GERAKAN
KUDETA MILITER DI MINAHASA
SITUASI MANADO
Peristiwa
Andi Azis sampai pula di Manado dan mendapat perhatian khusus dari kalangan
kubu republik. Sebelumnya di akhir bulan Maret, di Manado diselenggarakan rapat
militer Belanda oleh komandan garnisun di tangsi militer Reserve Corps KNIL di
Wanea, Manado Selatan. Tujuan pertemuan itu, untuk membendung pendaratan
pasukan TNI ke Minahasa.
Sulawesi
Utara waktu itu berada dibawah Komando militer KNIL Troepen Commando Noord
Celebes, terdiri dari staf komando, dinas-dinas perhubungan dan logistik.
Komando ini membawahi kurang lebih satu batalyon infantri, satuan cadangan,
Reserve Corps KNIL, dinas radio/ PHB, polisi militer dan satuan logistik.
Sebagian besar dari kalangan prajurit dan bintara adalah turunan Minahasa.
Sedangkan perwira-perwira staf dari komandan batalyon, kompi hinga peleton
adalah kulit-turunan Belanda.
Sedangkan
pangkat pri-bumi hanya Prajurit Dua dan paling tinggi Pembantu Letnan Dua.
Pertemuan itu berusaha mematangkan “Rencana Metekohi”, membentuk garis
pertahanan Makassar-Manado-Ambon dihadiri militer Belanda yang khusus di kirim
Kolonel Schotborg dari Makassar. Pertemuan itu berusaha meraih kesepakatan
menggagalkan proses alih keamanan militer dari Komando Teritorial Belanda
kepada TNI di Indonesia Timur.
Rapat
itu mengusulkan mengaktifkan kembali prajurit-prajurit pensiunan KNIL (Papo)
dibawah naungan (Reserve Corps KNIL Manado). Tetapi usulan tersebut di tentang
keras oleh kalangan anggota KNIL pri-bumi yang cenderung berpihak pada RI.
Sebagian
besar anti-pati berada dibawah kekuasaan Belanda, yang dinilai takut berperang.
Wibawa perwira Belanda juga turun di kalangan pasukan pri-bumi karena langsung
menyerah pada Jepang tanpa perlawanan. Banyak dari mereka ini yang berhasil
lolos dari penangkapan Jepang, bergabung dengan Sekutu dan gigih bertempur di
Guadalcanal, Filipina dan perebutan berbagai kota di Indonesia menghadapi
Jepang.
Namun
sejak Perang Dunia Kedua usai, banyak dari mereka kecewa, karena harus kembali
berada dibawah pimpinan Belanda. Mereka kembali mendapat perlakuan
diskriminatif dari bekas kolonialnya. Bermula dari komentar Kopral Y Salmon,
sekalipun berpangkat rendah dan hanya menjabat sebagai staf schrijver
(juru-tulis bagian personalia KNIL), Salmon kritis mengemukakan komentarnya.
Pada forum itu Yan Salmon dengan lantang mengatakan: “…Bahwa pada kenyataannya,
Kerajaan Belanda telah mengakui kemerdekaan Republik Indonesia. Pengakuan ini
secara otomatis menempatkan Minahasa merdeka dan secara otomatis pula masuk
kedalam wilayah Indonesia. Jika kami sebagai prajurit KNIL asal Minahasa
melawan TNI, bukankah itu suatu pengkhianatan?”
Pada
bagian lain Salmon mengemukakan: “…Kalaupun terjadi pertempuran antara kami
dengan saudara-saudara kami dari TNI, dan yang terbunuh terdapat para pensiunan
prajurit-prajurit KNIL asal Minahasa yang sudah tua dan sudah lemah fisik,
siapa yang menjamin dan membayar pensiun keluarga mereka? Terus terang mereka
tidak mau mati konyol!”
Komentar
Kopral Salmon ternyata mempengaruhi suasana rapat dan semua yang hadir hening
seketika, dan para perwira Belanda sempat terbelalak dengan pandangan kritis
itu. Para pensiunan yang hadir terdiam dan sama sekali tidak menyanggah
pandangan Kopral Salmon. Pandangan dan pertanyaan Salmon tidak memperoleh
jawaban tegas dari perwira-perwira Belanda hingga menimbulkan antipati hadirin.
Pada
pertemuan itu, para perwira Belanda gagal menguasai keadaan dan tidak berhasil
menggolkan konsep mengaktifkan kembali para pensiunan KNIL di Sulawesi Utara.
Padahal waktu itu Dr. Soumokil juga di utus markas militer Belanda di Makassar
menghadiri pertemuan itu di Manado. Namun bekas Jaksa Tinggi NIT yang memvonis
mati pemuda Kawanua, Wolter Monginsidi (pahlawan Nasional) di Makassar (di
hukum mati pada 5 September 1949). Setelah utusan militer Belanda gagal
melakukan misi mewujudkan rencana Metekohi di Manado, Soumokil bersama para
perwira Belanda terbang menuju Makassar untuk menghasut Andi Azis memberontak.
Kudeta di Minahasa Raad Pada pertengahan April terjadi perdebatan sengit di Dewan Minahasa (waktu itu Minahasa Raad), Manado. Sebelumnya lembaga legislatif dikuasai kelompok TWAPRO (Twaalfde provintie) pimpinan Mawikere yang pro-Belanda. Namun pengaruh TWAPRO menurun tajam terutama di kalangan bekas prajurit-prajurit KNIL yang pernah bertempur baik di front peperangan Pasifik dibawah naungan AS, maupun di Asia-Tenggara dibawah komando Inggris.
Kudeta di Minahasa Raad Pada pertengahan April terjadi perdebatan sengit di Dewan Minahasa (waktu itu Minahasa Raad), Manado. Sebelumnya lembaga legislatif dikuasai kelompok TWAPRO (Twaalfde provintie) pimpinan Mawikere yang pro-Belanda. Namun pengaruh TWAPRO menurun tajam terutama di kalangan bekas prajurit-prajurit KNIL yang pernah bertempur baik di front peperangan Pasifik dibawah naungan AS, maupun di Asia-Tenggara dibawah komando Inggris.
Tetapi
setelah kembali dari peperangan, mereka kembali harus berada dibawah komando
Belanda. Mereka juga kecewa, karena tiada jaminan keselamatan dan keamanan yang
dilakukan pihak militer Belanda terhadap keluarga mereka yang ditinggalkan di
Jawa. Banyak dari keluarga mereka di-bantai oleh pemuda-pemuda radikal
ekstrimis dengan tuduhan sebagai “anjing NICA.”
Mereka ini disiksa tanpa perlawanan seperti aksi pembantaian yang terjadi di Salatiga. Pembantaian ini dapat dihentikan oleh Laskar KRIS. Dampak aksi militer 14 Februari 1946 oleh Sersan Taulu cs. telah menimbulkan ketidak senangan kalangan bekas prajurit eks-KNIL asal Sulawesi Utara karena menjadi korban diskriminasi kolonialisme Belanda.
Mereka ini disiksa tanpa perlawanan seperti aksi pembantaian yang terjadi di Salatiga. Pembantaian ini dapat dihentikan oleh Laskar KRIS. Dampak aksi militer 14 Februari 1946 oleh Sersan Taulu cs. telah menimbulkan ketidak senangan kalangan bekas prajurit eks-KNIL asal Sulawesi Utara karena menjadi korban diskriminasi kolonialisme Belanda.
Di
awal pasca perang dunia kedua, situasi politik di Sulawesi Utara terpecah-pecah
oleh berbagai kelompok baik yang pro maupun anti-republik seperti dari barisan
Republik, Unitaris, Federalis, Hoofden Bond, Twapro (Twaalfde Provintie) dll.
Kelompok Twapro yang menguasai Dewan Minahasa menghadapi aksi barisan oposisi,
GIM (Gerakan Indonesia Merdeka) dengan pemukanya, Uttu J.A Maengkom (mantan
Menteri Kehakiman RI), dan didukung kalangan pemuda pro-Republik terutama dari
Tomohon, Langowan dan Tondano.
Kegagalan
utusan Kolonel Schotborg melakukan kampanye anti-TNI pada pertemuan Wanea
ternyata mempengaruhi posisi TWAPRO di Minahasa Raad (Dewan Minahasa). Pada
sidang Dewan Minahasa di Manado, pihak TWAPRO berusaha meraih dukungan rencana
Metekohi. Tetapi mendapat reaksi hebat barisan oposisi melalui perdebatan seru.
Dari perdebatan ini terjadi keraguan dari kelompok pro Belanda ketika pihak
oposisi mengingatkan bakal terjadi perang saudara dan Manado dilanda banjir
darah.
Lagi
pula masyarakat di Sulawesi Utara jenuh dengan peperangan dan tidak ingin
mengulangi penderitaan yang dan pernah di alami pada masa pendudukan Jepang.
Para orang-tua juga tidak ingin lagi mengorbankan putera-putera mereka
digunakan untuk bertarung dalam berbagai pertempuran baik untuk Sekutu maupun
oleh Jepang.
Argumentasi
kalangan republik terhadap ancaman perang saudara, karena yang di hadapi adalah
barisan pemuda dukungan Angkatan Muda KNIL terutama dari Morotai penentang
Belanda. Situasi ini menguntungkan barisan pro Republik dan berhasil melakukan
aksi “Kudeta” di Dewan Minahasa. Awal Gerakan 3 Mei Di Manado pada Selasa 25
April 1950, jam 20.00 malam, rumah Sersan (KNIL) Fred Bolang (Brig-Jen Purn.
TNI AD) ditemui Laurens Saerang, Lexi Anes dan Frans Wowor dari kelompok Front
Laskar Pemuda (FLP) yang mengenakan jaket Merah Putih. Pada pertemuan itu
Bolang di ajak bergabung dengan Republik memimpin operasi militer bersama
pemuda melakukan kudeta terhadap Belanda. Bolang dipilih karena pengalamannya
sebagai militer profesional.
Prestasi
militer Bolang dikenal sebagai pasukan khusus Sekutu dibawah komando Mayor Tom
Harrisson dari Inggris ketika memimpin perang gerilya melawan tentara Jepang di
pedalaman Kalimantan. Sekembalinya di Minahasa, Bolang sering dikenal vokal
terhadap penguasa Belanda. Sekalipun Bolang tidak terlibat pada Gerakan 14
Februari 1946, tetapi ia dicurigai militer Belanda di Manado. Jebolan bintara
KNIL Angkatan 1939 di Gombong disegani karena prestasinya dan berperang sebagai
prajurit profesional hingga Fred Bolang menyandang berbagai penghargaan militer
dari Sekutu. Antara lain, “British Empire Medal,” dari Inggris, oleh Laksamana
Mountbatten, “Pacific Medal,” dari Panglima Sekutu, Jendral Mac Arthur, bintang
militer “Ridderlijke Orde” dari Belanda oleh Letnan Jendral Spoor, Panglima
militer Belanda di Indonesia karena prestasi militer masa perang dunia kedua.
Dari
prestasinya itu hingga Bolang luput dari penangkapan. Tidak berlanjutnya
Gerakan Peristiwa Bendera Merah Putih 1946 dan penangkapan para pelaku di kirim
ke Jawa, hingga Manado diawasi ketat oleh pasukan komando Baret Merah dan Hijau
Belanda. Tetapi kehadiran Belanda di Manado tidak mengatasi keadaan karena
sering dihadapi oleh serbuan sporadis terutama dari kelompok pemuda Tondano,
Langowan dan Tomohon pimpinan Pratu (KNIL) Laurens Saerang, mantan Angkatan
Muda KNIL dari Morotai. Termasuk penyerbuan pada 14 April ketika kelompok
pemuda ini berusaha melucuti markas militer di Teling.
Sebelumnya
di awal bulan April sekelompok kecil pasukan KNIL pimpinan Sersan Tuturoong
melakukan aksi membongkar gudang senjata dari markas militer Teling. Bersama
dengan senjata-senjata yang di peroleh, mereka menuju ke Tomohon dan membagikan
kepada para pemuda pro Republik untuk menyerbu Manado. Penyerbuan di markas
militer KNIL Teling gagal karena diketahui dinas rahasia NEFIS, dan dipatahkan oleh
KNIL pimpinan Mayor Nues bersama korps komando Baret Merah pimpinan Letnan
Antoinette dan Baret Hijau pimpinan Letnan Hetaria.
Namun
semangat juang pemuda mengusir Belanda dari Minahasa tidak padam. Mereka
didukung perwira-perwira TNI, Sumual, Gagola, Ngantung dll. yang melakukan misi
rahasia kampanye integrasi bekas prajurit KNIL memasuki TNI dan menggalang aksi
kekuatan menentang Belanda. Penempatan sejumlah perwira asal Minahasa seperti
A.E.Kawilarang, Joop Warouw, Evert Langkey, dll. dalam jabatan teras TNI
mempengaruhi para bintara KNIL seperti Sersan Fourier Alex Mengko, Sersan Fred
Bolang, Sersan Phillip Tumonggor, Sersan Jootje Angkau, Kopral Tuturoong dll.
beralih berhaluan Republik.
Termasuk
di kalangan anggota Baret Merah dan Baret Hijau Belanda asal Sulawesi Utara.
Untuk mempertebal rasa kesatuan dan kebangsaan, prajurit-prajurit bekas KNIL
sering mengikuti berbagai pertemuan dengan kalangan Republik dan mendengar
pandangan nasionalisme. seperti Karel Supit, guru perguruan Bhakti KRIS di Kawangkoan.
Juga mengikuti berbagai rapat gerakan rahasia dikantor surat kabar “Pikiran
Rakyat” pimpinan Wolter Saerang dan Hermanus. Dari pertemuan malam hari dirumah
Bolang, ajakan Front Laskar Pemuda (FLP) disetujui Fred Bolang.
Pertemuan dilanjutkan dengan rencana mengatur operasi penyerbuan di markas Batalyon Infantri XVIII (KNIL) di Teling. Menurut rencana, Bolang bersama pasukannya akan bergabung dengan para pemuda dan kalangan bintara KNIL lainnya dan menetapkan hari H yang penuh rahasia. Hari H ditetapkan hari Selasa, 2 Mei jam 23.00 dimulai dengan penyerbuan markas militer Teling yang terbagi dalam dua kelompok.
Pertemuan dilanjutkan dengan rencana mengatur operasi penyerbuan di markas Batalyon Infantri XVIII (KNIL) di Teling. Menurut rencana, Bolang bersama pasukannya akan bergabung dengan para pemuda dan kalangan bintara KNIL lainnya dan menetapkan hari H yang penuh rahasia. Hari H ditetapkan hari Selasa, 2 Mei jam 23.00 dimulai dengan penyerbuan markas militer Teling yang terbagi dalam dua kelompok.
Kelompok
I (semuanya bertempat tinggal di Asrama Teling) pada jam 23.00 melucuti semua
senjata tentara KNIL di asrama dan membuka gudang senjata dan amunisi. Kelompok
II tepat jam 23.00 akan menyerbu asrama Teling menerima senjata dan membantu
dari kemungkinan perlawanan. Semua kendaraan disiapkan di daerah Titiwungen
oleh para pemuda yang akan mengangkut pasukan menuju Tomohon untuk menyusun kubu
pertahanan di Tomohon dari kemungkinan perlawanan dari detasemen-detasemen KNIL
dari luar kota Manado. Pada 2 Mei jam 21.00 malam, Sersan Bolang dengan seragam
militer bersenjata lengkap berada didepan barak Teling Hitam.
Menurut
rencana, Bolang akan mengumpulkan dan memimpin satu peleton pasukan KNIL
didampingi Kopral Tuturoong. Malam itu Bolang sedang berjalan sendiri menuju
markas militer Teling. Tiba-tiba saja sebuah jip yang tidak terdengar
derumannya berhenti disebelahnya. Sang pengemudi, ternyata seorang Kapten
Belanda, yang juga Komandan Kompi menyapa singkat: “Stap in, Sergeant Bolang!”
(Naik, Sersan). Bolang sempat terkejut, namun agar tidak dicurigai, ia ikut
perintah dan naik jip yang ternyata tidak menuju ke markas Teling. Ketika
meliwati Sario, Bolang mengira gerakan sudah bocor dan bakal ditahan di Markas
CPM. Ternyata jip melaju terus menuju markas Troepen Commandant.
Setiba
di markas besar territorial, Bolang melihat semua perwira staf sedang berkumpul
karena di konsinyir. Sambil berjalan ia dimaki beberapa rekan bintara
(pro-Belanda): “Pengkhianat.” Bolang sempat naik pitam dan mencabut pangkat dan
dilempar pada mereka. Tetapi Kapten yang mendampingi, memungut tanda pangkat
sambil berkata: “Pangkat ini diberikan Kerajaan Belanda.” Sang Kapten
menenangkan suasana sambil memasang kembali tanda pangkat pada kedua pundak
Bolang, dan dipapah keruangan komandan menemui Mayor Nues.
Pada
saat pertemuan, terdengar letusan peluru dari arah Timur. Nues angkat telepon
dan bertanya pada pos peninjau mengenai suara letusan (ternyata tembakan peluru
dilepaskan Kopral Tuturoong, anak buah Bolang). Setelah menutup gagang telepon,
Nues langsung bertanya kepada Bolang: “Kenapa bisa terjadi begini?” Tetapi
Bolang diam dan hanya memperhatikan Nues yang bersungut sendiri. Percakapan
terganggu ketika tiba-tiba pintu dibuka oleh Kapten dan terlihat Sersan Angkau
masuk dan duduk disebelah Bolang.
Kepada
Angkau, ia bertanya berbisik: “Kenapa kau kemari?” Angkau diam, tetapi tak
berapa lama ia menjerit-jerit sambil menggigil kedinginan seolah sakit. Kepada
Kapten, Mayor Nues bertanya: “Zeg Kapitein, wat scheelt hij, is hij ziek? Breng
hem terug (Kenapa dia Kapten, apa dia sakit? Bawa dia kembali ke asrama
Teling). Ternyata Angkow bersandiwara hingga tidak ditanya oleh Nues. Pada jam
00.45 kembali terdengar suara berondongan tembakan dari Bren-gun menggema
dikegelapan malam dari arah Barat.
Mayor
Nues angkat telepon meminta laporan Pos Peninjau. Setelah mendapat laporan
(ternyata juga dilepaskan oleh Kopral Tuturoong). Sambil meletak gagang telepon
mengarahkan matanya pada Bolang dan berkata: “Sersan Bolang, kalau begini akan
sulit. Nanti, bisa-bisa kita saling baku tembak.” Nues menjelaskan bahwa
pihaknya bermaksud akan melakukan promosi kenaikan pangkat perwira dan jabatan
kepada para prajurit pri-bumi, hingga semua perwira staf di kumpulkan pada
malam itu.
“Saya
akan membentuk satu batalyon APRIS dan Komandan Batalyon adalah Onder Luitenant
Purukan dan Kepala Staf, Adjudanct Sembel. Purukan berpangkat Mayor dan Sembel
menjadi Kapten” ujar Nues. “Sedangkan anda berada dalam formasi sebagai
komandan Kompi IV berpangkat Kapten. Apakah anda sudah tahu?” sapa Nues kepada
Bolang. Sambil geleng kepala Bolang menjawab singkat: “Belum tahu Mayor.” Nues
melanjut: “Begini saja, saya percaya kau dapat atasi ini. Kamu kembali ke
Teling dan kumpulkan semua anak buah dan bawa mereka kemari dan besok saya akan
bicara, OK?”
Percakapan
berakhir ketika Nues berdiri dan kemudian memanggil Kapten yang berada di luar.
Ia kemudian memerintahkan: “Kapten …, dan kembalikan Sersan Bolang ke Teling.”
Bolang lega, karena rencana penyerbuan ke markas Belanda tidak bocor. Membelot
ke Republik.
Setibanya
di tangsi militer, Sersan Bolang segera mengumpulkan prajurit di muka rumah
jaga. Setelah terkumpul 78 prajurit, iapun memimpin sebagai komandan barisan
memberi aba-aba militer. Jumlah dibagi dalam tiga peleton, masing-masing
terdiri dari Peleton I langsung dibawah pimpinannya, Peleton II dipimpin Sersan
Angkow dan Peleton III pimpinan Sersan Mengko.
Setelah pasukan disiagakan, Sersan Fred Bolang melapor kepada Kapten dan mengatakan pasukan sudah siap menjalankan tugas agar esok hari memperoleh wejangan Mayor Nues di Teling Hitam.
Setelah pasukan disiagakan, Sersan Fred Bolang melapor kepada Kapten dan mengatakan pasukan sudah siap menjalankan tugas agar esok hari memperoleh wejangan Mayor Nues di Teling Hitam.
Sang
Kapten menanya kode (pengenalan pasukan). Bolang segera jawab: “9 – 0.” Kapten
menyambut: “OK.” Bolang memberi aba-aba: “Pasang Sangkur.” Berlanjut dengan
suara: “Voorwaarts… Mars!!!” (Majuud Jalan!!!). Pasukan mulai bergerak keluar
tangsi militer Teling. Saat keluar di pintu gerbang, Sersan Bolang dikejuti
bentakan kasar Letnan Antoinette, komandan pasukan Baret Merah diikuti
bawahannya: “…Hei kemana kamu?.” Sambil berlari kecil mengikuti gerak langkah
pasukan, Bolang membentak balik: “Hou je beck (tutup bacotmu), ini perintah
Mayor Nues (troepen Commandant).” Setelah keluar asrama Teling, pasukan
langsung diarahkan menuju Titiwungen, tempat yang direncanakan Front Laskar
Pemuda (FLP). Mulanya para pemuda panik karena mengira rencana sudah bocor dan
mereka akan dibantai hingga lari tunggang langgang mencari tempat sembunyi.
Bolang mengerahkan satu regu untuk mencari
mereka. Setelah melihat Fred Bolang, kemudian Laurens Saerang, Wolter Saerang,
Lexy Annes, dll. keluar dari persembunyian dengan rasa haru. Bolang bertanya:
“Saudara-saudara, kita sudah siap. Siapa yang akan memimpin operasi ini?”
Diantara mereka menjawab: “Atas nama Pemuda, kepemimpinan operasi kami serahkan
kepada saudara Fred Bolang” (Pangkat sudah tidak berlaku dan semua pasukan
mencopot pangkat dan menjadi pemuda pejuang bersama Laskar Front Pemuda).
No comments:
Post a Comment