BALRALROGODO
DAN UHEYTINENDEN
Tersebutlah di sebuah pemukiman tua
sekelompok leluhur masyarakat Bantik bernama Pulrisan (Pulisan) paska evakuasi
tenggelamnya sebuah pulau (Panimbulran) di kepulauan Porodisa (SATAL). Negeri
Pulisan didirikan oleh keluarga-keluarga yang dipimpin oleh para leluhur
masyarakat Bantik yang terkenal seperti Lrobogia (Lombogia), Maidangkai
(Mailangkay), Sumalroto (Sumaryoto), Sigaha (Sigar), dan Mainalro (Mainalo).
Makin besar jumlah penduduk negeri Pulisan
itu dan segera terkenal kemana-mana. Pada jaman dahulu, di perkampungan
Pulrisan terdapat satu keluarga yang mempunyai dua anak kakak-beradik. Yang
sulung adalah pria bernama Balralrogodo dan yang bungsu adalah wanita bernama
Uheytinenden, yang biasa disebut Uhey. Sejak kecil sampai meningkat dewasa,
keduanya selalu jalan bersama ke mana saja, tak pernah berpisah sekalipun. Karena
ayah kandung mereka telah tiada dan yang mengurus serta memelihara mereka
tinggal ibu semata.
Sebagai seorang pria yang satu-satunya dalam
keluarga tersebut, Balralrogodo telah berperan sebagai ayah bagi anggota
keluarga, mencari nafkah membantu ibunya dalam menghidupi mereka. Namun dalam
pelaksanaan pekerjaannya, Balralrogodo selalu disertai oleh adiknya Uhey.
Menjelang dewasa, dari hari kehari Uheytinenden
tampil semakin menawan, dan tentunya menggairahkan setiap pandangan mata pemuda
di perkampungan tersebut. Uhey merupakan satu-satunya gadis yang tercantik di
perkampungan Bantik itu. Walaupun sudah dewasa, kakak-beradik ini selalu
bermain bersama baik menjelajahi hutan, mandi/berenang di laut maupun bergaul
dalam perkampungan.
Pernah terjadi tatkala berjalan-jalan di tepi
pantai kaki Uhey tertusuk duri sehingga kakaknya Balralrogodo harus menggendong
pulang ke rumah mereka. Suatu saat datanglah pinangan keluarga seorang pemuda
kepala suku masyarakat Bantik dari wilayah Mandolrang. Pinangan kawin untuk
Uhey diterima keluarganya dan perkawinan segera akan dilangsungkan.
Sementara itu tampak kelihatan tanda-tanda
aneh bahkan perasaan yang menyimpang walaupun disembunyikan kakaknya Balralrogodo
terhadap adiknya Uhey menjelang hari bahagianya itu. Karena usianya yang sudah
pantas untuk berumah tangga, Balralrogodo sering ditawari ibunya untuk memilih
dan mengawini salah satu gadis yang terdapat di perkampungan tersebut, tapi
selalu ditolaknya.
Lama-kelamaan bagai serangga menghisap nektar
bunga, timbullah rasa cinta dan nafsu birahi yang membara dari Balralrogodo
atas adiknya Uhey. Karena Uhey telah dipinang oleh pemuda lainnya, maka
pergaulan dan keakraban kakak-beradik ini sebagaimana biasanya merenggang.
Bahkan ada kalahnya Balralrogodo mengalami kesulitan untuk bercengkrama secara
bebas dengan adiknya, terutama ketika orangtua bersama calon suaminya berada di
rumah untuk mempersiapkan perkawinannya.
Suatu hari tatkala tak ada orang di rumah,
Balralrogodo mempergunakan peluang ini untuk menemui Uhey di kamarnya.
Balralrogodo berkata : “Uhey, tak lama lagi kita akan berpisah sehingga kumohon
agar kau memenuhi permintaanku yang terakhir”. Apa permintaanmu itu kak ? tanya
Uhey. Kakaknya menjawab : permintaanku ialah ”bolekah engkau meminyaki rambutku
ini, sebab tak lama lagi engkau akan menjadi milik orang lain”. Uhey bertanya
lagi : bagaimana caranya ? “Kau minyaki rambutku diatas pahamu” demikian kata
Balralrogodo. Uhey terperanjat dan curiga pada kakaknya, namun ia tidak kuasa
pula untuk menolak permintaan kakaknya. Karena kepalanya diolesi minyak di atas
paha Uhey, keadaan ini telah memicu hawa panas-dingin birahi Balralrogodo
memuncak di mana akhirnya ia tidak dapat kuasai lagi dan menyetubuhi Uhey yang
lagi tidak berdaya itu.
Kesucian adiknya berhasil direngutnya. Setelah
sadar dengan keadaan kritis dan perbuatan yang tidak sepantasnya mereka
lakukan, Uhey melompat dan berpegang pada tiang raja (pahumpung) dalam
rumah tersebut dan berseru : “Paka tanga-tangada’ kumu sumpung su huang
Balrey !, kinabua te bo kaselrei-selrei ngkumu kalrimu
kami; pangkelreanku su Mabu Makanayang bo su Makabalrang, dingan
nu hangan-hangan gagudang, bo kidusu’ tumpan nao pakatanga-tangada, ka iya
puyun toumata kahambata, bo tumpa nai hudanu su dunia, pangkelrean ku
dumulru kumilra, dingan kami dua pahuntia su tanpa ne, mualri batu”. (Terjemahan
bebas artinya : “Hai malaikat penjaga rumah! Sungguh kamu telah melihat
dan menyaksikan perbuatan kami berdua, olehnya kumohon dan pinta
pada Dewata Raja Mahabesar dan Maha Kuasa serwa sekalian alam,
dan para malaikat penjaga empat penjuru angin serta arwah leluhur.
Datanglah semuanya..!!! Bahwasanya kami keturunan dari orang Kayangan yang
didatangkan di bumi. Datanglah anda semua, turunkanlah kilat, petir, dan
halilintar. Pisahkanlah kami berdua dan buatlah kami menjadi batu”). Seketika
langit bagai dibelah, bumi bagai diobrak-abrik, halilintar dan petir sambung-menyambung,
semuanya tak dapat dikendalikan lagi. Semburan api dan kilat petir
menyambar tempat tinggal bersama kedua kakak beradik itu. Di mana tanah tempat
kediaman mereka terbelah dan longsor (na pulrisi) diterjang badai serta merta
mereka terhempas ke dalam laut pesisr.
Kedengaranlah tangisan kematian (Lrumolro)
sekitar pesisir perkampungan Pulisan, tangisan yang berbarengan dengan
menjelmanya Balralrogodo dan Uheytinenden menjadi ke-2 batu. Balralrogodo yang
disebut orang sebagai “Batu Lelaki” yang sedang memegang sebuah Pahigi (pisau),
dan Uhey menjelma menjadi sebuah batu yang disebut “Batu Perempuan” sambil
berkerudung tutup kepala dengan Tohong (tolu).
Menurut cerita warga masyarakat Pulisan, perairan
laut tempat kedudukan ke-2 batu tersebut, akhir-akhir ini menjadi angker
dan menyeramkan, bila pengunjungnya ribut-ribut atau melakukan keonaran. Sehingga
berdasarkan kepercayaan mereka, perahu nelayan yang sedang berlayar bila
melintasi tempat itu pantang gaduh, harus tenang, sebab ombak akan menggila dan
datanglah pula malapetaka.
Inilah cerita tentang perempuan keramat
(Kahambata) yang pintanya berdoa (Makiunabiti) dijawab oleh Dewata. Berikut ini
dapat dibaca berupa syair tangisan Balralrogodo ketika tragedi besar tu terjadi, yang dalam adat masyarakat Bantik
disebut “Lrumolro” (melantunkan kidung kematian). Balralrogodo : “Oh
yu ku ka’asi kadiman Uheytinenden, ka ia bo napa kabua-buanu ken, adiei ia
lrupa-lrupanen (artinya : Hai adikku sayang Uheytinenden, kerena keadaanku
masih dapat kau pandang, maka sudilah kiranya engkau tidak melupakanku). Demikian
pula tangisan Uhey : “Oh do ku kalroku Balralrogodo, ka ikau ia nualri te
kagagioku inggie ” (artinya : kasihan saudaraku Balralrogodo, aku sudah
jadi begini karena kau jualah sebabnya).
Demikianlah tragedi kisah ini, terpatri secara
turun-temurun dalam kehidupan masyarakat Bantik di negeri Pulisan. Dimana
perkampungan para leluhur tersebut menyandang nama ”Pulisan” yang berasal
dari peristiwa ”Tanah Na Pulrisi” (artinya dalam bahasa Bantik tanah
terbelah dan longsor terhempas kedalam laut) karena diterjang badai topan
sebagai akibat dari perbuatan asusila dari kedua kakak-beradik tersebut. (dikisahkan
kembali oleh J. Koapaha)
Situs Slot Online
ReplyDeleteCara Bermain Slot
Movie