(GEJOLAK PERANG DUNIA KEDUA)
Spandri Soleman
Tulangouw dan adiknya Paul Tulangouw bersama kawan-kawan anggota
pasukan Reservekorps yang mengaku tidak terlibat pertempuran melawan
Tentara Jepang, beberapa hari kemudian diangkut ke kota Tondano, dimasukkan
dalam kamp Tawanan Perang Jepang sampai dengan tahun 1944, dan pada akhirnya
dibebaskan oleh komandan korps marinir Jepang.
Lain
halnya dengan nasib yang menimpa para anggota
pasukan Reservekorps rekan mereka yang mengakui secara jujur telah
ikut serta dalam pertempuran melawan pasukan payung Jepang di pangkalan udara
militer Kalawiran. Mereka itu, seperti sersan Robbemond, sersan Sirus
Wungkana, sersan Kaparang, spandri Tinus Neman, spandri Serei
Wurara, spandriSorongan, kesemuanya dikenakan hukuman perang, karena turut
serta dalam pesta bersenjata mencabut nyawa 130 serdadu dan perwira pasukan
payung “Yokosuka” dari korps marinir Tentara Jepang.
Robbemond dan Wungkana menjelang
akhir bulan Maret 1942 terlihat di pagi hari diikat pada pohon manggis di
pekarangan markas komando tempur pasukan payung Jepang yang terletak di samping
gereja Protestan GMIM di pertigaan jalan kota Langowan-Manado, Langowan-Belang.
Kedua orang komandan pasukan brigade Reservekorps KNIL itu mengalami
penyiksaan berat selama dua puluh empat jam penuh, dipukul-pukuli dengan kayu
hingga babak belur.
Pada
tanggal 18 Maret 1942, tiba di tempat itu puluhan tahanan perang Jepang yang
terdiri dari pria dan wanita, tua dan muda. Mereka diturunkan dari dua
kendaraan truk Jepang yang datang dari kota Amurang. Mereka adalah sebagian
dari kelompok ex-pertempuran Kaneyan dan Ritey onderdistrik Tombasian Amurang.
Mereka menyerahkan diri pada tanggal 17 dan 18 Maret 1942, digabungkan dengan
kelompok yang sudah terlebih dahulu tiba di tempat ini, yang ditangkap di pasar
Tumpaan pada tanggal 9 Maret 1942 yang lalu. Dikarenakan demikian banyaknya
para tahanan perang, sehingga mereka disuruh setengah berlutut sambil menjepit
balok kayu sepanjang enam meter di antara kedua betis dan paha mereka, dengan
tangan terikat di belakang badan. Mereka berjajar memanjang hingga ke bagian
belakang pekarangan markas komando tempur Jepang itu. Sungguh bukan main
siksaan yang dialami oleh mereka itu!
Pasukan
payung korps marinir Jepang sengaja menghukum para tahanan perang itu di tempat
yang strategis, agar rakyat yang datang dari kota Manado-Langowan, dari
Belang-Ratahan-Langowan, atau pun arah sebaliknya, serta terutama bagi
masyarakat onderdistrik Langowan, dapat secara langsung menyaksikan dengan mata
kepala sendiri bagaimana “nasib musuh” pasukan Tentara Jepang di tanah
Toar-Lumimuut ini. Bagi sanak saudara, keluarga, kerabat, atau pun rakyat yang
lewat di tempat terbuka itu, malahan dianjurkan agar jangan sekali-kali
melinangkan air mata melihat penyiksaan terhadap para tahanan perang itu. Sebab
bila hal itu diketahui oleh petugas serdadu Jepang, maka tanpa ditawar-tawar
lagi akan dikenakan pula hukuman yang sama, dengan alasan bersimpati dengan si
tahanan perang yang merupakan musuh mereka (Jepang).
Suasana
semacam ini merupakan sebagian dari duri-duri dalam kehidupan di masa perang,
masa selama pendudukan Jepang. Hukuman perang yang diperankan oleh para serdadu
pasukan Tentara Jepang, tidak hanya berhenti di tempat ini. Sepanjang hari
sampai keesokan petang hari, para tahanan perang itu tidak diberikan sesuap
nasi atau setetes air pun. Mereka memang sedang dalam persiapan untuk dipaksa
melangkah ke depan menuju lahan “Tokyo Baru”. Tokyo Baru, dua buah kata sandi
yang digunakan oleh rakyat di daerah ini untuk menunjukkan suatu lokasi tempat
pelaksanaan “hukuman pancung kepala” atau “hukuman tembak mati” bagi para
korban perang di kaki bukit Sampuk pada kawasan ladang perkebunan rakyat yang
dinamakan “Temboan”, di sebelah timur kampung Totolan onderdistrik Kakas.
Terdapat empat lokasi tempat pelaksanaan hukum perang di kawasan daerah
perkebunan itu.
Para
tahanan perang yang berlatarbelakang pertempuran Kaneyan-Ritey, diperiksa satu
demi satu yang erat kaitannya dengan peristiwa yang telah menelan korban 39
serdadu pasukan tempur korps marinir Jepang yang tewas, termasuk komandan
operasi tempur kapten marinir Baron Tashaki. Sepuluh orang tahanan perang
dipisahkan dari kelompok bekas pertempuran Kaneyan-Ritey. Mereka ini ialah kopral Reservekorps Jahja
Rumagit, sersan Beroepsmilitair Melieser, sersan pensiunanP.J.
Hoffman yang diciduk dari kamp Tawanan Perang Manado, kepala kampung
Kaneyan Joel Pratasis, kepala kampung Ritey Justinus
Kimbal, Gode Pratasis, Musa Pratasis, Urli Umboh, dan fuselir
milisi Jus Sumakud.
Carolina
Pratasis di hadapan tim pemeriksa Jepang dengan gigih membela sang suami
tercinta sersan P.J. Hoffman. Beberapa argumentasi ia lontarkan, antara
lain bahwa sang suami sama sekali tidak terlibat dalam aksi pertempuran baik
sebelum maupun sesudah aksi bersenjata. Hoffman jauh sebelumnya
memang sudah meringkuk di dalam kamp Tawanan Perang di Manado. Namun segala
bentuk alibi, tidak dijadikan bahan pertimbangan yang logis dan wajar untuk
meraih kebebasan.Hoffman bersama sang istri Carolina
Pratasis dan rekan-rekan mereka dipaksa menjadi korban perang di lahan
“Tokyo Baru”, di kaki bukit Sampuk di kawasan kampung Totolan, Minahasa.
Namun
spandri Simon Penu tidak termasuk dalam klasifikasi kelompok sepuluh
tersebut di atas. Spandri ini luput dari ancaman maut, berkat ulah dan jawaban
polos dari putra sulungnya yang masih kecil bernama Agam. Agam yang
saat itu baru berusia tujuh tahun, ketika ditanyai oleh juru bahasa tim
pemeriksa Tentara Jepang, antara lain “Apakah perbuatan Papa, salah?” yang ia
jawab “Salah!” Lalu ketika ditanya, “Apakah Agam sayang Papa?”
dijawab, “Agam sangat sayang Papa”. Lalu diberitahukan kepadanya, bahwa
“Karena perbuatan Papa salah, maka perlu mendapat hukuman
mati!” Agam langsung menyahut, “Papa jangan dibunuh, karena siapa
lagi yang akan mengurusAgam dan adiknya yang tidak punya Mama lagi.”
Jawaban yang polos dari bocah itu rupanya telah menggugah perasaan sang
penguasa Jepang, sehingga spandri Simon Penu luput dari renggutan
maut.
Pada
hari yang naas itu, kesepuluh tahanan perang itu digabungkan dengan kelompok
sersan Robbemond dan Sirus Wungkana, sersan Kaparang dan
rekan-rekan seperjuangan dari satuan pasukan Reservekorps. Mereka diangkut
dengan truk yang dikawal ketat oleh serdadu pasukan payung Jepang, dibawa ke
ujung kampung Totolan di lokasi bekas tempat latihan menembak sekip brigade
pasukan Reservekorps dan tentara profesional
KNIL. Kamiora adalah sang algojonya, sedangkan pasukan korps marinir
Jepang diperkuat oleh sederetan “regu tembak” Jepang, yang sudah siap untuk
melaksanakan tugas eksekusi di tempat itu.
Sang
mentari bersembunyi di balik awan seolah-olah turut merasa sedih dan iba untuk
diundang menyaksikan hukuman perang massal tahap pertama di ujung kampung itu.
Para tahanan perang diperintahkan oleh serdadu Jepang supaya menggali lubang
yang bakal menjadi liang kubur bagi mereka sendiri. Mata mereka satu persatu
ditutup dengan sehelai kain hitam, disuruh berlutut dengan kepala menghadap ke
lubang. Demikian pula mereka yang dikenakan hukuman “tembak mati”, mata mereka
juga ditutup sehelai kain hitam, disuruh berdiri di tepi lubang membelakangi
lubang lahat dengan wajah mereka menghadap regu tembak.
Pedang
samurai di tangan algojo, bayonet terhunus pada ujung laras senapan, memancung
dan menikam satu demi satu tubuh manusia yang segera tergulir ke dalam liang
lahat. Terdengar letusan-letusan senjata secara beruntun, peluru-peluru melesat
keluar dari laras-laras senapan regu tembak serdadu Jepang, dan gugurlah para
tahanan perang, bagaikan bunga-bunga mawar berwarna-warni yang menghiasi jalan
raya di sudut bukit pahlawan Perang Dunia II di lahan “Tokyo Baru”, di kaki
bukit Sampuk, di kawasan kampung Totolan, onderdistrik Kakas, Minahasa.
No comments:
Post a Comment