BUKTI
PENINGGALAN KETURUNAN MAKADUASIOU
Suku Minahasa adalah sebuah suku yang besar. Berada
di Provinsi Sulawesi Utara, suku ini sejak ribuan tahun yang lalu telah
membentuk kerajaan-kerajaannya sendiri di seluruh tanah Sulawesi, termasuk di
Provinsi Gorontalo yang kala itu masih merupakan wilayah Sulawesi Utara.
Di Kota Manado, tepatnya di Kecamatan
Malalayang, tersebar empat buah situs purbakala berbentuk batu yang menyimpan
sejarah perkembangan salah satu anak suku (sub-suku) Minahasa, yakni Suku
Bantik.
Lokasi situs pertama terletak di Kelurahan
Malalayang I Lingkungan VII yakni Situs Batu Niopo. Ketika penulis menuju
tempat ini, masyarakat setempat pun asing ketika ditanyai tentang lokasi Batu
Niopo. Mereka lebih tahu tentang lokasi ketiga situs Suku Bantik lainnya, yakni
Batu Buaya, Batu Kuangang dan Batu Lrana. Untunglah salah seorang tukang ojek
yang telah lama berdomisili di Malalayang berhasil mengantar penulis ke lokasi
yang tepat.
Batu Niopo berada di belakang rumah penduduk,
sehingga letaknya tersembunyi namun tidak sulit dicapai. Kita tinggal minta
izin kepada penjaganya, yaitu Pak Johan Mongisidi. Merasa familiar dengan
namanya? Ya, “Mongisidi” adalah marga seorang Pahlawan Nasional RI asal
Sulawesi Utara : Robert Wolter Mongisidi. Tak disangka, Pak Johan merupakan
keponakan Sang Pahlawan yang dieksekusi penjajah Belanda pada 5 September 1949
. Pak Johan yang adalah orang Bantik asli pun menjelaskan tentang sejarah
keempat situs purbakala yang kini menjadi objek wisata Kota Manado.
Batu Niopo, atau yang disebut “Tampa
Tutumpang Ni Tougagudang Pangataseng Jopo Lramo” oleh Pak Johan, ada sejak
tahun +- 300 SM. “Jopo” adalah sebutan penghormatan untuk seseorang yang
dianggap berkuasa, sedangkan “Jopo Lramo” adalah sebutan Suku Bantik untuk Sang
Pencipta. Di lokasi batu ini adalah tempat Sang Jopo (baca: “Yopo”) turun
secara langsung menemui umatnya (Suku Bantik) ketika mereka melangsungkan
upacara spiritual untuk meminta petunjuk Yang Maha Kuasa. Tak heran tempat ini
dianggap keramat dan diperlakukan dengan penuh penghormatan. Untuk masuk ke
dalam, Pak Johan meminta izin terlebih dahulu kepada Sang Jopo. Bahkan beliau
melepas alas kaki untuk menghormati kesucian tempat itu.
Tidak jauh dari Batu Niopo, terdapat Monumen
R.W. Mongisidi. Makam beliau aslinya berada di Taman Makam Pahlawan di Kota
Makassar.
Situs kedua adalah Batu Buaya (Batu Bihua),
yang berjarak sekitar 500 meter dari Batu Niopo. Disebut “Buaya” karena batu
ini memiliki bentuk yang panjang mirip badan buaya. Diyakini Batu Buaya
merupakan mayat Barorongan, seorang musuh dari Suku Tonsawang, yang berhasil
dikalahkan oleh Jopo Mandu, salah seorang pemimpin Suku Bantik. Sebelum perang
melawan Jepang bergejolak di tanah Minahasa, masyarakat Suku Tonsawang sering
datang ke lokasi ini untuk berziarah dengan membawa sesajen dan memasang lampu.
Tempat selanjutnya yang menyimpan situs
sejarah Suku Bantik berada cukup jauh yakni di Perumahan CHT, Desa Sea,
Kelurahan Malalayang I. Situs ini bernama “Batu Kuangang”. Dikisahkan 2500
tahun yang lalu, ada sepasang suami istri yang ingin membuat suatu mainan untuk
anaknya yang menangis ketika ditinggal bekerja di kebun. Jopo Sumpabungang,
sang suami, memohon kepada Jopo Lramo untuk memberi kekuatan baginya. Hanya
dengan menggunakan siku, Jopo Sumpabungang melubangi sebuah batu datar sehingga
dapat dimainkan selayaknya permainan congklak. Sang anak pun langsung bermain
dengan riang gembira menggunakan batu-batu bia (kerang) pada Batu Kuangang
tersebut.
Situs yang terakhir terletak di tepi pantai
Malalayang, dekat Terminal Malalayang yang ada di Kelurahan Malalayang II.
Berbeda dengan tiga batu lainnya, pada lokasi Batu Tapak Kaki (Batu Lrana)
telah diletakkan oleh Pemda dari Dinas Pariwisata sebuah papan berisi sinopsis
tentang Batu Irana. Dituliskan bahwa Batu Irana ini adalah tempat kaki dua
orang dotu (leluhur) Suku Bantik ketika mereka duduk menjaga perbatasan pantai
dari serangan musuh. Cerita ini berbeda dengan yang Penulis temui dari
penuturan Pak Johan, dimana beliau mengisahkan bekas tapak kaki pada batu ini merupakan
jejak dari Tonaas (kepala suku) Jopo Egang yang sangat sakti. Konon, Jopo Egang
merasa kesal karena tidak terlibat dalam peperangan Suku Bantik melawan rakyat
Negeri Tateli, sehingga dia menjejakkan kaki keras-keras ke tanah tempat dia
berpijak. Karena kesaktiannya, di tanah itu berbekas dua telapak kaki yang
hingga sekarang masih bisa kita temui di pesisir Pantai Malalayang dekat
Jembatan Kolongan.
Simpang siur sejarah terkait empat objek
wisata ini memang belum bisa diluruskan. Begitu banyak teori tentang bagaimana
batu-batu ini bisa tercipta, sehingga mungkin para pengunjung pun menerima
informasi yang berbeda dari yang diterima Penulis. Bagaimana pun keempat batu
ini berasal dari leluhur Suku Bantik yang telah ada bahkan sebelum Kota Manado
terbentuk dan sejarahnya sangat menarik untuk dipelajari. Nah, Anda berminat
untuk mengamati langsung batu-batu bersejarah ini? Mari kunjungi Kecamatan
Malalayang, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara! ( Penulis : @Erlinel).
No comments:
Post a Comment