Tuesday 18 November 2014

PETISI 31 MARET 1877 DI MINAHASA [4]

“KAULA ATAU SETERU”
Oleh : Yuda B. Tangkilisan




PENUTUP

Petisi 31 Maret 1877 ternyata tidak hanya sekedar wahana penyampaian protes saja. Isi petisi tersebut menyingkapkan proses perubahan yang dialami oleh rakyat Minahasa. Petisi itu dapat digolongkan sebagai dokumen kunci dalam sejarah Minahasa. Dan juga ia dapat disebut sebagai pancang historis. Pancang yang menunjukkan akan kesadaran orang Minahasa terhadap keadaannya yang sebenarnya.
Proses perubahan politik yang berlangsung lebih kurang sejak dekade kedua abad 19 didasarkan pada anggapan bahwa Minahasa adalah bagian dari wilayah Hindia Belanda. Pada pihak lain, pemimpin Minahasa belum menyadari akan adanya perubahan status. Mereka masih beranggapan bahwa status wilayah mereka adalah sekutu daripada Belanada. Baru setelah setengah abad mereka menyadari akan adanya “perubahan”.
Picu yang bergema keras, yang menayadari para pemimpin Minahasa adalah Peraturan Pemerintah Mengenai Tanah Milik Negara (Domein Verklaring) tahun 1877 dan terutama besluit tanggal 25 Januari 1877. Latar belakang keluarnya peraturan agraria itu, adalah sebagai salah satu akibat desakan modal swasta yang mulai terasa sejak tahun 1870. Untuk tertibnya lalu lintas modal swasta itu, dikeluarkanlah serangkaian kebijaksanan terutama dibidang pemerintahan dan agraria.
Perubahan yang terjadi biasanya ditanggapi orang Minahasa secara akomodatif, namun kali ini tanggapan yang diberikan agak berbeda, khususnya oleh para kepala walak (distrik). Reaksi pertama mereka tentunya dapat dipahami karena kebijaksanaan itu langsung menyangkut kepentingan mereka. Dalam menanggapi perubahan itu, mereka tidak memilih cara kekerasan. Apakah pemilihan cara protes melalui petisi tersebut merupakan petunjuk akan adanya kesadaran dan kedewasaan politik dari para pemimpin Minahasa, sebagai akibat proses pembaratan yang intensif selama lebih setengah abad.[22] Namun secara historis, kedudukan para pemimpin Minahasa pada abad 19 memperlihatkan gejala ketergantungan, baik secara politik maupun secara ekonomis kepada pemerintah Hindia Belanda. Hal itu ditandai dengan berubahnya status mereka dari kepala walak menjadi kepala distrik.
Para pemimpin Minahasa tercabut dari kedudukan tradisionalnya dan menerima tawaran menempati kedudukan dalam lapisan ciptaan Belanda. Dan protes mereka tercetus sesuai dengan aturan-aturan baru itu.
Paling tidak dengan adanya petisi itu, anggapan akan loyalitas yang berkepanjangan Minahasa terhadap Belanda perlu ditinjau kembali dan ditempatkan pada konteks yang jelas.[23]
Petisi kepada Gubernur Jenderal van Landsbergen di Batavia merupakan reaksi atas peraturan tanah negara ordonansi 1875 (Staatsblad1875 no. 199a), yang diatur dengan besluit 25 Januari 1877. Sedangkan reaksi terhadap domein verklaring 1877 (Staatsblad 1877 no. 55 dan 55a) tercetus dalam petisi kepada Parlemen Negeri Belanada (Tweede Kamer/ Majelis Rendah).
Rupa-rupanya kedua petisi itu tidak menghasilkan keputusan pengganti sebagai pemenuhan permintaan petisi itu. Petisi kepada Gubernur Jenderal dijawab dengan tetap berlakunya peraturan yang ada. Sedangkan petisi kepada Parlemen bukanlah suatu alamat yang tepat.
Memang secara langsung, petisi itu tidak menimbulkan perubahan peraturan. Namun petisi itu yang pertama kali mempersoalkan kembali masalah kontrak-kontrak nenek moyang Minahasa dengan Belanda. Jelasnya issue sekutu atau kaula pertama kali dicetuskan oleh petisi tersebut. Untuk selanjutnya, issue sekutu atau kaula itu menjadi senjata protes pada setiap keberatan yang timbul terhadap kebijaksanaan kolonial. Khususnya, ia digunakan terhadap politik agraria Hindia Belanda di Minahasa. (Selesai).

CATATAN KAKI
[1] Lihat Rogering
[2] Lihat, “Toestanden in de Minahassa door Men Ooggetuigs” IG 2 (1880) 1, hal 594.
[3] Pada kesempatan lain Swaving justru menilai usul itu diterima: “Dit is onjuist, het is waar, dat een paar hoofden pp de vergadering van 2 September 1876 verklaarden geen tractement te willen ontvangen, doch op de vergadering van den volgenden dag kregen die hoofden door hunne ambtgenooten deswege een openlijk, een gevoelig dementie. Het proces-verbaal daarvan is in het Regeering-archief.” (A.H. Swaving. “De varhouding van de bevolking der Minahasa (afdeeling der residentie Menado) tot het gouvernement van Nederlandsch-Indie”.
[4] Ordonansi tersebut mengatur pemilikan tanah untuk luar Jawa. Sedangkan untuk Jawa dan Madura tercantum dalam Staatsblad 1970 no. 118. Peraturan itu pertama kali memperkenalkan prinsip legal bahwa seluruh tanah yang tidak berada dalam pemilikan pribadi merupakan milik negara (domein van den Staat). Definisi tanah negara dalam hal ini meliputi tanah yang dikuasai penduduk, dan selanjutnya penting untuk membedakan tanah bebas. Tanah bebas dimaksudkan adalah tanah negara yang bebas dari hak-hak penduduk. Di bawah pengaturan itu, terbuka kesempatan untuk menyewa tanah oleh pemerintah kepada pihak-pihak swasta yang terutama non-bumiputra. Penyewaan itu dapat dilakukan oleh individu atau suatu badan yang terdaftar. Peraturan itu juga memuat pembatasan luas tanah yang dapat disewa dan jangka waktu penyewaan. Kemudian hak pengelolaan itu dikenal dengan sebutan hak Erfpacht. Lihat L. Adam. Op. Cit, 1975 hal. 36-38. Mengenai beslit 25 Januari 1877 disebut dalam Algemeen Verslag der Residentie Menado 1877, Menado bundel no. 53, ANRI. Lihat juga Swaving. Loc.Cit. hal.28.
 [5] “Bij mijn besluit dato 25 Januari 1877 no. 1 L a A verlaarde ik te weigeren het inschrijven in de registers van die gronden, die aan niet-inlanders waren verkocht”. Swaving ibid.
[6] Seperti juga beslit 25 Januari 1877 tersebut, arsip tentang jalannya, tempat, waktu pertemuan tersebut tidak dapat ditemukan. Index Menado 1877 ANRI menyebutkan suatu Agenda Juni j 19, 12389 tentang telegram Residen Menado yang menyangkut pertemuan tersebut, tetapi ketika dicari tidak ditemukan.
[7] Petisi tersebut diterjemahkan dari yang dikutip oleh van Kesteren. Loc.cit. hal. 463-466, selain itu petisi itu terdapat pula dalam Java Bode, 7 Februari 1878. Antara kedua sumber ini tidak terdapat perbedaan yang dasar, kecuali mengenai ejaan. Kesteren menulis contracten sedangkan Java Bode dengan kontrakten. “Kesteren menulis Excellentie JB dengan Eksellensie. Mengenaisurat aslinya belum/tidak dapat ditemukan. Dalam kesempatan ini petisi itu disebut sebagai Petisi 31 Maret 1877. Disebut demikian berdasarkan jawaban dari Gubernur Jenderal, lihat JB ibid. L. Adam menyebutkan bahwa petisi itu dikirim pada  tanggal 31 Maret 1877, lihat L. Adam. Op.cit. 1975,  hal. 30.  Dalam Algemeen Verslag der Residentie Menado 1877, adanya petisi itu disebutkan sepintas lalu saja, yang dihubungkan dengan masalah peraturan agraria. Sedangkan politik verslag 1877 belum/tidak dapat ditemukan.
[8] Lihat catatan kaki no. 89.
[9] Lihat bagian II C.
[10] L. Adam. Op.cit. 1975,  hal. 30. Sedangkan tulisan asli L. Adam juga menyebutkan jumlah yang sama (Bukan Kesalahan tehnis-cetak).
[11] Seperti misalnya A.B. Lapian menulis (dalam rangka membahas buku Bert Supit); “...Kita mengetahui bahwa hingga sekarang masih ada kelompok yang berpegang pada Perjanjian 1679 ini (seperti dalam hal seminar menentukan hari jadi Minahasa pada tahun 1982 yl.), sedangkan tidak banyak menyadari bahwa naskah asli pun tidak ada. Kami sendiri dibesarkan di kalangan kelompok yang menolak keabsahan Perjanjian tersebut, halmana ternyata juga dianut oleh penulis buku”. Lihat A.B. Lapian. Pembahasan Buku: Bert Supit, Minahasa – Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1986. Makalah pada seminar sehari Pembahasan Buku Bert Supit. Yayasan Kebudayaan Minahasa, Jakarta, 1986.
[12] Supit. Op.cit. hal. 105-106. Pemberian penghargaan berupa gelar-gelar tersebut dewasa ini sedang dicoba dihidupkan kembali. Seperti misalnya penganugerahan gelar Tonaaas Wangko kepada masing-masing, KSAD Letjen Pol Moch Sanoesi, dan KSAU Marsdya Oetomo. Lihat. “Album”.Tempo, no. 40 Tahun XVI, 29 November 1986, hal. 15.
[13] L. Adam Op. Cit., 197b. Selanjutnya dikatakan bahwa dari “penyalahgunaan” tersebut banyak kepala yang menjadi kaya. Pada tahun 1890 “penyelewengan” itu dilarang keras oleh pemerintah Belanda. Hal. 70.
[14] Tentunya ada kemungkinan lain dimana mereka sangat dipengaruhi oleh kelompok zendeling dan swasta yang hadir juga dalam pertemuan itu, namun sebelum dokumen lengkap ditemukan rasanya agak riskan untuk berkesimpulan demikian. Tetapi MEFE berpendapat bahwa petisi itu dibuat akibat pengaruh salah satu artikel di surat kabar Locomotief yang menuduh bahwa peraturan agraria itu suatu permainan tingkat tinggi (hoogspel), selanjutnya dicurigai adanya pengaruh dari para zendeling dalam petisi tersebut. MEFE. Loc.Cit.
[15] Seperti kesan Wallace terhadap Minahasa dan juga dikap umumnya pejabat-pejabat Belanda.
[16] Surat kepada Residen selalu memakai kata penghormatan Tuan Bangsawan, dan kata-kata penghormatan lainnya untuk pejabat-pejabat Belanda. Sopan santun sangat diperkenalkan oleh para pengajar dan pendeta.
[17] Di kalangan orang Belanda sendiri terjadi perdebatan mengenai petisi tersebut. Dua surat kabar, Java Bode dan SHB juga mengulas petisi tersebut. JB berpendapat bahwa kebijaksanaan itu sesuai dengan status Minahasa, sedangkan SHB setelah mengkaji sejarah panjnag Minahasa dan VOC berkesimpulan bahwa peraturan itu kurang sesuai. Demikian juga pendapat C. Bosscher, bekas residen Menado melihat bahwa seyogyanya hukum adat Minahasa mendapat tempat tersendiri dalam mempertimbangkan suatu peraturan. Sedangkan Swaving tetap konsisten dengan pendapatnya bahwa Minahasa adalah kaula. Ia mendasarkan pendapatnya pada tiadanya reaksi dari para kepala Minahasa saat diterapkan peraturan-peraturan sejak 1824 dst.
[18] Selain itu terdapat beberapa latar belakang lain seperti untuk menertibkan pemilikan sehingga dapat meredakan konflik-konflik yang terjadi mengenai pemilikan tanah diantara rakyat Minahasa. CT Bertling. “Grondbezit in the Minahasa”. Koloniale studien. 12 (1928) 2: 322 – 339 Namun secara umum bahwa peraturan itu ditetapkan sejalan dengan masuknya modal swasta ke Hindia Belanda.
[19] Petisi itu diterjemahkan dari kutipan (extract) yang dimuat pada, IG 1 (1879) 2: 112-114.
[20] Lihat MEFE. Op.Cit. hal. 383 Lihat L. Adam. Op.Cit. hal. 30.
[21] MEFE, op.cit. hal. 388-390
[22] Manoppo-Watupongoh. Op.cit.
[23] Patuleia-Schouten. Loc.Cit.

PETISI 31 MARET 1877 DI MINAHASA [3]

“KAULA ATAU SETERU”
Oleh : Yuda B. Tangkilisan



PETISI KEPADA MAJELIS RENDAH PARLEMEN NEGERI BELANDA

Sementara itu, suatu peraturan agraria tertanggal 8 Maret 1877 (Staatsblad 1877 no. 55 dan 55a) menyatakan bahwa tanah Minahasa adalah tanah pemerintah, sehingga hak untuk menyewakannya berada di tangan pemerintah. Cuma tanah yang dimaksudkan adalah tanah-tanah yang tidak dipakai oleh penduduk, seperti hutan.
Tiga bulan kemudian keluar kembali peraturan yangg mengatur ijin penyewaan tanah kepada orang non bumiputra. Peraturan itu (Staatsblad1877 no. 127) menguraikan pula beberapa syarat kepada penyewa serta prosedur, wewenang dan lamanya penyewaan tersebut.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda menanggapi petisi 31 Maret 1877 itu dengan menetapkan bahwa peraturan sebelumnya yang telah dikeluarkan tetap berlaku.
Jika dianalisa, peraturan agraris yang baru telah mempersempit pengertian milik kerajaan/pemerintah, dimana disebutkan bahwa tanah pemerintah adalah tanah-tanah yang belum dibuka/digarap (woeste gronden). Dan dalam prosedur penyewaan, kepala-kepala Minahasa juga mendapat tempat/bagian, dalam hal pengesahan.
Walaupun demikian, rupa-rupanya kepala Minahasa belum cukup puas dengn kebijaksanaan itu. Mereka kembali mengirimkan surat petisi. Sekali ini petisi dilayangkan kepada Majelis Rendah Negeri Belanda (Tweede Kamer).

Petisi itu berbunyi sebagai berikut :

Kami pikir, bahwa Yang Dipertuan Agung Gubernur Jendral tidak mengadakan peraturan yang demikian, apabila Residen Menado Swaving tersebut diatas, yang belum lama memerintah, tidak memberikan keterangan yang salah kepada Yang Dipertuan Agung mengenai daerah kami Minahasa atau mengenai kontrak-kontrak yang dibuat nenek moyang kami dengan pemerintah Belanda.
Apa kemungkinannya, atau berdasarkan apa tanah (daerah) kami Minahasa menjadi tanah pemerintah, kami tidak mengerti, terutama bila kami piker :

  1. Pada masa yang sudah berlalu 200 tahun, dalam waktu kami atau nenek moyang kami tidak sekalipun mendengar bahwa Minahasa adalah tanah atau milik pemerintah, terlebih lagi tiap residen dahulu tidak pernah menyatakan hal tersebut kepada kami;
  2. Pada isi kontrak yang dibuat nenk moyang kami dengan Pemerintah Belanda tertanggal 10 Januari 1679; 10 September 1699; 5 Agustus 1790; 13 Agustus 1791 dan pemerintah sementara Inggris tertanggal 13 September 1810;
  3. Pada jumlah bidang tanah yang dibeli pemeirntah Belanda dari kami atau nenek moyang kami atau rakyat mereka,
  4. Pada isi dokumen negara, yang mengandung pidato dari Residen Menado Jansen (yang memerintah Minahasa kurang lebih 6 tahun) yang ditujukan kepada kami tanggal 20 Agustus 1859 di Tondano, pada kesempatan mana dibagi-bagikan payung, dokumen negara mana dikirimkan kepada kami masing-masing oleh pemerintah Belanda sebagai cendera mata untuk disimpan sebagai barang pusaka keramat bagi anak-anak dan keturunan kami.
  5. Pada keputusan pemerintah tanggal 14 Januari 1866 no. 99 dan surat keputusan Residen Manado, van Deinse yang memerintah Minahasa kurang lebih 7 tahun, tanggal 8 April 1866 no. 49, dalam mana pengukur tanah F.W. Paepke diberi tugas untuk mengukur dan membuat daerah dari batas-batas distrik di Minahasa dengan upahnya dibebankan pada kas distrik karena tanah-tanah itu milik distrik;
  6. Pada surat dinas Residen Menado, van Deinse tersebut diatas, ditujukan kepada pemerintah tanggal 27 Juli 1866 no. 1416, dengan mana Yang Dipertuan (dengan menyerahkan surat permohonan tuan L.D.W.A. van Renedde van Duivenbode yang berisikan permintaan untuk menyewa sebidang tanah di Distrik Tonsea dari pemerintah, bahwa tanah-tanah di Minahasa sekian jauh bukan tanah negara dan ia milik rakyat distrik, dimana tanah itu terletak, dan . . . selanjutnya pada surat dinas Residen yang sama pula kepada pemerintah tanggal 25 Juli 1868 no. 1900, dalam mana Yang Dipertuan memberikan jawaban yang sama seperti tersebut diatas terhadap pertanyaan pemerintah kepadanya, malah dengan tambahan, bahwa pemerintah distrik yang bersangkutan berwenang penuh untuk menyewakan dan menjual tanah liar yang ada dalam distrik mereka, sebagaimana berulang kali terjadi pada masa dahulu.


Bahwa kami memang tidak boleh menentang keputusan Yang Dipertuan Agung Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tetapi menghormati dan memperhatikannya, namun hendak melihat apakah juga persoalan ini oleh Tuan yang dijunjung, mempertimbangkan dengan penuh keadilan.
O..! betapa riangnya, betapa besar terima kasih kepada tuan-tuan apabila oleh kerja sama tuan-tuan yang adil itu membahagiakan Raja Belanda yang kami junjung dan kasihi memerintahkan mencabut undang-undang mengani daerah kami Minahasa, seperti tercantum dalam Lembaran Negara 1875 no. 199 dan 199a dan Lembaran Negara 8 Maret dan 17 Juni 1877 no. 55 dan 127, agar Minahasa tetap tanah kami dan rakyat kami, sehingga kami dengan demikian mulai membuat kontrak-kontrak dengan pemerintah Belanda, lebih daripada itu juga agar kami dan bawahan kami dan raja-raja lain yang mendengar ini tetap memuji, menghormati dan memperhatikan kebaikan, keadilan, ketenangan dan kecakapan pemerintah Belanda.
Akhirnya kami mohon maaf sedalam-dalamnya dari tuan-tuan yang terhormat, apabila kami membuat kesalahan dengan langsung berhadapan dengan tuan-tuan atau apabila salah atau melanggar norma-norma yang ada.

Ya, kiranya Tuhan memberkati pekerjaan kami!
Dibuat dengan segala kerendahan hati.
Kepala-kepala yang memerintah Minahasa.

Diperkirakan bahwa surat ini dikirimkan setelah petisi pertama dijawab oleh pemerintah Hindia Belanda karena jawaban yang diberikan telah dicantumkan dan juga menjadi keberatan para kepala kembali. M.E.F. Ellout memperkirakan bahwa petisi itu dibuat sekitar Juni 1878. L. Adam hanya menyebutkan sepintas lalu, tanpa memberikan tanggal yang pasti.[20]
Sikap Majelis Rendah paling tidak dapat ditelusuri dengan pidato salah seorang anggota parlemen yang dikutip oleh MEF Ellout (MEFE):[21]

TUAN ELLOUT VAN SOETERWOEDE, TUAN KETUA!

Kepada Dewan ada surat yang diajukan oleh kepala-kepala Minahasa. Komisi peneliti surat-surat permintaan, menurut pendapat saya dengan cerdik menghindari dua bahaya dari usul yang menunjuk rasa tidak puas atas surat permohonan tersebut: pihak pertama campur tangan Dewan dalam masalah yang bukan wewenangnya, pada pihak lain berupa kealpaan dimana perhatian malah diberikan, sekarang atas cara kewenangan dan kepercayaan dari kepala-kepala pribumi, yang bertentangan atau tidak dengan peraturan yang berlaku menghubungi dewan.
Dewan menurut saya, tidak ada wewenang untuk mengadakan penilaian dalam masalah antara pemerintah Hindia dan Kepala-kepala pribumi, juga tidak dalam hal mengajukan suatu permintaan tertentu kepada menteri.
Sejauh saya dapat menilai permasalahan adalah pemerintah Hindia disini telah melaksanakan sesuai apa yang tertulis dalam peraturan umum dan dasar yang disetujui, sekalipun harus disesuaikan, bahwa dengan kealpaan dalam pelaksanaan oleh pejabat Hindia terjadi keraguan dalam hak dan wewenang kedua belah pihak.
“Saya berani berkata, ini untuk keterbukaan dan pemberian penjelasan, bahwa dengan usul komisi menunjuk ketidakpuasan, bukan berarti alpa dalam perhatian kepada kepentingan kepala dan rakyat pribuminya dan terlebih untuk bagian penduduk ini yang menyatu dengan kita oleh tali kekristenan, perhatian harus digandakan.
Tuan tahu, tuan ketua, bahwa ini hampir satu-satunya oasis Kristen di tengah-tengah kepulauan kita yang luas.
Malu bila dipikir, karena kealpaan orang tua-tua kita dan kita sendiri, sekarang sesudah 60 tahun kembali merasakan kenikmatan Tuhan. Disana bermukim rakyat Kristen sebagai buah dari penyebaran Injil, rakyat yang menonjol diantara yang lain dalam peradaban dan kesetiaan.
Sekarang saya berani tanpa melihat pengaudan yang menyatu dalam perasaan saya untuk mengajak Menteri dalam dua hal pokok.
Pertama, peraturan keadilan yang dibawakan kepada pemerintah Hindia dan diterima sepenuh hati, supaya sekali lagi memberi gaji yang telah dipikirkan (sekalipun pertama-tama ditolak oleh sebagian yang berwewenang) kepada kepala-kepala.
Kedua, supaya menggalakkan pelajaran bahasa Belanda dintara rakyat bersekolah, bahasa mana telah dikuasai oleh beberapa kepala dan bawahannya, untuk pelaksanaan hubungan dengan Belanda sambil membina pendidikan mereka.
Bila benar perkataan Karel V, bahwa orang sekian kali jadi manusia bila belajar mengerti banyak bahasa, dan orang akan mengaku, bahwa hal tersebut suatu bahasa yang sempurna dan lebih mematikan perkembangan ilmu dariapada menghidupkan.
Memang adalah pekerjaan penginjil Riedel yang pintar dan salah yang memasukkan bahasa Melayu ke sekolah daripada bahasa Alifuru; bahasa setempat; dengan mana dalam melaksanakan amanat suci dengan kemurahan Tuhan rakyat bertobat. Tetapi tidak ada hambatan untuk mengganti bahasa Melayu dengan bahasa Belanda.
Bila Menteri menambahkan dalam penerimaan murid sekolah unsur kekristenan, dengan mana dalam artikel baru “da Gida” bulan Mei, memberi kita harapan, sebagai kebebasan luas dan penghargaan, maka kepentingan yang besar dari Minahasa akan diperhatikan, dengan sendirinya disana akan terhenti pemujaan benda-benda yang disini tidak berlaku dan disana juga tidak perlu ada, dan Menteri.
Semoga kata-kata saya yang sederhana ini, menyadarkan Menteri dan juga kepala-kepala dan rakyat Minahasa, betapa anggota Dewan Rakyat Belanda selalu memperhatikan semua perbuatan pemerintah di dalam kepentingan rakyat yang setia dan warga bawahan dari pemerintah Hindia Belanda.
Jadi jelaslah sudah “nasib” daripada petisi kepada Majelis Rendah Parlemen Belanda. Ternyata sasaran yang dituju tidak tepat, namun untuk selanjutnya cukup memberikan dampak yang cukup dalam. Seperti misalnya pertimbangan pemberian gaji. Namun yang jelas dari akibat adanya petisi itu adalah masa jabatan Swaving yang singkat, hanya dua tahun.(Bersambung ke bagian 4)

PETISI 31 MARET 1877 DI MINAHASA [2]

“KAULA ATAU SETERU”
Oleh : Yuda B. Tangkilisan



Beberapa koreksi kecil terhadap teks harus diberikan, karena terdapat kesalahan. Dalam petisi itu disebutkan bahwa besluit Residen Swaving bertahun 1876 padahal yang benar adalah tertanggal 25 Januari 1877 no. 1 LaA.[8] Kemudian besluit tanggal 12 Juni 1868 no. 30 sebagai dasar kewibawaan para kepala sebenarnya yang dimaksudkan adalah besluit 12 Juni 1858 no. 30 (Staatsblad 1856 no. 69).[9]
Mengenai jumlah kepala distrik yang ikut menandatangani terdapat beberapa dugaan (karena sumber aslinya tidak ada). L. Adam dalam tulisannya Pemerintahan di Minahasa[10] menyebutkan bahwa jumlah kepala distrik yang mengirimkan petisi itu sebanyak 23 orang. Sedangkan kalau diteliti kembali dalam Regeerings Almanac, terutama tahun 1878 sebab tahun sebelumnya tidak menyebutkan tentang kepala distrik, bahwa jumlah kepala distrik sebanyak 25 sesuai dengan jumlah distriknya (Lihat Lampiran).
Selain dicoba dibandingkan dengan Politiek Verslag (yang tidak ditemukan) juga dicoba dengan Algeemen Verslag tahun tersebut. Algemeen Verslag tidak menyebut jumlah, hanya disebutkan mutasi dan pengangkatan kepala distrik dan bawahannya. Pembandingan terakhir dicoba dengan meneliti surat kabar yang terbit di Minahasa Tjahaja Sijang selama tahun 1876-1877. Selain koran itu tidak memuat sama sekali, juga tidak ada tanda-tanda bahwa jabatan kepala di suatu distrik kosong atau adanya kepala distrik meninggal dunia, yang mana dapat menuju pada kemungkinan jumlah 23, seperti disebutkan L. Adam.

SEKUTU ATAU KAULA

Dua hal pokok yang tidak dapat dimengerti oleh para kepala distrik tersebut. Kedua hal itu saling berhubungan satu sama lain. Dengan pernyataan bahwa tanah Minahasa menjaadi tanah milik pemerintah, maka menurut anggapan mereka bahwa kontrak-kontrak yang pernah dikukuhkan telah tidak berlaku lagi.
Padahal kontrak-kontrak tersebut justru yang mengatur hubungan antara Minahasa dan Belanda. Kontrak itu dibuat oleh nenek moyang mereka masing-masing. Sebagai komunitas yang menjunjung tinggi tradisi dan menghormati leluhur (walaupun di tengah gencarnya Kristenisasi), kontrak tersebut dianggap tetap berlaku dan mengikat. Dengan sendirinya jika terjadi perubahan atas hubungan-hubungan yang telah ditetapkan dalam kontrak tersebut, harus sepengetahuan kedua belah pihak. Bagi kepala Minahasa pembatalan sepihak berarti penodaan terhadap kesetian.
Kini tentunya perlu dipertanyakan mengenai kontrak itu sendiri. Beberapa pertanyaan dapat diajukan padanya. Seperti apakah kontrak itu (terutama dimaksudkan adalah kontrak 1679) absah. Ini merupakan pertanyaan penting yang dijawab terlebih dahulu.
Sikap terhadap keabsahan kontrak tersebut dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Ada kelompok yang menganggap kontrak itu sah dan menempatkan kedua belah pihak penanda tangan  kontrak itu sebagai tuan dan kaula. Kontrak yang terdapat pada catatan harian perjalanan keliling dari Padtbrugge itu dianggap salinan yang syah dari salinya. Memang dokumen asli dari kontrak itu tidak ditemukan kembali. Kelompok itu antara Graafland, Swaving dan Molsbergen sendiri.
Kelompok lainnya menolak keabsahan kontrak catatan Padtbrugge itu. Menurut mereka, tidak mungkin hubungan yang terjalin itu sebagai hubungan kaula. Mereka yakin bahwa kontrak asli 1679 mengatur hubungan sekutu atau persahabatan. Salah satu argumentasi mereka yang penting adalah jika kontrak itu telah mengatur hubungan kaula, mengapa pada tahun 1699 kontrak itu diperbaharui dengan menyebutkan hubungan kaula. Tentunya status kaula pada kontrak 1699 menggantikan status sekutu pada Kontrak 1679 tidak diterjemahkan ke dalam bahasa setempat. Memang peranan juru bahasa perlu diteliti kembali. Kelompok ini antara lain Kesteren, Wijnmalen, dan tentunya orang Minahasa sendiri.[11]
Bert Supit juga mencoba menelusuri mengenai alam pikiran kepala-kepala Minahasa dalam menerima Belanda. Menurut pendapatnya, Kontrak 1879 hanya memuat dua hal pokok, yaitu (1) permintaan bantuan kepada Kompeni, yang diakui sebagai orang kuat dan berwibawa (wailan wangko) untuk menghadapi musuh dari luar, antara lain Bolaang, (2) janji setia kawan dan persahabatan yang abadi para ukung, yang karenanya akan membantu Kompeni memelihara benteng dan bangunan lain, bila Kompeni berjanji memenuhi hal tersebut diatas sesuai prinsip mapalus. Selanjutnya dikatakan bahwa pengertian wailan wangko tidak berimplikasi memerintah, melainkan hanya merupakan suatu julukan saja.[12]
Gambaran yang ada dalam benak kepala-kepala distrik mengenai hubungan mereka dengan Belanda adalah sebagaimana layaknya sahabat. Paling tidak dalam ingatan mereka bahawa peristiwa-peristiwa yang mereka alami sebelumnya memperkuat hubungan tersebut. Seperti misalnya yang sangat jelas adalah pemberian tongkat, payung serta 9 salvo tembakan sebagai tanda penghormatan untuk mereka.
Selanjutnya mengenai hubungan Minahasa dan Belanda disebut sebagai hubungan antara orang tua dan anak. Dimana Minahasa sebagai anak dan Belanda sebagai orang tua. Dalam adat istiadat Minahasa memang dikenal masalah adopsi dengan berbagai macam tujuan danlatar belakangnya. Namun jika ditelusuri dari sejarah datangnya Belanda di Minahasa dan pola adopsi di Minahasa akan terasa kurang klop. Belanda datang di Minahasa karena diminta oleh orang Minahasa sendiri.
L. Adam dalam bukunya Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa menyebutnya suatu pola adopsi yang agak aneh namun sesuai dengan proses tersebut di atas.[13] Disebutkan bahwa terdapatnya gejala adopsi terbalik, dimana seseorang atau keluarga mengangkat seorang kepala distrik atau lainnya (bawahannya) sebagai bapak, dan menempatkan dirinya sendiri sebagai anak. Adopsi semacam ini menguntungkan kedua belah pihak. Sang “anak” akan memperoleh perlindungan dan jaminan keterpihakan sang “bapak” dalam perselisihan-perselisihan, terutama yang menyangkut soal tanah. Sebaliknya para kepala biasanya membiarkan dirinya diadopsi dengan maksud kelak akan mendapat bagian dalam pewarisan sang “anak”.
Minahasa sebagai masyarakat yang tidak mengenal bentuk kerajaan namun sebagai masyarakat primitif tidak mengenal hubungan majikan dan hamba. Mereka yang hanya mengakui primus inter pares beranggapan bahwa jika ada kewajiban yang harus dipenuhi, kesemua itu berdasarkan pada hubungan timbal balik. Hubungan  yang ada adalah antara pelindung dan yang dilindungi.
Sistem kekeluargaan yang sangat erat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan politik setiap kesatuan (wanua dan walak). Memang selain keluarga dikenal juga adanya budak-budak melalui perang dan penaklukkan-penaklukkan.
Alam pemikiran kepala distrik kebanyakan masih kuat dipengaruhi tradisi demikian.[14] Seyogyanya jika mereka mempertanyakan kembali hubungan tersebut. Dan wajar juga jika dalam surat tersebut digunakan kata-kata yang meninggikan kedudukan Belanda. Yang paling jelas adalah bahwa penetrasi pendidikan Belanda sedemikian mendalam di Minahasa, tetapi dalam pemikiran Belanda bahwa mereka tetaplah bawahan, bumiputra yang sebelumnya tidak berperadaban[15] yang harus senantiasa dibimbing dan perlu dibudayakan.[16]
Surat itu juga menyingkapkan akan usaha Belanda untuk “mengikat” para kepala Minahasa (paling tidak demikian menurut anggapan mereka) dengan pemberian gaji. Para kepala tersebut memaklumi bahwa jika mereka menerima gaji dari pemerintah maka resmilah Minahasa merupakan bagian dari Hindia Belanda. Selanjutnya surat itu menyatakan bahwa mereka menolak tawaran Belanda tersebut. Mereka memilih tetap berdiri di atas pundak rakyatnya (menurut istilah mereka diasuh rakyatnya). Keindependenan merupakan alasan yang kuat bagi status sekutu.
Kemudian surat itu bercerita mengenai apa yang sebenarnya sedang berlangsung di Minahasa selama hampir 200 tahun sejak kontrak pertama ditandatangani. Motivasi Minahasa untuk selalu berdiri di pihak Belanda (sehingga terkadang Minahasa disebut berdiri di pihak Belanda, bahkan disebut sebagai propinsi ke-12 dari Belanda, karena begitu setianya) adalah berdasarkan rasa terima kasih danbalas budi, kembali sesuai dengan kontrak. Dan sekali lagi ditegaskan bahwa Belanda memperoleh tanah Minahasa bukan melalui penaklukan melainkan semata persahabatan.
Pada bagian akhir isi surat mereka mengajukan beberapa permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dua permintaan pokok itu adalah pertama memohon pembaharuan kontrak atau tetap dengan kontrak yang lama namun dengan beberapa persyaratan tambahan. Rupa-rupanya para kepala distrik tetap menganggap bahwa kontrak merupakan dasar keberadaan Belanda di Minahasa.
Mereka tetap konsisten dengan permintaan bahwa Minahasa bukan tanah pemerintah. Beberapa pengecualian yang diminta seperti larangan penjualan tanah kepada orang non-bumiputra dan ijin untuk penyewaan tanah kepada orang lain.
Tanah merupakan sumber penghasilan dan penghidupan bagi masyarakat agraris. Tanah juga memiliki nilai tersendiri dalam tata kehidupan, menunjukkan kekayaan/prestise, juga melambangkan keterikatan masyarakat terhadap leluhurnya dimana tanah itu dibuka oleh leluhurnya (bandingkan dengan pola pembukaan tanah yang bebas).[17]
Tak mengherankan jika mereka berpendapat bahwa tanah tidak boleh dijual kepada orang lain di luar distriknya apalagi kepada orang “seberang”, tetapi kesempatan lain terbuka untuk mereka (orang asing) yaitu melalui bentuk penyewaan, terutama tanah-tanah yang tidak sanggup digarap. (Padahal salah satu alasan penerapan peraturan tanah itu adalah karena banyaknya tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya).[18]
Para kepala distrik dalam surat itu beberapa kali menyebut “rakyat kami”. Padahal seperti telah disebutkan bahwa telah terjadi pergeseran terhadap kedudukan mereka dimana mereka boleh dikatakan telah menjadi alat pemerintahan kolonial, dipihak lain artinya mereka telah tercabut dari akarnya sebagai kepala tradisional. Penjelasannya mungkin bisa didapat dalam alam pemikiran mereka bahwa selama mereka masih dihidupi oleh rakyatnya, tidak menerima gaji dari pemerintah maka mereka tetap sebagaivolkshoofd.
Permohonan ditutup dengan pertaruhan kesetiaan mereka kepada Belanda dan himbauan kembali agar Belanda sendiri ingat pada kewajibannya. (Bersambung ke bagian 3)

PETISI 31 MARET 1877 DI MINAHASA [1]

“KAULA ATAU SETERU”
Oleh : Yuda B. Tangkilisan




RINGKASAN

Pada tanggal 31 Maret 1877 sebuah petisi dilayangkan kepada Gubernur Jendral Hindia belanda di Batavia. Petisi itu dikirimkan oleh para pemimpin Minahasa. Pada dasarnya, petisi itu mengajukan keberatan terhadap besluit Residen Manado tanggal 25 Januari 1876 no 1 Lh A. Sebenarnya besluit itu mengatur peraturan tanah negara yakni ordonansi 1875 (Staatsblad 1875 no. 199a) Para pemimpin Minahasa memprotes pernyataan bahwa Minahasa nerupakan tanah milik negara (Hindia Belanda), seperti bunyi salah satu butir ordonansi itu.
Dalam petisi itu dinyatakan bahwa hubungan Minahasa dan Belanda sejak pihak yang terakhir datang di daerah Sulawesi bagian utara diatur dengan perjanjian atau kontrak. Dasar hubungan itu bukan sebagai daerah taklukan dengan penakluknya, melainkan berlandaskan bentuk persekutuan. Atas pertimbangan hubungan sekutu itu, menurut para pemimpin Minahasa, seyogyanya ordonansi tu dipertimbangkan kembali.
Padahal sejak menerima kembali daerah Minahasa dari tangan Inggris awal abad 19, Belanda memperlakukan Minahasa sebagai wilayah yang diperintah langsung (direct gebied). Dengan sendirinya, kebijaksanaan politik Belanda di Minahasa berlandaskan dasar pemikiran tersebut di atas.
Situasi yang berubah itu, tidak segera disadari oleh para pemimpin Minahasa, Dengan diterbitkannya ordonansi 1875 itu, kurang lebih setengah abad telah berlangsungnya perubahan politik, barulah mereka mahfum, dan untuk itu mereka memprotes.

PETISI 31 MARET 1877

Pada tanggal 21 Januari 1876 Residen Menado J.C. van Musschenbroek digantikan oleh A.H. Swaving. Swaving dalam tugasnya dibantu oleh beberapa kepala bawahan seperti. W.H. Stalle sebagai kontroler kelas 1 dan G. Schaap sebagai kontroleur kelas 2 dari Afdeeling Menado, E.J. Jellesma sebagai kontroleur kelas 1 dari Afdeeling Amurang, H.R. Rookmaker sebagai kontroleur kelas 2 Afdeeling Kema dan C. W. Palm sebagai kontroleur kelas 1 untuk Afdeeling Belang.[1]
 Masa tugas Swaving sebagai residen di Minahasa mulai tahun 1876 hingga 1879. Selama kira-kira 4 tahun itu ia menjalankan beberapa program. Program itu antara lain adalah penghapusan kontribusi, pengaturan kerja rodi, pemberian gaji kepada kepala-kepala distrik, dan pengaturan masalah tanah di Minahasa.[2]
Kontribusi adalah pembayaran (berupa uang) oleh seseorang yang dimaksudkan sebagai pengganti kewajiban kerja rodi. Swaving mencoba menertibkan dan menghapuskannya.
Swaving juga mencoba menertibkan pelaksanaan kerja rodi. Jumlah hari kerja rodi yang sebelumnya tidak menentu ditetapkan menjadi 25 hari dalam setahun. Namun jumlah tersebut belum termasuk kerja wajib untukwanua dan kepentingan masyarakat. Mengenai hal itu, pengaturannya diserahkan kepada pemimpin-pemimpin setempat.
Mengenai usaha memberikan gaji kepada para kepala distrik, Swaving telah berusaha 2 kali untuk mengumpulkan para kepala distrik. Dalam pertemuan-pertemuan itu dibicarakan masalah pemberian gaji kepada para kepala distrik. Rupa-rupanya pertemuan itu tidak menghasilkan keputusan atau kesepakatan mengenai pemberian gaji secara tetap itu. Para pemimpin Minahasa tidak sepakat dengan usulan Swaving.[3]
Suatu kejutan bagi para pemimpin Minahasa adalah besluit tanggal 25 Januari 1877 No. 1 L a A, yang mengatur mengenai pemilikan tanah negara untuk Minahasa berdasarkan Ordonansi tahun 1875 (Staatsblad 1875 no. 179 dan 199a).[4] Dalam Staatsblad tersebut dinyatakan bahwa tanah di wilayah luar Jawa (Outer Province) adalah tanah milik kerajaan/gubernemen. Besluititu menyatakan bahwa semua tanah harus didaftarakan, orang non-bumiputra tidak boleh membelinya.[5]
Ternyata besluit itu mendapat reaksi dari kalangan setempat. Suatu pertemuan yang dihadiri oleh para kepala distrik, zendeling  (penginjil/ pendeta), dan beberapa orang swasta/partikelir (particulieren)menghasilkan suatu petisi.[6]
Petisi yang ditujukan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda itu berbunyi sebagai berikut:[7]

Kepada Yang Dipertuan Agung
Gubernur Jenderal Hindia Belanda
di Batavia

Dengan segala hormat dan kerendahan hati kami Kepala-kepala dari Minahasa datang menghadap Yang Dipertuan Agung Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan menyampaikan dengan segala kesadaran akan keberatan kami: Bahwa Yang Dipertuan Residen Menado memberitahukan kami, bahwa; I. Semua kontrak kami atau kontrak-kontrak yang ditutup oleh nenek moyang kami dengan Pemerintah Belanda, oleh Gubernur itu dihapuskan dengan alasan-alasan tersebut, II. Tanah kami Minahasa, menurut Staatsblad 1875 no. 199a seperti juga disebut dalam keputusan dari Yang Dipertuan Residen Menado tanggal 25 Januari 1876 no. 1 Lh A sekarang sudah menjadi tanah pemerintah.
Bahwa kami dengan dua hal tersebut merasa keberatan sekali dan sangat bersusah hati, karena Pemerintah melakukan hal itu tanpa ada pemberitahuan lebih dahulu kepada kami; Kami pikir, bagaimana adilnya pemerintah terhadap nenek moyang kami, demikian juga adilnya pemerintah terhadap kami, -bahwa tidak ada perlakuan di Minahasa tanpa terlebih dahulu ada pembicaran dengan kami dan memperoleh persetujuan kami dalam hal tersebut.
Kami pikir, bahwa isi naskah yang diberikan oleh Residen C. Bosscher kepada masing-masing kami dengan surat dinas yang Dipertuan Pemerintah tertanggal 16 Juni 1860 no. 730 sebagai hadiah untuk disimpan sebagai pusaka keramat bagi anak cucu dan keturunan kami, adalah pidato dari Yang Dipertuan kami dan disayangi Residen A.J. Jansen (pada kesempatan pembagian payung di Tondano yang ditetapkan dengan keputusan pemerintah tanggal 12 Juni 1868 no. 30, sebagai pertanda distinktif kewibawaan kami yang diberikan kepada kami, kepala-kepala dari Minahasa seperti pernyataan puas pemerintah), meliputi antara lain bahwa nenek moyang kami menerima pemerintah Hindia Belanda sebagai pelindung, ya sebagai orang tua kami dan penduduk Minahasa sebagai anak, dsb., untuk mengingatkan kami akn kontrak nenek moyang kami, atau menjangkau bukti bahwa dengan hal ini kontrak sama dengan diperbaharui.
Kami pikir, bahwa bagaimana keabsahan 9 tembakan kehormatan yang kami terima pada pertemuan yang diadakan menurut Staasblad 1859 no.104a (tembakan kehormatan mana juga diberikan anggota sahabat pemerintah) belum lenyap, demikian juga dengan kontrak-kontrak nenek moyang kami yang diadakan dengan pemerintah yang masih akan ditiadakan.
Kami pikir, bahwa selama kami tetap setia kepada pemerintah Belanda dan tidak menerima gaji (pemberian gaji yang dibicarakan dengan kami oleh residen Menado yang sekarang dalam pertemuan yang diadakan pada tanggal 1, 2 dan 3 September 1876, dan dengan hal mana banyak dari kami menolaknya, karena kami mengharapkan lebih baik diasuh oleh rakyat kami sendiri), kontrak-kontrak nenek moyang kami tidak dapat dilenyapkan; Ja, kami mengetahui juga, bahwa nenek moyang kami dulu tidak memperbaharui kontrak-kontrak tersebut tiap tahun, tetapi setelah beberapa tahun berselang; dan oleh karena itu kami tidak meragukan adanya hal demikian, sebab itu kami belum memintakan pembaharuan apalagi kami berkeyakinan bhwa hal itu tidka dapat tidak akan dilenyapkan begitu saja tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari kedua belah pihak.
Hingga kini – menurut kontrak-kontrak – sudah berlalu 200 tahun, waktu nenek moyang kami untuk pertama kali memohon bantuan dari penguasa Belanda;
Mereka memohon bantuan itu, karena mereka perlu melawan musuh mereka, juga karena perselisihan antara sesama mereka dalam lingkungan; dengan demikian mereka menerima pemerintah Belanda juga sebagai orang tua.
Pemerintah Belanda memberikan bantuan itu; musuh-musuh kami terhalau; Pemerintah menerima juga penduduk negeri ini sebagai orang tua.
Karena itu kami dan nenek moyang kami menyatakan rasa terima kasih kami dengan tetap menurut dan setia kepada Pemerintah.
Dengan alasan-alasan itu bendera Belanda berkibar disini selama 200 tahun, bagi kehormatan Belanda dan Minahasa.
Ya kami mengakui sungguh-sungguh, bahwa pemerintah Belanda banyak berbuat untuk kebaikan kami dan mengangkat rakyat kami; tetapi kami dan rakyat kami juga banyak membantu pemerintah dan memberikan banyak keuntungan;
Atas dasar apa atau dengan alasan apa, atau apa yang kami dna rakyat telah lakukan, hingga pemerintah Belanada memutuskan -- (tanpa menanyakan kepada kami dan mendengarkan kami) -- menghapus kontrak-kontrak nenek moyang kami dan amenyatakan tanah Minahasa sekarang tanah pemerintah ?
Kami mengetahui benar bahwa pemerintah Belanda memperoleh tanah kami atau memiliki  tanah bukan dengan cara lain dari persahabatan.
Ah! apa yang akan dikatakan Raja dan rakyat kerajaan Bolaang Mongondow dan kerajaan lain yang berbatasan dengan Minahasa yang dulu adalah musuh kami; mereka yang tidak begitu setia melayani pemerintah, tidak begitu besar membantu dan tidak begitu banyak memberikan keuntungan seperti kami; mereka yang menjual kopi mereka kepada swasta dengan harga tinggi; mereka tidak diberatkan oleh pemerintah, tetapi . . . kami yang selalu setia dan menurut dan menjual kopi kami kepada pemerintah dengan harga murah; yang banyak membantu dan memberikan keuntungan banyak pada pemerintah, kontrak-kontrak kami atau nenek moyang kami dihapus oleh pemerintah dan tanah kami diambil oleh pemerintah.
Benar-benar kami merasa malu dengan hal itu, berduka cita sekali sangat menyayat hati, tetapi... dengan demikian kami tidak kehilangan keberanian.
Demi pertimbangan yang maju dan andil dari Yang Dipertuan Agung Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerintah di Batavia dalam nama Yang Mulia dan Setia Raja kami, ya seperti orang tua kami, kami seperti anak Yang Dipertuan Agung, menyerahkan dengan segala kerendahan keberatan dan kesusahan kami, dengan permohonan akan perlindungan Yang Dipertuan Agung dan bantuan yang adil dalam persoalan ini, yakni :

  • Kami, kepala-kepala Minahasa memohon dengan kerendahan akan pembaharuan kontrak-kontrak kami atau kerelaan membuat kontrak baru dengan kami;
  • atau membiarkan demikian tanpa ada penghapusan,
  • agar tanah Minahasa tidak menjadi tanah pemerintah, tetapi tetap tanah rakyat seperti dulu, kecuali hak-hak dan penggunaan tanah kami menurut adat, seperti yang juga terdapat dalam kontrak-kontrak nenek moyang kami dan di dalamnya dibuat beberapa perubahan, dengan
  • tidak mengijinkan kami dan rakyat kami menjual tanah pasini kami yang menjadi milik kami menurut adat kepada orang yang bukan penduduk Minahasa sebenarnya, tetapi bahwa kami mempunyai kebebasan untuk menyewakan tanah pasini kami yang tidak dipergunakan, karena kekurangan tenaga untuk mengolahnya, kepada mereka (warga pemerintah Belanda).

Dengan alasan-alasan itu kami menghimbau Yang Dipertuan Agung Gubernur Jenderal Hidia Belanda, untuk melindungi kami dan rakyat kami dan membantu kami keluar dari kesusahan, agar kami dengan demikian disandarkan, untuk seperti dahulu nenek moyang kami, terhadap pemerintah tetap setia dan menurut dan melakukan pekerjaan yang diberikan kepada kami dengan rajin dan memenuhi kewajiban-kewajiban kami dengan semestinya seperti kepala yang setia dan bawahan yang patuh.
Demikianlah dengan segala kerendahan hati
(Menurut tanda tangan semua kepala-kepala Minahasa)