GERAKAN
KUDETA MILITER DI MINAHASA
KRONOLOGI
GERAKAN 3 MEI
Semua
Pasukan naik truk-truk yang disiapkan Lexy Gozal dan kawan-kawan menuju
Tomohon. Konvoi bergerak melakukan berbagai manouver seputar kota Manado agar
terhindar dari pencegatan. Kemudian keluar kota melalui Airmadidi, Tenggari dan
Tondano. Tiba di Tomohon pukul 03.00 subuh dan disambut oleh RCL Lasut, Hukum
Besar Tomohon/Tombariri. Pasukan disiagakan menunggu kabar dari Manado diatur
oleh Laurens Saerang, Sam Ogi dan kawan-kawan membentuk jaringan intelejen.
Pada
jam 04.00 terdengar berita Belanda memindahkan senjata-senjata berat dari
gudang amunisi Teling. Pada waktu bersamaan, Mayor Sumual dan Kapten Piet
Ngantung bergerak menuju Tomohon untuk bergabung. Misi ini dirahasiakan, karena
bila ditangkap, kesemua operasi akan gagal dan menjadi sia-sia. Setelah
memperoleh laporan dari jaringan intel pemuda mengenai situasi Manado yang sepi
dari pertahanan KNIL, Bolang memimpin satu kompi bersenjata lengkap menyerbu
Manado pada jam 05.15.
Sasaran
utama menyerbu semua markas KNIL dan merebut senjata. Setiba di Manado, formasi
kekuatan di bagi dan dua peleton bertugas mengepung markas Komando/ Staf
Kwartier dan satu peleton menutup simpang tiga Tanjung Batu, Sario dan Jln. Sam
Ratulangie. Aksi kudeta militer kedua (setelah peristiwa Merah Putih 14
Februari 1946 berjalan mulus dan serba gerak cepat.
Pada
Jam 10.00, Fred Bolang bersama Laurens Saerang memimpin penyerbuan markas
komando dan melucuti pasukan termasuk Mayor Nues yang menyerah tanpa syarat.
Semua pasukan KNIL di markas militer mengikuti perintah pihak penyerbu dan
masing-masing Dan-Yon yang didekap menjadi sandera memerintahkan anak-buah
mereka untuk tidak melawan dan meletakkan senjata.
Setelah
penyerbuan singkat, seluruh pasukan penyerbu meninggalkan basis pertahanan
mereka dari Tomohon menuju Manado dan menempati markas militer di Teling.
Setelah
menguasai keadaan, dilanjutkan dengan upacara singkat dengan pernyataan
penyerahan alih kekuasaan militer dan pemerintahan sipil dari Mayor Nues kepada
para pemuda atas nama pemerintahan Republik Indonesia. Para perwira, bintara
berikut keluarga Belanda dikenakan tahanan rumah. Keamanan dan logistik tahanan
di jamin dan diperlakukan dengan baik. Tetapi dilarang memasang bendera Belanda
untuk mencegah kemarahan pemuda. Sedangkan prajurit KNIL yang tidak bergabung
dengan LFP disuruh kembali kerumah masing-masing dan diperkenankan membawa
barang-barang pribadi milik mereka. Setelah penyerahan alih kekuasaan,
dilanjutkan dengan penurunan bendera Merah Putih biru berganti dengan
pengibaran sang saka Merah Putih dipimpin Laurens Saerang.
Pada
jam 14.00, Manado dikuasai sepenuhnya oleh barisan Republik, dan bendera merah
putih berkibar di berbagai pelosok kota Manado. Simpang Siur Aksi militer di
Manado dan kekalahan Belanda dipantau oleh Panglima GOB, Kolonel Schotborg di
Makassar yang langsung terbang ke Manado keesokan harinya. Menjelang
pendaratan, Schotborg melakukan kontak radio dengan “pemberontak” dan minta
izin mendarat di lapangan Mapanget untuk menemui troepen-commandant, Mayor
Nues. Walau mendapat izin dari pimpinan pemuda LFP, tetapi ketika pesawat
pembom B-25 mendarat, Schotborg melihat banyak prajurit berada di lapangan.
Iapun tidak ingin mengambil risiko untuk turun hingga pesawat terbang langsung
lepas landas dan mengudara meninggalkan Mapanget kembali ke Makassar.
Berita
peristiwa 3 Mei di Manado cepat menyulut di Makassar, dan Kolonel Kawilarang
mulanya mendapat laporan sepihak dan seolah Manado dilanda aksi pemberontakan
terhadap TNI mirip aksi Andi Azis. Dari kalangan perwira Belanda dilaporkan
bahwa aksi militer dipimpin oleh Sersan Fred Bolang yang katanya dikenal sangat
radikal melakukan “Aksi Pemberontakan” di Manado.
Laporan
ini sempat mempengaruhi markas besar KMTIT di Makassar, seolah aksi tersebut
berpihak kepada Belanda. Kolonel Kawilarang memerintahkan Batalyon Worang dan
Batalyon Mudjain berangkat ke Manado untuk menumpas “pemberontakan 3 Mei.” Aksi
militer 3 Mei di Manado juga menggemparkan kalangan perwira Belanda di Jakarta.
Kepala
staf Belanda, Mayor Jendral Pareira terbang ke Makassar menemui Kolonel
Kawilarang. Mereka mendesak agar pasukan KNIL yang akan di APRIS-kan, sebaiknya
tetap menjadi KNIL. Biar mereka mengatur dan memilih siapa-siapa saja yang
memenuhi syarat menjadi APRIS. Alasan Pareira: “Jika berontak cara begini akan
mengacaukan administrasi.” Tetapi Kawilarang dengan tegas menolak desakan
Pareira dengan jawaban: “Itu urusan kami, dan kami yang me-reorganisasi
mereka.” Hal ini sesuai keputusan KMB di Den Haag yang sepakat membubarkan KNIL
setelah pengakuan kedaulatan Belanda pada RI.(KNIL dibentuk 10 Maret 1832 dan
bubar 26 Juli 1950).
Untuk
mengetahui situasi kota Manado, Let-Kol Warouw sebagai komandan KOMPAS SUMU
menyertakan Mayor Jendral Peraira menggunakan pesawat KNILM (Koninklijk
Nederlands Indiesch Luchtvaart Maatschappij) menuju Manado. Sebelumnya, berita
kedatangan Let-Kol Warouw bersama rombongan sudah diketahui diterima oleh
pimpinan Laskar Front Pemuda, Karel Supit dan Alex Mengko. Pihak LFP memberi
instruksi kepada para anggota untuk menyambut rombongan dari Makassar yang tiba
di lapangan terbang Mapanget dengan upacara militer.
Rombongan
Warouw dari Makassar sempat terkejut karena laporan di Makassar lain dengan
kenyataan sebenarnya. Rombongan disambut dengan upacara kebesaran militer
sebagaimana lazimnya penyambutan kepada tamu-tamu yang dihormati. Sambutan
“Show of Force” dan pasukan berbaris rapih dan di inspeksi Overste Warouw.
Sedangkan Mayor Jendral Pareira hanya menyaksikan dari pesawat karena LFP tidak
memperkenankan turun selama upacara berlangsung. Pareira juga dilarang masuk
kota Manado menemui Komandan Batalyon KNIL yang ditahan di Sario.
Pada hari itu juga Mayor Jendral Pareira kembali ke Makassar. Pembentukan Batalyon 3 Mei Kolonel Kawilarang lega setelah mengetahui keadaan sebenarnya dan untuk pertama kali mengunjungi leluhurnya ketika berada di Manado pada 10 Mei.
Pada hari itu juga Mayor Jendral Pareira kembali ke Makassar. Pembentukan Batalyon 3 Mei Kolonel Kawilarang lega setelah mengetahui keadaan sebenarnya dan untuk pertama kali mengunjungi leluhurnya ketika berada di Manado pada 10 Mei.
Dengan
demikian meringankan beban dan berkonsentrasi menumpas RMS di Maluku. Sedangkan
Batalyon Worang mendarat pada 10 Mei juga disambut hangat masyarakat Manado di
organisir “pemberontak” LFP hingga Manado terhindar dari konflik militer.
Peristiwa Gerakan 3 Mei menjadi nama Batalyon dan dikukuhkan pada 20 Mei 1950
di lapangan Tikala. Let-Kol Warouw atas nama pemerintah RI menganugerahkan Bintang
Gerilya kepada para pelaku.
Batalyon
3 Mei terdiri dari bekas prajurit KNIL dengan pemuda LFP dibentuk dengan
susunan: Komandan: Mayor Alex Mengko; Wakil Komandan dan Kepala Kompi Staf:
Kapten Fred Bolang; Kompi I: Kapten Alex Angkow; Kompi II: Kapten Tumonggor;
Kompi III: Kapten Simon Pontoh; Kompi IV: Kapten Lexi Anes; Kompi Bantuan:
Kapten Laurens Saerang. Ketkuatan senjata batalyon 3 Mei terdiri dari: 1000
pucuk senjata L.E., 4 Vickers Mitraliur, M-23, 3 Mortir 81, 100 pucuk sten-gun,
dll.
Seluruh
senjata yang direbut dari KNIL berjumlah 2500 pucuk termasuk sejumlah peti
amunisi peluru. Batalyon 3 Mei dikembangkan dengan merekrut pemuda mengikuti
pendidikan menjadi militer oleh para bekas prajurit KNIL yang menjadi
instruktur. Setelah pendidikan mereka kemudian disertakan dalam operasi
menumpas pemberontakan RMS di Maluku. Penugasan dilakukan oleh Kolonel
Kawilarang sebagai Panglima Panglima KTTIT (kemudian menjadi KO TT-VII) pada
bulan Juli 1950. Batalyon 3 Mei berkekuatan 1.000 pasukan diberangkatkan dengan
kapal “Waikelo” pimpinan Mayor Mengko dan Kapten Fred Bolang.
Di sana
mereka bergabung dengan kesatuan TNI dari Jawa dan berhasil menghantam RMS yang
berkekuatan sekitar 2.000 prajurit KNIL yang berhasil di lumpuhkan dan Ambon
direbut TNI pada 4 November 1950. Sedangkan Manusama dan anggota RMS lainnya
terbang ke Jakarta dan dengan bantuan Belanda bermukim ke negeri Belanda.
Soumokil dan sisa pengikutnya lari ke Seram dan ditangkap pada 12 Desember 1963
di Wahai oleh Batalyon Endjo dari Siliwangi.Soumokil di jatuhi hukuman mati oleh
Mahkamah militer di Jakarta pada 22 April 1964.
Masuk
Siliwangi Setelah penumpasan RMS, Batalyon 3 Mei mengalami pergantian pimpinan
dan Mayor Mengko diganti oleh Mayor Mamusung. Walau dibentuk di Manado, namun
setelah selesai operasi di Maluku, Batalyon ini tidak kembali ke Manado tetapi
mulai di sebar keberbagai kesatuan dan langsung dikirim ke Jawa, dan oleh
Kolonel Alex Kawilarang ditempatkan dalam kesatuan Divisi Siliwangi. Setiba di
Jakarta, Wadan Yon 3 Mei diserahkan kepada Kapten G. H. Mantik. (Let-Jen
(Purn.) TNI. Sedangkan Kapten Fred Bolang bertugas sebagai Staf I TT-7 di
Makassar.
Setelah
berada di Jakarta, Batalyon 3 Mei dibagi dua, masing-masing di Jakarta di
Kesatuan Korps Cadangan, yang lainnya ditempatkan di Cimahi, Jawa Barat. Bagi
kalangan prajurit Batalyon 3 Mei, terutama eks-KNIL, daerah Jawa Barat tidak
asing, karena Bandung adalah Markas Besar Militer KNIL sebelum Perang Dunia
Kedua. Jawa Barat juga sudah di kenal masyarakat Sulawesi Utara sejak 1880′an,
ketika 5.000 pemuda Minahasa direkrut dan di didik menjadi pasukan komando
“Rangers” bersama rekan-rekan dari Jawa, terutama asal Banyumas.
Mereka
di didik menjadi pasukan khusus dan dilibatkan dalam berbagai ekspedisi
militer. Banyak dari mereka berada di Subang, yang menjadi pusat latihan
militer KNIL. Subang dan daerah-daerah Jawa Barat bagian Selatan waktu itu
sangat strategis dan merupakan pusat perkebunan komoditi ekspor sebagai asset
utama bagi perekonomian Hindia-Belanda. Untuk itu keamanan di wilayah-wilayah
ini diprioritaskan hingga turunan Minahasa hidup turun temurun di Jawa Barat.
Sifat integratif dari masyarakat Minahasa di perantauan hingga kota Bandung yang dikenal sebagai “student-centre” masyarakat kota kembang ini berkembang menjadi masyarakat cosmopolitan. Hal ini terjadi dengan pembauran kalangan pelajar asal aneka-ragam budaya etnik dari berbagai penjuru pelosok nusantara.
Sifat integratif dari masyarakat Minahasa di perantauan hingga kota Bandung yang dikenal sebagai “student-centre” masyarakat kota kembang ini berkembang menjadi masyarakat cosmopolitan. Hal ini terjadi dengan pembauran kalangan pelajar asal aneka-ragam budaya etnik dari berbagai penjuru pelosok nusantara.
Dari turunan ini pula hingga muncul
pemuka-pemuka Perjuangan Laskar Pemuda KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia) dan
berperan aktif di masa revolusi kemerdekaan. Juga meniti karier militer melalui
Divisi Siliwangi yang berpusat di Bandung*.
No comments:
Post a Comment