Sunday 23 November 2014

KEBUDAYAAN MINAHASA (1)

MENGENAL LEBIH DEKAT TENTANG SUKU MINAHASA

Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dunia ini yang terkenal kaya akan suku-suku dengan keanekaragaman budayanya masing-masing. Sebagai generasi bangsa, hal ini patut menjadi kebanggaan tersendiri bagi kita, karena itu kita perlu mengetahui dan mengenal setiap suku dan budaya yang ada.
Salah satu suku di Indonesia adalah suku Minahasa di pulau Sulawesi, yang terdapat di Provinsi Sulawesi Utara.
Untuk mengenal lebih dekat tentang Suku Minahasa, selengkapnya dapat dibaca dalam artikel ini.


ETNOGRAFI SUKU MINAHASA

LOKASI

Minahasa terletak di bagian timur-laut jazirah Sulawesi Utara, di antara 0 derajat 51’ dan 1 derajat 51’ 40’ lintang Utara dan 124 derajat 18’ 40’ dan 125 derajat 21’ 30’ bujur Timur. Luas Minahasa 5273 Km², sedangkan luas wilayah pulau-pulau sekitarnya 169 Km².
Daerah Minahasa termasuk juga dengan beberapa pulau kecil di bagian Utara, seperti pulau Manado Tua, Bunaken, Siladen, dan Naen. Tetangga-tetangga Minahasa ialah Sangihe-Talaud di bagian Utara dan Bolaang Mongondow di bagian selatan.

LINGKUNGAN ALAM

Kawasan Minahasa berupa daerah vulkanik muda. Sifat-sifat khasnya ialah pelbagai tepi gunung yang curam, diselingi oleh sungai-sungai kecil yang mengering sesudah mengalir cepat dan singkat ke laut.
Di Minahasa terdapat empat gunung tinggi yang penting, yaitu Klabat di Utara, Lokon dan Mahawu di tengah, dan Soputan di Selatan. Selain juga ada beberapa gunung lain, yakni gunung Dua Saudara, Masarang, Tampusu, Manimporok, Lolombulan, Lengkoan, dan pegunungan Lembean.
Sungai-sungai yang terdapat di Minahasa, antara lain sungai Tondano, Ranoyapo, Poigar, dan sebagainya. Di tengah Minahasa terdapat suatu dataran tinggi (700m) dengan danau Tondano di tengahnya. Di daerah itu dan di wilayah-wilayah datar lainnya ditanami padi, pada wilayah yang beririgasi, jagung di tebing-tebing gunung beserta sayur-mayur, kelapa di sepanjang pantai dan pohon cengkeh di wilayah yang lebih tinggi.
Iklim Minahasa tropis dan basah, dengan curah hujan rata-rata 2.000 sampai 4.000 mm. Dalam satu tahun terdapat dua musim, yakni musim hujan yang berlangsung sejak bulan Oktober sampai Maret dan musim panas dari bulan April sampai September.


Orang Minahasa menyebut diri mereka orang Manado atau Tou-Wenang (orang Wenang), orang Minahasa, dan juga Kawanua. Masyarakat asli Minahasa terbagi ke dalam 8 sub-etnik atau suku bangsa, yakni :

  1. Tonsea, terdapat di sekitar Timur Laut Minahasa;
  2. Tombulu, terdapat di sekitar Barat Laut danau Tondano;
  3. Tontemboan / Tompakewa, terdapat di sekitar Barat Daya Minahasa;
  4. Toulour, terdapat di bagian Timur dan pesisir danau Tondano;
  5. Tonsawang, terdapat di bagian tengah dan Selatan Minahasa;
  6. Pasan atau Ratahan, terdapat di bagian Tenggara Minahasa;
  7. Ponosakan, di bagian Tenggara Minahasa;
  8. Bantik, terdapat di beberapa tempat di pesisir Barat Laut Utara dan Selatan kota Manado.


Pola perkampungan desa di Minahasa bersifat menetap, mengelompok, dan padat. Kelompok rumah-rumah dalam desa memanjang mengikuti jalan raya. Rumah tradisional berbentuk panggung dengan tinggi 5-10 meter, dengan maksud untuk menghindari gangguan binatang buas dan gangguan musuh, misalnya perampok-perampok yang datang dari luar daerah seperti dari kepulauan Mindanauw, orang Tidore dari Maluku dan orang Bajo/Wajo.

ASAL MULA DAN SEJARAH

Sejak tahun 1970-an, muncul pertanyaan di kalangan masyarakat Minahasa sendiri tentang yang manakah budaya asli mereka. Orang Minahasa sendiri tidak mengetahui dengan jelas asal-usul sejarahnya, selain dari cerita mitos tentang Toar dan Lumimuut.
Penduduk Minahasa baik di kota maupun di desa pada umumnya tidak memperlihatkan lagi unsur-unsur budaya asli, seperti dalam suku-suku bangsa lain di Indonesia. Hal ini disebabkan karena perubahan sejarah yang cepat sejak perjumpaan dengan orang-orang Eropa, khususnya pada periode pemerintahan kolonial Belanda di abad ke-19.
Masuknya kebudayaan asing di Minahasa sesungguhnya telah dimulai pada abad ke-16, dengan kedatangan orang Spanyol yang kemudian digantikan oleh Belanda, setelah kalah perang pada tahun 1660.
Pengaruh kehadiran orang Spanyol yang bertahan hampir seabad di Minahasa masih tampak hingga saat ini, antara lain dalam aspek bahasa ada beberapa kata yang tak lain ialah bahasa Spanyol (nyora, kawayo).
Selain itu, pakaian yang dianggap orang Minahasa sebagai pakaian adat (patung kurengkeng dan saraun di Tondano) tak lain adalah pakaian ala Spanyol. Bersamaan dengan masuknya bangsa Spanyol, masuk pula unsur-unsur agama Katolik yang mula-mula dibawa oleh Pater Diego de Magelhaens dan kemudian oleh misionaris lainnya.
Penginjilan oleh misionaris Katolik kemudian diganti oleh para pendeta Protestan akibat peralihan kependudukan dari Spanyol ke Belanda. Tahun 1675, pendeta Montanus mengadakan penginjilan di Minahasa, diikuti oleh J.G. Schwars dan J.C. Riedel pada tahun 1831. Berkuasanya Belanda di Minahasa juga membawa unsur-unsur kebudayaan lain bagi penduduk Minahasa, antara lain bahasa, cara-cara berpakaian, sistem pemerintahan, sistem pengetahuan, pendidikan, kesehatan, peralatan, pengangkutan, dan sebagainya.
Proses perubahan yang dialami oleh suku bangsa Minahasa akibat kontak dengan masyarakat luar dapat dilihat juga dari beberapa nama yang diberikan bagi daerah ini. Dahulu kawasan ini disebut dengan Malesung (lesung padi), lalu Se Mahasa (mereka yang bersatu) tetapi kemudian kedua nama ini menghilang.
Kini daerah ini dikenal dengan Minahasa (dipersatukan). Nama Minahasa pertama kali muncul dalam dokumen Belanda pada tahun 1789 dan lambat laun diterima sebagai nama resmi. Pernah pada tahun 1970-an, muncul suatu julukan yaitu ‘Bumi Nyiur Melambai’, dan lagi pada tahun 1990-an, ‘Tanah To’ar dan Lumimu’ut’.

BAHASA

Dalam hidup keseharian, suku Minahasa biasa menggunakan bahasa Indonesia yang dipadukan dengan logat Melayu Manado atau yang disebut bahasa Melayu Manado. Bahasa ini adalah bahasa umum yang dipergunakan dalam komunikasi antar orang-orang dari sub-sub etnik Minahasa maupun dengan penduduk dari suku-suku bangsa lainnya.
Di daerah perkotaan, orang memakai Melayu Manado sebagai bahasa ibu, menggantikan bahasa pribumi Minahasa. Pengaruh Melayu Manado ini juga sudah mulai terlihat di desa-desa. Generasi terakhir sudah kurang mengetahui bahasa pribumi mereka. Proses indigenisasi Melayu Manado ini, berlangsung dengan pesat dan membentuk suatu ciri identitas etnik dan bagian dari sistem budaya Minahasa.
Mengenai bahasa pribumi, di Minahasa terdapat 8 bahasa sesuai dengan jumlah sub etnik suku Minahasa, yakni bahasa Tombulu, Tonsea, Tondano (Toulour), Tontemboan, Tonsawang, Pasan (Ratahan atau Bentenan), Ponosakan, dan Bantik. Ketiga yang terakhir ini dekat dengan bahasa Sangir-Talaud, sedangkan lima bahasa yang besar lainnya berasal dari satu rumpun, yaitu Proto-Minahasa.
Bahasa Tontemboan kini mempunyai pengguna terbanyak, diikuti dengan bahasa Tombulu, Tondano di posisi ketiga dan kemudian Tonsea. Dahulu bahasa Tombulu dipakai dalam nyanyian, puisi, doa dan peribahasa di seluruh Minahasa, tetapi sekarang ini jumlah pemakainya sudah berkurang dan kenyataan membuktikan bahwa banyak orang Tombulu tidak lagi menggunakannya.
Sebaliknya, bahasa Tonsea dan Tontemboan kini sedang naik pamor dan dipakai secara aktif dan terbuka di muka umum.

No comments:

Post a Comment