Sunday, 2 November 2014

KISAH TERBENTUKNYA BATALYON 3 MEI 1950 (JILID I)

GERAKAN KUDETA MILITER DI MINAHASA

Pengakuan kedaulatan kerajaan Belanda terhadap Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 menggema di berbagai pelosok nusantara. Termasuk Sulawesi Utara, wilayah paling utara Indonesia. Kondisi luar Jawa di Indonesia Timur di masa revolusi kemerdekaan antara 1945-1950 masih terpecah-pecah antara yang pro-integrasi dengan pro-Belanda. Pihak Belanda berusaha memanfaatkan untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia.
Situasi ini merisaukan kalangan perwira TNI asal Indonesia Timur yang tergabung dalam kesatuan KRU-X (Korps Reserve Umum X). Wadah ini adalah bagian dari TNI Perjuangan (Bekas Laskar Rakyat) yang terbentuk pada pertengahan tahun 1948. Kesatuan ini dipimpin Let-Kol A.G. Lembong dengan wakilnya, Let-Kol J.F. Warouw didampingi Mayor H.N. Sumual, Letnan Satu Lendy Tumbelaka. Kapten Piet Ngantung, Kapten Eddy Gagola, Kapten Matulessi, Kapten E.J. Kanter. Kapten J. Mandang dll.
Wadah kekuatan militer ini aktif di masa revolusi fisik di Jawa berkekuatan 4 batalyon tempur yang masing-masing terdiri dari: -.Batalyon “A” di Jawa Tengah, dibawah komando Kapten Palar; Batalyon “B” di Jawa Tengah dibawah komando Mayor H.V. Worang; -.Batalyon “C” di Jawa Timur dibawah komando Kapten A. Rifai; -.Batalyon “D” di Jawa Tengah dibawah komando Mayor A. Mattalata.
Wadah KRU-X mengalami re-organisasi menjadi Brigade XVI dan giat memberangus pemberontakan PKI di Madiun dan juga gigih dalam pertempuran pada aksi agresi militer kedua pihak Belanda.
Pada bulan Oktober 1948, Brigade XVI menyusun rencana membebaskan Kalimantan dan Indonesia Timur dari pengaruh Belanda. Let-Kol Lembong mempersiapkan Komando Groepen. Ia dibantu Kapten Piet Ngantung mengembangkan integrasi TNI terhadap prajurit eks-KNIL di Sulawesi Utara. Rencana penyerbuan Sulawesi Utara akan dilakukan dari Filipina yang pernah menjadi daerah perjuangan Lembong ketika menjadi anggota pasukan Sekutu melakukan perang gerilya melawan pasukan Jepang masa perang Pasifik Raya.
Adanya rencana ini hingga kepemimpinan Brigade XVI dari Let-Kol Lembong di alih-tugaskan kepada Let-Kol Joop Warouw. Namun rencana keberangkatan pasukan pimpinan Let-Kol Lembong ke Filipina tidak kesampaian ketika Belanda melakukan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948.
Yogyakarta diduduki dan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Syahrir ditangkap. Aksi militer Belanda itu juga menangkap Let-Kol Lembong bersama Kapten Leo Kailola. Let-Kol Lembong bersama beberapa prajurit tewas pada peristiwa penyerbuan APRA pimpinan Mayor Raymond Westerling di Bandung pada bulan Januari 1950.
Sekalipun aksi militer kedua Belanda sempat mempengaruhi rencana, tetapi proses integrasi tetap di jalankan oleh perwira-perwira TNI sudah yang diutus ke Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Pengadaan Komando Groepen Sulawesi Utara TNI dilakukan oleh Piet Ngantung menggalang kekuatan dibantu pemuda-pemuda setempat, yakni Frans Wowor, Sam Ogi, Lexi Anes dan Alo Tambuwun.

SUASANA INDONESIA BAGIAN TIMUR

Di Awal Pengakuan Kedaulatan Situasi Indonesia Timur sejak paska perang Pasifik tidak menentu. Walau di Jakarta tercetus proklamasi Indonesia merdeka yang terjadi akibat kevakuman pemerintahan setelah penguasa militer Jepang meletakkan senjata, setelah Kaisar Hirohito memaklumkan perang sudah berakhir dan menyerah kepada pihak Sekutu.
Menjelang akhir perang Pasifik Raya, sebagian besar dari kawasan Indonesia Timur yang berada di bawah pemerintahan Angkatan Laut Jepang,sudah diduduki pasukan Sekutu SWPA pimpinan Jendral Mac Arthur sejak awal tahun 1945. Kekalahan bermula sejak kekuatan Angkatan laut Jepang dilumpuhkan di Pasifik Barat Daya sbulan April 1943.
Pihak Sekutu berhasil membangun poros kekuatan dari Pasifik Barat-Daya, membangun pangkalan militer di pulau Biak dan pulau Morotai dan menguasai Laut Maluku Utara hingga Laut Sulawesi. Dari Morotai, kekuatan sekutu melakukan pemboman terhadap posisi kekuatan Jepang di Ambon, Manado, Makassar dan Balikpapan diduduki oleh pasukan Australia. Setelah perang berakhir, pihak Sekutu melakukan proses alih pemerintahan kepada pihak Belanda yang dikelola NICA (Netherlands Indiesch Civil Administration) di Indonesia Timur. Lembaga ini di dirikan oleh Dr. H. van Mook di Merauke, sebagai pemerintah pengasingan Hindia-Belanda pada masa perang Pasifik.
Ternyata alih pemerintahan kepada pihak NICA berdampak buruk bagi citra sekutu dari masyarakat Indonesia Timur yang menolak kembalinya hegemoni Hindia-Belanda. Pergolakan tak terhindar dan melanda Kalimantan, Sulawesi dan Maluku hingga merepotkan militer Australia yang dijebak oleh Belanda memusuhi kalangan nasionalis.
Padahal para nasionalis di Indonesia Timur turut membantu pasukan sekutu memerangi Jepang dalam berbagai aksi bawah tanah di masa pendudukan militer Jepang. Pembentukan KOMPAS-SUMU Sejak pengakuan kedaulatan, Brigade XVI di likwidasi dan berbagai personal dimutasi oleh Kementerian Pertahanan RI yang bermarkas di Yogyakarta.


Sam Ratulangie,cs mengunjungi KRIS di Front Jawa Timur 1948

Ekspedisi ke daerah Seberang (Luar Jawa), di Indonesia Timur pimpinan Let-Kol. Joop Warouw sebagai komandan Pasukan Komando Sulawesi Utara-Maluku Utara (KOMPAS SUMU)pada bulan Mei 1950. Sebelumnya, Kementerian Pertahanan RI mengutus Mayor Ventje Sumual, Mayor Daan Mogot, Kapten Eddy Gagola dan Kapten Piet Ngantung ke Manado dengan tugas melakukan proses alih keamanan dari Komando territorial Militer Belanda kepada TNI dan mengatur para prajurit eks KNIL menjadi TNI di Sulawesi Utara.
Antara bulan Desember 1949 – April 1950, banyak perwira asal Indonesia Timur bertugas sebagai unsur APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) di luar Jawa dan diperbantukan pada KMTIT (Komisi Militer Territorial Indonesia Timur) pimpinan Let-Kol Ahmad Yunus Mokoginta dan Ir. Putuhena. Diantara perwira-perwira TNI dari Brigade XVI terdapat Lettu J. Wowiling, Lettu H. Montolalu, Lettu Lendy R. Tumbelaka, Kapten Usman Djaffar, Kapten M. Jusuf, Kapten Idrus, Lettu D. Nanlohy, Mayor Saleh Lahade, Lettu A, Sapada dll. Sedangkan Mayor Jendral Suhardjo ditugaskan menuju Banjarmasin bersama beberapa perwira Brigade XVI asal Kalimantan.
Alih militer dari KNIL menjadi TNI disalurkan melalui KMTIT ingin dibendung oleh Belanda dan berusaha mempengaruhi kalangan bintara KNIL menentang kedatangan pasukan TNI berintikan Brigade XVI pimpinan Let-Kol Joop Warouw. Kampanye anti TNI di Indonesia Timur dilakukan Dr. Chris Soumokil didukung Kolonel Schotborg, Panglima Komando Territorial militer Belanda Wilayah Timur dan Kalimantan (GOB, Grote Oost en Borneo) melakukan sebaran anti TNI terhadap tentara KNIL menentang TNI di Ambon, Makassar dan Manado.Bahkan bermaksud memproklamasikan Negara Merdeka Indonesia Timur terpisah dari Republik Indonesia dengan membentuk garis pertahanan Makassar-Manado-Ambon dibawah “Plan Metekohi.”
Kolonel Schotborg menghendaki agar anggota eks-KNIL di APRIS-kan dalam formasi Batalyon dan Kompi dan sudah terbentuk sebelum kedatangan pasukan TNI dari Jawa. Dalam usaha ini pihak Belanda mempengaruhi kalangan prajurit KNIL di Makassar, Manado dan Ambon. Akibat kampanye anti-TNI hingga timbul berbagai pergolakan daerah di Indonesia. Misalnya kerusuhan di Ambon di awal Januari 1950, aksi militer oleh prajurit-prajurit bekas KNIL terutama dari anti Belanda pada bulan April dan aksi militer pimpinan Kapten Andi Azis dan menyerang markas TNI di Makassar.
Andi Azis sebelumnya adalah ajudan Wali Negara NIT, Sukowati dan bersama satu kompi KNIL resmi memasuki TNI pada 30 Maret. Namun sehari sebelumnya Andi Azis ditemui Dr.Chris Soumokil yang datang dari Manado dan bersama Kolonel Schotborg mempengaruhinya untuk menentang pendaratan Batalyon Worang di Makassar pada 5 April. Azis dipengaruhi bila APRIS terbentuk, tidak perlu kehadiran TNI. Soumokil juga mempengaruhi kalangan pejabat pemerintahan NIT dan berkampanye “negara Merdeka Indonesia Timur” di Makassar dukungan Belanda untuk memisahkan Indonesia dari RIS (Republik Indonesia Serikat) melalui “Plan Metekohi.” Andi Azis berhasil dipengaruhi Soumokil hingga melakukan aksi militer menentang TNI.
Pada 5 April pagi pasukan Andi Azis beraksi melakukan penyerbuan terhadap kediaman perwira-perwira TNI, terutama asrama CPM (dulu Verlengde Klapper Laan) Makassar dan menangkap Let-Kol A.J. Mokoginta dan perwira TNI lainnya. Pasukan Andi Azis memblokir Pelabuhan Makassar untuk membendung pendaratan Batalyon Worang pimpinan Mayor H.V. Worang. Akibat kemelut di Makassar hingga kapal-kapal “Waikelo” dan “Bontekoe” yang mengangkut pasukan Batalyon Worang dialihkan ke Balikpapan.
Operasi Pertiwi Untuk mengatasi kemelut Indonesia Timur dari ancaman separatisme, Menteri Pertahanan RIS, Letnan-Jendral Sultan Hamengku Buwono IX, atas instruksi Presiden Soekarno, sebagai Panglima Tertinggi RIS, mengangkat Kolonel Alex E. Kawilarang setelah bertugas melakukan integrasi TNI di Sumatera, diangkat menjadi Panglima Komando Tentara Teritorium Indonesia Timur (KMTIT) pada 15 April 1950.
Kolonel A.E. Kawilarang menerapkan Operasi Pertiwi dengan dukungan kekuatan: Brigade Garuda Mataram, pimpinan Let-Kol Soeharto (Presiden RI); Satuan Brawijaya, pimpinan Let-Kol Suprapto Sukawati; Satuan Siliwangi, pimpinan Let-Kol Kosasih. Kekuatan didukung satuan Brigade XVI dari: Batalyon Worang, pimpinan Mayor H.V. Worang dan Batalyon Mattalata pimpinan Mayor Andi Matalatta.
Rencana pendahuluan penyerbuan ke Makassar dilakukan oleh Batalyon Worang pada 26 April tidak mengalami kesulitan, karena sehari sebelumnya Andi Azis sudah terbang dengan pesawat Catalina dan ke Jakarta, setelah sehari sebelumnya menyerah dan pasukannya dilucuti dan di konsinyir di Makassar. Sebelumnya, pada 24 April malam, Andi Azis menemui Kolonel Kawilarang dan menyatakan ingin bergabung dengan TNI. Penyerahan diri Andi Azis berlangsung keesokan harinya kepada Let-Kol Soeharto.
Penyerahan diri Andi Azis hingga pendaratan pasukan Worang di Makassar tidak mengalami perlawanan. Berlanjut dengan pendaratan pasukan induk Brigade XVI dari Surabaya beberapa hari kemudian dengan kapal pendarat LST di Makassar. Dengan kekuatan ini hingga pasukan TNI secara bertahap menggusur pengaruh KNIL di Makassar.
Setelah berada di Makassar, Let-Kol Joop Warouw diangkat menjadi Komandan pasukan Sulawesi Utara Maluku Utara (KOMPAS SUMU) dengan tugas mengambil alih Komando Territorial Belanda (Troepen Commandant Noord Celebes) oleh Kementerian Pertahanan dari Yogyakarta.
Mayor Suharyo ditunjuk sebagai Kepala Staf atas permintaan khusus dari Warouw kepada Let-Kol Zulkifli Lubis yang waktu itu menjabat Komandan organisasi Intel Kementerian Pertahanan. Kesatuan ini berintikan anggota Brigade XVI yang pernah melakukan perang gerilya di Gunung Kawi, Jawa Timur menghadapi pasukan SEAC (South East Asia Command) dibawah komando Inggris ketika melakukan pendaratan di Surabaya untuk menguasai Jawa.
Diantara para perwira dari brigade ini terdapat antara lain Mayor Saleh Lahade, Mayor H.V. Worang, Mayor Rifai, Mayor Pieterz, Mayor Firmansyah, Mayor Mochtar, Mayor Abdullah, Kapten Pattinama, Kapten Padang, Kapten Tenges, Kapten Arie Supit, Kapten Somba, Kapten Wuisan, Letnan Lendy Tumbelaka, Letnan Maulwi Saelan, Letnan Andi Odang, Letnan Yan Ekel dll. Kesatuan KOMPAS SUMU selama berada di Makassar giat melakukan persiapan militer dalam usaha pendaratan mereka di Manado.
Usaha Belanda Melakukan Garis Pertahanan Makassar-Manado-Ambon Tidak berlanjutnya aksi pemberontakan Andi Azis mengecewakan Dr.Chris Soumokil penentang integrasi TNI dan menggunakan pesawat Pembom B-25 meninggalkan Makassar menuju Manado. Soumokil berusaha mempengaruhi pasukan eks-KNIL di Sulawesi Utara untuk menemui Sersan (KNIL) Mawikere, pimpinan TWAPRO guna memperoleh dukungan menentang integrasi TNI. Setiba di lapangan terbang Mapanget (kini bandar udara Sam Ratulangie), Soumokil tidak turun dan hanya mengirim utusan ke Manado dengan maksud menemui kelompok Mawikere.
Tetapi kedatangan rombongan dibendung oleh kalangan pemuda, hingga misi Soumokil gagal dan kembali ke Ambon. Aksi menentang TNI berlanjut di Ambon ketika Chris Soumokil, Jaksa Tinggi NIT memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April dan menyatakan memisahkan diri dari NIT atau RIS. Cetusan proklamasi RMS di dukung Ir. Manusama, Han Boen Hiong dan sekitar 2.000 pasukan KNIL termasuk kesatuan komando Baret Merah dan Baret Biru.
Proklamasi itu menempatkan Ir. Manusama sebagai Presiden RMS dengan Ambon sebagai pusat pemerintahan RMS. Untuk memperkuat kekuasaan rezim, pihak RMS menangkap Pupella cs. dari Partai Indonesia Merdeka (PIM) di Ambon yang pro Republik.

No comments:

Post a Comment