Sunday 23 November 2014

KEBUDAYAAN MINAHASA (3)

MENGENAL LEBIH DEKAT TENTANG SUKU MINAHASA


SISTEM PENGETAHUAN

Sistem pengetahuan masyarakat suku Minahasa dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, yakni :

Alam fauna; adanya kepercayaan terhadap tanda-tanda binatang seperti burung dan ular. Ada dua macam burung yang menunjukkan berbagai tanda. Burung siang (waru endo, kemekeke, totombara) dapat menunjukkan tanda adanya berita yang menyenangkan (lowas, keeke rondor), tanda tidak mengganggu perasaan (keeke tenga wowos), tanda tidak menyenangkan (mangalo/mangoro), dan tanda yang menakutkan atau beralamat tidak baik (keke). Burung malam (wara wengi kembaluan) dapat bersuara merdu tanda menyenangkan (manguni rendai), suara hampir merdu dan putus-putus tanda tidak mengganggu perasaan (imbuang), suara parau tanda membimbangkan (paapian), dan bunyi panjang serta keras (kiik) yang bertanda menakutkan jika terdengar dari arah depan atau kanan pendengar. Di samping itu, ada juga tanda dari ular, misalnya ular yang merayap dari barat ke timur dan ular yang mengangkat kepala. Tanda yang lainnya ialah tanda dari empedu atau hati binatang yang disembelih (babi, ayam, sapi, dll) yang dapat meramalkan masa depan.

Alam flora; pengetahuan tentang alam flora dapat terlihat dari bermacam-macam bahan makanan masyarakat Minahasa yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Banyak bahan-bahan obat pula yang diperoleh dari berbagai jenis akar-akaran, dedaunan, kulit-kulit kayu, buah-buahan, rerumputan dan umbi-umbian. Beberapa contoh di antaranya, obat malaria dibuat dari sejenis akar yang disebut riis (tali pahit), goraka (jahe) sebagai obat batuk, obat sakit perut dan penolak roh jahat, serta kucai (sejenis bumbu dapur) sebagai obat demam bagi anak-anak.

Tubuh manusia; pengetahuan tentang tubuh manusia dibagi ke dalam dua bagian yakni yang menyangkut perbuatan dan yang menyangkut hal-hal yang terjadi dalam tubuh. Pengetahuan itu lebih bersifat larangan-larangan bagi setiap orang yang melakukannya karena akan menimbulkan akibat tersendiri. Contohnya :

  1. Jangan memotong kuku pada malam hari, nanti kematian ibu atau salah satu anggota keluarga lekas terjadi; maksud sebenarnya ialah bila memotong kuku di waktu malam gampang mendapat luka.
  2. Jangan suka tidur tiarap, nanti akan ditangkap hantu; maksudnya ialah agar peredaran darah tidak terganggu.


Ada juga kepercayaan rakyat Minahasa tentang mimpi, antara lain : mimpi gigi copot, alamat seorang dari keluarga dekat akan meninggal; mimpi mayat, artinya akan mendapat rejeki; mimpi mendapat uang atau dipagut ular, artinya akan mendapat sakit.

Pengetahuan tentang alam; misalnya bila awan di langit kelihatan berpetak-petak, tandanya banyak ikan atau juga terjadi gempa bumi; bila kelihatan atau kedengaran segerombolan lebah yang terbang dari arah utara menuju selatan, alamatnya akan terjadi kemarau yang panjang, dan bila anjing-anjing membuang kotoran di jalanan umum, alamat musim kemarau panjang telah mulai.

Pengetahuan tentang waktu; masyarakat Minahasa tradisional mengetahui tentang waktu dengan berpatokan pada matahari dan suara binatang. Misalnya, matahari mulai timbul berarti jam 6 pagi; di atas kepala adalah pukul 12.00; matahari terbenam pukul 6 sore. Ayam berkokok tengah malam adalah pukul 00.00; berkokok selanjutnya merupakan tanda sudah hampir siang. Para petani di sawah mendengar suatu binatang bernama konkoriang sebagai pertanda mereka harus segera pulang, sebab waktu telah menunjukkan pukul 17.00. Ada juga semacam alat yang terbuat dari dua botol yang diikat sedemikian rupa, di mana pasir dipindahkan dari satu botol ke botol lain. Waktu selama pasir berpindah (lima jam) digunakan sebagai waktu bekerja (biasanya dalam mapalus).

SISTEM RELIGI

Sistem Religi ; Sistem Religi dalam masyarakat Minahasa dibagi menjadi dua, yakni kepercayaan asli masyarakat (agama sakral) dan agama-agama wahyu.

KEPERCAYAAN ASLI MASYARAKAT MINAHASA

Unsur-unsur religi pribumi masyarakat Minahasa masih nampak dalam beberapa upacara adat yang dilakukan orang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sekitar lingkaran hidup individu, seperti masa hamil, kelahiran, perkawinan, kematian, maupun dalam bentuk roh-roh leluhur dan kekuatan-kekuatan gaib dalam hidup sehari-hari,yang baik maupun yang jahat.
Orang Minahasa menyebut dewa dengan Empung atau Opo. Dewa yang tertinggi disebut Opo Wailan Wangko (Tuhan Allah). Ia dianggap sebagai pencipta seluruh alam dan dunia serta segala isinya. Sesudah dewa tertinggi, ada wujud di bawahnya yakni, Karema. Rupanya Karema merupakan salah satu dari roh leluhur. Karema sendiri berarti ‘mitra, teman (ka-) yang dihubungkan dengan makan sirih-pinang (lema)’.
Opo ada yang baik dan ada yang jahat. Opo yang baik akan senantiasa menolong manusia yang dianggap sebagai cucu mereka, apabila mentaati petunjuk-petunjuk yang diberikan mereka. Pelanggaran terhadap petunjuk itu dapat mengakibatkan yang bersangkutan mengalami bencana, kesulitan hidup atau hilangnya kekuatan sakti akibat murka dari Opo-opo tersebut.
Ada juga Opo-opo yang memberikan kekuatan sakti untuk hal-hal yang tidak baik seperti untuk mencuri dan berjudi [2] [30]. Opo masih dibagi lagi ke dalam beberapa jenis, yakni : nenek moyang (dotu), Opo dari setiap kerabat, makhluk-makhluk penghuni gunung, sungai, mata air, hutan, tanah, pantai/laut, mata angin, dan Opo hujan.

AGAMA-AGAMA WAHYU DALAM MASYARAKAT MINAHASA

Umumnya orang Minahasa dikenal sebagai suatu komunitas Kristen yang juga masih menerima beberapa unsur atau konsep tertentu dari religi pribumi. Namun dalam kehidupan sehari-hari, unsur-unsur dari religi pribumi ini berpadu dengan komponen-komponen Kristen dan membentuk sebuah sinkretisme.
Hal ini terlihat dalam upacara-upacara siklus hidup, pengobatan, dan perilaku keagamaan sehari-hari. Dalam proses sinkretisme ini, unsur-unsur religi pribumi mengalami penyesuaian maupun transformasi makna sehingga sejalan dengan agama Kristen. Misalnya, Opo Wailan Wangko sebagai konsep dewa tertinggi telah dilihat sebagai Tuhan Allah. Namun, di samping itu tentu terjadi juga beberapa ketidak-sesuaian persepsi emic dan etic atas sinkretisme tersebut.
Agama-agama yang umum dipeluk oleh masyarakat Minahasa ialah : Protestan, Katolik, Islam, dan Budha. Sekarang ini Protestanisme merupakan mayoritas (85%) di Minahasa. Penganut Islam sendiri terhitung 8% dari populasi penduduk.

KESENIAN

Berikut adalah beberapa bentuk kesenian yang terdapat dalam masyarakat Minahasa.

Tarian Perang yang disebut Tari cakalele (mahasasau), merupakan perpaduan Tari Spanyol yang telah mengalami perubahan di Ternate, dan kemudian masuk ke Minahasa. Berupa gerakan-gerakan perang; menantang, mengejar dan menghindari musuh dengan gerakan ke kiri serta ke belakang atau dengan lompatan menyerang musuh. Tarian ini diperagakan dalam berbagai kesempatan, seperti penyambutan tamu, pembangunan, penarikan kayu, dan pesta-pesta adat. [3] [36]. Selain itu, ada juga tarian lain yang diiringi dengan nyanyian, seperti tarian padi (makanberu), tarian naik rumah baru (merambak), dan tarian muda-mudi (lalayapan).

Kesusasteraan suci masyarakat Minahasa dikenal dengan istilah masambo (meminta doa). Masambo memiliki perbedaan versi di tiap sub-suku Minahasa. Isi dari masambo tidak lain adalah doa permohonan kepada yang berkuasa agar tetap memelihara, menjaga, memberkati, memberikan restu, meminta rejeki, dan sebagainya yang biasa dijumpai pada bidang pertanian, perkawinan, naik rumah baru, kelahiran, kematian, dan sebagainya. Selain itu isinya juga mengandung nasehat-nasehat atau anjuran-anjuran yang harus diperhatikan sebagai pedoman hidup. Syair-syair masambo biasanya dinyanyikan menurut irama tertentu.

Ada juga berbagai ungkapan, pepatah, simbol, dan perumpamaan yang dimiliki oleh masyarakat suku Minahasa, terutama oleh orang-orang tua yang bermukim di desa-desa. Misalnya, Sa lumampang, lumampang yo makauner; arti harafiahnya : “kalau berjalan, berjalanlah ke dalam (tengah) atau bila masuk jangan setengah-setengah, melainkan masuklah ke dalam”. Pengertiannya, bila melaksanakan suatu pekerjaan, janganlah setengah-setengah melainkan kerjakanlah dengan sungguh-sungguh. Selain itu masih ada lagi berbagai pepatah dan ungkapan lain.

Simbol yang ada dalam masyarakat Minahasa, misalnya hiasan-hiasan berupa kain merah di kepala melambangkan kesatriaan dan keberanian, sayap bulu burung manguni (burung hantu) yang diikatkan di kepala menyimbolkan kebesaran dan keagungan, dan parang dan perisai sebagai lambang siap bertempur, siap berjuang membela tanah air.

Dalam bentuk pakaian atau tenunan, ada dua jenis tenunan. Yang pertama dan paling kasar adalah kadu/wau, yaitu kain panjang yang dapat dibuat rok wanita atau kemeja. Kain tersebut juga dipakai sebagai layar perahu pribumi, tirai serambi rumah, ataupun sebagai karung untuk mengangkut beras atau padi. Yang kedua ialah kain tenunan yang terbuat dari kapas dari pohon yang tumbuh di Minahasa. Kapas ini cukup baik dan halus, tetapi hasil tenunannya cenderung kasar. Biasa digunakan sebagai sarung dan alas pada tempat duduk orang besar atau ulama.

Para wanita Minahasa juga membuat tolo, tutup kepala berbentuk kerucut dengan berbagai ukuran, terbuat dari daunsilar dengan berbagai warna yang mencolok. Sayangnya, kini berbagai kesenian dalam bentuk tenunan ini sudah hilang dari kehidupan masyarakat Minahasa yang mulai terhanyut oleh arus kehidupan modern.

Kepustakaan :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1983. Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Depdikbud.
Graafland N. 1991. Minahasa: Negeri, Rakyat, dan Budayanya, (terjemahan Lucy R. Montolalu). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Cetakan ke-22.
Renwarin, Paul Richard. 2007. Matuari Wo Tona’as; Jilid 1: Mawanua. Jakarta: Cahaya Pineleng.

No comments:

Post a Comment