(BIOU
NI DUMUSUMABINGI)
Dumusumabingi menyandang namanya dalam kata
dan arti Bantik, yakni “ Si Semerbak Wangi”. Karena memiliki postur tubuh
atletis yang tinggi kekar, memiliki dada yang bidang, pemuda yang tampan nan
kulit putih berambut panjang ini, selalu memancarkan bau yang wangi ketika
berpapasan atau berada ditengah-tengah pergaulan sekampungnya.
Pemuda Dumusu dikatakan memiliki dada yang
bidang, sebab ketika pemuda ini lagi berbaring (tidur) dengan posisi miring di atas Bangku
Malrompada (dipan lebar), maka seekor kucing dapat dengan leluasa melewati
rongga yang tercipta di bagian ketiak antara tubuh dan dipan tempat
pembaringannya. Selain sangat tampan, pemuda ini rajin membantu orang tuanya, suka
menolong sesama dan terkenal pemberani (kohotey).
Sehingga ia memperoleh sebuah predikat di
kampungnya sebagai ”Kohotey Banti”. Olehnya, Dumusu sering dikerumuni
gadis-gadis cantik, bahkan sangat diminati untuk menjadi suami oleh hampir
setiap anak gadis yang ada di kampungnya.
Pada jaman purbakala, sifat homo-homini lupus
para leluhur masyarakat Bantik sama halnya dengan keturunan dari nenek moyang
Tou Minahasa lainnya, yakni sering terlibat dengan suatu perkelahian atau
peperangan kelompok. Dalam peperangan ini terjadi tindakan saling bunuh-membunuh
dan membinasakan diantara mereka karena berbagai penyebab. Ada yang disebabkan
karena memperebutkan suatu tempat yang memiliki sumber penghidupan yang
bernilai tinggi (misalnya sarang burung walet), ada yang disebabkan karena
persoalan batas teritorial, dan ada yang disebabkan karena sifat persaingan
ras/kelompok dengan istilah homo-homini lupus (artinya merupakan
proses seleksi alam di mana satu ras dapat mempertahankan hidup hanya dengan
mengorbankan atau melenyapkan ras yang lain).
Pergi berperang secara kelompok, dalam bahasa
Bantik disebut ”Mako Mahisakulru” atau ”Mabukuan” atau ”Maneke” di
suatu medan laga tertentu. Medan laga bisa saja di tempat pemukiman musuh. Berdasarkan
mitologi Bantik dalam hal berperang, para leluhur menanamkan suatu tradisi
dan semboyan spirit atau yel-yel dengan kalimat ”Banti Taya Mababata”, yang
artinya: Bantik tidak pernah kalah. Hal ini terjadi karena sebelum mereka pergi
berperang, para pemangku jabatan lembaga adat Bantik seperti : Lrelrean,
Talrenga, Balrian, dan Mogandi (Panglima Perang), selalu menyelenggarakan
suatu upacara adat untuk bertanya dan mendapatkan jawaban dari para Empung
Penguasa Jagat Raya.
Tugas dari Lrelrean (Lelean), yakni
mendatangi suatu tempat keramat sekelompok leluhur sakti yang
terdapat di ujung kampung. Bila dari dalam tempat keramat tersebut
dikeluarkan busa berwarna merah, artinya rencana/program Mahisakulru telah
direstui dan pasti akan mengalami kemenangan. Bila busa yang keluar adalah
berwarna putih, maka rencana Mahisakulru tersebut harus dibatalkan atau
ditunda, sebab pasti akan mengalami kekalahan. Selain ini ada lagi yang
harus didengar dari Talrenga, yang tugasnya ialah mendengar suara burung
Bantik, apakah itu bunyi suara Manguni pada malam hari atau bunyi
suara burung Bahakeke pada siang hari. Suara burung ini sebetulnya
merupakan suatu konfirmasi dari hasil yang diperoleh Lrelrean, dan biasanya hal
ini harus diperhatikan saat-saat atau ketika berada dalam perjalanan
Mahisakulru.
Upacara adat Bantik untuk memperoleh petunjuk
kemenangan atau kekalahan dimaksud, menjadikan para leluhur selalu mengalami
kemenangan dalam peperangan atau pertempuran apapun. Sebab bila petunjuk yang
diterima adalah suatu kekalahan, maka jelas mereka tidak akan berani Mako
Mahisakulru. Atas petunjuk para Empung ini, mendasari lahirnya semboyan para
leluluhur Bantik, yaitu : ”Banti Taya Mababata”.
Sekali waktu Potuosan (Pemimpin Kelompok)
perkampungan di mana Dumusumabingi tinggal, mengumumkan suatu palakat
bahwa kampung mereka akan menghadapi ”Mabukuan” (Mahisakulru), di mana semua
kaum pria diminta siap sedia dan ikut dalam pertempuran tersebut. Setelah
Lrelrean melaksanakan tugasnya (melangsungkan upacara adat), memperoleh
petunjuk bahwa mereka akan menang dalam Mabukuan tersebut. Karena tempat
Mabukuan agak jauh, maka semua pria termasuk pemuda Dumusu berangkat menjelang
malam dengan perhitungan mereka akan tiba dan menyerang sasaran menjelang pagi
hari.
Senjata perang Dumusumabingi adalah sebuah
tangkung (semacam samurai) dan sebuah tombak yang di ujungnya dipasang
golrong-golrong (bunyi-bunyian golong). Namun di tengah jalan, burung Manguni
berbunyi dengan memberi petunjuk suara bahwa pertempuran tersebut hanya bisa
dimenangkan oleh mereka yang telah berusia lanjut. Berdasarkan suara Manguni
itu, Talrenga memberi nasehat/petunjuk pada Mogandi (Panglima Perang), agar
mereka-mereka yang masih tergolong usia muda (termasuk Dumusumabingi) tidak
diperkenankan untuk ikut dalam medan laga tersebut.
Pada malam itu juga dipulangkanlah Dumusu
bersama teman-teman seusia mudanya yang lain. Keesokan harinya (cewek-cewek
penggemar Dumusu yang notabene tidak tahu-menahu dengan pokok persoalan),
gadis-gadis yang ada di kampungnya merasa kaget melihat Dumusu yang tinggal
di kampung dan tidak ikut dalam rombongan peperangan tersebut. Sehingga
mereka mengeluarkan kata-kata olokan dan sindiran padanya sebagai berikut : “Ulri
ka Kapuna Kohotey, Tou Matalrou kute” (artinya dalam bahasa Indonesia
: “Katanya Pemberani, Tapi Ternyata Seorang Pengecut/Penakut”). Karena
merasa tersinggung dan malu dengan kata-kata sindiran para gadis tersebut, akhirnya
Dumusu dengan senjata Tangkung (sejenis samurai) dan Bongkou (Tombak) ditangan
berangkat sendirian pergi menyerang musuh.
Pada sore hari, kelompok yang pergi Mabukuan
tersebut telah kembali dengan kemenangan (artinya tidak seorangpun dari anggota
kelompok yang tergores atau luka sekecilpun oleh senjata musuh), namun
tidak berpapasan (tidak ketemu) dengan Dumusu di jalan. Menjelang makan malam,
kakak pria tertua keluarga Dumusu di antara anggota keluarganya, bertanya :
mana Dumusu? Karena kebiasaan anggota keluarga dalam rumah tersebut selalu
lengkap bila melangsungkan makan malam bersama. Dijawab oleh adik-adiknya
tidak tahu.
Sewaktu sedang berbaring di atas tempat
tidur, kakak pria tertua Dumusu yang juga baru saja kembali dari Mabukuan
tersebut, terkejut setelah mendengar suara golong-golong Tombak Dumusu
yang melengking tinggi dengan ritme cepat yang dikenalnya sebagai bunyi
dari senjata perang adiknya Dumusu. Berkatalah Kakak tertua Dumusu (yang
sudah berkeluarga) pada istrinya bahwa adiknya sedang terlibat dengan perang sengit
sendirian melawan musuh kampung mereka. Semua anggota keluarga dalam rumah
tersebut (termasuk ayah dan ibu kandung Dumusu yang sudah renta) akhirnya
dibangunkan (semalam suntuk yang diterangi bulan purnama mereka sudah tidak
lagi tidur) di mana mereka kumpul bersama dalam beranda rumah sambil mengikuti
(mendengar) lengkingan suara senjata perang Dumusu. Menjelang pagi hari, ritme
dengungan bunyi golong-golong pada tombak Dumusu makin lambat dan makin
memudar. Berkatalah ayah kandung Dumusu (dalam bahsa Bantik) :“Madadiha Te I
Tuadi Nu” Setelah fajar menyingsing, bunyi golong-golong senjata
Dumusu kedengarannya tinggal satu-satu.
Sehingga kakak Dumusu yang tertua (setelah
mendapat persetujuan orangtua kandungnya) segera memperlengkapi dirinya dengan
senjata perangnya untuk menyusul adiknya yang lagi kepayahan di medan laga
tersebut. Sesampainya di tempat Mahisakulru (medan laga), kakaknya
menyaksikan ratusan tubuh mayat musuh berserahkan di mana-mana sebagai korban
kedahsyatan senjata adiknya. Juga didapatinya, Dumusu ternyata sudah tidak
dapat bergerak secara leluasa karena tubuhnya sudah tidak dapat berdiri tegak
sebab salah satu kakinya “Kinabintusu” (telah terjerat oleh tali musuh
yang sangat sulit diputuskan). Walaupun sudah dalam keadaan pincang dan posisi
bertahan, kedua tangannya yang kekar masih terus memainkan senjatanya dan
satu-dua korban terus berjatuhan bila musuh mendekatinya. Juga walaupun
pakaiannya telah compang-camping terkena senjata musuh, namun pada badannya
hanya terdapat satu goresan pada bagian lutut kaki yang telah terjerat
tersebut. Kakaknya berkata : Ah,.. Ikau Madadiha Te (artinya : engkau
sudah kepayahan), dan langsung menawarkan bantuannya tapi ditolak oleh Dumusu.
Pihak musuh juga mengira bahwa kehadiran seseorang (yang notabene adalah kakak
kandung Dumusu) itu akan diikuti oleh yang lain sebagai anggota pasukan yang
siap datang membantu Dumusu.
Sehingga pasukan musuh surut beberapa meter
ke belakang dan tidak menyerang kakak-beradik tersebut. Sebab mereka pikir, untuk
mengalahkan seorang pemuda saja sudah sangat sulit apalagi sudah
ketambahan yang lain. Pihak musuh terus mengamat-amati perkembangan
situasi dan percakapan Dumusu dengan seseorang yang baru datang tersebut. Kakaknya
telah tawarkan bantuan untuk memutuskan jerat pada kaki Dumusu dan mengajak
adiknya untuk pulang, tapi semuanya ditolak oleh Dumusu. Kata Dumusu pada
kakaknya, bahwa tidak mungkin ia akan kembali berada di tengah masyarakat dan
keluarga di kampungnya dengan membawa bekas jeratan tali musuh di kakinya dan
goresan senjata musuh pada lututnya. Hal ini merupakan sesuatu yang
memalukan dikalangan leluhur masyarakat Bantik. Sebab berdasarkan mitologi
dan tradisi Bantik, orang-orang yang dipersiapkan untuk pergi Mahisakulru
jangankan hanya tergores atau luka sekecil apapun. Bahkan bila seutas rambutpun
terputus oleh senjata musuh, maka secara adat itu dianggap memalukan
sehingga yang bersangkutan tidak boleh atau malu untuk kembali pulang ke
kampung halamannya. Yang bersangkutan dianggap kalah dalam peperangan, sehingga setibanya di
kampung, Mogandi (Panglima Perang) cukup hanya (tanpa berkata sepata katapun)
dengan melempar sebatang Kumunou (daun woka kering) ke atas atap
rumah keluarga yang bersangkutan.
Dengan demikian, pihak keluarga penghuni
rumah tersebut mengetahui bahwa anggota keluarganya yang ikut dalam kelompok
Mahisakulru telah gugur di medan laga. Hal ini menunjukkan jiwa kesatria
dan tradisi turun temurun dalam kehidupan leluhur masyarakat Bantik yang
dipersiapkan sebagai anggota pasukan yang ikut Mahisakulru atau Mabukuan pada
jaman dahulu. Artinya mereka lebih memilih mati ketimbang hidup menanggung malu
karena mewarisi cerita ”mengalami luka ketika ikut kelompok Mahisakulru”.
Dumusu meminta kakaknya untuk segera pulang
ke kampung halaman mereka, karena Dumusu sendiri telah berketetapan untuk
menyerahkan kematiannya pada pihak musuh, yakni siap diperlakukan sesuai dengan
apa yang mereka inginkan. Kata Dumusu: ini sudah merupakan suratan
takdirnya. Kemudian kakak beradik tersebut berpelukan sambil menangis, dan dengan
suasana yang sangat mengharukan Dumusu meminta kakaknya untuk menyampaikan
mohon maafnya pada Lrelrean, Talrenga, Mogandi, dan Orangtua/Keluarganya
(termasuk pacarnya) karena Dumusu sadar telah lakukan suatu kesalahan besar.
Sebab telah melawan adat-istiadat, yaitu
dengan diam-diam bahkan tanpa sepengetahuan dan seijin Mogandi pergi menyerang
musuh seorang diri. Karena merasa malu/tersinggung oleh kata-kata olokan
gadis-gadis di kampungnya (yang notabene sirik terhadap pacarnya dan bahkan
tidak mengetahui perintah/petunjuk Mogandi/Talrenga bahwa Mabukuan ketika
itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang dewasa dan bukan untuk orang-orang
muda seperti halnya Dumusu). Kakaknya tidak langsung pulang meninggalkan
medan laga tersebut tapi surut bersembunyi sebab ingin menyaksikan apa yang
akan diperbuat oleh pihak musuh terhadap adiknya Dumusu.
Kemudian ia mendengar permintaan adiknya pada
pihak musuh, agar segera menghampirinya untuk mengakhiri hidupnya. Kemudian
pimpinan perang musuh mendekati Dumusu setelah Dumusu telah letakkan senjatanya
jauh-jauh dan dengan keadaan pasrah menundukkan kepalanya, pertanda rela untuk
dieksekusi. Selanjutnya pimpinan musuh itu mengangkat pedang terhunus
dan memenggal dengan muda kepala Dumusu. Setelah kepala Dumusu terpisah
dari badannya, bergemuruhlah teriakan yel-yel kegirangan pihak musuh.
Sebab bukan sedikit (ratusan) korban yang jatuh di pihak musuh akibat terjangan
kedahsyatan senjata pemuda sakti Dumusumabingi. Yang sudah semalaman
dan menjelang siang hari bertempur namun belum juga terkalahkan walaupun
hanya seorang diri.
Selanjutnya kepala Dumusu dengan rambut
kepalanya yang panjang diikatkan pada sebatang kayu dan dipikul oleh 2 (dua) orang,
sambil pihak musuh kembali ke kampung halamannya. Setelah musuh meninggalkan
medan laga, kakak Dumusu segera menggali lubang dan menguburkan tubuh adiknya
yang sudah tak berkepala itu.
Bahkan menurut mitologi Bantik, kepala Dumusu
ini masih sempat menyerang dan membunuh 2 (dua) orang pemikulnya dengan menggigit
putus kemaluan (penis dan buah pelir) mereka. Setiba mereka di kampung halaman, kepala
Dumusu digantung di belakang rumah milik kepala perang musuh yang tidak jauh
dari beberapa Kakepotan (tempat bertelurnya ayam) yang ada disitu. Pada
keesokan harinya, didapati bahwa kepala Dumusu telah memagut
mati dan makan semua ayam dan telur yang ada di semua Kakepotan tersebut. Menyaksikan
hal itu akhirnya pimpinan perang musuh itu jengkel dan marah sekalian kuatir
jangan-jangan akan ada lagi jatuh-korban sehingga mereka memutuskan agar kepala
Dumusu harus dibelah menjadi 2 (dua) bagian.
Setelah dibelah, bagian kepala Dumusu menjadi Kiokioko (burung
elang) sedangkan otak kepalanya berhamburan menjadi Patiukan (Opu
Babi Merah). Jadi berdasarkan mitologi Bantik, orang Bantik percaya bahwa
Kiokioko (burung elang) yang sampai sekarang masih memangsa ayam peliharaan
musuh para leluhur Bantik pada jaman purbakala. Sedangkan Patiukan yang sering
juga menyerang dan menyengat orang sampai mati, diyakini pula oleh keturunan
leluhur masyarakat Bantik, yaitu merupakan penjelmaan penyerangan roh pemuda
sakti Bantik Dumusumabingi atas musuh-musuh mereka.
Demikianlah kisah riwayat pemuda perkasa
Dumusumabingi, yang telah ditokohkan dan diwariskan sebagai lambing kesatriaan
Bantik dalam kehidupan leluhur keturunan masyarakat Bantik sampai sekarang. Simak
kesatria darah asli Bantik ini yang mengalir pada seorang pemuda Bantik lainnya
yang eksis pada abad-20, yaitu Robert Wolter Mongisidi. Yang terkenal
dengan semboyan perjuangannya rela mengorbankan nyawanya dihadapan regu tembak
demi sesama rekan seperjuangannya dalam mempertahankan Kemerdekaan Bangsa
Indonesia melawan kolonialis Belanda, yakni: ”Setia Sampai Akhir Dalam
Keyakinan”. (Dikisahkan kembali oleh Ir. Joutje A. Koapaha, Phd).
No comments:
Post a Comment