MENGENAL LEBIH DEKAT TENTANG SUKU
MINAHASA
SISTEM PENGETAHUAN
Sistem
pengetahuan masyarakat suku Minahasa dapat dikelompokkan ke dalam beberapa
bagian, yakni :
Alam
fauna; adanya
kepercayaan terhadap tanda-tanda binatang seperti burung dan ular. Ada dua
macam burung yang menunjukkan berbagai tanda. Burung siang (waru endo,
kemekeke, totombara) dapat menunjukkan tanda adanya berita yang menyenangkan
(lowas, keeke rondor), tanda tidak mengganggu perasaan (keeke tenga
wowos), tanda tidak menyenangkan (mangalo/mangoro), dan tanda yang
menakutkan atau beralamat tidak baik (keke). Burung malam (wara wengi
kembaluan) dapat bersuara merdu tanda menyenangkan (manguni rendai),
suara hampir merdu dan putus-putus tanda tidak mengganggu perasaan (imbuang),
suara parau tanda membimbangkan (paapian), dan bunyi panjang serta keras
(kiik) yang bertanda menakutkan jika terdengar dari arah depan atau
kanan pendengar. Di samping itu, ada juga tanda dari ular, misalnya ular yang
merayap dari barat ke timur dan ular yang mengangkat kepala. Tanda yang lainnya
ialah tanda dari empedu atau hati binatang yang disembelih (babi, ayam, sapi,
dll) yang dapat meramalkan masa depan.
Alam
flora; pengetahuan
tentang alam flora dapat terlihat dari bermacam-macam bahan makanan masyarakat
Minahasa yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Banyak bahan-bahan obat pula yang
diperoleh dari berbagai jenis akar-akaran, dedaunan, kulit-kulit kayu,
buah-buahan, rerumputan dan umbi-umbian. Beberapa contoh di antaranya, obat
malaria dibuat dari sejenis akar yang disebut riis (tali
pahit), goraka (jahe) sebagai obat batuk, obat sakit perut dan
penolak roh jahat, serta kucai (sejenis bumbu dapur) sebagai
obat demam bagi anak-anak.
Tubuh
manusia; pengetahuan
tentang tubuh manusia dibagi ke dalam dua bagian yakni yang menyangkut
perbuatan dan yang menyangkut hal-hal yang terjadi dalam tubuh. Pengetahuan itu
lebih bersifat larangan-larangan bagi setiap orang yang melakukannya karena
akan menimbulkan akibat tersendiri. Contohnya :
- Jangan memotong kuku pada malam hari, nanti kematian ibu atau salah satu anggota keluarga lekas terjadi; maksud sebenarnya ialah bila memotong kuku di waktu malam gampang mendapat luka.
- Jangan suka tidur tiarap, nanti akan ditangkap hantu; maksudnya ialah agar peredaran darah tidak terganggu.
Ada
juga kepercayaan rakyat Minahasa tentang mimpi, antara lain : mimpi gigi copot, alamat seorang
dari keluarga dekat akan meninggal; mimpi mayat, artinya akan mendapat rejeki;
mimpi mendapat uang atau dipagut ular, artinya akan mendapat sakit.
Pengetahuan
tentang alam;
misalnya bila awan di langit kelihatan berpetak-petak, tandanya banyak ikan
atau juga terjadi gempa bumi; bila kelihatan atau kedengaran segerombolan lebah
yang terbang dari arah utara menuju selatan, alamatnya akan terjadi kemarau
yang panjang, dan bila anjing-anjing membuang kotoran di jalanan umum, alamat
musim kemarau panjang telah mulai.
Pengetahuan
tentang waktu;
masyarakat Minahasa tradisional mengetahui tentang waktu dengan berpatokan pada
matahari dan suara binatang. Misalnya, matahari mulai timbul berarti jam 6
pagi; di atas kepala adalah pukul 12.00; matahari terbenam pukul 6 sore. Ayam
berkokok tengah malam adalah pukul 00.00; berkokok selanjutnya merupakan tanda
sudah hampir siang. Para petani di sawah mendengar suatu binatang bernama konkoriang
sebagai pertanda mereka harus segera pulang, sebab waktu telah menunjukkan
pukul 17.00. Ada juga semacam alat yang terbuat dari dua botol yang diikat
sedemikian rupa, di mana pasir dipindahkan dari satu botol ke botol lain. Waktu
selama pasir berpindah (lima jam) digunakan sebagai waktu bekerja (biasanya
dalam mapalus).
SISTEM
RELIGI
Sistem
Religi ; Sistem Religi dalam masyarakat Minahasa dibagi menjadi dua, yakni
kepercayaan asli masyarakat (agama sakral) dan agama-agama wahyu.
KEPERCAYAAN
ASLI MASYARAKAT MINAHASA
Unsur-unsur
religi pribumi masyarakat Minahasa masih nampak dalam beberapa upacara adat
yang dilakukan orang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sekitar lingkaran
hidup individu, seperti masa hamil, kelahiran, perkawinan, kematian, maupun
dalam bentuk roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan gaib dalam hidup
sehari-hari,yang baik maupun yang jahat.
Orang
Minahasa menyebut dewa dengan Empung atau Opo. Dewa
yang tertinggi disebut Opo Wailan Wangko (Tuhan Allah). Ia
dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan dunia serta segala isinya. Sesudah
dewa tertinggi, ada wujud di bawahnya yakni, Karema. Rupanya Karema merupakan
salah satu dari roh leluhur. Karema sendiri berarti ‘mitra, teman (ka-)
yang dihubungkan dengan makan sirih-pinang (lema)’.
Opo ada yang baik dan ada yang
jahat. Opo yang baik akan senantiasa menolong manusia yang
dianggap sebagai cucu mereka, apabila mentaati petunjuk-petunjuk yang diberikan
mereka. Pelanggaran terhadap petunjuk itu dapat mengakibatkan yang bersangkutan
mengalami bencana, kesulitan hidup atau hilangnya kekuatan sakti akibat murka
dari Opo-opo tersebut.
Ada
juga Opo-opo yang memberikan kekuatan sakti untuk hal-hal yang
tidak baik seperti untuk mencuri dan berjudi [2] [30]. Opo masih dibagi lagi ke dalam beberapa
jenis, yakni : nenek moyang (dotu), Opo dari setiap kerabat,
makhluk-makhluk penghuni gunung, sungai, mata air, hutan, tanah, pantai/laut,
mata angin, dan Opo hujan.
AGAMA-AGAMA
WAHYU DALAM MASYARAKAT MINAHASA
Umumnya
orang Minahasa dikenal sebagai suatu komunitas Kristen yang juga masih menerima
beberapa unsur atau konsep tertentu dari religi pribumi. Namun dalam kehidupan
sehari-hari, unsur-unsur dari religi pribumi ini berpadu dengan
komponen-komponen Kristen dan membentuk sebuah sinkretisme.
Hal
ini terlihat dalam upacara-upacara siklus hidup, pengobatan, dan perilaku
keagamaan sehari-hari. Dalam proses sinkretisme ini, unsur-unsur religi pribumi
mengalami penyesuaian maupun transformasi makna sehingga sejalan dengan agama
Kristen. Misalnya, Opo Wailan Wangko sebagai konsep dewa
tertinggi telah dilihat sebagai Tuhan Allah. Namun, di samping itu tentu
terjadi juga beberapa ketidak-sesuaian persepsi emic dan etic atas
sinkretisme tersebut.
Agama-agama
yang umum dipeluk oleh masyarakat Minahasa ialah : Protestan, Katolik, Islam,
dan Budha. Sekarang ini Protestanisme merupakan mayoritas (85%) di Minahasa. Penganut
Islam sendiri terhitung 8% dari populasi penduduk.
KESENIAN
Berikut adalah beberapa bentuk
kesenian yang terdapat dalam masyarakat Minahasa.
Tarian Perang yang disebut Tari
cakalele (mahasasau), merupakan perpaduan Tari Spanyol yang telah mengalami
perubahan di Ternate, dan kemudian masuk ke Minahasa. Berupa gerakan-gerakan
perang; menantang, mengejar dan menghindari musuh dengan gerakan ke kiri serta
ke belakang atau dengan lompatan menyerang musuh. Tarian ini diperagakan dalam
berbagai kesempatan, seperti penyambutan tamu, pembangunan, penarikan kayu, dan
pesta-pesta adat. [3] [36]. Selain itu, ada juga tarian lain
yang diiringi dengan nyanyian, seperti tarian padi (makanberu), tarian
naik rumah baru (merambak), dan tarian muda-mudi (lalayapan).
Kesusasteraan suci masyarakat
Minahasa dikenal dengan istilah masambo (meminta doa). Masambo memiliki
perbedaan versi di tiap sub-suku Minahasa. Isi dari masambo tidak
lain adalah doa permohonan kepada yang berkuasa agar tetap memelihara, menjaga,
memberkati, memberikan restu, meminta rejeki, dan sebagainya yang biasa
dijumpai pada bidang pertanian, perkawinan, naik rumah baru, kelahiran,
kematian, dan sebagainya. Selain itu isinya juga mengandung
nasehat-nasehat atau anjuran-anjuran yang harus diperhatikan sebagai pedoman
hidup. Syair-syair masambo biasanya dinyanyikan menurut irama tertentu.
Ada juga berbagai ungkapan, pepatah,
simbol, dan perumpamaan yang dimiliki oleh masyarakat suku Minahasa, terutama
oleh orang-orang tua yang bermukim di desa-desa. Misalnya, Sa
lumampang, lumampang yo makauner; arti harafiahnya : “kalau berjalan, berjalanlah
ke dalam (tengah) atau bila masuk jangan setengah-setengah, melainkan masuklah
ke dalam”. Pengertiannya, bila melaksanakan suatu pekerjaan, janganlah
setengah-setengah melainkan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh. Selain itu
masih ada lagi berbagai pepatah dan ungkapan lain.
Simbol yang ada dalam masyarakat
Minahasa, misalnya hiasan-hiasan berupa kain merah di kepala melambangkan
kesatriaan dan keberanian, sayap bulu burung manguni (burung
hantu) yang diikatkan di kepala menyimbolkan kebesaran dan keagungan, dan
parang dan perisai sebagai lambang siap bertempur, siap berjuang membela tanah
air.
Dalam bentuk pakaian atau tenunan,
ada dua jenis tenunan. Yang pertama dan paling kasar adalah kadu/wau, yaitu
kain panjang yang dapat dibuat rok wanita atau kemeja. Kain tersebut juga
dipakai sebagai layar perahu pribumi, tirai serambi rumah, ataupun sebagai
karung untuk mengangkut beras atau padi. Yang kedua ialah kain tenunan yang
terbuat dari kapas dari pohon yang tumbuh di Minahasa. Kapas ini cukup baik dan
halus, tetapi hasil tenunannya cenderung kasar. Biasa digunakan sebagai sarung
dan alas pada tempat duduk orang besar atau ulama.
Para wanita Minahasa juga
membuat tolo, tutup kepala berbentuk kerucut dengan berbagai
ukuran, terbuat dari daunsilar dengan berbagai warna yang mencolok.
Sayangnya, kini berbagai kesenian dalam bentuk tenunan ini sudah hilang dari
kehidupan masyarakat Minahasa yang mulai terhanyut oleh arus kehidupan modern.
Kepustakaan :
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1983. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara. Jakarta:
Depdikbud.
Graafland N. 1991. Minahasa:
Negeri, Rakyat, dan Budayanya, (terjemahan Lucy R. Montolalu).
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Koentjaraningrat. 2007. Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Cetakan ke-22.
Renwarin, Paul Richard. 2007. Matuari Wo
Tona’as; Jilid 1: Mawanua. Jakarta: Cahaya Pineleng.
No comments:
Post a Comment