari 1870)

Bentuk masyarakat Minahasa pada zaman dahulu adalah bentuk Tribe. Bentuk masyarakat demikian dirinci oleh George Foster dkk dalam “Peasant Society” (1967) sebagai “Tribal System” atau kelompok masyarakat pedalaman yang pokok kehidupan adalah ladang pertanian. Unit politiknya yang tertinggi adalah Walak. Pada zaman dahulu dapat saja seorang walak kepala sub-etnik menjadi seorang Walian (pendeta religi pribumi) dan dalam fungsi seperti itu, kekuasaanya menjadi lebih mutlak. Ia akan merupakan seorang yang dekat dengan alam, karena dia harus dapat dengan cepat menangkap gejala-gejala alam untuk mengatasi persoalan yang mugkin terdapat di wilayahnya. Jadi dia harus seorang yang dapat membaca gejala-gejala alam yang diberikan alam sekitarnya, dan seorang yang mengerti akan batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya. Seorang pimpinan dianggap seoseorang yang memiliki “kete” atau kekuatan. Karena memiliki kekuatan ini, maka ia dapat diangakat menjadi pemimpin. Ia dapat dianggap yang terbaik diantara warga sederajatnya yang terdapat dalam wilayahnya. Oleh sebab itu ia menjadi unsur “primus interpares” desanya. Dalam peran ini dia juga tidak boleh sewenang-wenang menggunakan kekuasaanya, terutama dalam soal pembagian tanah, karena dia juga bisa dikenakan sanksi dari “Opo” atau semacam sanksi Ilahi. Ia dapat menjadi “wales” maka akibatnya berat. Ia akan mendapat nama jelek dan dikucilkan dari masyarakat, sebagai hukuman bagi si pemimpin (J.A.T. Schwrz, Tontemboancher Teksten : 1907:133,381). Dalam istilah moderen disebut “character assassination”.

J.G.F Riedel sebagai seorang ahli pemerintahan pada tahun 1870 menilai pengangkatan kepala walak sebagai suatu yang khas di Minahasa. Riedel menulis sebagai berikut,”walaupun siapa saja di dalam wilayah itu, dapat dipanggil untuk memimpin pemerintahan yang dipilih oleh wakil-wakil/”ngaran” untuk menjadi kepala (abakai oem banoea), tetapi dalam cara memilih mereka tidak sembarangan”.


Batu Pinabetengan

Batu ini terdapat di daerah Tompaso, Minahasa Tengah, kira-kira 10 km masuk dari jalan raya Tompaso, dan terletak di lereng gunung Tonderukan, dekat gunung Soputan. Di pegunungan Tonderukan terdapat banyak batu. Menurut para ahli arkeologi batu-batu tersebut termasuk jenis “menhir”, yang dikenal sejak zaman pra sejarah dan termasuk tradisi “megaliktik”. Batu-batu seperti itu yang terdapat dilereng gunung Tonderukan menjadi tempat duduk untuk orang-orang mendengar bunyi burung. Salah satu batu yag letaknya lebih ke puncak dari batu pinabetengan dinamakan “kekeretan”, penduduk percaya bahwa itulah tempat duduk Opo Muntu Untu, bila ia turun maka disertai gemuruh yang dahsyat, dan biasanya turun ke gunung soputan sesudah itu baru ke gunung Tonderukan. Bila dia hadir maka manguni akan memberitakannya. Terdapat pula batu yang lain yang dikatakan tempat duduk Opo Kopero. Opo Muntu Untu adalah utusan Yang Maha Tinggi, atau Kasuruan (Tuhan). Kasuruan akan menyuarakan pesanannya melalui Manguni yang dilambangkan sebagai burung yang bijaksana. Bunyi yang bagus disebut Maapi. Manguni dipelihara oleh Opo khusus yaitu Opo Mamarimbing. Oleh sebab itu Manguni disebut juga se kokok se Mamarimbing atau burungnya Opo Mamarimbing yang dalam religi pribumi adalah juru bicara Kasuruan.

Batu Pinabetengan merupakan suatu bukti bahwa Minahasa tegah-lah dahulu menjadi pusat kebudayaan nenek moyang. Dari sini, kita melihat bahwa cerita “lumimuut dan Toar” memiliki keterkaitan yang erat hubungnnya dengan cerita Batu Pinabetengan atau Batu pembagian wilayah untuk para sub-etnik. Setiap suku atau sub-sub yang datang kemudian seperti Tonsawang, Pasan, Ratahan, dan Bantik harus mengakui ikrar yang dilakukan di batu Pinabetengan yaitu mereka adalah satu keturunan, dari Lumiuut dan Toar,akibatnya versi mitos Lumimuut danToar menjadi banyak, mencapai lebih dri 90 versi. Tetapi terdapat versi yang sama dalam setiap cerita yaitu terdapatnya tanah,air dan batu.

Dari seluruh cerita Batu Pinabetengan dapat disimpulkan bahwa, disitu adalah pusat dari religi pribumi. Kemudian batu itu menjadi simbol dari keseimbangan dari para sub-etnik yag datang kemudian. Jadi percampuran etnik untuk “Orang Minahasa” bukanlah sesuatu yang baru. Menerima etnik lain adalah suatu yang lumrah. Perlu dicatat bahwa Batu Pinabetengan itu diketahui pertamakali sebagai tempat pemujaan dari religi pribumi “Orang Minahasa” oleh J.G. Schwarz, penginjilan Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG ) yang bertugas di daerah Langouwan dan sekitarnya di tahun 1832.

TAPIKONG

Saat kerusuhan mendera Republik Indonesia, khususnya Ibukota Jakarta, deng beberapa kota besar laeng di Indonesia pada taong 1998, Etnis tionghoa adalah etnis yang paling dapa sayang, lantaran jadi korban dari kerusuhan tersebut. Toko-toko, kantor-kantor deng rumah-rumah, hangus dibakar massa, setelah isinya dijarah kong dibawa pulang tanpa rasa berdosa dengan logo “ milik pribadi “. Pe klaar kejadian tersebut, banya orang yang menghujat serta mengutuk tindakan brutal yang telah terjadi. Maar, biar lei mo hujat deng kutuk sampe ribuan kali, hal itu so nyanda mo sanggup kase pulang tu kerusakan deng kerugian yang terjadi.

Sebelum kerusuhan terjadi deng sesudahnya, banyak etnis tionghoa yang banya doi lari ke singapore, Amerika, ato Australia. Dorang samua lari, menghindari kerusuhan, bacari tampa aman. Maar, for beberapa etnis Tionghoa yang nyanda cukup doi for mo cari slamat ke luar negeri, dorang lari ke Manado dan memulai hidop baru disana. Kiapa kong dorang pilih Manado ? Sebab Manado adalah tampa dimana dorang boleh mo melebur deng masyarakat setempat, dimana nyanda ada diskriminasi ras. Samua sama, dibawah slogan,”Torang samua basudara”. Jadi nyanda perduli ngana mo mata sipit, kulit itang, bahkan, kalu lei ada kulit korotei, tetap orang orang nyanda mo beking suka pa ngana disana.

Apresiasi rasa pengertian deng persaudaraan yang kantal dari masyarakat sulawesi utara terhadap etnis tionghoa boleh torang mo lia dalam apa yang torang kenal dengan “Tapikong” . Setiap tahunnya, saat taong baru cina (Imlek), etnis Tionghoa diijinkan for mo beking arak-arakan ritual, yang mengarak “Ince Pia” (Tan Chi) orang yang sedang babawa peda tajang (saking depe tajang, tu peda boleh stou mo ba potong akang kumis), kong ada sementara potong depe lidah, badan, deng anggota tubuh lainnya.

Sejak kita pe tau dunia jo, acara ini so ada. Kong asal ngoni samua tau, dulu kita waktu kacili kalu ada arak-arakan bagitu, biar mo baku injang deng orang yang lebe basar, kong tagepe diantara orang orang yang depe badan lawang-lawang boke budo, kita tetap musti cari lia itu arak-arakan.
Kalu dari kita pe masa kacili itu tapikong so ada, muncul pertanyaan, mulai kapan so tu tapikong ada di Manado ? Untuk mo tau hal ini, torang musti bale ulang jaoh ke belakang, ke masa lalu.


Mulai tempo apa Orang Cina so ada di Manado ?

Di Desa Paso, sekitar danau Tondano pernah di temukan keramik Cina yang berasal dari jaman dinasti Tang, abad ke 7 Masehi. Penemuan ini sungguh mengejutkan, mengingat betapa tuanya usia keramik tersebut, serta lokasi penemuan Keramik cukup jauh dari Laut. Hal ini menujukkan bahwa pada saat itu, so ada interaksi antara Orang Minahasa deng Orang Cina. Hanya saja, belum dapat disimpulkan secara rinci, apa bentuk interaksi tersebut. Yang jelas keramik tersebut menujukkan adanya kehadiran Orang Cina di tanah Toar-Lumimu’ut pada jaman dulu.

Pada tahun 1521, waktu bangsa Portugis mendarat di pulau Manado

Tua kong minta bantuan orang Babontehu for mo antara pa dorang bakudapa deng kepala walak Wenang ; Dotu Ruru-Ares, dorang so so dapa lia banyak perahu Jung Cina berada di teluk Manado. Bahkan dari pelau Cina-lah orang Portugis dapat mengetahui letak Makao dan menemukannya pada tahun 1523.

Setelah itu, Spanyol kase badiri kantor dagang (Loji) di Wenang yang berlokasi di pasar 45 sekarang (Pasar Jengky), atas ijin kepala Walak Wenang yang waktu itu so dijabat Dotu Lolong Lasut. Lantaran so ada kantor dagang Spanyol, maka pedagang Cina mulai kase badiri dorang pe rumah disekitar kantor dagang itu. Sebelumnya, baik pedagang Cina maupun Portugis dorang batimbun dorang pe barang dagang di pulau Manado Tua (Manaro), yang waktu itu lebeh populer dikalangan Spanyol-Portugis daripada Wenang (sekarang ini Manado).

Tahun 1679 waktu VOC Belanda beking perjanjian dengan Minahasa di Benteng Belanda di Manado (Pasar Jengky sekarang) saat itu so ada pawai-pawai adat Minahasa. Gubernur Belanda Robertus Padtbruge dalam depe laporan tentang Minahasa “Bewoners der Minahasa” tahun 1679, hlm. 217, bilang bahwa, Prajurit Tradisional Minahasa samua bapake gelang logam bergemerincing, kalong kulit kerang, deng suara Tambor yang depe ribut, minta ampuuun..!

Setelah orang Minahasa banyak yang menganut agama Kristen, kong pemerintahan VOC Belanda so beralih pa pemerintah Hindia Belanda, mulai muncul pawai Pigura for acara tutup taong deng pawai Lampion for ulang taong Raja Belanda. Salah satu pawai yang paling menarik yang ada waktu itu adalah “Tapikong” yang di adakan selama dua minggu oleh orang-orang Cina di Manado, for mo rayakan hari raya Imlek. Uniknya, pada abad 17, samua pawai upacara di kota Wenang Manado, selalu di dahului oleh barisan prajurit tradisional “Kabasaran” sebagai pembuka jalan. Hal ini membuktikan bahwa waktu itu, antara budaya Minahasa deng Etnis Kawanua, bisa melebur, dalam artikata, upacara nyanda bajalang sendiri-sendiri, melainkan bersamaan. Sangat disayangkan kalu saat ini Kabasaran deng Tapikong bajalang sandiri-sandiri.

Sekarang kita kembali kemasa kini, dimana kalu dulu pawai diadakan for merayakan sesuatu, sekarang, selain untuk merayakan dapat pula dijadikan obyek wisata yang menarik, yang bisa mendatangkan keuntungan bagi banyak pihak di Sulawesi Utara. Pawai tapikong deng depe “Ince Pia” (Tan Chi) boleh mo jadi nilai positif for pariwisata sulawesi Utara, apabila dikelola dengan baik oleh instansi terkait. Banyak turis lokal dari Cina Makassar

No comments:

Post a Comment