Sunday 23 November 2014

KEBUDAYAAN MINAHASA (2)

MENGENAL LEBIH DEKAT TENTANG SUKU MINAHASA


SISTEM TEKNOLOGI

Seiring dengan perkembangan jaman, teknologi dalam setiap suku bangsa pun semakin berkembang. Di Minahasa, sama seperti di daerah-daerah lainnya di Indonesia, sistem teknologi dan penggunaan alat-alat tradisional sudah semakin menghilang diganti dengan alat-alat modern buatan pabrik.
Namun, dalam bagian ini penulis berusaha memasukkan daftar alat-alat tradisional yang dahulu dipakai oleh masyarakat suku Minahasa atau mungkin juga masih dikenal atau digunakan oleh masyarakat Minahasa dewasa ini di tempat-tempat tertentu.
Alat-alat tersebut mulai dari alat-alat rumah tangga sampai alat-alat yang digunakan untuk bekerja dan berperang.

  1. Alat-alat rumah tangga : masih sering dijumpai di desa-desa, antara lain nihu (penampi beras/ padi), loto (bakul), poroco (jenis bakul), rueng (belanga), rumping (belanga goreng), ramporan (dodika/ tempat memasak), tampayang (tempayan), mauseu/ nuuseu/ naaweyen/ sincom (tempat nira dari bambu), salangka (peti tempat menyimpan barang berharga), tepe (tikar), patekelan/ panteran/ koi (tempat tidur), piso (pisau),dan lisung (lesung).
  2. Alat-alat pertanian : beberapa alat yang selalu dipakai penduduk dalam pertanian seperti, pajeko (bajak), sisir, pacol (pacul), sekop (tembilang), peda (parang), sambel (sabel), dan pati/ tamako (kapak).
  3. Alat-alat perburuan : alat-alat yang dahulu sering digunakan dalam perburuan, antara lain tumbak (tombak), sumpit (senjata untuk burung saja), wetes/dodeso (jerat), sassambet (semacam jerat), dan sinapang (senapan).
  4. Alat-alat perikanan : alat-alat yang digunakan oleh masyarakat Minahasa yang berprofesi sebagai nelayan, yakni perahu sampan, perahu giob (lebih besar dari sampan), pelang (lebih besar dari giob), soma (pukat besar), pukat, hohati (kail), nonae (umpan), sosoroka (semacam tombak yang khusus dipergunakan di danau), rompong (rumah di atas air yang telah dipasang dengan jala), sesambe (berbentuk seperti layar kecil untuk menangkap ikan-ikan kecil), dan sero babu yang telah dianyam untuk membungkus ikan.
  5. Alat-alat peternakan : alat-alat yang digunakan dalam beternak. Alat-alat ini tidak terlalu banyak terdapat di Minahasa dikarenakan peternakan merupakan pekerjaan sambilan saja. Alat-alat tersebut antara lain : lontang tempat makanan babi, roreongan atau sangkar ayam.
  6. Alat-alat kerajinan : alat-alat yang digunakan dalam kerajinan masyarakat. Alat-alat ini merupakan campuran dari alat-alat asli buatan orang Minahasa dan alat-alat yang datang dari luar (yang berbahan logam). Beberapa alat buatan penduduk antara lain, kekendong (alat pemintal tali yang terbuat dari bambu atau kayu), jarong katu (penjahit atap yang juga dibuat dari bambu atau kayu), gelondong atau jarong benang bambu, martelu (martil yang dibuat dari kayu), sarong peda (sarung parang yang terbuat dari kayu, bambu, dan pelepah pinang).
  7. Alat-alat transportasi : alat-alat perhubungan yang digunakan oleh masyarakat Minahasa, antara lain roda sapi, bendi, sampan atau perahu (ada beberapa jenis), dan rakit.
  8. Alat-alat peperangan : yakni alat-alat yang dipakai oleh masyarakat Minahasa dahulu dalam berperang, antara lain kelung (tameng), santi (pedang), kiris (keris), tumbak, pemukul, tamor (tambur), tettengkoren (tubuh dari bambu), pontuang (alat tiup dari kulit kerang), kolintang (dibuat dari perunggu yang sama dengan alat musik Gamelan Jawa), dan gong.
  9. Alat-alat untuk menyimpan : antara lain godong (gudang di bagian bawah rumah untuk menyimpan hasil-hasil produksi), cupa (volumenya hamper tiga liter, terbuat dari bambu), gantang (volumenya 27 liter, terbuat dari kayu), walosong (tempat menyimpan makanan, terbuat dari bambu), dan para-para (sejenis meja dari bambu tempat menaruh alat-alat dapur).


SISTEM MATA PENCAHARIAN

Beberapa mata pencaharian masyarakat Minahasa yang dibahas penulis dalam tulisan ini, yakni :

BERBURU/MERAMU

Pada zaman dahulu jenis mata pencaharian ini merupakan salah satu mata pencaharian pokok, tetapi kini tidak lagi ditemukan dalam masyarakat Minahasa. Sudah sejak lama masyarakat Minahasa mampu menggarap tanah dan mengusahakannya bagi kehidupan mereka.
Dahulu di beberapa tempat masyarakat mempunyai mata pencaharian berburu babi hutan, babi rusa (langkow), sapi hutan/anoa, dan rusa. Demikian pula penduduk peramu pada zaman dahulu ada yang meramu damar, rotan, dan sebagainya. Kini, berburu hanya merupakan pekerjaan sambilan atau hanya untuk mencari kesenangan saja.

PERTANIAN

Sektor ini merupakan mata pencaharian pokok masyarakat Minahasa, dalam arti bahwa pertanian menempati urutan teratas atau merupakan mayoritas sumber ekonomi masyarakat.
Sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II, berkembang perkebunan rakyat dengan tanaman-tanaman industri, terutama kelapa, cengkeh, kopi, dan pala. Sekarang ini komoditi pertanian lain, yaitu coklat, vanili, jahe putih, dan jambu mente mulai digiatkan secara intensif dengan metode dan teknologi modern.
Tanah pertanian sawah atau ladang di Minahasa dimiliki baik oleh perorangan/milik sendiri (pasini) yang diperoleh berdasarkan warisan atau pembelian maupun secara bersama (kalekeran) yang digarap secara mapalus.
Sistem bercocok tanam di ladang (uma atau kobong kering) biasanya bersifat menetap dan ditanami jagung sebagai tanaman pokok dan diselingi dengan padi ladang, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, umbi-umbian dan rempah-rempah.

PERIKANAN

Perikanan merupakan salah satu sektor mata pencaharian yang berkembang baik dalam masyarakat Minahasa. Hal ini didukung oleh program-program pemerintah yang mendirikan Balai-balai Benih Ikan (BBI) di beberapa daerah di Minahasa.
Selain itu, juga ada peralihan usaha perikanan semakin produktif, misalnya dengan ‘motorisasi’ perahu penangkap ikan. Sama seperti di daerah-daerah lainnya, penduduk Minahasa yang bermukim di pesisir-pesisir pantai mempunyai mata pencaharian pokok menangkap ikan. Usaha pemerintah dalam dalam memajukan sektor perikanan laut terlihat di daerah Aertembaga, dengan mendirikan lembaga usaha penangkapan dan pengolahan ikan cakalang. Berbagai jenis ikan yang juga ditangkap antara lain, tongkol, roa (julung-julung), sardin (japuh), kembung, ikan layang (mamalugis), ikan batu, dan kura-kura (tuturuga).
Hasil perikanan baik darat maupun laut ini, kemudian dibawa ke pasar-pasar di ibukota kecamatan, kabupaten, atau ke Manado yang kemudian dibawa juga ke daerah-daerah lain di luar Minahasa.

PETERNAKAN

Peternakan tidak terlalu memegang peranan penting sebagai sumber ekonomi masyarakat Minahasa. Ternak yang dipelihara dalam masyarakat Minahasa berupa sapi, babi, ayam, bebek, kuda, anjing, angsa, tetapi hanya dalam jumlah kecil saja. Namun terdapat juga pasar ternak (belante) di beberapa daerah.
Ternak biasanya berfungsi sebagai pembantu tenaga kerja dalam bidang pertanian, transportasi, penjaga rumah, dan sering juga dipakai sebagai mas kawin.

KERAJINAN

Pada umumnya hasil kerajinan masyarakat Minahasa dikerjakan oleh wanita. Kerajinan itu berupa tikar, topi, dan alat-alat rumah tangga yang terbuat dari sejenis daun tumbuh-tumbuhan, rotan, silar, pandan, sejenis bambu (lou/dames), dan bambu kecil yang disebut bulu tui.
Terdapat juga pembuatan alat-alat rumah tangga dari tanah liat berupa tembikar, jambangan, pot-pot bunga, piring, dan mangkok. Hasil-hasil kerajinan tersebut diperdagangkan penduduk sampai ke pelosok-pelosok Minahasa.

SISTEM KEMASYARAKATAN

Kelompok kekerabatan di Minahasa dimulai dari bentuk yang terkecil yakni keluarga batih, yang disebut sanggawu (sangga= satu; awu= dapur). Sanggawu dapat berupa pasangan suami-istri sendiri, atau beserta anak, baik anak kandung maupun anak angkat.
Terbentuknya sanggawu dimulai dari pernikahan antara seorang wanita dan pria yang pada umumnya bukan hasil penjodohan yang tegas dari pihak orang tua. Setiap orang bebas menentukan jodohnya, asalkan bukan pasangan yang masih memiliki hubungan darah.
Sesudah menikah pun mereka bebas menentukan tempat tinggal, biasanya secara neolokal (tumampas) di mana mereka tinggal di suatu tempat yang baru, terpisah dari kerabat istri maupun suami. Namun sebelum mempunyai rumah sendiri, adakalanya mereka tinggal di sekitar kerabat suami atau istri.
Dengan tinggal berdampingan dengan keluarga batih dari kerabat atau orang tua, terbentuk suatu keluarga luas, yang biasanya terdiri dari beberapa keluarga batih, baik dalam satu rumah maupun satu pekarangan.
Batas-batas dari hubungan kekerabatan yang terdapat pada orang Minahasa ditentukan oleh prinsip-prinsip keturunan melalui lelaki dan wanita yang disebut prinsip keturunan bilateral.
Dalam bahasa Minahasa prinsip keturunan seperti ini disebut taranak (famili), yang dapat dimengerti sebagai sebuah klen kecil. Setiap taranak memiliki kepala yang disebut tua unta ranak. Identitas satu taranak dilihat dari nama famili atau disebut fam.
Nama famili ini biasanya diambil dari nama famili suami tanpa perubahan prinsip bilateral. Hal ini diperkuat dengan adanya kenyataan penulisan fam suami dan isteri bersama-sama pada papan nama yang ditempelkan di depan rumah.
Hal yang menonjol dalam hubungan taranak di Minahasa, ialah di bidang warisan, kematian, perkawinan, dan pemilihan kepala desa. Dalam beberapa bidang ini sering timbul persaingan antar taranak dan kerjasama dalam satu taranak. Beberapa istilah yang digunakan untuk menyapa anggota famili dalam masyarakat Minahasa, yakni: Opu (kakek dari ayah atau ibu), Omu (nenek dari ayah atau ibu), Opa/Tetek (ayah dari ibu/ayah), Oma/Nenek (ibu dari ayah/ibu), Papa/Papi/Pa’ (ayah), Mama/Mami/Ma’ (ibu), Om/Mom (paman), Tante (bibi/tanta), dan Bu/Mbu (ipar/kakak lelaki) [1] [22].
Desa (Banua/Wanua) merupakan suatu kesatuan hidup setempat di Minahasa yang dipimpin oleh seorang kepala desa (hukumtua). Ia dibantu oleh sejumlah orang yang semuanya disebut pamong desa. Untuk usaha-usaha gotong royong dan pembangunan desa, terdapat juga orang-orang yang membantu hukumtua yang biasa disebut tua-tua kampung.
Mereka itu terdiri dari pemimpin-pemimpin agama setempat, guru-guru, mantan hukum tua, pemimpin-pemimpin kecil/RT dalam desa (kepala jaga), meweteng (pembantu kepala jaga), juru tulis, dan sejumlah pensiunan yang ada di desa.
Dalam menghadapi hal-hal kemasyarakatan yang penting seperti kematian, perkawinan, pengerjaan wilayah pertanian, kepentingan rumah tangga atau komunitas, masyarakat Minahasa menampakkan suatu gejala solidaritas berupa bantu-membantu dan kerjasama yang didasarkan pada prinsip resiprositas.
Kegiatan kerjasama dan gotong royong ini disebut dengan mapalus. Bantuan yang diberikan bisa dalam berbagai bentuk, baik tenaga maupun barang-barang atau uang. Bantuan tersebut harus disadari oleh orang yang menerimanya dan diberikan balasannya, jika tidak ia akan dianggap sebagai orang yang tidak baik dan tidak akan menerima bantuan lagi dari siapapun.
Perkawinan dalam masyarakat Minahasa bukan berdasarkan penjodohan oleh orang tua, sehingga pergaulan muda-mudi umumnya bebas tetapi selalu dilihat secara diam-diam oleh pihak orang tua. Para muda-mudi memiliki waktu tertentu sebagai kesempatan pertemuan, yakni pada saat pesta-pesta kawin, malam hiburan, dan mapalus.
Bila seorang pemuda sudah menemukan jodohnya, ia berterus-terang kepada orang tuanya. Jika disetujui, orang tua kemudian mengambil seorang perantara (rereoan/pabusean) untuk menyampaikan hasrat pemuda tersebut dengan mengatasnamakan orang tua pemuda kepada pihak orang tua perempuan.
Bila disetujui, upacara berlanjut pada penentuan hari pengantaran mas kawin yang dikenal dengan antar harta/ mali pakeang/ mehe roko. Upacara itu termasuk juga dengan penentuan tempat dan tanggal pernikahan, jumlah undangan, surat-surat yang diperlukan, saksi-saksi, dan sebagainya.
Kemudian barulah dilangsungkan upacara perkawinan yang biasanya diadakan di gereja dan melalui pemerintah (catatan sipil). Di samping itu, masih ada juga kawin baku piara yang tidak melalui catatan sipil atau agama. Hal ini seringkali dipengaruhi oleh persetujuan orang tua dan keterbatasan ekonomi.

No comments:

Post a Comment