SI PELAHAP
YANG TAK PERNAH KENYANG
ILUSTRASI FOTO KOMBANGEN |
Kombangen adalah kata Bantik yang berasal
dari akar kata Kombang, yang artinya tempat penampungan makanan yang masuk
ke dalam perut. Pada hewan ayam organ ini disebut Tembolok. Jadi arti dari kata
Kombangen adalah orang yang tidak pernah kenyang walaupun yang bersangkutan
telah makan sebesar apapun.
Tersebutlah di sebuah negeri Bantik di tanah
Malesung di mana terdapat sebuah keluarga yang hanya memiliki seorang putra
tunggal, yang kemudian diberi nama sebagai Kombangen. Sejak bayi ini
dilahirkan, telah menunjukkan keanehan pada diri Kombangen. Pertama, adalah perkembangan
tubuhnya yang sangat pesat, yang mana menyimpang dari pertumbuhan normal
sebagaimana bayi-bayi yang lain dalam perkampungan tersebut.
Kedua, walaupun telah diberi makan sebanyak
mungkin, semuanya akan dilahap habis oleh bayi tersebut. Anehnya pula
bahwa perut bayi tersebut tidak mengembang, tapi tetap biasa-biasa saja sebagaimana
normalnya perut bayi. Demikianlah, bayi itu menyandang namanya sebagai
Kombangen.
Setelah menanjak remaja, Kombangen mulai menyusahkan
dan mengkuatirkan ke-2 orangtuanya. Mengapa? Mereka mulai kehabisan sumber
penghasilan dan uang untuk menghidupi putra satu-satunya yang mereka cintai
tersebut. Sebab walaupun remaja ini diberi makan sebanyak : nasi 1 (satu)
liter, nasi 1 (satu) belangah besar, nasi 1 (satu) dandang, tetap saja
dianggapnya sebagai sarapan, karena tidak pernah merasa kenyang.
Bila keluarga dari Kombangen diundang untuk
menghadiri suatu pesta peringatan hari ulang tahun atau pesta syukuran karena
keberhasilan anggota keluarga, atau pesta perkawinan, maka selalu mendatangkan
heboh dan malu bagi orangtuanya. Sebab makanan pesta tersebut pasti akan
disantapnya habis. Sehingga acara-acara resepsi terkait selalu mendatangkan
kerugian dan malu bagi tuan pesta karena para tamunya pasti tidak akan
memperoleh layanan makanan yang memadai.
Akhirnya kepala suku perkampungan di mana
Kombangen tinggal mengeluarkan suatu aturan larangan baginya untuk diundang
atau hadir pada suatu pesta apapun yang diselenggarakan di kampung maupun
di luar kampung.
Setelah memasuki usia muda, orangtua
Kombangen makin lebih parah, bahkan telah jatuh miskin karena harta benda
mereka telah habis terjual dan tidak mampu lagi untuk menghidupi serta memberi makan
anak mereka. Kesedihan menyelimuti hati ke-2 orang tuanya, karena dengan
terpaksa mereka harus mengambil keputusan untuk mencari jalan bagaimana
membinasakan Kombangen.
Suatu hari, ayah Kombangen dengan Opasa (alat
pancing ikan) di tangan mengajak putranya untuk pergi memancing di sungai yang
banyak ikannya, lagi pula dihuni oleh banyak Sagudang (Buaya). Setelah sengaja
mengaitkan kailnya pada sebuah benda dalam sungai tersebut. Ayahnya
berkata pada anaknya : ”do udumai ken opasa ni Papa, ka napa naikai te su
hanga” (artinya : nak, tolong menyelam ke sungai karena mata kail papa sotagate
di cabang kayu dalam sungai itu”).
Kombangen tanpa piker panjang segera membuka
pakaiannya dan terjun ke dalam sungai. Disaksikan oleh ayahnya sendiri
bagaimana buaya-buaya ganas itu langsung menyergap tubuh Kombangen. Papanya pikir,
pasti anaknya itu telah binasa diperebutkan oleh buaya-buaya tersebut, sehingga
tanpa pikir panjang langsung meninggalkan sungai tersebut untuk kembali ke
rumahnya.
Sesampainya di rumah, pria paru baya ini
langsung bercerita pada istrinya, bahwa pasti rencana mereka sudah terkabul, karena
disaksikannya sendiri bagaimana Kombangen diterkam oleh buaya-buaya lapar dalam
sungai tersebut.
Tapi 5 (lima) menit kemudian, suami-istri itu
tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran Kombangen dari belakang rumah, yang sedang
memikul seekor buaya besar. Sambil berkata pada ibunya : ”Ma ite kinasa
nidingan ku, bote bo hinga ken ka iya kuman” (artinya : mama, ini ikan
yang saya bawah, tolong dimasak karena saya mau makan). Sambil meletakkan ikan
(buaya yang sudah mati) besar tersebut di atas para-para di ruangan dapur
rumah itu. Akibatnya rumah dari keluarga ini diserbu para tetangga untuk
menyaksikan hasil tangkapan Kombangen yang notabene menghebohkan seisi kampungnya.
Lantas ayah Kombangen selanjutnya menyusun
rencana lain untuk melenyapkan anak itu. Dengan sebuah ”Balriung” (Tamako)
ukuran besar tajam ditangan, berjalanlah ayah Kombangen dalam sebuah hutan
rimba yang tidak terlalu jauh dari perkampungan mereka, untuk mencari batang
pohon kayu besar yang telah disiapkannya untuk membunuh anaknya Kombangen. Kemudian
ayah Kombangen tebang/potong setengah bagian pohon kayu besar itu dengan
Balriung dan kembali ke rumahnya.
Keesokan harinya, ia mengajak anaknya untuk
pergi kehutan itu, dengan tujuan mencari kayu bakar untuk kebutuhan masak di
rumah mereka. Sesampainya di dekat pohon yang sedang ditebang ayahnya, Kombangen
disuruh ayahnya berdiri pada posisi di mana arah kayu besar itu akan roboh. Setelah
batang kayu besar itu tumbang, disaksikannya bagaimana kayu itu menghantam dan
membenamkan tubuh anaknya kedalam tanah.
Dipikirnya pasti Kombangen telah tewas. Dengan
tenang ayah Kombangen kembali ke rumah dan menyampaikan pada istrinya bahwa
misinya kali ini telah berhasil. Tapi baru saja mereka berkata-kata
sebentar, tiba-tiba sepasang suami-istri dan penghuni kampung itu dikejutkan
oleh suatu bunyi suara gemuruh yang dahsyat berasal dari arah hutan rimba.
Setelah dicek, ternyata bunyi gemuruh yang
hebat itu berasal dari cabang pohon-pohon yang patah bahkan pohon-pohon kayu
yang ikut tercabut karena digilas oleh sebatang kayu besar yang sedang dipikul
oleh seseorang. Sebab pohon kayu besar yang ditebang oleh ayah Kombangen dan
menimpah tubuhnya ternyata tidak dapat membunuhnya.
Bahkan batang pohon tersebut sedang dipikul Kombangen
bersama bagian cabang-cabangnya meluncur di atas permukaan tanah, sambil
menyapu bersih semua pohon-pohon yang dilaluinya, ikut terbawah Kombangen
berjalan kearah tempat tinggalnya. Maklum tempat tinggal Kombangen berada
di ujung kampong, sehingga tidak harus melewati/menggilas rumah-rumah
perkampungannya.
Setibanya di rumah dilepasnya pohon-pohon
kayu besar-kecil tersebut, di dekat rumahnya dan berkata pada ayahnya : ”Pa,
Ite te kayu pahinga eh” (artinya : Papa, inilah kayu bakar untuk keperluan
masak di rumah). Kembali tindakan Kombangen ini menghebohkan, bahkan menakjubkan
warga yang ada di kampungnya. Ternyata, Kombangen memiliki tenaga raksasa dan
kesaktian yang super hebat, karena hutan yang dilaluinya telah menjadi amblash
rata tanah, sebab pohon-pohon besar-kecilpun turut ikut tercabut dan
mengikutinya.
Akhirnya orangtua Kombangen berunding ulang
bagaimana caranya supaya anak yang mendatangkan kebangkrutan dan kesialan bagi
keluarga tersebut dapat disingkirkan. Keputusan diambil, yaitu dengan mengadu
Kombangen dalam suatu pertarungan/perkelahian para jagoan siapa saja atau
penguasa wilayah atau daerah tertentu yang diharapkan dapat mengalahkan,
bahkan membunuhnya.
Dengan persiapan bekal perjalanan seadanya, berkatalah
ayah Kombangen pada anaknya bahwa mereka berdua akan pergi merantau mencari
nafkah hidup karena kesusahan yang sedang menimpah keluarganya. Kombangen
memiliki seekor anjing jantan kesayangannya bernama ”Kohotei” (Korotei) yang
ikut dibawanya dalam perjalanan tersebut.
Setelah mengetahui bahwa di suatu daerah
tertentu terdapat seorang jagoan yang bergelar ”Si Raja Pedang”, maka ayahnya
meminta Kombangen untuk perang tanding dengan si jagoan tersebut. Setelah
bertarung ternyata Kombangen dengan mudah dapat mengalahkan jagoan tersebut. Selanjutnya
kedengaranlah pada ayah Kombangen bahwa di suatu daerah rimba raya pegunungan terdapat
seorang penunggu yang bersama pasukannya terkenal hebat dan sangat bengis
menjarah hasil kebun dan ternak masyarakat yang bermukim di daerah
tersebut.
Dibawalah Kombangen ke tempat tersebut untuk
diadu tanding dengan si penunggu gunung yang terkenal kehebatan dan
kejahatannya. Setelah bertarung, ternyata Kombangen berhasil mengalahkan
bahkan berhasil membunuh si jagoan pegunungan tersebut. Selanjutnya, Kombangen
memerintahkan anak buah si penunggu pegunungan itu untuk membagi-bagi hasil
rampokkan mereka dan kembali ke rumah masing-masing.
Terdengarlah pada ayah Kombangen bahwa di
sebuah pulau kecil tinggallah seorang bajak laut bersama pasukannya yang
terkenal hebat dan sangat ditakuti karena sering membunuh, menculik,
memperkosa anak gadis, dan merompak siapa saja yang diketemukannya terutama masyarakat
pesisir tanah Malesung.
Karena kesaktiannya, Si Penunggu Pulau tersebut
juga mendapat julukan Mamambenteng Lraodo (artinya si tukang
pemisah/benteng tubuh air laut). Dengan sampan kecil, ayah dan anak itu berhasil
mendarat di pulau tersebut. Selanjutnya, Kombangen disuruh ayahnya untuk
berkelahi dengan Si Mamambenteng Lraodo yang terkenal bengis itu. Dalam
perkelahian satu lawan satu itu Kombangen berada dalam keadaan sangat
terdesak dan hampir kalah, tapi tiba-tiba anjing kesayangannya ”Kohotei”
melompat dan menggigit Tabu (kemaluan Si Tukang Benteng Air Laut tersebut) sampai
putus sehingga akhirnya Kombangen berhasil pula membunuhnya.
Selanjutnya, bertanyalah Kombangen pada
ayahnya : bukankah kita telah memiliki banyak bekal berupa emas dan benda
berharga lainnya yang diambil ayahnya dari hasil jarahan dan rampokan si
Penunggu Gunung dan Pimpinan Bajak Laut di pulau tersebut? Mengapa kita tidak
pulang saja ke rumah? Rupanya Kombangen sadar dan tahu bahwa ayahnya menyuruh
Kombangen untuk berkelahi dan membunuh bukan karena tujuan untuk mencari nafkah
bagi keluarganya, tapi memang bermaksud untuk melenyapkannya.
Dengan perasaan hati yang berat akhirnya
ayahnya berterus terang mengakui bahwa apa yang dikatakan Kombangen itu benar, karena
orang tuanya sudah jatuh papah dan sudah tidak mampu lagi untuk memberi makan
padanya. Dengan sikap tegas Kombangen kemudian berkata pada ayahnya, bahwa biar
saja ayahnya kembali pulang sendirian ke rumah mereka. Sebab Kombangen sendiri
telah berketetapan untuk memisahkan diri dari orangtuanya atau menentukan jalan
hidupnya sendiri ke manapun langkah kakinya dibawa pergi oleh anjing
kesayangannya Kohotei.
Dengan bekal emas dan barang berharga
yang telah diperoleh ayahnya melalui perkelahian anaknya Kombangen, kedua ayah
dan anak tersebut saling berangkulan dengan tangisan air mata masing-masing dan
akhirnya mereka berpisah untuk selamanya.
Demikianlah suasana haru ini mengakhiri kisah
tentang Kombangen ”Si Tukang Pelahap Yang Tidak Pernah Kenyang”. (dikisahkan
kembali oleh J. Koapaha).