“KAULA ATAU SETERU”
Oleh : Yuda B. Tangkilisan
PETISI KEPADA MAJELIS RENDAH
PARLEMEN NEGERI BELANDA
Sementara
itu, suatu peraturan agraria tertanggal 8 Maret 1877 (Staatsblad 1877
no. 55 dan 55a) menyatakan bahwa tanah Minahasa adalah tanah pemerintah,
sehingga hak untuk menyewakannya berada di tangan pemerintah. Cuma tanah yang
dimaksudkan adalah tanah-tanah yang tidak dipakai oleh penduduk, seperti hutan.
Tiga
bulan kemudian keluar kembali peraturan yangg mengatur ijin penyewaan tanah
kepada orang non bumiputra. Peraturan itu (Staatsblad1877 no. 127)
menguraikan pula beberapa syarat kepada penyewa serta prosedur, wewenang dan
lamanya penyewaan tersebut.
Gubernur
Jenderal Hindia Belanda menanggapi petisi 31 Maret 1877 itu dengan menetapkan
bahwa peraturan sebelumnya yang telah dikeluarkan tetap berlaku.
Jika
dianalisa, peraturan agraris yang baru telah mempersempit pengertian milik
kerajaan/pemerintah, dimana disebutkan bahwa tanah pemerintah adalah
tanah-tanah yang belum dibuka/digarap (woeste gronden). Dan dalam
prosedur penyewaan, kepala-kepala Minahasa juga mendapat tempat/bagian, dalam
hal pengesahan.
Walaupun
demikian, rupa-rupanya kepala Minahasa belum cukup puas dengn kebijaksanaan
itu. Mereka kembali mengirimkan surat petisi. Sekali ini petisi dilayangkan
kepada Majelis Rendah Negeri Belanda (Tweede Kamer).
Petisi
itu berbunyi sebagai berikut :
Kami
pikir, bahwa Yang Dipertuan Agung Gubernur Jendral tidak mengadakan peraturan
yang demikian, apabila Residen Menado Swaving tersebut diatas, yang belum lama
memerintah, tidak memberikan keterangan yang salah kepada Yang Dipertuan Agung
mengenai daerah kami Minahasa atau mengenai kontrak-kontrak yang dibuat nenek
moyang kami dengan pemerintah Belanda.
Apa
kemungkinannya, atau berdasarkan apa tanah (daerah) kami Minahasa menjadi tanah
pemerintah, kami tidak mengerti, terutama bila kami piker :
- Pada masa yang sudah berlalu 200 tahun, dalam waktu kami atau nenek moyang kami tidak sekalipun mendengar bahwa Minahasa adalah tanah atau milik pemerintah, terlebih lagi tiap residen dahulu tidak pernah menyatakan hal tersebut kepada kami;
- Pada isi kontrak yang dibuat nenk moyang kami dengan Pemerintah Belanda tertanggal 10 Januari 1679; 10 September 1699; 5 Agustus 1790; 13 Agustus 1791 dan pemerintah sementara Inggris tertanggal 13 September 1810;
- Pada jumlah bidang tanah yang dibeli pemeirntah Belanda dari kami atau nenek moyang kami atau rakyat mereka,
- Pada isi dokumen negara, yang mengandung pidato dari Residen Menado Jansen (yang memerintah Minahasa kurang lebih 6 tahun) yang ditujukan kepada kami tanggal 20 Agustus 1859 di Tondano, pada kesempatan mana dibagi-bagikan payung, dokumen negara mana dikirimkan kepada kami masing-masing oleh pemerintah Belanda sebagai cendera mata untuk disimpan sebagai barang pusaka keramat bagi anak-anak dan keturunan kami.
- Pada keputusan pemerintah tanggal 14 Januari 1866 no. 99 dan surat keputusan Residen Manado, van Deinse yang memerintah Minahasa kurang lebih 7 tahun, tanggal 8 April 1866 no. 49, dalam mana pengukur tanah F.W. Paepke diberi tugas untuk mengukur dan membuat daerah dari batas-batas distrik di Minahasa dengan upahnya dibebankan pada kas distrik karena tanah-tanah itu milik distrik;
- Pada surat dinas Residen Menado, van Deinse tersebut diatas, ditujukan kepada pemerintah tanggal 27 Juli 1866 no. 1416, dengan mana Yang Dipertuan (dengan menyerahkan surat permohonan tuan L.D.W.A. van Renedde van Duivenbode yang berisikan permintaan untuk menyewa sebidang tanah di Distrik Tonsea dari pemerintah, bahwa tanah-tanah di Minahasa sekian jauh bukan tanah negara dan ia milik rakyat distrik, dimana tanah itu terletak, dan . . . selanjutnya pada surat dinas Residen yang sama pula kepada pemerintah tanggal 25 Juli 1868 no. 1900, dalam mana Yang Dipertuan memberikan jawaban yang sama seperti tersebut diatas terhadap pertanyaan pemerintah kepadanya, malah dengan tambahan, bahwa pemerintah distrik yang bersangkutan berwenang penuh untuk menyewakan dan menjual tanah liar yang ada dalam distrik mereka, sebagaimana berulang kali terjadi pada masa dahulu.
Bahwa
kami memang tidak boleh menentang keputusan Yang Dipertuan Agung Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, tetapi menghormati dan memperhatikannya, namun hendak
melihat apakah juga persoalan ini oleh Tuan yang dijunjung, mempertimbangkan
dengan penuh keadilan.
O..!
betapa riangnya, betapa besar terima kasih kepada tuan-tuan apabila oleh kerja
sama tuan-tuan yang adil itu membahagiakan Raja Belanda yang kami junjung dan
kasihi memerintahkan mencabut undang-undang mengani daerah kami Minahasa,
seperti tercantum dalam Lembaran Negara 1875 no. 199 dan 199a dan Lembaran
Negara 8 Maret dan 17 Juni 1877 no. 55 dan 127, agar Minahasa tetap tanah kami
dan rakyat kami, sehingga kami dengan demikian mulai membuat kontrak-kontrak
dengan pemerintah Belanda, lebih daripada itu juga agar kami dan bawahan kami
dan raja-raja lain yang mendengar ini tetap memuji, menghormati dan
memperhatikan kebaikan, keadilan, ketenangan dan kecakapan pemerintah Belanda.
Akhirnya
kami mohon maaf sedalam-dalamnya dari tuan-tuan yang terhormat, apabila kami
membuat kesalahan dengan langsung berhadapan dengan tuan-tuan atau apabila
salah atau melanggar norma-norma yang ada.
Ya,
kiranya Tuhan memberkati pekerjaan kami!
Dibuat
dengan segala kerendahan hati.
Kepala-kepala
yang memerintah Minahasa.
Diperkirakan
bahwa surat ini dikirimkan setelah petisi pertama dijawab oleh pemerintah
Hindia Belanda karena jawaban yang diberikan telah dicantumkan dan juga menjadi
keberatan para kepala kembali. M.E.F. Ellout memperkirakan bahwa petisi itu
dibuat sekitar Juni 1878. L. Adam hanya menyebutkan sepintas lalu, tanpa
memberikan tanggal yang pasti.[20]
Sikap
Majelis Rendah paling tidak dapat ditelusuri dengan pidato salah seorang
anggota parlemen yang dikutip oleh MEF Ellout (MEFE):[21]
TUAN
ELLOUT VAN SOETERWOEDE, TUAN KETUA!
Kepada
Dewan ada surat yang diajukan oleh kepala-kepala Minahasa. Komisi peneliti
surat-surat permintaan, menurut pendapat saya dengan cerdik menghindari dua
bahaya dari usul yang menunjuk rasa tidak puas atas surat permohonan tersebut:
pihak pertama campur tangan Dewan dalam masalah yang bukan wewenangnya, pada
pihak lain berupa kealpaan dimana perhatian malah diberikan, sekarang atas cara
kewenangan dan kepercayaan dari kepala-kepala pribumi, yang bertentangan atau
tidak dengan peraturan yang berlaku menghubungi dewan.
Dewan
menurut saya, tidak ada wewenang untuk mengadakan penilaian dalam masalah
antara pemerintah Hindia dan Kepala-kepala pribumi, juga tidak dalam hal
mengajukan suatu permintaan tertentu kepada menteri.
Sejauh
saya dapat menilai permasalahan adalah pemerintah Hindia disini telah
melaksanakan sesuai apa yang tertulis dalam peraturan umum dan dasar yang
disetujui, sekalipun harus disesuaikan, bahwa dengan kealpaan dalam pelaksanaan
oleh pejabat Hindia terjadi keraguan dalam hak dan wewenang kedua belah pihak.
“Saya
berani berkata, ini untuk keterbukaan dan pemberian penjelasan, bahwa dengan
usul komisi menunjuk ketidakpuasan, bukan berarti alpa dalam perhatian kepada
kepentingan kepala dan rakyat pribuminya dan terlebih untuk bagian penduduk ini
yang menyatu dengan kita oleh tali kekristenan, perhatian harus digandakan.
Tuan
tahu, tuan ketua, bahwa ini hampir satu-satunya oasis Kristen di tengah-tengah
kepulauan kita yang luas.
Malu
bila dipikir, karena kealpaan orang tua-tua kita dan kita sendiri, sekarang
sesudah 60 tahun kembali merasakan kenikmatan Tuhan. Disana bermukim rakyat
Kristen sebagai buah dari penyebaran Injil, rakyat yang menonjol diantara yang
lain dalam peradaban dan kesetiaan.
Sekarang
saya berani tanpa melihat pengaudan yang menyatu dalam perasaan saya untuk
mengajak Menteri dalam dua hal pokok.
Pertama,
peraturan keadilan yang dibawakan kepada pemerintah Hindia dan diterima sepenuh
hati, supaya sekali lagi memberi gaji yang telah dipikirkan (sekalipun
pertama-tama ditolak oleh sebagian yang berwewenang) kepada kepala-kepala.
Kedua,
supaya menggalakkan pelajaran bahasa Belanda dintara rakyat bersekolah, bahasa
mana telah dikuasai oleh beberapa kepala dan bawahannya, untuk pelaksanaan
hubungan dengan Belanda sambil membina pendidikan mereka.
Bila
benar perkataan Karel V, bahwa orang sekian kali jadi manusia bila belajar
mengerti banyak bahasa, dan orang akan mengaku, bahwa hal tersebut suatu bahasa
yang sempurna dan lebih mematikan perkembangan ilmu dariapada menghidupkan.
Memang
adalah pekerjaan penginjil Riedel yang pintar dan salah yang memasukkan bahasa
Melayu ke sekolah daripada bahasa Alifuru; bahasa setempat; dengan mana dalam
melaksanakan amanat suci dengan kemurahan Tuhan rakyat bertobat. Tetapi tidak
ada hambatan untuk mengganti bahasa Melayu dengan bahasa Belanda.
Bila
Menteri menambahkan dalam penerimaan murid sekolah unsur kekristenan, dengan
mana dalam artikel baru “da Gida” bulan Mei, memberi kita harapan, sebagai
kebebasan luas dan penghargaan, maka kepentingan yang besar dari Minahasa akan
diperhatikan, dengan sendirinya disana akan terhenti pemujaan benda-benda yang
disini tidak berlaku dan disana juga tidak perlu ada, dan Menteri.
Semoga
kata-kata saya yang sederhana ini, menyadarkan Menteri dan juga kepala-kepala
dan rakyat Minahasa, betapa anggota Dewan Rakyat Belanda selalu memperhatikan
semua perbuatan pemerintah di dalam kepentingan rakyat yang setia dan warga
bawahan dari pemerintah Hindia Belanda.
Jadi jelaslah sudah “nasib” daripada petisi
kepada Majelis Rendah Parlemen Belanda. Ternyata sasaran yang dituju tidak
tepat, namun untuk selanjutnya cukup memberikan dampak yang cukup dalam.
Seperti misalnya pertimbangan pemberian gaji. Namun yang jelas dari akibat
adanya petisi itu adalah masa jabatan Swaving yang singkat, hanya dua tahun.(Bersambung
ke bagian 4)
No comments:
Post a Comment