Monday, 1 July 2013

PERANG TONDANO (Jilid Dua)



Kisah Heroik Keberanian Orang Minahasa Melawan Kompani Belanda

Latar Belakang Ekonomi

Sumber makanan/logistik di Minahasa merupakan alasan untuk menjadikan sebagai daerah koloni. Di kemukakan oleh Prof Adolf Sinolungan,  bahwa kaitan antara sumber makanan beras dengan upaya Hindia Belanda Timur di Batavia dengan Gubernur Maluku yang seenaknya memasukkan Minahasa dalam Keresidenan Manado. Pada abad 16 perusahan-perusahan dagang Eropa Barat bersaing merebut perdagangan rempah-rempah di Maluku. Portugis, diikuti Spanyol, kemudian Inggeris (EIC), VOC. Mereka datang dengan Armada Dagang dalam pelayaran panjang dan lama, konsekuensi logis makanan atau kebutuhan logistik dianggap penting. Dalam upaya mencari makanan, mereka menemukan Malesung/nama tua Minahasa di mana pelabuhan Manado sebagai pusat perdagangan beras. Waktu itu benar-benar beras menjadi komoditi eksport yang di bawah dalam pelayaran armada dagang pergi pulang Maluku-Eropa Barat.

Perdagangan beras abad 17 bukan perdagangan antar sub-wilayah yang hanya dikuasai Belanda, tetapi antara armada Dagang Potugis dan Spanyol, kemudian antara VOC/Belanda dengan EIC Inggeris. VOC/dgn hak oktroi dipandang sebagai upaya pemerintah Kerajaan Belanda yang ingin menganti peran Spanyol yang kalah perang dengan pasukan Minahasa sehingga terusir dari Minahasa dalam Perang Tasikela 1643-1644. Semua langsun tak langsung terkait dgn persaingan barter beras dgn Malesung.

Beras amat diperlukan Armada Dagang dan juga prajurit-prajurit mereka di benteng-benteng lokal. Sebab itu VOC membujuk ukung-ukung merdeka di Malesung untuk bikin persekutuan dan persahabatan dengan Verbond 10 Januari 1679. Untuk memantapkan perdagangan/barter beras, VOC minta tanah untuk loji dan kantor dagang yang kemudian dijadikan benteng Fort Amsterdam di Manado. Lama-kelamaan muncul keinginan untuk memonopoli perdaganan beras di kawasan Minahasa, dibuatlah suatu kebijakan sepihak yakni  berusaha memutar balik makna perjanjian atau Verbond 10 Januari 1679 dengan Verdrag 10 September1699 menjadikan Malesung terjajah. Upaya ini berlanjut sampai upaya sepihak VOC membuat Verdrag 5 Agustus 1790 menetapkan Minahasa dlm status terjajah hanya mempertuan VOC/penjajah.

Terjadi perubahan di Eropa di mana Perancis jaman Napoleon menjajah Belanda. Waktu itu Perancis sedang bermusuhan dgn Inggeris. GG Daendels perlu 22.000 pemuda utk mempertahankan p Jawa (Jl Anyer - Panarukan), dan minta 2.000 pemuda dr walak-walak merdeka di Minahasa, berdasar asumsi Minahasa sjk Malesung dgn Verdrag 1699, dan Verdrag 1790 adalah jajahan VOC/dgn hak oktroi jajahan Belanda Verdrag itu yg erat terkait dgn barter beras, meniadakan Verbond 10 Januari 1679.

Upaya merekrut pemuda Minahasa sesuai perintah diktator Daendels juga hendak dipaksakan Residen Manado C.Ch.Predigger. Ini membangkitkan perlawanan suku Tondano didukung walak-walak merdeka di Minahasa yg menyebabkan Perlawanan rakyat Minahasa di Tondano yang dikenal sebagai Perang Tondano.

Tentang tanah Minahasa yang subur itu disadari Belanda setelah lepas dari penguasaan kaisar Perancis atas negerinya, yg juga teralami setelah Perang Kemerdekaan abad 19 di Nusantara yg dimulai di Tondano dalam puncak Perang Tondano pada 1808-1809.

Kas negeri Belanda, kosong, lalu mencari sumber memperbaiki perekonomiannya di tanah jajahan. Waktu itu spices seperti cengkih tak populer lagi seperti abad pertengan pasca Perang Salib. Komoditi kopi di cari dan amat laku di pasar global. Ternyata di Remboken kopi tumbuh bagus dan buahnya bermutu. Ini menunjuk tanah Minahasa subur, karena memang top soilnya endapan vulkanis kaya mineral, cocok dgn tanaman kopi. Aroma, mutu dan rasa kopi Minahasa bagus. Maka kopi ditanam massal hampir di seluruh Minahasa sampai Bolmong Pem Belanda memonopoli dan monopsoni perdaganan komoditi kopi, shg memperoleh keuntungan amat besar yg bisa mengatasi masalah perekonomiannya.
Setelah kopi komoditi dr Minahasa adalah kopra, kmd Cengkih (cloves) dan di beberapa tempat terutama di Siauw palla (nutmeg).

Jadi kesimpulan anda bahwa : "Kedatangan Belanda ke Minahasa yg menyebabkan perang Tondano BUKAN dalam rangka ingin menguasai perdagangan BERAS, karena beras tidak laku di Eropa", ada benarnya. Tetapi beras sangat diperlukan untuk kepentingan Armada Dagang pedagang Eropa Barat sehinga praktis jadi komoditi eksport jaman Malesung. Informasi lebih lengkap ada diulas dalam Buku : PERANG TONDANO, Dampak dan Maknanya utk Pembangunan Bangsa dan Negara.




Rentang Waktu Perang Tondano

Bahwa kedatangan Belanda di Minahasa., pada mulanya disambut gembira oleh penduduk, karena mengharapkan bantuan dalam menghadapi peperangan dengan Spanyol dan ancaman gangguan keamanan perompak-perompak dari Mindano Filipina. Dikisahkan bahwa  dalam negosiasi perjanjian keamanan  tanpa adanya sesuatu ikatan apa pun. Akan tetapi, alasan yang sesungguhnya kedatangan Belanda di Minahasa adalah untuk kepentingan kekuasaan dalam memperoleh monopoli perdagangan dan usaha untuk menjalankan pemerintahan/penjajahan.

Sebagai indikasi alasan monopoli dan kekuasaan pemerintahan yang dimaksud di atas, bahwa pada tahun 1657 Belanda mendirikan benteng di pelabuhan Wenang/Manado yang diberi nama Nederlandsche Vasticheijt  atau dikenal dengan nama Fort-Amsterdam (lihat Molsbergen 1929) dalam  Umboh (1985). Benteng ini dijadikan pusat pemerintahan, pertahanan, dan perdagangan Belanda di Minahasa. Dikatakan bahwa sejak adanya benteng tersebut, Belanda mulai menguasai perdagangan di Minahasa, dan mengharuskan penjualan beras kepada pedagang-pedagang Belanda. Seperti apa yang telah disinggung di atas, cara pemaksaan ini sama sekali tidak disenangi oleh Walak Tondano, sehingga menimbulkan kebencian mereka terhadap Belanda.

Implikasinya,  sejak saat itu lahirlah kebencian orang Minahasa, khususnya orang Tondano terhadap Belanda. Kebencian ini tidak hanya sampai pada tingkat sikap, akan tetapi dimanifestasikan dalam bentuk perlawanan senjata alias perang yang dimulai sejak tahun 1661 sampai tahun 1809. Dikemukakan bahwa perang berlangsung selama empat kali. Untuk itu, dapat dilihat pada  deskripsi historisnya yang diungkap oleh Umboh (Skripsi 1985), di bawah ini :

Perang Tondano Pertama (1661-1664)

Singkatnya, Perang Tondano pertama ini, terjadi pada tanggal 1 Juni 1661. Perang ini merupakan kisah heroik yang dilakukan oleh rakyat yang bermukim di sekitar danau Tondano, tepatnya di sebelah selatan Kota Tondano sekarang ini yang dahulu disebut Minawanua, melawan pasukan kolonial Belanda. Boleh dikatakan perang pertama ini merupakan perang yang luar biasa. Sebab dilihat dari segi militer oleh pihak Belanda ternyata lawan mereka yang tergolong sebagai rakyat biasa/primitif yang berumah di atas air dapat menyiapkan infrastruktur perang yang demikian lengkapnya.

Kurang lebih seribu empat ratus laskar (termasuk kaum perempuannya)  terlibat dalam pertempuran. Ratusan perahu disiapkan untuk melayani medan perang yang berkecamuk di atas air dan rawa. Perahu-perahu tempur ini telah dibuat sedemikian rupa, sehingga dengan ditumpangi empat sampai lima orang dengan peralatan perangnya, dapat bergerak di atas air maupun di atas rumput-rumput rawa dengan cepat dan gesit. Lamanya pertempuran berlangsung selama beberapa bulan dan telah menimbulkan korban jiwa di kedua belah pihak. Beberapa pahlawan yang terlibat langsung dalam perang Tondano pertama ini, selain berasal dari Tondano, seperti Kawengian, Wengkang, Gerungan, Nelwan, Tawaluyan dan Rumambi), juga turut serta pahlawan-pahlaman dari Remboken, seperti Kentei, Tellew, Tarumetor, dan Wangko dari kakas.

Pada suatu ketika,  ekspedisi Simon Cos dengan bantuan sementara pemimpin rakyat Maesa yang telah menyeleweng, telah dapat mendesak untuk menghentikan peperangan ini.

Perang Tondano Kedua (1681-1682)

Singkatnya latar belakang terjadinya  perang kedua ini, ada hubungannya dengan perlakuan semena-mena Belanda demi kepentingannya sendiri atas makna Perjanjian 10 Januari 1679 yang disebut oleh N. Graafland (1898) dalam Umboh (1985) sebagai “Kunci Kontrak Besar” persekutuan - persahabatan antara Minahasa dan Belanda, yang ditandatangani oleh Robertus Padttbrugge dari pihak Belanda, dan dari pihak Minahasa ditandatangani oleh Maondi (Mandey), Capitaine Pacat (Paat), Soepit (Supit), dan Pedro Rantij (Ranti).
Disebut Perang Tondano, oleh karena Walak Tondano dalam menghadapi kehadiran kaum kolonial Belanda, cenderung menunjukkan sikap antipati maupun ketidakpatuhan atas eksistensi kompani Belanda, maka konsekuensinya kawasan pemukiman Walak Tondano tepatnya di Minawanua dijadikan sasaran penyerbuan pasukan Belanda dan antek-anteknya. Bagi kompani Belanda kawasan Minawanua yang disebut oleh Boven Tondano (tempat tinggal orang Tondano), merupakan kawasan yang dijadikan tempat berkumpul para ekstrimis (Pangalila).

Perang Tondano Ketiga (1707-1711)

Seperti halnya yang terjadi pada perang pertama di atas, yakni perlakuan semena-mena penjajah Belanda terhadap seluruh Walak di  Minahasa pada umumnya, dan khususnya  Walak Tondano yang tidak tahan atas penderitaan yang berat akibat kekejaman bangsa Belanda tersebut.  Terutama mengenai Verdrag 10 September 1699, dianggap merupakan politik tipu daya terhadap walak-walak Minahasa. Sebab isi perjanjian tersebut bukan untuk meringankan beban penduduk, akan tetapi bertujuan untuk mengikat para kepala walak agar tunduk kepada kekuasaan Belanda (lihat Wuntu 1963; Umboh 1985). Hal-hal inilah yang  mendorong orang-orang Tondano bersatu untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda, dengan  semboyan: “Lebih baik menghadapi perompak-perompak Mingindanou daripada dikunjungi kompeni Belanda dan antek-anteknya yang harus dengan terpaksa menyerahkan hasil-hasil pertanian (padi) kepada mereka”. Berbeda dengan perang pertama dan kedua yang terjadi secara frontal, sedangkan pada perang ketiga ini berlangsung dengan menggunakan taktik gerilya.

Perang Tondano Keempat (1807-1809)

Singkatnya, perang terakhir ini terjadi, berawal dari  aksi melarang utusan Hindia Belanda masuk ke wilayah Tondano, karena dianggap oleh para tona’as atau pemimpin-pemimpin sekitar danau Tondano bahwa Residen G.F. Durr telah mengubar ‘janji kosong’ terhadap rakyat Minahasa pada umumnya, dan khususnya orang Tondano (perjanjian 10 Januari 1679).

Musyawarah Minawanua. Menanggapi hasil musyawarah di Airmadidi, berhimpunlah para pemimpin Minahasa (kepala-kepala walak) yang dilaksanakan di Minawanua, dalam suatu forum musyawarah yang disebut ‘Musyawarah Minawanua’. Jalannya musyawarah, sempat terjadi perbedaan pendapat dan pendirian dalam Walak Tondano (Toulimambot-Toliang), sehingga suasana pembukaan musyawarah terjadi ketegangan. Seperti diketahui bahwa Kepala Walak Korengkeng dan beberapa Ukung Toulimambot dan Touliang, telah menyatakan bahwa mereka tidak mau hadir dalam musyawarah.

Apa alasan sehingga Ukung Korengkeng  tidak mau hadir?  Sangat disayangkan tidak dijelaskan oleh Supit (1991). Karena itu, pada tingkat wacana, ada dua asumsi yang dapat saya diajukan di bawah ini, yaitu :

Asumsi pertama, adanya kesalingcurigaan satu dengan yang lain, di mana gejalanya sudah muncul pada waktu musyawarah di Airmadidi.  Lonto dicurigai oleh Korengkeng pro-Belanda karena pada waktu musyawarah di Airmadidi seakan-akan Lonto menyetujui kemauan residen Predigger untuk mengganti Verbond 10 Januari 1679;

Asumsi kedua,  ketidakmunculan Korengkeng dalam pembukaan musyawarah, sengaja dilakukan  (strategi),  untuk mengelabui utusan dari pihak Belanda (Ukung Maramis) yang ditugaskan oleh residen Predigger  untuk mengamati peranan kepala walak Toulimambot  Korengkeng dan kepala walak Touliang Sarapung dalam melaksanakan musyawarah, sekaligus mengamati solidaritas para walak dalam menyikapi hasil musyawarah Airmadidi.

Sementara itu, Ukung Sarapung, tanpa suatu pernyataan tidak pula kelihatan pada hari pembukaan, sehingga dikira Ukung senior Sarapung bermaksud memboikot jalannya musyawarah. Ternyata setelah diketahui Ukung Sarapung berhalangan hadir karena di samping usianya sudah lanjut, juga mengalami gangguan kesehatan.  Akhirnya musyawarah dapat dikendalikan oleh Ukung Tewu selain sebagai  Teterusan (Panglima Perang), yang menguasai lahan pertanian yang sangat luas (Tana ’I Tewu), Matulandi (saudara dari Ukung Sarapung), dan Lumingkewas (ketiganya dari Minawanua-Tondano), serta Lonto (kepala walak Tomohon) dan Mamait (kepala walak Remboken).

Para pemimpin Minahasa yang hadir dalam musyawarah,  antara lain dari Tondano-Toliang, yakni Tewu (Pemilik Benteng Moraya), Sarapung, Walintukan, Korengkeng, Rumapar, Wuisan, Lumingkewas, Sepang; dari Kakas terdiri dari L. Supit, dan  Kalalo; dari Remboken, terdiri dari Mamait dan Tendean, sedangkan dari Tonsea diwakili oleh Pangemanan, Lengkong dan Ombu yang memihak Tondano; sedangkan mewakili Tombulu adalah Lonto. Dan juga mendapat dukungan dari beberapa kepala walak  Minahasa lainnya, seperti Pantouw dari Saroinsong, Koyongian dari Pasan, Walewangko dari Sonder, Tuyu dari Kawangkoan, Sondakh dari Tompaso, Iroth dari Langowan, Runtuwene dari Tombasian, Tumbelaka dari Rumoong, Watak dari Ratahan, Rugian dari Tonsawang, dan Mokolensang dari Ponosakan.

Dengan berlandaskan semangat Mapalus (tolong-menolong), Maesa (bersatu), dan Matuari (turunan Toar-Lumimu’ut), akhir musyawarah menghasilkan keputusan, “menyatakan tekad bahwa apibila pihak kompeni Belanda tidak menghentikan pelanggaran terhadap Verbond 10 Januari 1679, dan pemaksaan-pemaksaan yang bertentangan dengan adat, maka seluruh Walak Minahasa yang hadir dalam musyawarah akan memutuskan hubungan dan melawan kompeni Belanda yang berbentuk perlawanan, sebagai berikut :
1.      Penghentian pemasokan dan perdagangan beras;
2.      Tidak membayar hutang sandang;
3.      Tidak mengizinkan seorang pemuda pun untuk menjadi serdadu kompeni;
4.      Tuntutan pemulangan serdadu-serdadu dari luar Minahasa;
5.      Bila Residen Prediger mau mengadakan penekanan, maka Minahasa terpaksa memutuskan ikatan persahabatan dengan Belanda, dan mengadakan perlawanan terbuka terhadap tiap bentuk pemaksaan.

Musyawarah Pinawetengan. Hasil musyawarah Minawanua, antara lain diputuskan untuk melanjutkan musyawarah di Pinawetengan. Bagi walak Tondano, usulan ini sangat strategis dalam upaya untuk memperkuat ikatan se-maesa, di mana ditenggarai masih ada sejumlah walak yang belum dilibatkan dalam musyawarah Minawanua. Kecuali itu, disinyalir  beberapa walak lainnya masih diragukan komitmennya untuk melakukan perlawanan terhadap kompeni. Dengan kata lain, masih ada walak yang masih bersikap kooperatif dengan Belanda.

Selang beberapa hari kemudian berangkatlah utusan-utusan walak Tondano ke Pinawetengan, bertemu dengan walak-walak lainnya, antara lain Kakas, Remboken, Langowan, Tompaso, Sonder, Langowan, Pasan, Ratahan, Ponosakan, Tounsawang, Tomohon, Kakaskasen, Tombariri, Rumoong, Tombasian, dan Amurang. Sementara itu, wakil dari Tonsea sulit untuk bergabung karena begitu kerasnya tekanan dari pihak Belanda, apalagi sejumlah pimpinan di sana sudah diperalat sebagai kaki tangan Belanda. Kecuali walak-walak Likupang, Kema, dan Talawaan dengan cara sembunyi-sembunyi mengutus waranei-waraneinya untuk mengikuti musyawarah di Pinawetengan tersebut.

Jalannya musyawarah tidak berlangsung lama, karena isu-isu yang dibahas sudah dirumuskan terlebih dahulu. Terutama mengenai pembagian tugas dalam upaya untuk menyediakan bahan-bahan untuk memperkuat benteng dan persiapan perang. Seperti menyediakan balok-balok kayu, bambu, logistik (bahan makanan dan obat-obatan), persenjataan, amunisi, dan meriam. Selain itu, menentukan strategi organisasi perang, siapa yang diandalkan berperan di medan tempur, siapa yang dipercaya bisa melakukan penyusupan (mata-mata).

Dalam pembicaraan, juga cara bagaimana menggunakan sandi agar orang-orang Minahasa yang bergabung dengan pasukan Belanda bisa menghindar dari terjangan peluru pasukan Minahasa. Sandi yang dimaksud adalah, ’Rumungku se Maesa’.

Di samping itu, para pemimpin musyawarah memanfaatkan waktu untuk mendengar keluhan dari walak-walak lainnya yang wilayahnya dekat dengan pos-pos keamanan Belanda, sering mendapat tekanan bahkan ancaman teror. Keluhan-keluhan ini akhirnya dimasukkan menjadi bagian dari rumusan kesepakatan hasil musyawarah, adalah sebagai berikut :
1.      Bahwa walak-walak yang ada di sekitar benteng, terutama walak Tondano betapapun akibatnya akan tetap meneruskan perlawanan/peperangan;
2.      Kepada walak-walak lain, oleh karena sesuatu dan lain hal tidak sanggup lagi meneruskan perlawanan/peperangan, dihimbau untuk tetap mengirm bantuan-bantuan mesiu, terutama bahan makanan;
3.      Khususnya kepada walak lainnya yang memang sama sekali tidak bisa melanjutkan peperangan dan mengirim bantuan, ditekankan agar jangan sampai menjadi kaki tangan Belanda (berhianat).

Hasil rumusan musyawarah ini diputuskan secara bulat untuk dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Bagi yang tidak melaksanakan akan mendapat sangsi secara adat (lihat Taulu 1961; Wuntu 1963).


Suasana Perang



Oleh karena pihak Belanda tidak bergeming menerima keputusan hasil musyawarah tersebut, maka konsekuensinya terjadilah pertempuran atau perang modern pertama di Indonesia di mana pihak Hindia Belanda mendapat perlawanan sengit dari waranei-waranei dan wulan-wulan Minahasa yang mahir menggunakan senjata meriam buatan Spanyol, meriam bambu (lantaka), senapan api, dan senjata tajam lainnya. Berdasarkan catatan sejarah,  pihak pasukan Belanda sempat melakukan tiga kali serangan (lihat Mangindaan 1871; Mambu 1986) dalam Wenas (2007), singkatnya adalah sebagai berikut :

Serangan pertama pasukan Belanda dilakukan pada tanggal 1 September 1808, terjadi tembak menembak barisan senapan dari kedua pihak.

Serangan kedua, terjadi pada tanggal 6 Oktober, pihak Belanda berhasil merebut negeri Tataaran (5 Km dari Benteng Moraya). Pada serangan kedua ini, pihak Belanda mengajak berunding, dan akhirnya taktik berunding ini bermaksud untuk menangkap Tewu, Lonto, Lumingkewas dan Mamahit.

Serangan ketiga,  berlangsung pada tanggal 23 Oktober 1808, pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari pasukan Minahasa terutama dalam menghadapi serangan dari arah danau (Benteng Paapal) ditangani oleh pasukan katak yang dikenal sebagai ‘hantu-hantu danau’. Demikian juga dalam menghadapi  serangan  dari arah Koya (Benteng Moraya), tidak jarang pasukan atau waranei-waranei Minawanua menyerang balik sampai ke pertahanan pasukan Belanda di Koya, bahkan sempat melukai dan membunuh beberapa perwira Belanda, termasuk melukai kepala residen Predigger di Tataaran yang ditembak oleh pasukan berani mati Rumapar.

Mengahadapi perlawanan dari waranei-waranei (milisi) Minawanua yang demikian sengit itu, akhirnya pada bulan Januari 1809, serangan ketiga dilanjutkan oleh pasukan  Belanda dari arah barat dan utara Benteng Moraya. Terjadilah pertempuran sengit, pasukan arteleri Minahasa (meriam 9 pond buatan Spanyol) berhasil memporakporandakan pasukan Belanda di kampung Koya.  Karena serangan ini masih gagal, maka pada tanggal 9 April 1809 pasukan Belanda menyerang dari arah danau dengan menggunakan perahu kora-kora yang didatangkan dari Tanawangko. Serangan dari arah danau disambut oleh pasukan katak Minahasa yang menyerang dari bawah air. Maka terjadilah serangan kombinasi (darat dan air) dari pasukan Belanda.

Oleh karena serangan demi serangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda selalu mengalami kegagalan, maka pada bulan Juni 1809 melalui komando Kapten Winter (veteran Perang Napoleon), pasukan kompeni Belanda dan antek-anteknya diperintahkan untuk mengatur strategi penyerangan dengan cara mengepung seluruh kawasan benteng pertahahan pasukan Minahasa, dan memutuskan semua jalur bantuan logistik dan senjata/amunisi yang dibutuhkan oleh waranei-waranei Walak Tondano dan Walak-Walak dari luar Tondano.

Hal ini sudah tentu mempengaruhi moral sejumlah Walak dari luar Tondano yang kemudian mereka satu demi satu meninggalkan arena pertempuran  kembali ke tempat asalnya masing-masing. Sebagian yang bertahan siap mati dengan waranei-waranei Minawanua-Tondano. Dikemukakan oleh para waranei Minawanua yang tetap bertahan menghadapi gempuran pasukan kompeni Belanda dan antek-anteknya itu, “kami akan menyerah apabila air sungai dan danau habis”, artinya kami akan bertempur sampai titik darah penghabisan.

Pasukan kompeni Belanda yang sudah mengetahui kelemahan pasukan Minahasa (kelaparan, kehabisan amunisi, dan berkurangnya personil pasukan), dengan tanpa balas kasihan, dan tanpa pandang bulu membantai seluruh penghuni pemukiman Minawanua, termasuk hewan piaraan, kemudian melululatahkan benteng-benteng pertahanan dan membunuh semua waranei yang berusaha mempertahankan benteng dari musuh. Dikisahkan, bahwa hampir seluruh permukaan air danau dan sungai teberen Tondano berwarna merah (genangan darah dari pasukan-pasukan Minahasa yang menjadi korban perang).

Sejak saat itu, benteng yang menghadap kampung Koya di sebut ’Benteng Moraya’,  yang berarti di mana-mana (sungai dan danau) terdapat genangan darah dan menimbulkan bau amis, seperti permadani berwarna merah. Sedangkan benteng yang menghadap sebelah barat danau disebut ’Benteng Papal’, yang berarti ’tiang-tiang’ yang tertanam kokoh dipasang secara miring menghadap danau (lihat Sendoh 1985).

Kapten Winter yang memimpin penyerbuan terakhir ke Benteng Moraya, sempat membuka topi perwiranya (tanda rasa hormatnya) di hadapan mayat-mayat pahlawan orang Tondano yang bertahan di benteng Moraya, sambil berkata, “mereka yang korban ini  adalah  patriot-patriot  sejati”  (lihat  laporan  Vergadering  Raad  van Politie di Ternate tanggal 30 Desember 1808) dalam Mambu (1986).

Diakui atau tidak, bahwa keberanian Orang Minahasa melawan kompani Belanda yang dilakukan melalui perang, seperti apa yang sudah disinggung di atas, merupakan perang modern pertama di Indonesia, di mana pihak kompani Belanda mendapat perlawanan sengit penduduk pribumi Minahasa dengan menggunakan senjata api (meriam dan senapan) serta senjata tradisional (tombak, parang dan ranjau alam, yakni tumbuhan rawa yang berduri).

“YANG PALING PENTING DARI SEMUA KEUNGGULAN ADALAH KEBERANIAN, KECERDASAN, DAN KESEHATAN” (HERMAN MAURICE SAXE (SAXON, GERMAN) MARSHALL OF THE KINGDOM OF FRANCE).

No comments:

Post a Comment