Tuesday, 18 November 2014

PETISI 31 MARET 1877 DI MINAHASA [3]

“KAULA ATAU SETERU”
Oleh : Yuda B. Tangkilisan



PETISI KEPADA MAJELIS RENDAH PARLEMEN NEGERI BELANDA

Sementara itu, suatu peraturan agraria tertanggal 8 Maret 1877 (Staatsblad 1877 no. 55 dan 55a) menyatakan bahwa tanah Minahasa adalah tanah pemerintah, sehingga hak untuk menyewakannya berada di tangan pemerintah. Cuma tanah yang dimaksudkan adalah tanah-tanah yang tidak dipakai oleh penduduk, seperti hutan.
Tiga bulan kemudian keluar kembali peraturan yangg mengatur ijin penyewaan tanah kepada orang non bumiputra. Peraturan itu (Staatsblad1877 no. 127) menguraikan pula beberapa syarat kepada penyewa serta prosedur, wewenang dan lamanya penyewaan tersebut.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda menanggapi petisi 31 Maret 1877 itu dengan menetapkan bahwa peraturan sebelumnya yang telah dikeluarkan tetap berlaku.
Jika dianalisa, peraturan agraris yang baru telah mempersempit pengertian milik kerajaan/pemerintah, dimana disebutkan bahwa tanah pemerintah adalah tanah-tanah yang belum dibuka/digarap (woeste gronden). Dan dalam prosedur penyewaan, kepala-kepala Minahasa juga mendapat tempat/bagian, dalam hal pengesahan.
Walaupun demikian, rupa-rupanya kepala Minahasa belum cukup puas dengn kebijaksanaan itu. Mereka kembali mengirimkan surat petisi. Sekali ini petisi dilayangkan kepada Majelis Rendah Negeri Belanda (Tweede Kamer).

Petisi itu berbunyi sebagai berikut :

Kami pikir, bahwa Yang Dipertuan Agung Gubernur Jendral tidak mengadakan peraturan yang demikian, apabila Residen Menado Swaving tersebut diatas, yang belum lama memerintah, tidak memberikan keterangan yang salah kepada Yang Dipertuan Agung mengenai daerah kami Minahasa atau mengenai kontrak-kontrak yang dibuat nenek moyang kami dengan pemerintah Belanda.
Apa kemungkinannya, atau berdasarkan apa tanah (daerah) kami Minahasa menjadi tanah pemerintah, kami tidak mengerti, terutama bila kami piker :

  1. Pada masa yang sudah berlalu 200 tahun, dalam waktu kami atau nenek moyang kami tidak sekalipun mendengar bahwa Minahasa adalah tanah atau milik pemerintah, terlebih lagi tiap residen dahulu tidak pernah menyatakan hal tersebut kepada kami;
  2. Pada isi kontrak yang dibuat nenk moyang kami dengan Pemerintah Belanda tertanggal 10 Januari 1679; 10 September 1699; 5 Agustus 1790; 13 Agustus 1791 dan pemerintah sementara Inggris tertanggal 13 September 1810;
  3. Pada jumlah bidang tanah yang dibeli pemeirntah Belanda dari kami atau nenek moyang kami atau rakyat mereka,
  4. Pada isi dokumen negara, yang mengandung pidato dari Residen Menado Jansen (yang memerintah Minahasa kurang lebih 6 tahun) yang ditujukan kepada kami tanggal 20 Agustus 1859 di Tondano, pada kesempatan mana dibagi-bagikan payung, dokumen negara mana dikirimkan kepada kami masing-masing oleh pemerintah Belanda sebagai cendera mata untuk disimpan sebagai barang pusaka keramat bagi anak-anak dan keturunan kami.
  5. Pada keputusan pemerintah tanggal 14 Januari 1866 no. 99 dan surat keputusan Residen Manado, van Deinse yang memerintah Minahasa kurang lebih 7 tahun, tanggal 8 April 1866 no. 49, dalam mana pengukur tanah F.W. Paepke diberi tugas untuk mengukur dan membuat daerah dari batas-batas distrik di Minahasa dengan upahnya dibebankan pada kas distrik karena tanah-tanah itu milik distrik;
  6. Pada surat dinas Residen Menado, van Deinse tersebut diatas, ditujukan kepada pemerintah tanggal 27 Juli 1866 no. 1416, dengan mana Yang Dipertuan (dengan menyerahkan surat permohonan tuan L.D.W.A. van Renedde van Duivenbode yang berisikan permintaan untuk menyewa sebidang tanah di Distrik Tonsea dari pemerintah, bahwa tanah-tanah di Minahasa sekian jauh bukan tanah negara dan ia milik rakyat distrik, dimana tanah itu terletak, dan . . . selanjutnya pada surat dinas Residen yang sama pula kepada pemerintah tanggal 25 Juli 1868 no. 1900, dalam mana Yang Dipertuan memberikan jawaban yang sama seperti tersebut diatas terhadap pertanyaan pemerintah kepadanya, malah dengan tambahan, bahwa pemerintah distrik yang bersangkutan berwenang penuh untuk menyewakan dan menjual tanah liar yang ada dalam distrik mereka, sebagaimana berulang kali terjadi pada masa dahulu.


Bahwa kami memang tidak boleh menentang keputusan Yang Dipertuan Agung Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tetapi menghormati dan memperhatikannya, namun hendak melihat apakah juga persoalan ini oleh Tuan yang dijunjung, mempertimbangkan dengan penuh keadilan.
O..! betapa riangnya, betapa besar terima kasih kepada tuan-tuan apabila oleh kerja sama tuan-tuan yang adil itu membahagiakan Raja Belanda yang kami junjung dan kasihi memerintahkan mencabut undang-undang mengani daerah kami Minahasa, seperti tercantum dalam Lembaran Negara 1875 no. 199 dan 199a dan Lembaran Negara 8 Maret dan 17 Juni 1877 no. 55 dan 127, agar Minahasa tetap tanah kami dan rakyat kami, sehingga kami dengan demikian mulai membuat kontrak-kontrak dengan pemerintah Belanda, lebih daripada itu juga agar kami dan bawahan kami dan raja-raja lain yang mendengar ini tetap memuji, menghormati dan memperhatikan kebaikan, keadilan, ketenangan dan kecakapan pemerintah Belanda.
Akhirnya kami mohon maaf sedalam-dalamnya dari tuan-tuan yang terhormat, apabila kami membuat kesalahan dengan langsung berhadapan dengan tuan-tuan atau apabila salah atau melanggar norma-norma yang ada.

Ya, kiranya Tuhan memberkati pekerjaan kami!
Dibuat dengan segala kerendahan hati.
Kepala-kepala yang memerintah Minahasa.

Diperkirakan bahwa surat ini dikirimkan setelah petisi pertama dijawab oleh pemerintah Hindia Belanda karena jawaban yang diberikan telah dicantumkan dan juga menjadi keberatan para kepala kembali. M.E.F. Ellout memperkirakan bahwa petisi itu dibuat sekitar Juni 1878. L. Adam hanya menyebutkan sepintas lalu, tanpa memberikan tanggal yang pasti.[20]
Sikap Majelis Rendah paling tidak dapat ditelusuri dengan pidato salah seorang anggota parlemen yang dikutip oleh MEF Ellout (MEFE):[21]

TUAN ELLOUT VAN SOETERWOEDE, TUAN KETUA!

Kepada Dewan ada surat yang diajukan oleh kepala-kepala Minahasa. Komisi peneliti surat-surat permintaan, menurut pendapat saya dengan cerdik menghindari dua bahaya dari usul yang menunjuk rasa tidak puas atas surat permohonan tersebut: pihak pertama campur tangan Dewan dalam masalah yang bukan wewenangnya, pada pihak lain berupa kealpaan dimana perhatian malah diberikan, sekarang atas cara kewenangan dan kepercayaan dari kepala-kepala pribumi, yang bertentangan atau tidak dengan peraturan yang berlaku menghubungi dewan.
Dewan menurut saya, tidak ada wewenang untuk mengadakan penilaian dalam masalah antara pemerintah Hindia dan Kepala-kepala pribumi, juga tidak dalam hal mengajukan suatu permintaan tertentu kepada menteri.
Sejauh saya dapat menilai permasalahan adalah pemerintah Hindia disini telah melaksanakan sesuai apa yang tertulis dalam peraturan umum dan dasar yang disetujui, sekalipun harus disesuaikan, bahwa dengan kealpaan dalam pelaksanaan oleh pejabat Hindia terjadi keraguan dalam hak dan wewenang kedua belah pihak.
“Saya berani berkata, ini untuk keterbukaan dan pemberian penjelasan, bahwa dengan usul komisi menunjuk ketidakpuasan, bukan berarti alpa dalam perhatian kepada kepentingan kepala dan rakyat pribuminya dan terlebih untuk bagian penduduk ini yang menyatu dengan kita oleh tali kekristenan, perhatian harus digandakan.
Tuan tahu, tuan ketua, bahwa ini hampir satu-satunya oasis Kristen di tengah-tengah kepulauan kita yang luas.
Malu bila dipikir, karena kealpaan orang tua-tua kita dan kita sendiri, sekarang sesudah 60 tahun kembali merasakan kenikmatan Tuhan. Disana bermukim rakyat Kristen sebagai buah dari penyebaran Injil, rakyat yang menonjol diantara yang lain dalam peradaban dan kesetiaan.
Sekarang saya berani tanpa melihat pengaudan yang menyatu dalam perasaan saya untuk mengajak Menteri dalam dua hal pokok.
Pertama, peraturan keadilan yang dibawakan kepada pemerintah Hindia dan diterima sepenuh hati, supaya sekali lagi memberi gaji yang telah dipikirkan (sekalipun pertama-tama ditolak oleh sebagian yang berwewenang) kepada kepala-kepala.
Kedua, supaya menggalakkan pelajaran bahasa Belanda dintara rakyat bersekolah, bahasa mana telah dikuasai oleh beberapa kepala dan bawahannya, untuk pelaksanaan hubungan dengan Belanda sambil membina pendidikan mereka.
Bila benar perkataan Karel V, bahwa orang sekian kali jadi manusia bila belajar mengerti banyak bahasa, dan orang akan mengaku, bahwa hal tersebut suatu bahasa yang sempurna dan lebih mematikan perkembangan ilmu dariapada menghidupkan.
Memang adalah pekerjaan penginjil Riedel yang pintar dan salah yang memasukkan bahasa Melayu ke sekolah daripada bahasa Alifuru; bahasa setempat; dengan mana dalam melaksanakan amanat suci dengan kemurahan Tuhan rakyat bertobat. Tetapi tidak ada hambatan untuk mengganti bahasa Melayu dengan bahasa Belanda.
Bila Menteri menambahkan dalam penerimaan murid sekolah unsur kekristenan, dengan mana dalam artikel baru “da Gida” bulan Mei, memberi kita harapan, sebagai kebebasan luas dan penghargaan, maka kepentingan yang besar dari Minahasa akan diperhatikan, dengan sendirinya disana akan terhenti pemujaan benda-benda yang disini tidak berlaku dan disana juga tidak perlu ada, dan Menteri.
Semoga kata-kata saya yang sederhana ini, menyadarkan Menteri dan juga kepala-kepala dan rakyat Minahasa, betapa anggota Dewan Rakyat Belanda selalu memperhatikan semua perbuatan pemerintah di dalam kepentingan rakyat yang setia dan warga bawahan dari pemerintah Hindia Belanda.
Jadi jelaslah sudah “nasib” daripada petisi kepada Majelis Rendah Parlemen Belanda. Ternyata sasaran yang dituju tidak tepat, namun untuk selanjutnya cukup memberikan dampak yang cukup dalam. Seperti misalnya pertimbangan pemberian gaji. Namun yang jelas dari akibat adanya petisi itu adalah masa jabatan Swaving yang singkat, hanya dua tahun.(Bersambung ke bagian 4)

No comments:

Post a Comment