Sunday 23 November 2014

MUSIK BAMBU DAN PERKEMBANGANNYA DI MINAHASA

Musik Bergengsi Dalam Status Sosial Masyarakat


Musik Bambu  Minahasa di mulai dari musik suling penthatonis lima lobang yang menjadi salah satu alat musik dari ‘Musik Maoling‘,  terdiri dari Kolintang gong, tambur dan gong besar. Suling bambu kemukinan datang dari Ternate bersama Kolintang gong (momongan) melalui perdagangan beras Minahasa sejak Jaman Portugis di Minahasa sampai jaman V.O.C. Belanda 1560-1870. Suling bambu lima nada terlihat pada gambar skestsa buku Ethnographische Miszelen Celebes, A.B. Meyer, O.Richter, Dresden, 1902.
Tahun 1844, Zending Belanda berusaha menghapus alat musik gong di Minahasa dan menggantikannya dengan musik suling. Ketika itu Gubernemen Belanda  minta guru –guru Zending mengajar di sekolah Gubernemen, maka para guru  Zending mengajarkan lagu gerejani dengan solmisasi musik suling oktaf.
Musik suling anak-anak sekolah dengan tiga suara di lihat oleh N. Graafland di Kawangkoan. Korps musik HINDIA BELANDA mengiringi pemberangkatan serdadu Minahasa ke perang Jawa, tahun 1829, yang memakai alat musik tiup dan tambur di pelabuhan Manado (Wenang ).
Korps  musik kerajaan Belanda ini, juga yang mengiringi tarian katreli oleh para milisi orang Manado-Minahasa di Manado tahun 1885, (J. Hickson,1889, hal. 345). Tahun 1930-an korps music ‘Marching Band‘ kerajaan Belanda di Manado bernama ‘IRENE BRIGADE BLAAS INSTRUMENT ‘.
Musik bambu berbentuk orkes kemungkinan muncul pertama kali sekitar tahun 1880-an terdiri dari sederetan peniup suling, tambur besar kecil, Korno (Hoorn), Piston dari bambu, Bombardon (bas) dari bambu, pontuang dan gong, hingga di sebut ‘Musik bambu‘, Foto music bamboo Tondano tahun 1917, terlihat selain sederetan peniup suling, ada TAMBUR dan GENDERANG, buatan Eropa serta KLARINET dan TROMPET buatan Eropa juga ada gong dan pontuang. Musik ‘Suling Bambu’, sudah berubah menjadi musik  orkes yang alat musiknya bukan hanya suling, dan sudah menggunakan alat musik buatan eropa.
Untuk membuat tiruan alat musik eropa, Tuba (piston) dan bas dari bahan logam seng aluminium diperlukan keahlian ‘Tukang Blek‘ yang umumnya orang Cina. Seorang “Tukang Blek“ dari Amurang, Minahasa Selatan bernama KEK-BENG, tahun 1932, berhasil membuat tiruan alat musik Eropa, TUBA dan BOMBARDON (bas) dari bahan Seng aluminium yang di gunting-gunting, kemudian di alas pakai timah. Dengan demikian ORKES SULING BAMBU dengan TUBA (Piston) dan BAS dari bahan Bambu, ditahun 1932 berubah menjadi MUSIK BAMBU SENG.
Sampai tahun 1957, sebelum pergolakan permesta, seluruh musik bambu di Minahasa sudah berbentuk musik bamboo Seng, seperti orkes musik bambu ‘Garuda (Buyungon), ‘Banteng“ (Rumoong bawah), ’Nasional (Kawangkoan Bawah), ‘Uluna (Tondano), Orion (Kakaskasen Tomohon) dan yang lainnya.
Kemudian Arie Kristen juga di Amurang, mencoba membuat musik tiup memakai alat getar meniru alat musik Klarinet buatan Eropa, yang mulai umum di gunakan oleh kelompok musik bambu mulai tahun 1960-an.
Dengan demikian lahir lagi periode baru dalam orkes Musik bambu Minahasa menjadi ‘MUSIK BAMBU‘, SENG KLARINET‘ dimana hanya suling dan korno yang terbuat dari bambu. Karena alat musik dari seng aluminium cepat berlobang terkena air liur manusia yang mengandung garam, lalu di cari lembaran kuningan mulai tahun 1970-an, karena mudah dibentuk, alat tiup bas dan Tuba mengalami perubahan menjadi ‘Tuba Celo ‘ dan “Tuba benyo‘, ditambah lagi dengan alat musik tiup yang di beri nama Saxophone, Oterton dan Trombon, mengikuti nama-nama alat musik tiup orkestra eropa.
Karena bahan kuningan cepat menjadi buram terkena keringat manusia, maka di cari bahan logam lain, supaya alat musik tiup nampak selalu bercahaya tanpa selalu harus di gosok dan di bersihkan. Pilihan lembaran logam itu adalah besi putih ‘steinles steel’, warna perak berkilau, lebih kuat dari kuningan tapi agak sulit di bentuk.
Cara memainkan alat musik bambu sama dengan memainkan alat music Marching Band korps musik angkatan bersenjata dan kepolisian. Oleh karna itu  pada parade angkatan bersenjata Republik Indonesia yang umumnya terdiri dari para Laskar  rakyat tahun 1945 di lapangan IKADA Jakarta, ketika angkatan bersenjata  RI belum punya korps musik, digunakan Orkes Musik bambu pemadam kebakaran cideng Jakarta yang terdiri dari para putra Kawanua.

Secara tradisi di Minahasa, semua kelompok orkes Musik bambu memiliki ‘Vandel’ yang bertuliskan indentitas nama kelompok musik bambu dan asal desa atau kampung wilayah kecamatan.
Musik bambu juga sudah  menjadi musik bergengsi yang dapat  menaikan status sosial pihak yang mengundang, seperti penjemputan Tamu agung, acara perkawinan, dan acara-acara yang di selenggarakan oleh pihak pemerintah daerah.
Satu kelompok musik bambu beranggotakan sekitar 30 (tiga pulu) orang, memainkan alat musik tiup (Aero[hone) dan alat musik getar (mambranophone) seperti Tambur, Drum, Simbal, agar dapat menghasilkan suara gegap-gempita memeriahkan suasana atau mengiring dansa acara pesta.

No comments:

Post a Comment