Kisah
Heroik Keberanian Orang Minahasa Melawan Kompani Belanda
Introduksi
Kisah Heroik Keberanian Orang Minahasa Melawan Kompani Belanda, puncaknya
pada tanggal 5 Agustus 1809, selain dipenuhi asap mesiu, bau anyir darah dan
daging bakar, juga seluruh kawasan danau dan sungai bagaikan permadani
diselimuti darah (Moraya).
Sesungguhnya kisah heroik tersebut bukanlah kisah baru yang sekarang ini
ditulis atau dibicarakan oleh kalangan tertentu. Akan tetapi, berdasarkan
referensi kepustakaan, catatan-catatan, dan surat-surat atau dokumen sejarah
bangsa Eropa, terutama Belanda, banyak kita jumpai bukti-bukti sejarahnya.
Meskipun demikian, kisah perlawanan orang Minahasa terhadap kompani Belanda,
bagaimana pun juga merupakan kenyataan sejarah yang tidak boleh dilupakan
atau dipinggirkan sebagai bagian dari sejarah bangsa/nasional kita.
Ada tujuh penulis lokal (Minahasa) yang mengekspresikan rasa
kepeduliannya ketika mereka mengungkapkan makna sejarah Perang Tondano, yakni:
1) H.M. Taulu (1961), 2) Giroth Wuntu (1963), 3) Frans Watuseke (1968), 4) Eddy
Mambu, SH (1986), 5) Drs. Jootje Sendoh (Materi Lokakarya/1985), 6) Sam A.H
Umboh (Skripsi/1985), dan 7) Bert Supit (1991). Sebagai tulisan yang bernilai
sejarah perjuangan, patutlah diberikan apresiasi terhadap ke tujuh penulis
tersebut.
Menyimak hasil penulisan ke tujuh penulis tersebut, dalam mengungkapkan
makna latar belakang terjadinya perang, secara umum memiliki pandangan
yang sama. Bagi mereka, Perang Tondano masih tetap merupakan suatu riwayat
peperangan yang gagah berani, paling lama (1961-1809), dan utama, melebih dari
kisah-kisah heroik lainnya yang pernah dialami oleh orang Minahasa, seperti
perang dengan perompak-perompak Mindanao, Kerajaan Bolaang Mongondow, atau
perang antara Minahasa-Spanyol (pasukan Spanyol berhasil dipukul mundur – lari
ke Mindanao Filipina alias kalah).
Mengapa Disebut Perang Tondano?
Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan, mengingat masih adanya persepsi di
kalangan tertentu orang Minahasa yang beranggapan bahwa seakan-akan
pelaku-pelaku yang terlibat dalam peristiwa besar Perang Tondano hanya Orang
Tondano yang bermukim di Minawanua. Padahal, pemakaian istilah Perang
Tondano bukan berarti yang terlibat dalam perang hanya Walak Tondano, akan
tetapi hampir seluruh Walak di Minahasa telah berperanserta menunjukkan
solidaritasnya sebagai Tou-Minahasa berjuang bersama Walak Tondano melawan
Kompeni Belanda.
Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang penulis asal Tondano Giroth Wuntu
(1963), bahwa pada hakekatnya Perang Tondano (PT) adalah perang patriotik yang
besar dari rakyat Maesa (Minahasa pada umumnya) melawan penjajahan Belanda,
yang telah berlangsung secara berulang-ulang dalam kurun waktu satu setengah
abad. Perang perlawanan yang pertama telah dimulai pada 1 Juni 1661, dan
berakhir (perang perlawanan terbesar) pada 14 Januari 1807 sampai 5 Agustus
1809.
Para pemimpin Perang Tondano, selain Tewu, Sarapung, Korengkeng, Lumingkewas
Matulandi (semuanya berasal dari Tondano-Minawanua), terdapat juga Lonto Kamasi
Kepala Walak Tomohon, dan Ukung Mamahit dari Walak Remboken. Bahkan sebagai
organisator dan atau otak (“de ziel”) dari perlawanan melawan kompeni Belanda,
selain Tewu juga Lonto Kamasi Kepala Walak Tomohon yang dicari-cari oleh pihak
kompeni Belanda untuk ditangkap.
Seperti juga yang terungkap dalam dokumen Perang Tondano, akhirnya Tewu
ditangkap menemani Ukung Pangalila (Tondano) dan Ukung Sumondak (Tompaso) yang
sudah sejak awal menjadi penghuni penjara di Benteng Fort-Amsterdam. Mereka
ditangkap oleh Belanda ketika selagi mengikuti musyawarah di Benteng Belanda
tersebut. Mereka ditangkap karena keduanya dengan tegas menentang usaha dari
Residen Schierstein yang hendak mengubah substansi perjanjian atau
Verbond 10 Januari 1679, seperti yang diakui oleh Jacob Claesz, kepada David
van Peterson dinyatakan: “Bahwa orang-orang Minahasa bukan merupakan
orang taklukan atau bawahan, tetapi yang berada dalam suatu ikatan persahabatan
dengan Kompeni Belanda”.
Dengan demikian, perlulah diungkapkan di sini bahwa disebut Perang Tondano
yang secara historis telah berlangsung sejak tahun 1661, dan puncaknya terjadi
pada tahun 1808-1809, didasarkan atas:
- Puncak petualangan kompeni Belanda itu dimulai, dilaksanakan dan diakhiri di wilayah Walak Tondano;
- Waktu perang pecah, kita belum mengenal istilah Minahasa sebagaimana kita mengartikannya sekarang ini. Memang pada dekade terakhir dari abad kedelapan belas, istilah Minahasa memang sudah dipakai. Tapi, masih dalam arti “Landraad”/”Vergadering van Volkshoofden” (Musyawarah para Ukung dan Kepala Walak. Karenanya menurut sejarawan Dr.E.C. Godee Molsbergen, Residen Predigger, arsitek Perang Tondano itu hanya memakai istilah “Manadosche onlusten”; sedangkan sejarawan Dr.H.J. de Graaf menyebutnya “Volksopstand in Manado”.
- Berdasarkan cerita rakyat, peristiwa itu diistilahkan sebagai Perang Tondano, merupakan istilah yang telah membudaya dalam masyarakat Minahasa pada umumnya (lihat Supit 1991).
Latar Belakang Perang Tondano dan Implikasinya
Bahwa hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perang antara orang Minahasa
dengan kompani Belanda, antara lain dipengaruhi oleh sikap antipati
seluruh Walak di Minahasa khususnya Walak Tondano atas kedatangan kolonial
Belanda yang dianggap sama dengan kolonial asing sebelumnya, yakni orang Tasikela
(Portugis dan Spanyol) yang telah membunuh beberapa Tona’as, antara lain
Mononimbar dan Rakian dari Tondano dan Tona’as Umboh dari Tomohon, serta adanya
pemerkosaan terhadap perempuan (Wewene) Minahasa. Hal ini menimbulkan kesan
bahwa semua orang kulit putih (kolonial) memiliki perangai yang sama alias
kejam. Demikian juga pada perang ketiga, dipicu oleh tertangkapnya Ukung
Pangalila kepala Walak Tondano, dan Ukung Sumondak kepala Walak Tompaso.
Hampir semua penulis menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya Perang
Tondano keempat (terakhir), adalah bahwa Minahasa tidak mau menyediakan tentara
untuk kepentingan militer Hindia-Belanda (lihat Wenas 2007). Dikemukakan oleh
Supit (1991), “para penulis barat dalam tulisan sepintas senantiasa menyatakan bahwa
penyebab terjadinya peristiwa itu, adalah karena masalah “rekrutering” atau
“ketentuan menjadi serdadu” bagi para pemuda Minahasa untuk dikirim ke Jawa
guna menghadapi perjuangan tentara Inggris. Sejarawan Dr. H.J de Graaf,
menyatakan atas hal ini :
“Maka dipanggilah dalam jumlah besar, orang-orang yang berasal dari
suku-suku pemberani dalam peperangan, seperti suku Minahasa, suku Madura, dan
suku Dayak. Bila yang datang melapor secara suka rela tidak segenap
hati/memadai, pemaksaan dilakukan. Suatu tindakan yang telah mengakibatkan
pecahnya pemberontakan rakyat di Manado/Minahasa”.
Kecuali itu, Dr. E.C. Godee Molsbergen, yang pada tahun 1928 ditugaskan oleh
pemerintah Hindia Belanda untuk menulis sejarah Minahasa dalam rangka
peringatan Hari Ulang Tahun “Persahabatan Minahasa-Belanda/Verbond 10 Januari
1679 kedua ratus lima puluh, menulis :
“Walaupun Predigger dengan pembawaannya yang lemah lembut menghindari
bentrokan dengan penduduk, ia tidak dapat mencegah tindakan petugas pendaftaran
yang tidak bijaksana dan terciptanya cerita yang tidak-tidak mengenai tujuan
perekrutan. Ditambah dengan hutang lama, disebabkan penerimaan sandang dengan
uang muka, hubungan baik dengan Pemerintah Hindia-Belanda, menjadi rusak sama
sekali”.
Apabila disimak secara kritis makna terjadinya Perang Tondano itu, bahwa
sesungguhnya bukan karena alasan rekruitmen, tagihan hutang lama dan tafsiran
yang mengada-ada dari sejarawan kolonial tersebut. Akan tetapi, akar masalahnya
terletak pada “pelanggaran-pelanggaran kolonial Belanda terhadap ketentuan
ikatan persahabatan Minahasa-Belanda Verbond 10 Januari 1679”. Hal ini
menunjukkan bahwa secara antropologis, orang Minahasa sudah sejak tempo doeloe
tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai budaya (orientasi terhadap kebenaran
dan keadilan) yang tidak mengenal kompromi dengan pelanggaran adat, siapa pun
pihak yang melakukan pelanggaran adat yang dimaksud (sei’reen).
Bagi orang Minahasa Verbond tersebut sudah menjadi bagian dari adat Minahasa
yang menjamin kelanjutan hidup orang Minahasa. Hal ini dianggap oleh para
pemimpin Minahasa, merupakan pengingkaran kompani Belanda terhadap
Verbond yang sudah mereka sepakati bersama. Pengingkaran ini adalah suatu
penghinaan yang fantastis terhadap kebenaran dan keadilan. Apalagi mereduksi nilai-nilai
kepemimpinan sosial orang Minahasa, di mana posisi kepala walak dikondisikan
sedemikian rupa dalam perubahan perjanjian (Verdrag 10 September 1699/amandemen
pasal 9), sebagai bawahan yang harus tunduk terhadap semua kebijakan kompani
Belanda. Padahal dalam konteks status – peranan, menjadi kepala walak, bukanlah
jabatan yang diberikan atas dasar turunan (ascribed); tetapi menjadi kepala
walak diperoleh secara demokratis/dipilih secara adat atas dasar kinerja
(achieved).
Posisi Minahasa sebelum perang di tahun 1808-1809
(Dirangkum dari berbagai Sumber oleh : Erwin Saderac Pioh 2010)
Seperti yang sudah sudah dituliskan beberapa peneliti dan penulis bahwa
Minahasa sebelumnya memiliki dasar kontrak kerja sama dengan V.O.C dalam apa
yang disebut kontrak persekutuan atau persahabatan atau dikenal dengan VERBOND
10 Januari 1679, dengan 10 pasal perjanjian dimana pada mukadimah perjanjian
bertuliskan :
“VOORWAARDEN EN VERBONDT aengegaan door den Gouverneur der Moluccos Robertus
Padtbrugge in name van d’ED. Heer Gouverneur Generaal Rijckloff Van Goens
en Raede van Indie, representeerende de Nederlandsche g’octrooijeerde
Oost Indische Comp…… en Staat der Verenigde Nederlanden ter eenre en de
dorpshoofden en gantsche gemeijnte van Celebes, ter andere zijde.” Yang
artinya: Perjanjian dan Persekutuan yang diadakan oleh yang terhormat
Gubernur Maluku Robertus Padtbrugge atas nama tuan besar Gubernur Jenderal
Rijckloff Van Goens dan Dewan Hindia yang mewakili Kompeni Hindia Timur di
Oktroij dan Negara Persekutuan Belanda pada satu pihak dan Kepala-kepala Walak
seluruh Haminte dalam wilayah Manado atau ujung paling utara pulau Sulawesi,
pada pihak yang lain.
Tetapi dari kewajiban pihak Minahasa atas Belanda sangatlah dapat di lihat
lebih banyak yang harus dipenuhi termasuk mengakui V.O.C sebagai yang
dipertuan, sebaliknya dari pihak Belanda hanyalah perlindungan dari serangan
luar ke dalam Minahasa oleh suku-suku lainnya, dimana akhirnya implementasi
dari kebijakan kebijakan ini tidaklah berjalan mulus sehingga menimbulkan
ketimpangan kerja sama Minahasa –Belanda dalam hal ini V.O.C baik secara
regional, ekonomi dan persekutuan. Dan akhirnya dalam mengatasi hal
tersebut 20 tahun kemudian tepatnya pada 10 September 1699 pada artikel ke 6
dan 9 dari VERDRAGG 10 Setember 1699, yang bertuliskan :
“Artikel 6.’ … waaromme hun ook verbinden sig steeds te sullen bethoonen
vrinden van’s Comps vrinden en vijanden van deselver vijanden te wesen en
oversal nevens andere bondgenooten d’E. Comp. ‘t zij te water of te land
getrouwelijk te sullen bijstaan en tot den dood toe the helpen redden en
beschermen soo de nood sulx motge komen vereschen.” Yang artinya:
…Mengapa mereka bersekutu, serta menyatakan bahwa sahabat Kompeni adalah
sahabat rakyat dan demikian dengan sekutu kompeni lain-lain, di laut dan di
darat, bantu –membantu dan lindung-melindungi bila dituntut sampai mati
sekalipun.”
“Artikel 9.’ … Soo verbind haar d’E. Comp. omme gesamentlijke gemeente van
beneden, boven en agterlanddorpen als hare ware bondgenoten steeds te sullen
erkennen en voor alle geweld en overlast mogen wesen, mogten worden aangedaan
te sullen beschermen en na tijds gelegentheden tegen de zoodanige hare vijanden
te sullen adsiteren.” Yang artinya: Demikian Kompeni bersekutu dengan
seluruh haminte di pantai-pantai, digunung-gunung dan di desa-desa, di pelosok
pedalaman sebagai sekutunya yang selalu di akui dan melindunginya dari
penganiayaan dan tekanan dari siapapun juga.”
Jadi jelaslah bahwa Minahasa-Belanda telah mengeluarkan sebuah perjanjian persekutuan
yang dapat dikatakan telah menimbang asaz-asaz kesetaraan dalam persahabatan
dan hal kontrak-kontrak berikutnya tetap diadakan dan ditanda tangani oleh
walak-walak Minahasa sebagai representative atau perwakilan sebuah wilayah
teritori yang berdaulat yang diakui oleh Belanda juga sampai pada kontrak
Minahasa-Kerajaan Inggris pada 14 September 1810.
Antara
tahun 1699 sampai pada pecah perang di Minahasa lebih khusus perlawanan
Waraney-Waraney atau Ksatria-ksatria Minahasa di Tondano pada 1808, ada
jarak sekitar 109 tahun, atau dapat diperkirakan 100 tahun setelah perjanjian
atau kontrak VERDRAGG 10 September 1699 baru muncul friksi friksi yang tajam
dimana simpul utamanya letak pada masalah ekonomi. Tetapi
sebelumnya dapat dilihat juga dari posisi Kerajaan Belanda itu sendiri.
No comments:
Post a Comment