Sunday 2 November 2014

KISAH TERBENTUKNYA BATALYON 3 MEI 1950 (JILID II)

GERAKAN KUDETA MILITER DI MINAHASA

SITUASI MANADO

Peristiwa Andi Azis sampai pula di Manado dan mendapat perhatian khusus dari kalangan kubu republik. Sebelumnya di akhir bulan Maret, di Manado diselenggarakan rapat militer Belanda oleh komandan garnisun di tangsi militer Reserve Corps KNIL di Wanea, Manado Selatan. Tujuan pertemuan itu, untuk membendung pendaratan pasukan TNI ke Minahasa.
Sulawesi Utara waktu itu berada dibawah Komando militer KNIL Troepen Commando Noord Celebes, terdiri dari staf komando, dinas-dinas perhubungan dan logistik. Komando ini membawahi kurang lebih satu batalyon infantri, satuan cadangan, Reserve Corps KNIL, dinas radio/ PHB, polisi militer dan satuan logistik. Sebagian besar dari kalangan prajurit dan bintara adalah turunan Minahasa. Sedangkan perwira-perwira staf dari komandan batalyon, kompi hinga peleton adalah kulit-turunan Belanda.
Sedangkan pangkat pri-bumi hanya Prajurit Dua dan paling tinggi Pembantu Letnan Dua. Pertemuan itu berusaha mematangkan “Rencana Metekohi”, membentuk garis pertahanan Makassar-Manado-Ambon dihadiri militer Belanda yang khusus di kirim Kolonel Schotborg dari Makassar. Pertemuan itu berusaha meraih kesepakatan menggagalkan proses alih keamanan militer dari Komando Teritorial Belanda kepada TNI di Indonesia Timur.
Rapat itu mengusulkan mengaktifkan kembali prajurit-prajurit pensiunan KNIL (Papo) dibawah naungan (Reserve Corps KNIL Manado). Tetapi usulan tersebut di tentang keras oleh kalangan anggota KNIL pri-bumi yang cenderung berpihak pada RI.
Sebagian besar anti-pati berada dibawah kekuasaan Belanda, yang dinilai takut berperang. Wibawa perwira Belanda juga turun di kalangan pasukan pri-bumi karena langsung menyerah pada Jepang tanpa perlawanan. Banyak dari mereka ini yang berhasil lolos dari penangkapan Jepang, bergabung dengan Sekutu dan gigih bertempur di Guadalcanal, Filipina dan perebutan berbagai kota di Indonesia menghadapi Jepang.


Namun sejak Perang Dunia Kedua usai, banyak dari mereka kecewa, karena harus kembali berada dibawah pimpinan Belanda. Mereka kembali mendapat perlakuan diskriminatif dari bekas kolonialnya. Bermula dari komentar Kopral Y Salmon, sekalipun berpangkat rendah dan hanya menjabat sebagai staf schrijver (juru-tulis bagian personalia KNIL), Salmon kritis mengemukakan komentarnya. Pada forum itu Yan Salmon dengan lantang mengatakan: “…Bahwa pada kenyataannya, Kerajaan Belanda telah mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Pengakuan ini secara otomatis menempatkan Minahasa merdeka dan secara otomatis pula masuk kedalam wilayah Indonesia. Jika kami sebagai prajurit KNIL asal Minahasa melawan TNI, bukankah itu suatu pengkhianatan?”
Pada bagian lain Salmon mengemukakan: “…Kalaupun terjadi pertempuran antara kami dengan saudara-saudara kami dari TNI, dan yang terbunuh terdapat para pensiunan prajurit-prajurit KNIL asal Minahasa yang sudah tua dan sudah lemah fisik, siapa yang menjamin dan membayar pensiun keluarga mereka? Terus terang mereka tidak mau mati konyol!”
Komentar Kopral Salmon ternyata mempengaruhi suasana rapat dan semua yang hadir hening seketika, dan para perwira Belanda sempat terbelalak dengan pandangan kritis itu. Para pensiunan yang hadir terdiam dan sama sekali tidak menyanggah pandangan Kopral Salmon. Pandangan dan pertanyaan Salmon tidak memperoleh jawaban tegas dari perwira-perwira Belanda hingga menimbulkan antipati hadirin.
Pada pertemuan itu, para perwira Belanda gagal menguasai keadaan dan tidak berhasil menggolkan konsep mengaktifkan kembali para pensiunan KNIL di Sulawesi Utara. Padahal waktu itu Dr. Soumokil juga di utus markas militer Belanda di Makassar menghadiri pertemuan itu di Manado. Namun bekas Jaksa Tinggi NIT yang memvonis mati pemuda Kawanua, Wolter Monginsidi (pahlawan Nasional) di Makassar (di hukum mati pada 5 September 1949). Setelah utusan militer Belanda gagal melakukan misi mewujudkan rencana Metekohi di Manado, Soumokil bersama para perwira Belanda terbang menuju Makassar untuk menghasut Andi Azis memberontak.
Kudeta di Minahasa Raad Pada pertengahan April terjadi perdebatan sengit di Dewan Minahasa (waktu itu Minahasa Raad), Manado. Sebelumnya lembaga legislatif dikuasai kelompok TWAPRO (Twaalfde provintie) pimpinan Mawikere yang pro-Belanda. Namun pengaruh TWAPRO menurun tajam terutama di kalangan bekas prajurit-prajurit KNIL yang pernah bertempur baik di front peperangan Pasifik dibawah naungan AS, maupun di Asia-Tenggara dibawah komando Inggris.
Tetapi setelah kembali dari peperangan, mereka kembali harus berada dibawah komando Belanda. Mereka juga kecewa, karena tiada jaminan keselamatan dan keamanan yang dilakukan pihak militer Belanda terhadap keluarga mereka yang ditinggalkan di Jawa. Banyak dari keluarga mereka di-bantai oleh pemuda-pemuda radikal ekstrimis dengan tuduhan sebagai “anjing NICA.”
Mereka ini disiksa tanpa perlawanan seperti aksi pembantaian yang terjadi di Salatiga. Pembantaian ini dapat dihentikan oleh Laskar KRIS. Dampak aksi militer 14 Februari 1946 oleh Sersan Taulu cs. telah menimbulkan ketidak senangan kalangan bekas prajurit eks-KNIL asal Sulawesi Utara karena menjadi korban diskriminasi kolonialisme Belanda.
Di awal pasca perang dunia kedua, situasi politik di Sulawesi Utara terpecah-pecah oleh berbagai kelompok baik yang pro maupun anti-republik seperti dari barisan Republik, Unitaris, Federalis, Hoofden Bond, Twapro (Twaalfde Provintie) dll. Kelompok Twapro yang menguasai Dewan Minahasa menghadapi aksi barisan oposisi, GIM (Gerakan Indonesia Merdeka) dengan pemukanya, Uttu J.A Maengkom (mantan Menteri Kehakiman RI), dan didukung kalangan pemuda pro-Republik terutama dari Tomohon, Langowan dan Tondano.
Kegagalan utusan Kolonel Schotborg melakukan kampanye anti-TNI pada pertemuan Wanea ternyata mempengaruhi posisi TWAPRO di Minahasa Raad (Dewan Minahasa). Pada sidang Dewan Minahasa di Manado, pihak TWAPRO berusaha meraih dukungan rencana Metekohi. Tetapi mendapat reaksi hebat barisan oposisi melalui perdebatan seru. Dari perdebatan ini terjadi keraguan dari kelompok pro Belanda ketika pihak oposisi mengingatkan bakal terjadi perang saudara dan Manado dilanda banjir darah.
Lagi pula masyarakat di Sulawesi Utara jenuh dengan peperangan dan tidak ingin mengulangi penderitaan yang dan pernah di alami pada masa pendudukan Jepang. Para orang-tua juga tidak ingin lagi mengorbankan putera-putera mereka digunakan untuk bertarung dalam berbagai pertempuran baik untuk Sekutu maupun oleh Jepang.
Argumentasi kalangan republik terhadap ancaman perang saudara, karena yang di hadapi adalah barisan pemuda dukungan Angkatan Muda KNIL terutama dari Morotai penentang Belanda. Situasi ini menguntungkan barisan pro Republik dan berhasil melakukan aksi “Kudeta” di Dewan Minahasa. Awal Gerakan 3 Mei Di Manado pada Selasa 25 April 1950, jam 20.00 malam, rumah Sersan (KNIL) Fred Bolang (Brig-Jen Purn. TNI AD) ditemui Laurens Saerang, Lexi Anes dan Frans Wowor dari kelompok Front Laskar Pemuda (FLP) yang mengenakan jaket Merah Putih. Pada pertemuan itu Bolang di ajak bergabung dengan Republik memimpin operasi militer bersama pemuda melakukan kudeta terhadap Belanda. Bolang dipilih karena pengalamannya sebagai militer profesional.
Prestasi militer Bolang dikenal sebagai pasukan khusus Sekutu dibawah komando Mayor Tom Harrisson dari Inggris ketika memimpin perang gerilya melawan tentara Jepang di pedalaman Kalimantan. Sekembalinya di Minahasa, Bolang sering dikenal vokal terhadap penguasa Belanda. Sekalipun Bolang tidak terlibat pada Gerakan 14 Februari 1946, tetapi ia dicurigai militer Belanda di Manado. Jebolan bintara KNIL Angkatan 1939 di Gombong disegani karena prestasinya dan berperang sebagai prajurit profesional hingga Fred Bolang menyandang berbagai penghargaan militer dari Sekutu. Antara lain, “British Empire Medal,” dari Inggris, oleh Laksamana Mountbatten, “Pacific Medal,” dari Panglima Sekutu, Jendral Mac Arthur, bintang militer “Ridderlijke Orde” dari Belanda oleh Letnan Jendral Spoor, Panglima militer Belanda di Indonesia karena prestasi militer masa perang dunia kedua.
Dari prestasinya itu hingga Bolang luput dari penangkapan. Tidak berlanjutnya Gerakan Peristiwa Bendera Merah Putih 1946 dan penangkapan para pelaku di kirim ke Jawa, hingga Manado diawasi ketat oleh pasukan komando Baret Merah dan Hijau Belanda. Tetapi kehadiran Belanda di Manado tidak mengatasi keadaan karena sering dihadapi oleh serbuan sporadis terutama dari kelompok pemuda Tondano, Langowan dan Tomohon pimpinan Pratu (KNIL) Laurens Saerang, mantan Angkatan Muda KNIL dari Morotai. Termasuk penyerbuan pada 14 April ketika kelompok pemuda ini berusaha melucuti markas militer di Teling.
Sebelumnya di awal bulan April sekelompok kecil pasukan KNIL pimpinan Sersan Tuturoong melakukan aksi membongkar gudang senjata dari markas militer Teling. Bersama dengan senjata-senjata yang di peroleh, mereka menuju ke Tomohon dan membagikan kepada para pemuda pro Republik untuk menyerbu Manado. Penyerbuan di markas militer KNIL Teling gagal karena diketahui dinas rahasia NEFIS, dan dipatahkan oleh KNIL pimpinan Mayor Nues bersama korps komando Baret Merah pimpinan Letnan Antoinette dan Baret Hijau pimpinan Letnan Hetaria.
Namun semangat juang pemuda mengusir Belanda dari Minahasa tidak padam. Mereka didukung perwira-perwira TNI, Sumual, Gagola, Ngantung dll. yang melakukan misi rahasia kampanye integrasi bekas prajurit KNIL memasuki TNI dan menggalang aksi kekuatan menentang Belanda. Penempatan sejumlah perwira asal Minahasa seperti A.E.Kawilarang, Joop Warouw, Evert Langkey, dll. dalam jabatan teras TNI mempengaruhi para bintara KNIL seperti Sersan Fourier Alex Mengko, Sersan Fred Bolang, Sersan Phillip Tumonggor, Sersan Jootje Angkau, Kopral Tuturoong dll. beralih berhaluan Republik.
Termasuk di kalangan anggota Baret Merah dan Baret Hijau Belanda asal Sulawesi Utara. Untuk mempertebal rasa kesatuan dan kebangsaan, prajurit-prajurit bekas KNIL sering mengikuti berbagai pertemuan dengan kalangan Republik dan mendengar pandangan nasionalisme. seperti Karel Supit, guru perguruan Bhakti KRIS di Kawangkoan. Juga mengikuti berbagai rapat gerakan rahasia dikantor surat kabar “Pikiran Rakyat” pimpinan Wolter Saerang dan Hermanus. Dari pertemuan malam hari dirumah Bolang, ajakan Front Laskar Pemuda (FLP) disetujui Fred Bolang.
Pertemuan dilanjutkan dengan rencana mengatur operasi penyerbuan di markas Batalyon Infantri XVIII (KNIL) di Teling. Menurut rencana, Bolang bersama pasukannya akan bergabung dengan para pemuda dan kalangan bintara KNIL lainnya dan menetapkan hari H yang penuh rahasia. Hari H ditetapkan hari Selasa, 2 Mei jam 23.00 dimulai dengan penyerbuan markas militer Teling yang terbagi dalam dua kelompok.
Kelompok I (semuanya bertempat tinggal di Asrama Teling) pada jam 23.00 melucuti semua senjata tentara KNIL di asrama dan membuka gudang senjata dan amunisi. Kelompok II tepat jam 23.00 akan menyerbu asrama Teling menerima senjata dan membantu dari kemungkinan perlawanan. Semua kendaraan disiapkan di daerah Titiwungen oleh para pemuda yang akan mengangkut pasukan menuju Tomohon untuk menyusun kubu pertahanan di Tomohon dari kemungkinan perlawanan dari detasemen-detasemen KNIL dari luar kota Manado. Pada 2 Mei jam 21.00 malam, Sersan Bolang dengan seragam militer bersenjata lengkap berada didepan barak Teling Hitam.
Menurut rencana, Bolang akan mengumpulkan dan memimpin satu peleton pasukan KNIL didampingi Kopral Tuturoong. Malam itu Bolang sedang berjalan sendiri menuju markas militer Teling. Tiba-tiba saja sebuah jip yang tidak terdengar derumannya berhenti disebelahnya. Sang pengemudi, ternyata seorang Kapten Belanda, yang juga Komandan Kompi menyapa singkat: “Stap in, Sergeant Bolang!” (Naik, Sersan). Bolang sempat terkejut, namun agar tidak dicurigai, ia ikut perintah dan naik jip yang ternyata tidak menuju ke markas Teling. Ketika meliwati Sario, Bolang mengira gerakan sudah bocor dan bakal ditahan di Markas CPM. Ternyata jip melaju terus menuju markas Troepen Commandant.
Setiba di markas besar territorial, Bolang melihat semua perwira staf sedang berkumpul karena di konsinyir. Sambil berjalan ia dimaki beberapa rekan bintara (pro-Belanda): “Pengkhianat.” Bolang sempat naik pitam dan mencabut pangkat dan dilempar pada mereka. Tetapi Kapten yang mendampingi, memungut tanda pangkat sambil berkata: “Pangkat ini diberikan Kerajaan Belanda.” Sang Kapten menenangkan suasana sambil memasang kembali tanda pangkat pada kedua pundak Bolang, dan dipapah keruangan komandan menemui Mayor Nues.
Pada saat pertemuan, terdengar letusan peluru dari arah Timur. Nues angkat telepon dan bertanya pada pos peninjau mengenai suara letusan (ternyata tembakan peluru dilepaskan Kopral Tuturoong, anak buah Bolang). Setelah menutup gagang telepon, Nues langsung bertanya kepada Bolang: “Kenapa bisa terjadi begini?” Tetapi Bolang diam dan hanya memperhatikan Nues yang bersungut sendiri. Percakapan terganggu ketika tiba-tiba pintu dibuka oleh Kapten dan terlihat Sersan Angkau masuk dan duduk disebelah Bolang.
Kepada Angkau, ia bertanya berbisik: “Kenapa kau kemari?” Angkau diam, tetapi tak berapa lama ia menjerit-jerit sambil menggigil kedinginan seolah sakit. Kepada Kapten, Mayor Nues bertanya: “Zeg Kapitein, wat scheelt hij, is hij ziek? Breng hem terug (Kenapa dia Kapten, apa dia sakit? Bawa dia kembali ke asrama Teling). Ternyata Angkow bersandiwara hingga tidak ditanya oleh Nues. Pada jam 00.45 kembali terdengar suara berondongan tembakan dari Bren-gun menggema dikegelapan malam dari arah Barat.
Mayor Nues angkat telepon meminta laporan Pos Peninjau. Setelah mendapat laporan (ternyata juga dilepaskan oleh Kopral Tuturoong). Sambil meletak gagang telepon mengarahkan matanya pada Bolang dan berkata: “Sersan Bolang, kalau begini akan sulit. Nanti, bisa-bisa kita saling baku tembak.” Nues menjelaskan bahwa pihaknya bermaksud akan melakukan promosi kenaikan pangkat perwira dan jabatan kepada para prajurit pri-bumi, hingga semua perwira staf di kumpulkan pada malam itu.
“Saya akan membentuk satu batalyon APRIS dan Komandan Batalyon adalah Onder Luitenant Purukan dan Kepala Staf, Adjudanct Sembel. Purukan berpangkat Mayor dan Sembel menjadi Kapten” ujar Nues. “Sedangkan anda berada dalam formasi sebagai komandan Kompi IV berpangkat Kapten. Apakah anda sudah tahu?” sapa Nues kepada Bolang. Sambil geleng kepala Bolang menjawab singkat: “Belum tahu Mayor.” Nues melanjut: “Begini saja, saya percaya kau dapat atasi ini. Kamu kembali ke Teling dan kumpulkan semua anak buah dan bawa mereka kemari dan besok saya akan bicara, OK?”
Percakapan berakhir ketika Nues berdiri dan kemudian memanggil Kapten yang berada di luar. Ia kemudian memerintahkan: “Kapten …, dan kembalikan Sersan Bolang ke Teling.” Bolang lega, karena rencana penyerbuan ke markas Belanda tidak bocor. Membelot ke Republik.
Setibanya di tangsi militer, Sersan Bolang segera mengumpulkan prajurit di muka rumah jaga. Setelah terkumpul 78 prajurit, iapun memimpin sebagai komandan barisan memberi aba-aba militer. Jumlah dibagi dalam tiga peleton, masing-masing terdiri dari Peleton I langsung dibawah pimpinannya, Peleton II dipimpin Sersan Angkow dan Peleton III pimpinan Sersan Mengko.
Setelah pasukan disiagakan, Sersan Fred Bolang melapor kepada Kapten dan mengatakan pasukan sudah siap menjalankan tugas agar esok hari memperoleh wejangan Mayor Nues di Teling Hitam.
Sang Kapten menanya kode (pengenalan pasukan). Bolang segera jawab: “9 – 0.” Kapten menyambut: “OK.” Bolang memberi aba-aba: “Pasang Sangkur.” Berlanjut dengan suara: “Voorwaarts… Mars!!!” (Majuud Jalan!!!). Pasukan mulai bergerak keluar tangsi militer Teling. Saat keluar di pintu gerbang, Sersan Bolang dikejuti bentakan kasar Letnan Antoinette, komandan pasukan Baret Merah diikuti bawahannya: “…Hei kemana kamu?.” Sambil berlari kecil mengikuti gerak langkah pasukan, Bolang membentak balik: “Hou je beck (tutup bacotmu), ini perintah Mayor Nues (troepen Commandant).” Setelah keluar asrama Teling, pasukan langsung diarahkan menuju Titiwungen, tempat yang direncanakan Front Laskar Pemuda (FLP). Mulanya para pemuda panik karena mengira rencana sudah bocor dan mereka akan dibantai hingga lari tunggang langgang mencari tempat sembunyi.
Bolang mengerahkan satu regu untuk mencari mereka. Setelah melihat Fred Bolang, kemudian Laurens Saerang, Wolter Saerang, Lexy Annes, dll. keluar dari persembunyian dengan rasa haru. Bolang bertanya: “Saudara-saudara, kita sudah siap. Siapa yang akan memimpin operasi ini?” Diantara mereka menjawab: “Atas nama Pemuda, kepemimpinan operasi kami serahkan kepada saudara Fred Bolang” (Pangkat sudah tidak berlaku dan semua pasukan mencopot pangkat dan menjadi pemuda pejuang bersama Laskar Front Pemuda).

No comments:

Post a Comment