Saturday, 6 December 2014

EMPAT BATU BERSEJARAH SUKU BANTIK

BUKTI PENINGGALAN KETURUNAN MAKADUASIOU

Suku Minahasa adalah sebuah suku yang besar. Berada di Provinsi Sulawesi Utara, suku ini sejak ribuan tahun yang lalu telah membentuk kerajaan-kerajaannya sendiri di seluruh tanah Sulawesi, termasuk di Provinsi Gorontalo yang kala itu masih merupakan wilayah Sulawesi Utara.
Di Kota Manado, tepatnya di Kecamatan Malalayang, tersebar empat buah situs purbakala berbentuk batu yang menyimpan sejarah perkembangan salah satu anak suku (sub-suku) Minahasa, yakni Suku Bantik.

Lokasi situs pertama terletak di Kelurahan Malalayang I Lingkungan VII yakni Situs Batu Niopo. Ketika penulis menuju tempat ini, masyarakat setempat pun asing ketika ditanyai tentang lokasi Batu Niopo. Mereka lebih tahu tentang lokasi ketiga situs Suku Bantik lainnya, yakni Batu Buaya, Batu Kuangang dan Batu Lrana. Untunglah salah seorang tukang ojek yang telah lama berdomisili di Malalayang berhasil mengantar penulis ke lokasi yang tepat.
Batu Niopo berada di belakang rumah penduduk, sehingga letaknya tersembunyi namun tidak sulit dicapai. Kita tinggal minta izin kepada penjaganya, yaitu Pak Johan Mongisidi. Merasa familiar dengan namanya? Ya, “Mongisidi” adalah marga seorang Pahlawan Nasional RI asal Sulawesi Utara : Robert Wolter Mongisidi. Tak disangka, Pak Johan merupakan keponakan Sang Pahlawan yang dieksekusi penjajah Belanda pada 5 September 1949 . Pak Johan yang adalah orang Bantik asli pun menjelaskan tentang sejarah keempat situs purbakala yang kini menjadi objek wisata Kota Manado.
Batu Niopo, atau yang disebut “Tampa Tutumpang Ni Tougagudang Pangataseng Jopo Lramo” oleh Pak Johan, ada sejak tahun +- 300 SM. “Jopo” adalah sebutan penghormatan untuk seseorang yang dianggap berkuasa, sedangkan “Jopo Lramo” adalah sebutan Suku Bantik untuk Sang Pencipta. Di lokasi batu ini adalah tempat Sang Jopo (baca: “Yopo”) turun secara langsung menemui umatnya (Suku Bantik) ketika mereka melangsungkan upacara spiritual untuk meminta petunjuk Yang Maha Kuasa. Tak heran tempat ini dianggap keramat dan diperlakukan dengan penuh penghormatan. Untuk masuk ke dalam, Pak Johan meminta izin terlebih dahulu kepada Sang Jopo. Bahkan beliau melepas alas kaki untuk menghormati kesucian tempat itu.


Tidak jauh dari Batu Niopo, terdapat Monumen R.W. Mongisidi. Makam beliau aslinya berada di Taman Makam Pahlawan di Kota Makassar.

Situs kedua adalah Batu Buaya (Batu Bihua), yang berjarak sekitar 500 meter dari Batu Niopo. Disebut “Buaya” karena batu ini memiliki bentuk yang panjang mirip badan buaya. Diyakini Batu Buaya merupakan mayat Barorongan, seorang musuh dari Suku Tonsawang, yang berhasil dikalahkan oleh Jopo Mandu, salah seorang pemimpin Suku Bantik. Sebelum perang melawan Jepang bergejolak di tanah Minahasa, masyarakat Suku Tonsawang sering datang ke lokasi ini untuk berziarah dengan membawa sesajen dan memasang lampu.


Tempat selanjutnya yang menyimpan situs sejarah Suku Bantik berada cukup jauh yakni di Perumahan CHT, Desa Sea, Kelurahan Malalayang I. Situs ini bernama “Batu Kuangang”. Dikisahkan 2500 tahun yang lalu, ada sepasang suami istri yang ingin membuat suatu mainan untuk anaknya yang menangis ketika ditinggal bekerja di kebun. Jopo Sumpabungang, sang suami, memohon kepada Jopo Lramo untuk memberi kekuatan baginya. Hanya dengan menggunakan siku, Jopo Sumpabungang melubangi sebuah batu datar sehingga dapat dimainkan selayaknya permainan congklak. Sang anak pun langsung bermain dengan riang gembira menggunakan batu-batu bia (kerang) pada Batu Kuangang tersebut.


Situs yang terakhir terletak di tepi pantai Malalayang, dekat Terminal Malalayang yang ada di Kelurahan Malalayang II. Berbeda dengan tiga batu lainnya, pada lokasi Batu Tapak Kaki (Batu Lrana) telah diletakkan oleh Pemda dari Dinas Pariwisata sebuah papan berisi sinopsis tentang Batu Irana. Dituliskan bahwa Batu Irana ini adalah tempat kaki dua orang dotu (leluhur) Suku Bantik ketika mereka duduk menjaga perbatasan pantai dari serangan musuh. Cerita ini berbeda dengan yang Penulis temui dari penuturan Pak Johan, dimana beliau mengisahkan bekas tapak kaki pada batu ini merupakan jejak dari Tonaas (kepala suku) Jopo Egang yang sangat sakti. Konon, Jopo Egang merasa kesal karena tidak terlibat dalam peperangan Suku Bantik melawan rakyat Negeri Tateli, sehingga dia menjejakkan kaki keras-keras ke tanah tempat dia berpijak. Karena kesaktiannya, di tanah itu berbekas dua telapak kaki yang hingga sekarang masih bisa kita temui di pesisir Pantai Malalayang dekat Jembatan Kolongan.
Simpang siur sejarah terkait empat objek wisata ini memang belum bisa diluruskan. Begitu banyak teori tentang bagaimana batu-batu ini bisa tercipta, sehingga mungkin para pengunjung pun menerima informasi yang berbeda dari yang diterima Penulis. Bagaimana pun keempat batu ini berasal dari leluhur Suku Bantik yang telah ada bahkan sebelum Kota Manado terbentuk dan sejarahnya sangat menarik untuk dipelajari. Nah, Anda berminat untuk mengamati langsung batu-batu bersejarah ini? Mari kunjungi Kecamatan Malalayang, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara! ( Penulis : @Erlinel).

No comments:

Post a Comment