Saturday 6 December 2014

KEPEMIMPINAN DALAM MASYARAKAT BANTIK

Negeri Mandolrang zaman dahulu adalah tempat kediaman masyarakat Bantik yang aman, tenteram dan sangat indah, terletak di antara Tateli dan Tanah Wangko, Minahasa, Sulawesi Utara.
Di negeri Mandolrang inilah untuk pertama kalinya mereka mengadakan musyawarah (dalam bahasa Bantik disebut “Bakidang”), untuk memilih dan mengangkat pemimpin-pemimpin sebagai berikut :

Gudangne
Dipilih dari seorang tua, mantan panglima perang, pandai, cerdik dan jujur. Diangkat menjadi pemimpin yang mengatur kesejahteraan masyarakat Bantik.

Potu’o’san
Dipilih dan ditentukan beberapa orang-tua yang berpengalaman dan bijaksana, sebagai penasehat “Gudangne” dalam hal mengatur masyarakat. Potu’o’san bersama Gudangne juga adalah anggota Bakidang. Bawahan dari Potu’o’san disebut Talrenga.

Mogandi
Dalam bahasa Bantik artinya panglima perang. Dipilih dari seorang pahlawan, kuat, berani dan perkasa dalam peperangan. Mogandi memimpin pasukan perang yang terdiri dari :
Su’a’lrang Pinatandu, bawahan Mogandi’.
Su’a’lrang, bawahan Su’a’lrang Pinatandu.
Kohote’i’, bawahan Su’a’lrang.

Goguta
Adalah layaknya lembaga peradilan tinggi yang memutuskan perkara-perkara yang sulit. Anggota Goguta adalah orang tua-tua yang jujur dan cerdas pemikirannya. Bila dijumpai perkara-perkara yang sangat sulit, biasanya Goguta yang diketuai Gudangne berunding dengan Potu’o’san.

Selain pemimpin-pemimpin masyarakat diatas, ada juga pemimpin yang mengatur dan mengepalai suatu urusan. Mereka tidak dipilih, tetapi terangkat sendiri karena memiliki kemampuan dengan bakat-bakat tertentu, yaitu :

Lrelre’a’ng
Ahli mendengar dan mengartikan bunyi/suara burung, misalnya burung manguni, bahakeke dll; apakah memberikan tanda baik atau buruk. Lrelre’a’ng mengepalai urusan-urusan tersebut bila diperlukan masyarakat. Cara mendengar dan mengartikan tanda-tanda ini disebut “Matubaga”.

Tona’a’sa
Ahli mengepalai masyarakat dalam urusan-urusan tertentu seperti: perburuan, perkebunan, pencarian di laut dan pesisir pantai (dalam bahasa Bantik disebut “Mata’mbung”), dan lain-lain.

Balri’a’ng
Seorang yang berbakat dan ahli mengatur upacara-upacara, ibadah, dan juga sering mengobati orang sakit. Mongolra’i’ adalah cara mengobati orang sakit dengan suatu upacara yang sudah diatur sebagaimana lazimnya, Balri’a’ng bertanya kepada E’mpung, memohon agar jiwa si sakit dikembalikan. Balri’a’ng berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti semalam-malaman, sehingga dianggap jiwa Balri’a’ng juga pergi mencari dan meminta kembali jiwa si sakit. Upacara mongolra’i’ ini hilang (berhenti) sekitar tahun 1930.


Edited : Jeldy Tontey

Sumber :
  • Sejarah Anak Suku Bantik, Pdt. M. Kiroh, 1968
  • Tuturan turun-temurun masyarakat Bantik, Sulawesi Utara

EMPAT BATU BERSEJARAH SUKU BANTIK

BUKTI PENINGGALAN KETURUNAN MAKADUASIOU

Suku Minahasa adalah sebuah suku yang besar. Berada di Provinsi Sulawesi Utara, suku ini sejak ribuan tahun yang lalu telah membentuk kerajaan-kerajaannya sendiri di seluruh tanah Sulawesi, termasuk di Provinsi Gorontalo yang kala itu masih merupakan wilayah Sulawesi Utara.
Di Kota Manado, tepatnya di Kecamatan Malalayang, tersebar empat buah situs purbakala berbentuk batu yang menyimpan sejarah perkembangan salah satu anak suku (sub-suku) Minahasa, yakni Suku Bantik.

Lokasi situs pertama terletak di Kelurahan Malalayang I Lingkungan VII yakni Situs Batu Niopo. Ketika penulis menuju tempat ini, masyarakat setempat pun asing ketika ditanyai tentang lokasi Batu Niopo. Mereka lebih tahu tentang lokasi ketiga situs Suku Bantik lainnya, yakni Batu Buaya, Batu Kuangang dan Batu Lrana. Untunglah salah seorang tukang ojek yang telah lama berdomisili di Malalayang berhasil mengantar penulis ke lokasi yang tepat.
Batu Niopo berada di belakang rumah penduduk, sehingga letaknya tersembunyi namun tidak sulit dicapai. Kita tinggal minta izin kepada penjaganya, yaitu Pak Johan Mongisidi. Merasa familiar dengan namanya? Ya, “Mongisidi” adalah marga seorang Pahlawan Nasional RI asal Sulawesi Utara : Robert Wolter Mongisidi. Tak disangka, Pak Johan merupakan keponakan Sang Pahlawan yang dieksekusi penjajah Belanda pada 5 September 1949 . Pak Johan yang adalah orang Bantik asli pun menjelaskan tentang sejarah keempat situs purbakala yang kini menjadi objek wisata Kota Manado.
Batu Niopo, atau yang disebut “Tampa Tutumpang Ni Tougagudang Pangataseng Jopo Lramo” oleh Pak Johan, ada sejak tahun +- 300 SM. “Jopo” adalah sebutan penghormatan untuk seseorang yang dianggap berkuasa, sedangkan “Jopo Lramo” adalah sebutan Suku Bantik untuk Sang Pencipta. Di lokasi batu ini adalah tempat Sang Jopo (baca: “Yopo”) turun secara langsung menemui umatnya (Suku Bantik) ketika mereka melangsungkan upacara spiritual untuk meminta petunjuk Yang Maha Kuasa. Tak heran tempat ini dianggap keramat dan diperlakukan dengan penuh penghormatan. Untuk masuk ke dalam, Pak Johan meminta izin terlebih dahulu kepada Sang Jopo. Bahkan beliau melepas alas kaki untuk menghormati kesucian tempat itu.


Tidak jauh dari Batu Niopo, terdapat Monumen R.W. Mongisidi. Makam beliau aslinya berada di Taman Makam Pahlawan di Kota Makassar.

Situs kedua adalah Batu Buaya (Batu Bihua), yang berjarak sekitar 500 meter dari Batu Niopo. Disebut “Buaya” karena batu ini memiliki bentuk yang panjang mirip badan buaya. Diyakini Batu Buaya merupakan mayat Barorongan, seorang musuh dari Suku Tonsawang, yang berhasil dikalahkan oleh Jopo Mandu, salah seorang pemimpin Suku Bantik. Sebelum perang melawan Jepang bergejolak di tanah Minahasa, masyarakat Suku Tonsawang sering datang ke lokasi ini untuk berziarah dengan membawa sesajen dan memasang lampu.


Tempat selanjutnya yang menyimpan situs sejarah Suku Bantik berada cukup jauh yakni di Perumahan CHT, Desa Sea, Kelurahan Malalayang I. Situs ini bernama “Batu Kuangang”. Dikisahkan 2500 tahun yang lalu, ada sepasang suami istri yang ingin membuat suatu mainan untuk anaknya yang menangis ketika ditinggal bekerja di kebun. Jopo Sumpabungang, sang suami, memohon kepada Jopo Lramo untuk memberi kekuatan baginya. Hanya dengan menggunakan siku, Jopo Sumpabungang melubangi sebuah batu datar sehingga dapat dimainkan selayaknya permainan congklak. Sang anak pun langsung bermain dengan riang gembira menggunakan batu-batu bia (kerang) pada Batu Kuangang tersebut.


Situs yang terakhir terletak di tepi pantai Malalayang, dekat Terminal Malalayang yang ada di Kelurahan Malalayang II. Berbeda dengan tiga batu lainnya, pada lokasi Batu Tapak Kaki (Batu Lrana) telah diletakkan oleh Pemda dari Dinas Pariwisata sebuah papan berisi sinopsis tentang Batu Irana. Dituliskan bahwa Batu Irana ini adalah tempat kaki dua orang dotu (leluhur) Suku Bantik ketika mereka duduk menjaga perbatasan pantai dari serangan musuh. Cerita ini berbeda dengan yang Penulis temui dari penuturan Pak Johan, dimana beliau mengisahkan bekas tapak kaki pada batu ini merupakan jejak dari Tonaas (kepala suku) Jopo Egang yang sangat sakti. Konon, Jopo Egang merasa kesal karena tidak terlibat dalam peperangan Suku Bantik melawan rakyat Negeri Tateli, sehingga dia menjejakkan kaki keras-keras ke tanah tempat dia berpijak. Karena kesaktiannya, di tanah itu berbekas dua telapak kaki yang hingga sekarang masih bisa kita temui di pesisir Pantai Malalayang dekat Jembatan Kolongan.
Simpang siur sejarah terkait empat objek wisata ini memang belum bisa diluruskan. Begitu banyak teori tentang bagaimana batu-batu ini bisa tercipta, sehingga mungkin para pengunjung pun menerima informasi yang berbeda dari yang diterima Penulis. Bagaimana pun keempat batu ini berasal dari leluhur Suku Bantik yang telah ada bahkan sebelum Kota Manado terbentuk dan sejarahnya sangat menarik untuk dipelajari. Nah, Anda berminat untuk mengamati langsung batu-batu bersejarah ini? Mari kunjungi Kecamatan Malalayang, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara! ( Penulis : @Erlinel).

SEJARAH ANAK SUKU BANTIK

KETURUNAN TOADA DAN LRUMIMUUTU DARI MAKADUASIOU


Sub-Etnik Bantik saat ini tersebar dan mendiami 11 negeri di Sulawesi Utara, yaitu :  Mahasa (Meras), Molrasa (Molas), Bailrang (Bailang), Talrabang (Talawaan Bantik), Bengkolro (Bengkol), Buha, Sikilri (Singkil), Minanga (sekarang Malalayang), Kalrasei (Kalasei), Tanamon dan Sumoiti.

Penduduk Sulawesi Utara terdiri dari 3 (tiga) etnis utama berdasarkan pengelompokan bahasa yakni :
  • Suku Minahasa (Tolour, Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Bantik, Tonsawang dan Ponosakan);
  • Suku Sangihe dan Talaud (Sangihe Besar, Siau dan Talaud);
  • Suku Bolaang Mongondow (Mongondow, Bolaang, Bintauna dan Kaidipang).


Anak Suku Bantik termasuk dalam kelompok Suku Minahasa, namun “Nama Minahasa” sendiri baru muncul pertama kali dalam laporan Residen J.D. Schiersentein, Residen Manado, tanggal 8 Oktober 1789. Di mana, pada masa itu telah terjadi pertikaian antara sub-etnik Bantik dan sub-etnik Tombulu. Peristiwa tersebut dikenang oleh sub-etnik yang bertikai sebagai “Perang Tateli”. Sedangkan para paderi Spanyol dan Belanda menyebut Suku Minahasa sebagai "Orang Alifuru", "Orang Pedalaman", atau "Orang Gunung" (Bovenlander).

Toar dan Lumimuut

Sekali peristiwa, tersebutlah tanah “Ponaedan” yang tenggelam diliputi air laut yang melimpah/air bah, sehingga semua penduduknya mati lemas dan jiwa-jiwa (roh) dari orang-orang yang sudah mati itu sebagian menjadi ilah-ilah yang baik dan sebagian lain menjadi setan-setan yang jahat.
Konon seluruh bumi pada waktu itu tenggelam dilanda air bah, hanya pada tanah Ponaedan itu masih tersisa sebuah tandusan (beting). Di atas tandusan terdapat sebuah batu besar, lalu turunlah seorang Empung yang bernama KADEMA dari “Kalrutuang” (kayangan/surga), berdiri di atas batu besar itu, dengan memegang sebuah alat kesaktian yang berbentuk seperti cambuk, yang dalam bahasa Bantik disebut “Tingkayuan”, lalu Ia memandang ke sana ke mari dan sejauh mata memandang, hanyalah dikelilingi laut belaka.
Kemudian Kadema mengangkat cambuk saktinya dengan tangan kanan dan berkata : “Adodou adodou tanah Ponaedan timagongte ada bobodone dumulru kumilra kalrotou te nai age nu pung-pung bo kayu” (yang artinya : Ya tanah Ponaedan telah tenggelam, sekiranya jadilah guntur dan kilat dan mulai timbullah pula tanah yang baru yang ditumbuhi dengan rumput-rumputan kemudian dengan pohon-pohon kayu dari kecil-kecil hingga yang besar-besar, ya rupa-rupa jenis rumput dan kayu).
Maka sekejap itu juga gunturpun berbunyi dengan dahsyatnya bertubi-tubi diiringi dengan kilat sambung-menyambung, maka berangsur-angsur tanah kering di sekeliling batu itu bertambah-tambah luas, air mulai surut dan rumput-rumputan mulailah bertumbuh, demikian juga dengan kayu-kayuan berjenis-jenis, maka jadilah seperti yang dikatakan oleh Kadema.
Adapun tumbuh-tumbuhan yang bertumbuh pertama-tama di tanah Ponaedan tersebut adalah rumput sukuhu (bataka) diikuti goringo (karimenga) dan lria (goraka), baru kemudian tumbuh-tumbuhan yang lainnya. Oleh sebab itu ketiga tanaman tersebut menjadi tumbuhan obat yang mujarab bagi masyarakat Bantik dan umumnya orang Minahasa, karena ketiga tumbuhan itulah yang mula-mula bertumbuh di tanah Minahasa, “tanah baru” dari tanah Ponaedan.
Sementara Kadema sedang berdiri di atas batu itu, maka sekonyong-konyong ia mendengar suara seseorang yang menjerit di bawah batu itu, lalu turunlah ia ke tanah, dan batu itu digoleknya sedikit, maka keluarlah seorang laki-laki muda dari bawah batu itu, lalu ia pun menyembah kepada Kadema.
Kemudian Kadema berkata kepada laki-laki muda itu : “sekarang engkau dinamai Toada (Toar), sebab engkau kudapati di moada (tandusan)”. Moada dalam bahasa anak suku Bantik berarti tandusan (beting). Lalu tinggallah mereka di “tanah baru” itu dan itulah tanah Malesung atau Minahasa hingga sekarang.
Sekali peristiwa Kadema dan Toada bersepakat membuat sebuah patung dari lumut-lumut dicampur tanah liat dan diberi bertulang kayu, lalu jadilah sebuah patung yang amat elok. Toada memperhatikan patung tersebut dengan perasaan gembira, lalu katanya kepada Kadema : “alangkah baiknya kalau patung ini menjadi manusia”. Sahut Kadema nantilah kubawa patung itu naik ke langit ke keinderaan yang tertinggi menghadap yang Maha Kuasa yaitu Mabu Duata supaya ia diberi nafas kehidupan dan menjadi manusia.
Maka dibawalah oleh Kadema patung itu menghadap Mabu Duata, permohonan Kadema dikabulkan, lalu Kadema kembali ke bumi untuk menemui Toada dengan membawa patung yang telah menjadi seorang perempuan yang amat elok parasnya. Tetapi dalam perjalanan menuju ke tempat tinggal Toada, patung yang telah menjadi seorang perempuan cantik itu sempat dipegang dan ditegur oleh setan-setan yang jahat, namun perempuan itu tidak tahu dan tidak dapat melihat makhluk-makhluk halus tersebut.
Alangkah sukacita Toada melihat perempuan dari patung itu, tetapi tidak lama perempuan itu sakit lalu mati. Toada memanggil Kadema dan oleh Kadema, perempuan itu dibawa lagi ke keinderaan untuk dimintakan agar diberi nafas kembali. Mabu Duata mengabulkan permohonan Kadema dengan nasehat supaya setibanya di bumi haruslah mengambil ujung batang tawaang, dan diusap-usapkan pada tubuh perempuan itu. Setibanya Kadema di bumi, datang lagi setan-setan jahat itu, tetapi mereka tidak berani mendekati perempuan itu, karena Kadema telah mengambil tawaang seperti yang sudah dipesan oleh Mabu Duata kepadanya. Oleh karena itu, sejak dahulu kala masyarakat Bantik sering menggunakan ujung tawaang untuk mengobati orang sakit. Balriang (Wailan) yang mengobati orang sakit, semalam-malaman memegang ujung tawaang, menyebut-nyebut nama Kadema, sambil mengusap-usapkan ujung tawaang ke tubuh orang sakit itu, untuk mengembalikan jiwanya yang telah pergi karena perbuatan dari setan-setan yang jahat.
Perempuan yang asalnya dari patung itu dinamai “Lumimuutu” oleh Kadema, sebab perempuan itu berasal dari lrumu (lumut). Masyarakat Bantik menyebut lumut itu “lrumu” atau “lrumuutu” kemudian lazimnya disebut Lrumimuutu (Lumimuut). Toada dan Lrumimuutu hidup sebagai layaknya bersaudara dan Kadema menjadi orang tua mereka yang harus didengar segala perintahnya.
Sekali peristiwa berkatalah Kadema kepada Toada dan Lrumimuutu : “pergilah kedua kamu masing-masing mengambil jalan sendiri-sendiri, mengelilingi ke mana saja, untuk mencari pasangan (jodoh) kamu sendiri-sendiri. Inilah 2 (dua) batang tongkat dan lihat sama panjangnya, ambilah seorang sebuah dan bila kamu masing-masing bertemu dengan seorang yang kamu suka, jadikanlah dia pasangan (jodoh) kamu, haruslah tongkat yang ada pada kamu itu diukurkan pada tongkatnya.
Apabila tidak sama panjangnya, ambillah dia menadi pasangan kamu”. Maka diberilah oleh Kadema kepada Toada sebuah tongkat yang dari “tuis” (golobah) dan sebuah tongkat yang dari “asa” diberikannya kepada Lrumimuutu.
Mereka bertigapun berpisahlah dengan perasaan sedih, dan berjalanlah Toada pada jalan yang lain dan Lrumimuutu pada jalan yang lain juga. Dalam kurun waktu lama, bertemulah Toada dan Lrumimuutu, tetapi mereka tidak lagi saling mengenal dan bilamana mereka mengukur tongkat mereka masing-masing seorang pada seorang, ternyata tongkat mereka tidak sama panjangnya. Maka mereka berdua sepakat untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Pada saat itu hadirlah Kadema dan menikahkan mereka berdua. Sesudah itu pulanglah Kadema ke keinderaan. Toada dan Lrumimuutu pada waktu itu tidak mengetahui sebabnya kenapa tongkat Toada telah menjadi lebih panjang dari tongkat Lrumimuutu, karena sebenarnya batang tuis (gelobah) walaupun hari ini dipotong tetapi biasanya keesokan hari batang tuis tersebut masih akan bertambah panjang.
Toada dan Lrumimuutu hidup sebagai suami isteri, dan tinggal di sebuah pondok yang terletak di bawah pohon kayu Singkulrubu. Pada cabang bagian bawah pohon kayu itu, bertengger burung Bahkeke (Wakeke) dan sebelah atasnya burung Manguni. Oleh karena itu burung Bahkeke dan burung Manguni tinggal bersama-sama dengan Toada dan Lrumimuutu pada pohon kayu Singkulrubu itu, maka semua keturunan Toada dan Lrumimuutu amat percaya kepada burung-burung itu yang memberi alamat baik dan jahat. Burung Bahkeke memberi alamat/tanda pada siang hari dan burung Manguni memberi tanda pada malam hari.
Toada dan Lrumimuutu memperoleh beberapa anak diantaranya bernama Makaduasiou, Makatelrupitu, Makatelrusiou, dan lain-lain. Makin lama Toada dan Lrumimuutu mendapat karunia dengan keturunan yang banyak sekali. Kedua mereka hidup sampai lanjut usia, sehingga mereka dapat melihat akan segala keturunan anak-anaknya, cucu-cucu, cicit-cicit, dan buyut-buyutnya, banyak sekali tak terhitung jumlahnya.
Kemudian Toada dan Lrumiuutu mengumpulkan segala keturunannya yang telah menjadi banyak sekali itu pada suatu tempat yang bernama “Pinatiahen” (artinya: membahagi). Lalu Toada dan Lrumimuutu naik di atas batu besar dan membahagi bahasa, memberi peraturan-peraturan, adat-adat dan pantangan-pantangan, lalu bercerailah mereka itu semua bertumpuk-tumpuk masing-masing pergi ke tempat yang disukainya.

Adapun setumpuk orang leluhur kaum Bantik dari garis keturunan Makaduasiou yang terdiri dari beberapa kepala keluarga antara lain : Sumalroto, Lrobogia, Huntuhambi, Sumolrung, Dangkulrang, Lrumimpunu, dan Lrolring, pergi ke suatu tempat yang bernama Mandolrang. Disana mereka bertambah-tambah banyak dan menjadi suatu kaum. Pekerjaan mereka umumnya sebagai petani dan kadang-kadang sebagai nelayan.
Dari legenda Toada dan Lrumimuutu inilah anak-suku Bantik mempunyai kepercayaan kepada burung manguni yang memberi tanda, alamat baik atau buruk, mempercayai empung-empung dan merasa takut pada setan-setan yang jahat, serta adat istiadat untuk memberi makan kepada empung-empung di kebun dengan segala penyembahanya dan lain-lain.


Edited : Jeldy Tontey

Sumber :
  • Sejarah Anak Suku Bantik, Pdt. M. Kiroh, 1968
  • Tuturan turun temurun masyarakat Bantik, Sulawesi Utara


(Adapun asalnya Lrumimuutu, yang dikisahkan kembali oleh Joutje A. Koapaha, 2006 sbb : Kadema bersama Toar ketika sedang menelusuri dan menikmati keindahan alam pesisir pantai tanah Malesung, mereka menemukan sebuah batu berbentuk aneh yang dinamai mereka sebagai “Batutuhe” atau batu nahi’sasuhe yang terdapat di atas gundukan pasir. Bentuk batu dikatakan aneh karena layaknya sepasang pria dan wanita yang sedang melakukan hubungan badan/seks. Dengan cambuk ditangan Kadema kemudian menggaris batu tersebut dengan batang cambuk yang akhirnya batu terbelah/terpisah. Setelah Batutuhe terbelah, ternyata di dalamnya terdapat tubuh seorang wanita yang masih hidup terbungkus dengan lumut (Lrumu). Kadema menamai temuan mereka tersebut sebagai Lrumimuutu, karena didapati dalam keadaan terbungkus lumut. Legenda Toar dan Lumimuut banyak keragaman tuturan, peristiwa, pertemuan dan perkawinannya, terutama menyangkut format “anak kawin mama”. Namun berdasarkan tuturan masyarakat Bantik yang valid, tidak dikenal istilah “anak kawin mama” dalam hubungan Toar dan Lumimuut sebagaimana yang sering dijumpai dalam tulisan/tuturan yang lain).


TOAR DAN LUMIMUUT BUKAN “ANAK KAWIN MAMA”

VERSI TOU BANTIK : TOADA DAN LRUMIUUTU

Legenda Toar dan Lumimuut seperti kita tahu bersama, banyak keragaman tuturan peristiwa pertemuan dan perkawinan antara Toar dan Lumimuut. Bahkan sampai sekarang masih sangat kontradiktif, rancu dan simpang siur penerimaan diantara sesama etnis dan adat Minahasa terutama menyangkut format “anak kawin mama”.
Namun berdasarkan versi tuturan Bantik yang valid, ternyata tidak dijumpai atau dikenal istilah “anak kawin mama”, dalam hubungan Toar dan Lumimuut sebagaimana yang sering dijumpai dalam tulisan/tuturan yang lain. (J.A. Koapaha, 2006).
Sekali peristiwa, tersebutlah tanah Ponaedan yang tenggelam diliputi air laut yang melimpah/air bah, sehingga semua penduduknya mati lemas dan jiwa-jiwa (roh) dari orang-orang yang sudah mati itu sebagian menjadi ilah-ilah yang baik dan sebagian lain menjadi setan-setan yang jahat. (Ponaedan menurut penuturan J.A. Koapaha, 2006, adalah Pamaedan yang dalam bahasa Bantik artinya tempat seka-kaki (keset) para dewa-dewa Kayangan.
Konon seluruh bumi pada waktu itu tenggelam dilanda air bah, hanya pada tanah Ponaedan itu masih tersisa sebuah tandusan (beting). Di atas tandusan terdapat sebuah batu besar, lalu turunlah seorang Empung yang bernama KADEMA dari “Kalrutuang” (kayangan/surga), berdiri di atas batu besar itu, dengan memegang sebuah alat kesaktian yang berbentuk seperti cambuk, yang dalam bahasa Bantik disebut “Tingkayuan”, lalu Ia memandang ke sana ke mari dan sejauh mata memandang, hanyalah dikelilingi laut belaka.

Kemudian Kadema mengangkat cambuk saktinya dengan tangan kanan dan berkata : “Adodou adodou tanah Ponaedan timagongte ada bobodone dumulru kumilra kalrotou te nai age nu pung-pung bo kayu” (yang artinya : Ya tanah Ponaedan telah tenggelam, sekiranya jadilah guntur dan kilat dan mulai timbullah pula tanah yang baru yang ditumbuhi dengan rumput-rumputan kemudian dengan pohon-pohon kayu dari kecil-kecil hingga yang besar-besar, ya rupa-rupa jenis rumput dan kayu).
Maka sekejap itu juga gunturpun berbunyi dengan dahsyatnya bertubi-tubi diiringi dengan kilat sambung-menyambung, maka berangsur-angsur tanah kering di sekeliling batu itu bertambah-tambah luas, air mulai surut dan rumput-rumputan mulailah bertumbuh, demikian juga dengan kayu-kayuan berjenis-jenis, maka jadilah seperti yang dikatakan oleh Kadema.
Adapun tumbuh-tumbuhan yang bertumbuh pertama-tama di tanah Ponaedan tersebut adalah rumput sukuhu (bataka) diikuti goringo (karimenga) dan Lria (goraka), baru kemudian tumbuh-tumbuhan yang lainnya. Oleh sebab itu ketiga tanaman tersebut menjadi tumbuhan obat yang mujarab bagi masyarakat Bantik dan umumnya orang Minahasa, karena ketiga tumbuhan itulah yang mula-mula bertumbuh di tanah Minahasa, “tanah baru” dari tanah Ponaedan.
Sementara Kadema sedang berdiri di atas batu itu, maka sekonyong-konyong ia mendengar suara seseorang yang menjerit di bawah batu itu, lalu turunlah ia ke tanah, dan batu itu digoleknya sedikit, maka keluarlah seorang laki-laki muda dari bawah batu itu, lalu ia pun menyembah kepada Kadema. Kemudian Kadema berkata kepada laki-laki muda itu : “sekarang engkau dinamai Toada (Toar), sebab engkau kudapati di moada (tandusan)”. Moada dalam bahasa anak suku Bantik berarti tandusan (beting). Lalu tinggallah mereka di “tanah baru” itu dan itulah tanah Malesung atau Minahasa hingga sekarang.

Sekali peristiwa Kadema dan Toada bersepakat membuat sebuah patung dari lumut-lumut dicampur tanah liat dan diberi bertulang kayu, lalu jadilah sebuah patung yang amat elok. Toada memperhatikan patung tersebut dengan perasaan gembira, lalu katanya kepada Kadema : “alangkah baiknya kalau patung ini menjadi manusia”. Sahut Kadema nantilah kubawa patung itu naik ke langit ke keinderaan yang tertinggi menghadap yang Maha Kuasa yaitu : Mabu Duata supaya ia diberi nafas kehidupan dan menjadi manusia.
Maka dibawalah oleh Kadema patung itu menghadap Mabu Duata, permohonan Kadema dikabulkan, lalu Kadema kembali ke bumi untuk menemui Toada dengan membawa patung yang telah menjadi seorang perempuan yang amat elok parasnya. Tetapi dalam perjalanan menuju ke tempat tinggal Toada, patung yang telah menjadi seorang perempuan cantik itu sempat dipegang dan ditegur oleh setan-setan yang jahat, namun perempuan itu tidak tahu dan tidak dapat melihat makhluk-makhluk halus tersebut.
Alangkah sukacita Toada melihat perempuan dari patung itu, tetapi tidak lama perempuan itu sakit lalu mati. Toada memanggil Kadema dan oleh Kadema, perempuan itu dibawa lagi ke keinderaan untuk dimintakan agar diberi nafas kembali. Mabu Duata mengabulkan permohonan Kadema dengan nasehat supaya setibanya di bumi haruslah mengambil ujung batang tawaang dan diusap-usapkan pada tubuh perempuan itu.
Setibanya Kadema di bumi, datang lagi setan-setan jahat itu, tetapi mereka tidak berani mendekati perempuan itu, karena Kadema telah mengambil tawaang seperti yang sudah dipesan oleh Mabu Duata kepadanya. Oleh karena itu, sejak dahulu kala masyarakat Bantik sering menggunakan ujung tawaang untuk mengobati orang sakit. Balriang (Wailan) yang mengobati orang sakit, semalam-malaman memegang ujung tawaang, menyebut-nyebut nama Kadema, sambil mengusap-usapkan ujung tawaang ke tubuh orang sakit itu, untuk mengembalikan jiwanya yang telah pergi karena perbuatan dari setan-setan yang jahat.
Perempuan yang asalnya dari patung itu dinamai “Lumimuutu” oleh Kadema, sebab perempuan itu berasal dari lrumu (lumut). Masyarakat Bantik menyebut lumut itu “lrumu” atau “lrumuutu” kemudian lazimnya disebut Lrumimuutu (Lumimuut).
(Adapun asalnya Lrumimuutu, yang dikisahkan kembali oleh Joutje A. Koapaha, 2006 sbb : Kadema bersama Toar ketika sedang menelusuri dan menikmati keindahan alam pesisir pantai tanah Malesung, mereka menemukan sebuah batu berbentuk aneh yang dinamai mereka sebagai “Batutuhe” atau batu nahi’sasuhe yang terdapat di atas gundukan pasir. Bentuk batu dikatakan aneh karena layaknya sepasang pria dan wanita yang sedang melakukan hubungan badan/seks.
Dengan cambuk ditangan Kadema kemudian menggaris batu tersebut dengan batang cambuk yang akhirnya batu terbelah/terpisah. Setelah Batutuhe terbelah, ternyata didalamnya terdapat tubuh seorang wanita yang masih hidup terbungkus dengan lumut (Lrumu). Kadema menamai temuan mereka tersebut sebagai Lrumimuutu, karena didapati dalam keadaan terbungkus lumut).
Toada dan Lrumimuutu hidup sebagai layaknya bersaudara dan Kadema menjadi orang tua mereka yang harus didengar segala perintahnya. Sekali peristiwa berkatalah Kadema kepada Toada dan Lrumimuutu : “pergilah kedua kamu masing-masing mengambil jalan sendiri-sendiri, mengelilingi kemana saja, untuk mencari pasangan (jodoh) kamu sendiri-sendiri. Inilah 2 (dua) batang tongkat dan lihat sama panjangnya, ambilah seorang sebuah dan bila kamu masing-masing bertemu dengan seorang yang kamu suka, jadikanlah dia pasangan (jodoh) kamu, haruslah tongkat yang ada pada kamu itu diukurkan pada tongkatnya. Apabila tidak sama panjangnya, ambillah dia menadi pasangan kamu”. Maka diberilah oleh Kadema kepada Toada sebuah tongkat yang dari “tuis” (golobah) dan sebuah tongkat yang dari “asa” diberikannya kepada Lrumimuutu.

Mereka bertigapun berpisahlah dengan perasaan sedih, dan berjalanlah Toada pada jalan yang lain dan Lrumimuutu pada jalan yang lain juga. Dalam kurun waktu lama, bertemulah Toada dan Lrumimuutu, tetapi mereka tidak lagi saling mengenal dan bilamana mereka mengukur tongkat mereka masing-masing seorang pada seorang, ternyata tongkat mereka tidak sama panjangnya.
Maka mereka berdua sepakat untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Pada saat itu hadirlah Kadema dan menikahkan mereka berdua. Sesudah itu pulanglah Kadema ke keinderaan. Toada dan Lrumimuutu pada waktu itu tidak mengetahui sebabnya kenapa tongkat Toada telah menjadi lebih panjang dari tongkat Lrumimuutu, karena sebenarnya batang tuis (gelobah) walaupun hari ini dipotong tetapi biasanya keesokan hari batang tuis tersebut masih akan bertambah panjang.
Toada dan Lrumimuutu hidup sebagai suami isteri dan tinggal di sebuah pondok yang terletak di bawah pohon kayu Singkulrubu. Pada cabang bagian bawah pohon kayu itu, bertengger burung Bahkeke (Wakeke) dan sebelah atasnya burung Manguni. Oleh karena itu burung Bahkeke dan burung Manguni tinggal bersama-sama dengan Toada dan Lrumimuutu pada pohon kayu Singkulrubu itu, maka semua keturunan Toada dan Lrumimuutu amat percaya kepada burung-burung itu yang memberi alamat baik dan jahat. Burung Bahkeke memberi alamat/tanda pada siang hari dan burung Manguni memberi tanda pada malam hari.
Toada dan Lrumimuutu memperoleh beberapa anak diantaranya bernama Makaduasiou, Makatelrupitu, Makatelrusiou, dan lain-lain. Makin lama Toada dan Lrumimuutu mendapat karunia dengan keturunan yang banyak sekali. Kedua mereka hidup sampai lanjut usia, sehingga mereka dapat melihat akan segala keturunan anak-anaknya, cucu-cucu, cicit-cicit, dan buyut-buyutnya, banyak sekali tak terhitung jumlahnya.
Kemudian Toada dan Lrumiuutu mengumpulkan segala keturunannya yang telah menjadi banyak sekali itu pada suatu tempat yang bernama “Pinatiahen” (artinya : membahagi). Lalu Toada dan Lrumimuutu naik di atas batu besar dan membahagi bahasa, memberi peraturan-peraturan, adat-adat dan pantangan-pantangan, lalu bercerailah mereka itu semua bertumpuk-tumpuk masing-masing pergi ketempat yang disukainya.


Edited by : Jeldy Tontey

Sumber cerita :
  • Sejarah Anak Suku Bantik Minahasa, oleh Pdt. Matheos Kiroh
  • Cerita turun-temurun masyarakat Bantik