Sunday, 2 November 2014

KISAH TERBENTUKNYA BATALYON 3 MEI 1950 (JILID III)

GERAKAN KUDETA MILITER DI MINAHASA

KRONOLOGI GERAKAN 3 MEI

Semua Pasukan naik truk-truk yang disiapkan Lexy Gozal dan kawan-kawan menuju Tomohon. Konvoi bergerak melakukan berbagai manouver seputar kota Manado agar terhindar dari pencegatan. Kemudian keluar kota melalui Airmadidi, Tenggari dan Tondano. Tiba di Tomohon pukul 03.00 subuh dan disambut oleh RCL Lasut, Hukum Besar Tomohon/Tombariri. Pasukan disiagakan menunggu kabar dari Manado diatur oleh Laurens Saerang, Sam Ogi dan kawan-kawan membentuk jaringan intelejen.
Pada jam 04.00 terdengar berita Belanda memindahkan senjata-senjata berat dari gudang amunisi Teling. Pada waktu bersamaan, Mayor Sumual dan Kapten Piet Ngantung bergerak menuju Tomohon untuk bergabung. Misi ini dirahasiakan, karena bila ditangkap, kesemua operasi akan gagal dan menjadi sia-sia. Setelah memperoleh laporan dari jaringan intel pemuda mengenai situasi Manado yang sepi dari pertahanan KNIL, Bolang memimpin satu kompi bersenjata lengkap menyerbu Manado pada jam 05.15.
Sasaran utama menyerbu semua markas KNIL dan merebut senjata. Setiba di Manado, formasi kekuatan di bagi dan dua peleton bertugas mengepung markas Komando/ Staf Kwartier dan satu peleton menutup simpang tiga Tanjung Batu, Sario dan Jln. Sam Ratulangie. Aksi kudeta militer kedua (setelah peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 berjalan mulus dan serba gerak cepat.
Pada Jam 10.00, Fred Bolang bersama Laurens Saerang memimpin penyerbuan markas komando dan melucuti pasukan termasuk Mayor Nues yang menyerah tanpa syarat. Semua pasukan KNIL di markas militer mengikuti perintah pihak penyerbu dan masing-masing Dan-Yon yang didekap menjadi sandera memerintahkan anak-buah mereka untuk tidak melawan dan meletakkan senjata.
Setelah penyerbuan singkat, seluruh pasukan penyerbu meninggalkan basis pertahanan mereka dari Tomohon menuju Manado dan menempati markas militer di Teling.


Setelah menguasai keadaan, dilanjutkan dengan upacara singkat dengan pernyataan penyerahan alih kekuasaan militer dan pemerintahan sipil dari Mayor Nues kepada para pemuda atas nama pemerintahan Republik Indonesia. Para perwira, bintara berikut keluarga Belanda dikenakan tahanan rumah. Keamanan dan logistik tahanan di jamin dan diperlakukan dengan baik. Tetapi dilarang memasang bendera Belanda untuk mencegah kemarahan pemuda. Sedangkan prajurit KNIL yang tidak bergabung dengan LFP disuruh kembali kerumah masing-masing dan diperkenankan membawa barang-barang pribadi milik mereka. Setelah penyerahan alih kekuasaan, dilanjutkan dengan penurunan bendera Merah Putih biru berganti dengan pengibaran sang saka Merah Putih dipimpin Laurens Saerang.
Pada jam 14.00, Manado dikuasai sepenuhnya oleh barisan Republik, dan bendera merah putih berkibar di berbagai pelosok kota Manado. Simpang Siur Aksi militer di Manado dan kekalahan Belanda dipantau oleh Panglima GOB, Kolonel Schotborg di Makassar yang langsung terbang ke Manado keesokan harinya. Menjelang pendaratan, Schotborg melakukan kontak radio dengan “pemberontak” dan minta izin mendarat di lapangan Mapanget untuk menemui troepen-commandant, Mayor Nues. Walau mendapat izin dari pimpinan pemuda LFP, tetapi ketika pesawat pembom B-25 mendarat, Schotborg melihat banyak prajurit berada di lapangan. Iapun tidak ingin mengambil risiko untuk turun hingga pesawat terbang langsung lepas landas dan mengudara meninggalkan Mapanget kembali ke Makassar.
Berita peristiwa 3 Mei di Manado cepat menyulut di Makassar, dan Kolonel Kawilarang mulanya mendapat laporan sepihak dan seolah Manado dilanda aksi pemberontakan terhadap TNI mirip aksi Andi Azis. Dari kalangan perwira Belanda dilaporkan bahwa aksi militer dipimpin oleh Sersan Fred Bolang yang katanya dikenal sangat radikal melakukan “Aksi Pemberontakan” di Manado.
Laporan ini sempat mempengaruhi markas besar KMTIT di Makassar, seolah aksi tersebut berpihak kepada Belanda. Kolonel Kawilarang memerintahkan Batalyon Worang dan Batalyon Mudjain berangkat ke Manado untuk menumpas “pemberontakan 3 Mei.” Aksi militer 3 Mei di Manado juga menggemparkan kalangan perwira Belanda di Jakarta.
Kepala staf Belanda, Mayor Jendral Pareira terbang ke Makassar menemui Kolonel Kawilarang. Mereka mendesak agar pasukan KNIL yang akan di APRIS-kan, sebaiknya tetap menjadi KNIL. Biar mereka mengatur dan memilih siapa-siapa saja yang memenuhi syarat menjadi APRIS. Alasan Pareira: “Jika berontak cara begini akan mengacaukan administrasi.” Tetapi Kawilarang dengan tegas menolak desakan Pareira dengan jawaban: “Itu urusan kami, dan kami yang me-reorganisasi mereka.” Hal ini sesuai keputusan KMB di Den Haag yang sepakat membubarkan KNIL setelah pengakuan kedaulatan Belanda pada RI.(KNIL dibentuk 10 Maret 1832 dan bubar 26 Juli 1950).


Untuk mengetahui situasi kota Manado, Let-Kol Warouw sebagai komandan KOMPAS SUMU menyertakan Mayor Jendral Peraira menggunakan pesawat KNILM (Koninklijk Nederlands Indiesch Luchtvaart Maatschappij) menuju Manado. Sebelumnya, berita kedatangan Let-Kol Warouw bersama rombongan sudah diketahui diterima oleh pimpinan Laskar Front Pemuda, Karel Supit dan Alex Mengko. Pihak LFP memberi instruksi kepada para anggota untuk menyambut rombongan dari Makassar yang tiba di lapangan terbang Mapanget dengan upacara militer.
Rombongan Warouw dari Makassar sempat terkejut karena laporan di Makassar lain dengan kenyataan sebenarnya. Rombongan disambut dengan upacara kebesaran militer sebagaimana lazimnya penyambutan kepada tamu-tamu yang dihormati. Sambutan “Show of Force” dan pasukan berbaris rapih dan di inspeksi Overste Warouw. Sedangkan Mayor Jendral Pareira hanya menyaksikan dari pesawat karena LFP tidak memperkenankan turun selama upacara berlangsung. Pareira juga dilarang masuk kota Manado menemui Komandan Batalyon KNIL yang ditahan di Sario.
Pada hari itu juga Mayor Jendral Pareira kembali ke Makassar. Pembentukan Batalyon 3 Mei Kolonel Kawilarang lega setelah mengetahui keadaan sebenarnya dan untuk pertama kali mengunjungi leluhurnya ketika berada di Manado pada 10 Mei.
Dengan demikian meringankan beban dan berkonsentrasi menumpas RMS di Maluku. Sedangkan Batalyon Worang mendarat pada 10 Mei juga disambut hangat masyarakat Manado di organisir “pemberontak” LFP hingga Manado terhindar dari konflik militer. Peristiwa Gerakan 3 Mei menjadi nama Batalyon dan dikukuhkan pada 20 Mei 1950 di lapangan Tikala. Let-Kol Warouw atas nama pemerintah RI menganugerahkan Bintang Gerilya kepada para pelaku.
Batalyon 3 Mei terdiri dari bekas prajurit KNIL dengan pemuda LFP dibentuk dengan susunan: Komandan: Mayor Alex Mengko; Wakil Komandan dan Kepala Kompi Staf: Kapten Fred Bolang; Kompi I: Kapten Alex Angkow; Kompi II: Kapten Tumonggor; Kompi III: Kapten Simon Pontoh; Kompi IV: Kapten Lexi Anes; Kompi Bantuan: Kapten Laurens Saerang. Ketkuatan senjata batalyon 3 Mei terdiri dari: 1000 pucuk senjata L.E., 4 Vickers Mitraliur, M-23, 3 Mortir 81, 100 pucuk sten-gun, dll.
Seluruh senjata yang direbut dari KNIL berjumlah 2500 pucuk termasuk sejumlah peti amunisi peluru. Batalyon 3 Mei dikembangkan dengan merekrut pemuda mengikuti pendidikan menjadi militer oleh para bekas prajurit KNIL yang menjadi instruktur. Setelah pendidikan mereka kemudian disertakan dalam operasi menumpas pemberontakan RMS di Maluku. Penugasan dilakukan oleh Kolonel Kawilarang sebagai Panglima Panglima KTTIT (kemudian menjadi KO TT-VII) pada bulan Juli 1950. Batalyon 3 Mei berkekuatan 1.000 pasukan diberangkatkan dengan kapal “Waikelo” pimpinan Mayor Mengko dan Kapten Fred Bolang.
Di sana mereka bergabung dengan kesatuan TNI dari Jawa dan berhasil menghantam RMS yang berkekuatan sekitar 2.000 prajurit KNIL yang berhasil di lumpuhkan dan Ambon direbut TNI pada 4 November 1950. Sedangkan Manusama dan anggota RMS lainnya terbang ke Jakarta dan dengan bantuan Belanda bermukim ke negeri Belanda. Soumokil dan sisa pengikutnya lari ke Seram dan ditangkap pada 12 Desember 1963 di Wahai oleh Batalyon Endjo dari Siliwangi.Soumokil di jatuhi hukuman mati oleh Mahkamah militer di Jakarta pada 22 April 1964.
Masuk Siliwangi Setelah penumpasan RMS, Batalyon 3 Mei mengalami pergantian pimpinan dan Mayor Mengko diganti oleh Mayor Mamusung. Walau dibentuk di Manado, namun setelah selesai operasi di Maluku, Batalyon ini tidak kembali ke Manado tetapi mulai di sebar keberbagai kesatuan dan langsung dikirim ke Jawa, dan oleh Kolonel Alex Kawilarang ditempatkan dalam kesatuan Divisi Siliwangi. Setiba di Jakarta, Wadan Yon 3 Mei diserahkan kepada Kapten G. H. Mantik. (Let-Jen (Purn.) TNI. Sedangkan Kapten Fred Bolang bertugas sebagai Staf I TT-7 di Makassar.
Setelah berada di Jakarta, Batalyon 3 Mei dibagi dua, masing-masing di Jakarta di Kesatuan Korps Cadangan, yang lainnya ditempatkan di Cimahi, Jawa Barat. Bagi kalangan prajurit Batalyon 3 Mei, terutama eks-KNIL, daerah Jawa Barat tidak asing, karena Bandung adalah Markas Besar Militer KNIL sebelum Perang Dunia Kedua. Jawa Barat juga sudah di kenal masyarakat Sulawesi Utara sejak 1880′an, ketika 5.000 pemuda Minahasa direkrut dan di didik menjadi pasukan komando “Rangers” bersama rekan-rekan dari Jawa, terutama asal Banyumas.
Mereka di didik menjadi pasukan khusus dan dilibatkan dalam berbagai ekspedisi militer. Banyak dari mereka berada di Subang, yang menjadi pusat latihan militer KNIL. Subang dan daerah-daerah Jawa Barat bagian Selatan waktu itu sangat strategis dan merupakan pusat perkebunan komoditi ekspor sebagai asset utama bagi perekonomian Hindia-Belanda. Untuk itu keamanan di wilayah-wilayah ini diprioritaskan hingga turunan Minahasa hidup turun temurun di Jawa Barat.
Sifat integratif dari masyarakat Minahasa di perantauan hingga kota Bandung yang dikenal sebagai “student-centre” masyarakat kota kembang ini berkembang menjadi masyarakat cosmopolitan. Hal ini terjadi dengan pembauran kalangan pelajar asal aneka-ragam budaya etnik dari berbagai penjuru pelosok nusantara.

Dari turunan ini pula hingga muncul pemuka-pemuka Perjuangan Laskar Pemuda KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia) dan berperan aktif di masa revolusi kemerdekaan. Juga meniti karier militer melalui Divisi Siliwangi yang berpusat di Bandung*.

No comments:

Post a Comment