GERAKAN
KUDETA MILITER DI MINAHASA
Pengakuan
kedaulatan kerajaan Belanda terhadap Republik Indonesia pada 27 Desember 1949
menggema di berbagai pelosok nusantara. Termasuk Sulawesi Utara, wilayah paling
utara Indonesia. Kondisi luar Jawa di Indonesia Timur di masa revolusi
kemerdekaan antara 1945-1950 masih terpecah-pecah antara yang pro-integrasi
dengan pro-Belanda. Pihak Belanda berusaha memanfaatkan untuk mengembalikan
kekuasaannya di Indonesia.
Situasi
ini merisaukan kalangan perwira TNI asal Indonesia Timur yang tergabung dalam
kesatuan KRU-X (Korps Reserve Umum X). Wadah ini adalah bagian dari TNI
Perjuangan (Bekas Laskar Rakyat) yang terbentuk pada pertengahan tahun 1948.
Kesatuan ini dipimpin Let-Kol A.G. Lembong dengan wakilnya, Let-Kol J.F. Warouw
didampingi Mayor H.N. Sumual, Letnan Satu Lendy Tumbelaka. Kapten Piet
Ngantung, Kapten Eddy Gagola, Kapten Matulessi, Kapten E.J. Kanter. Kapten J.
Mandang dll.
Wadah
kekuatan militer ini aktif di masa revolusi fisik di Jawa berkekuatan 4
batalyon tempur yang masing-masing terdiri dari: -.Batalyon “A” di Jawa Tengah,
dibawah komando Kapten Palar; Batalyon “B” di Jawa Tengah dibawah komando Mayor
H.V. Worang; -.Batalyon “C” di Jawa Timur dibawah komando Kapten A. Rifai;
-.Batalyon “D” di Jawa Tengah dibawah komando Mayor A. Mattalata.
Wadah
KRU-X mengalami re-organisasi menjadi Brigade XVI dan giat memberangus
pemberontakan PKI di Madiun dan juga gigih dalam pertempuran pada aksi agresi
militer kedua pihak Belanda.
Pada
bulan Oktober 1948, Brigade XVI menyusun rencana membebaskan Kalimantan dan
Indonesia Timur dari pengaruh Belanda. Let-Kol Lembong mempersiapkan Komando
Groepen. Ia dibantu Kapten Piet Ngantung mengembangkan integrasi TNI terhadap
prajurit eks-KNIL di Sulawesi Utara. Rencana penyerbuan Sulawesi Utara akan
dilakukan dari Filipina yang pernah menjadi daerah perjuangan Lembong ketika
menjadi anggota pasukan Sekutu melakukan perang gerilya melawan pasukan Jepang
masa perang Pasifik Raya.
Adanya
rencana ini hingga kepemimpinan Brigade XVI dari Let-Kol Lembong di
alih-tugaskan kepada Let-Kol Joop Warouw. Namun rencana keberangkatan pasukan
pimpinan Let-Kol Lembong ke Filipina tidak kesampaian ketika Belanda melakukan
agresi militer kedua pada 19 Desember 1948.
Yogyakarta
diduduki dan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana
Menteri Sutan Syahrir ditangkap. Aksi militer Belanda itu juga menangkap
Let-Kol Lembong bersama Kapten Leo Kailola. Let-Kol Lembong bersama beberapa
prajurit tewas pada peristiwa penyerbuan APRA pimpinan Mayor Raymond Westerling
di Bandung pada bulan Januari 1950.
Sekalipun
aksi militer kedua Belanda sempat mempengaruhi rencana, tetapi proses integrasi
tetap di jalankan oleh perwira-perwira TNI sudah yang diutus ke Kalimantan,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Pengadaan Komando Groepen Sulawesi Utara
TNI dilakukan oleh Piet Ngantung menggalang kekuatan dibantu pemuda-pemuda
setempat, yakni Frans Wowor, Sam Ogi, Lexi Anes dan Alo Tambuwun.
SUASANA INDONESIA BAGIAN TIMUR
Di
Awal Pengakuan Kedaulatan Situasi Indonesia Timur sejak paska perang Pasifik
tidak menentu. Walau di Jakarta tercetus proklamasi Indonesia merdeka yang
terjadi akibat kevakuman pemerintahan setelah penguasa militer Jepang
meletakkan senjata, setelah Kaisar Hirohito memaklumkan perang sudah berakhir
dan menyerah kepada pihak Sekutu.
Menjelang
akhir perang Pasifik Raya, sebagian besar dari kawasan Indonesia Timur yang
berada di bawah pemerintahan Angkatan Laut Jepang,sudah diduduki pasukan Sekutu
SWPA pimpinan Jendral Mac Arthur sejak awal tahun 1945. Kekalahan bermula sejak
kekuatan Angkatan laut Jepang dilumpuhkan di Pasifik Barat Daya sbulan April
1943.
Pihak
Sekutu berhasil membangun poros kekuatan dari Pasifik Barat-Daya, membangun
pangkalan militer di pulau Biak dan pulau Morotai dan menguasai Laut Maluku
Utara hingga Laut Sulawesi. Dari Morotai, kekuatan sekutu melakukan pemboman
terhadap posisi kekuatan Jepang di Ambon, Manado, Makassar dan Balikpapan diduduki
oleh pasukan Australia. Setelah perang berakhir, pihak Sekutu melakukan proses
alih pemerintahan kepada pihak Belanda yang dikelola NICA (Netherlands Indiesch
Civil Administration) di Indonesia Timur. Lembaga ini di dirikan oleh Dr. H.
van Mook di Merauke, sebagai pemerintah pengasingan Hindia-Belanda pada masa
perang Pasifik.
Ternyata
alih pemerintahan kepada pihak NICA berdampak buruk bagi citra sekutu dari
masyarakat Indonesia Timur yang menolak kembalinya hegemoni Hindia-Belanda.
Pergolakan tak terhindar dan melanda Kalimantan, Sulawesi dan Maluku hingga merepotkan
militer Australia yang dijebak oleh Belanda memusuhi kalangan nasionalis.
Padahal
para nasionalis di Indonesia Timur turut membantu pasukan sekutu memerangi
Jepang dalam berbagai aksi bawah tanah di masa pendudukan militer Jepang.
Pembentukan KOMPAS-SUMU Sejak pengakuan kedaulatan, Brigade XVI di likwidasi
dan berbagai personal dimutasi oleh Kementerian Pertahanan RI yang bermarkas di
Yogyakarta.
Sam Ratulangie,cs mengunjungi KRIS di Front Jawa Timur 1948
Ekspedisi
ke daerah Seberang (Luar Jawa), di Indonesia Timur pimpinan Let-Kol. Joop
Warouw sebagai komandan Pasukan Komando Sulawesi Utara-Maluku Utara (KOMPAS
SUMU)pada bulan Mei 1950. Sebelumnya, Kementerian Pertahanan RI mengutus Mayor
Ventje Sumual, Mayor Daan Mogot, Kapten Eddy Gagola dan Kapten Piet Ngantung ke
Manado dengan tugas melakukan proses alih keamanan dari Komando territorial
Militer Belanda kepada TNI dan mengatur para prajurit eks KNIL menjadi TNI di
Sulawesi Utara.
Antara
bulan Desember 1949 – April 1950, banyak perwira asal Indonesia Timur bertugas
sebagai unsur APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) di luar Jawa
dan diperbantukan pada KMTIT (Komisi Militer Territorial Indonesia Timur)
pimpinan Let-Kol Ahmad Yunus Mokoginta dan Ir. Putuhena. Diantara
perwira-perwira TNI dari Brigade XVI terdapat Lettu J. Wowiling, Lettu H.
Montolalu, Lettu Lendy R. Tumbelaka, Kapten Usman Djaffar, Kapten M. Jusuf,
Kapten Idrus, Lettu D. Nanlohy, Mayor Saleh Lahade, Lettu A, Sapada dll.
Sedangkan Mayor Jendral Suhardjo ditugaskan menuju Banjarmasin bersama beberapa
perwira Brigade XVI asal Kalimantan.
Alih militer dari KNIL menjadi TNI disalurkan melalui KMTIT ingin dibendung oleh Belanda dan berusaha mempengaruhi kalangan bintara KNIL menentang kedatangan pasukan TNI berintikan Brigade XVI pimpinan Let-Kol Joop Warouw. Kampanye anti TNI di Indonesia Timur dilakukan Dr. Chris Soumokil didukung Kolonel Schotborg, Panglima Komando Territorial militer Belanda Wilayah Timur dan Kalimantan (GOB, Grote Oost en Borneo) melakukan sebaran anti TNI terhadap tentara KNIL menentang TNI di Ambon, Makassar dan Manado.Bahkan bermaksud memproklamasikan Negara Merdeka Indonesia Timur terpisah dari Republik Indonesia dengan membentuk garis pertahanan Makassar-Manado-Ambon dibawah “Plan Metekohi.”
Alih militer dari KNIL menjadi TNI disalurkan melalui KMTIT ingin dibendung oleh Belanda dan berusaha mempengaruhi kalangan bintara KNIL menentang kedatangan pasukan TNI berintikan Brigade XVI pimpinan Let-Kol Joop Warouw. Kampanye anti TNI di Indonesia Timur dilakukan Dr. Chris Soumokil didukung Kolonel Schotborg, Panglima Komando Territorial militer Belanda Wilayah Timur dan Kalimantan (GOB, Grote Oost en Borneo) melakukan sebaran anti TNI terhadap tentara KNIL menentang TNI di Ambon, Makassar dan Manado.Bahkan bermaksud memproklamasikan Negara Merdeka Indonesia Timur terpisah dari Republik Indonesia dengan membentuk garis pertahanan Makassar-Manado-Ambon dibawah “Plan Metekohi.”
Kolonel
Schotborg menghendaki agar anggota eks-KNIL di APRIS-kan dalam formasi Batalyon
dan Kompi dan sudah terbentuk sebelum kedatangan pasukan TNI dari Jawa. Dalam
usaha ini pihak Belanda mempengaruhi kalangan prajurit KNIL di Makassar, Manado
dan Ambon. Akibat kampanye anti-TNI hingga timbul berbagai pergolakan daerah di
Indonesia. Misalnya kerusuhan di Ambon di awal Januari 1950, aksi militer oleh
prajurit-prajurit bekas KNIL terutama dari anti Belanda pada bulan April dan
aksi militer pimpinan Kapten Andi Azis dan menyerang markas TNI di Makassar.
Andi
Azis sebelumnya adalah ajudan Wali Negara NIT, Sukowati dan bersama satu kompi
KNIL resmi memasuki TNI pada 30 Maret. Namun sehari sebelumnya Andi Azis
ditemui Dr.Chris Soumokil yang datang dari Manado dan bersama Kolonel Schotborg
mempengaruhinya untuk menentang pendaratan Batalyon Worang di Makassar pada 5
April. Azis dipengaruhi bila APRIS terbentuk, tidak perlu kehadiran TNI.
Soumokil juga mempengaruhi kalangan pejabat pemerintahan NIT dan berkampanye
“negara Merdeka Indonesia Timur” di Makassar dukungan Belanda untuk memisahkan
Indonesia dari RIS (Republik Indonesia Serikat) melalui “Plan Metekohi.” Andi
Azis berhasil dipengaruhi Soumokil hingga melakukan aksi militer menentang TNI.
Pada
5 April pagi pasukan Andi Azis beraksi melakukan penyerbuan terhadap kediaman
perwira-perwira TNI, terutama asrama CPM (dulu Verlengde Klapper Laan) Makassar
dan menangkap Let-Kol A.J. Mokoginta dan perwira TNI lainnya. Pasukan Andi Azis
memblokir Pelabuhan Makassar untuk membendung pendaratan Batalyon Worang
pimpinan Mayor H.V. Worang. Akibat kemelut di Makassar hingga kapal-kapal
“Waikelo” dan “Bontekoe” yang mengangkut pasukan Batalyon Worang dialihkan ke
Balikpapan.
Operasi
Pertiwi Untuk mengatasi kemelut Indonesia Timur dari ancaman separatisme,
Menteri Pertahanan RIS, Letnan-Jendral Sultan Hamengku Buwono IX, atas
instruksi Presiden Soekarno, sebagai Panglima Tertinggi RIS, mengangkat Kolonel
Alex E. Kawilarang setelah bertugas melakukan integrasi TNI di Sumatera,
diangkat menjadi Panglima Komando Tentara Teritorium Indonesia Timur (KMTIT)
pada 15 April 1950.
Kolonel
A.E. Kawilarang menerapkan Operasi Pertiwi dengan dukungan kekuatan: Brigade
Garuda Mataram, pimpinan Let-Kol Soeharto (Presiden RI); Satuan Brawijaya,
pimpinan Let-Kol Suprapto Sukawati; Satuan Siliwangi, pimpinan Let-Kol Kosasih.
Kekuatan didukung satuan Brigade XVI dari: Batalyon Worang, pimpinan Mayor H.V.
Worang dan Batalyon Mattalata pimpinan Mayor Andi Matalatta.
Rencana
pendahuluan penyerbuan ke Makassar dilakukan oleh Batalyon Worang pada 26 April
tidak mengalami kesulitan, karena sehari sebelumnya Andi Azis sudah terbang
dengan pesawat Catalina dan ke Jakarta, setelah sehari sebelumnya menyerah dan
pasukannya dilucuti dan di konsinyir di Makassar. Sebelumnya, pada 24 April malam,
Andi Azis menemui Kolonel Kawilarang dan menyatakan ingin bergabung dengan TNI.
Penyerahan diri Andi Azis berlangsung keesokan harinya kepada Let-Kol Soeharto.
Penyerahan
diri Andi Azis hingga pendaratan pasukan Worang di Makassar tidak mengalami
perlawanan. Berlanjut dengan pendaratan pasukan induk Brigade XVI dari Surabaya
beberapa hari kemudian dengan kapal pendarat LST di Makassar. Dengan kekuatan
ini hingga pasukan TNI secara bertahap menggusur pengaruh KNIL di Makassar.
Setelah
berada di Makassar, Let-Kol Joop Warouw diangkat menjadi Komandan pasukan
Sulawesi Utara Maluku Utara (KOMPAS SUMU) dengan tugas mengambil alih Komando
Territorial Belanda (Troepen Commandant Noord Celebes) oleh Kementerian
Pertahanan dari Yogyakarta.
Mayor Suharyo ditunjuk sebagai Kepala Staf atas permintaan khusus dari Warouw kepada Let-Kol Zulkifli Lubis yang waktu itu menjabat Komandan organisasi Intel Kementerian Pertahanan. Kesatuan ini berintikan anggota Brigade XVI yang pernah melakukan perang gerilya di Gunung Kawi, Jawa Timur menghadapi pasukan SEAC (South East Asia Command) dibawah komando Inggris ketika melakukan pendaratan di Surabaya untuk menguasai Jawa.
Mayor Suharyo ditunjuk sebagai Kepala Staf atas permintaan khusus dari Warouw kepada Let-Kol Zulkifli Lubis yang waktu itu menjabat Komandan organisasi Intel Kementerian Pertahanan. Kesatuan ini berintikan anggota Brigade XVI yang pernah melakukan perang gerilya di Gunung Kawi, Jawa Timur menghadapi pasukan SEAC (South East Asia Command) dibawah komando Inggris ketika melakukan pendaratan di Surabaya untuk menguasai Jawa.
Diantara
para perwira dari brigade ini terdapat antara lain Mayor Saleh Lahade, Mayor
H.V. Worang, Mayor Rifai, Mayor Pieterz, Mayor Firmansyah, Mayor Mochtar, Mayor
Abdullah, Kapten Pattinama, Kapten Padang, Kapten Tenges, Kapten Arie Supit,
Kapten Somba, Kapten Wuisan, Letnan Lendy Tumbelaka, Letnan Maulwi Saelan,
Letnan Andi Odang, Letnan Yan Ekel dll. Kesatuan KOMPAS SUMU selama berada di
Makassar giat melakukan persiapan militer dalam usaha pendaratan mereka di
Manado.
Usaha
Belanda Melakukan Garis Pertahanan Makassar-Manado-Ambon Tidak berlanjutnya
aksi pemberontakan Andi Azis mengecewakan Dr.Chris Soumokil penentang integrasi
TNI dan menggunakan pesawat Pembom B-25 meninggalkan Makassar menuju Manado.
Soumokil berusaha mempengaruhi pasukan eks-KNIL di Sulawesi Utara untuk menemui
Sersan (KNIL) Mawikere, pimpinan TWAPRO guna memperoleh dukungan menentang integrasi
TNI. Setiba di lapangan terbang Mapanget (kini bandar udara Sam Ratulangie),
Soumokil tidak turun dan hanya mengirim utusan ke Manado dengan maksud menemui
kelompok Mawikere.
Tetapi
kedatangan rombongan dibendung oleh kalangan pemuda, hingga misi Soumokil gagal
dan kembali ke Ambon. Aksi menentang TNI berlanjut di Ambon ketika Chris
Soumokil, Jaksa Tinggi NIT memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS) pada
25 April dan menyatakan memisahkan diri dari NIT atau RIS. Cetusan proklamasi
RMS di dukung Ir. Manusama, Han Boen Hiong dan sekitar 2.000 pasukan KNIL
termasuk kesatuan komando Baret Merah dan Baret Biru.
Proklamasi itu menempatkan Ir. Manusama sebagai
Presiden RMS dengan Ambon sebagai pusat pemerintahan RMS. Untuk memperkuat
kekuasaan rezim, pihak RMS menangkap Pupella cs. dari Partai Indonesia Merdeka
(PIM) di Ambon yang pro Republik.
No comments:
Post a Comment